• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebuah realitas sejarah bahwa awal mula dari kemunduran Islam secara drastis, bermula dari menurunnya semangat orang Islam dalam memperdalam intelektualitas, sains, dan pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan, pertama, penutupan pintu ijtihad dalam hal agama yang mengakibatkan pengekangan terhadap kreatifitas ilmuan-ilmuan muslim pada saat itu, sehingga seolah-olah Umat Islam selanjutnya hanya mempelajari temuan-temuan yang sudah ada, menerima apa adanya. Sehingga pengetahuan tentang keagamaan pada saat itu seolah bagaikan ukiran di atas batu yang disakralkan, dan tidak bisa dijamah-jamah lagi.

Kedua, Pendikotomian ilmu, yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan non agama. Ilmu agama sendiri harus dan wajib dikuasai oleh setiap muslim, tetapi ilmu nonagama merupakan anak tiri yang cenderung diacuhkan. Keberadaannya dianggap pelengkap. Sehingga Umat Islam pada saat itu cenderung mendalami ilmu agama sehingga mengesampingkan ilmu non agama. Hal ini lah yang mengakibatkan Umat Islam terbelakang dalam hal sains dan teknologi, yang selanjutnya peradabannya juga terbelakang. Menanggapi hal tersebut, ilmuan-ilmuan Muslim akhir abad ini berinisiatif untuk mengembalikan hakikat Pendidikan Islam yang di dalamnya tidak terdapat pendikotomian ilmu, sehingga tidak ada gap antara keduanya. Kemudian untuk mengejar ketinggalan terhadap Barat, mereka melanjutkan dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang bersandarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Karena kalau diterima apa adanya, maka mau-tidak mau akan terjangkiti pendikotomian ilmu lagi. Kalau melihat sejarah dikotomi ilmu, bahwa dikotomi muncul pertama kali di Barat, maka semua pengetahuan yang ada sekarang (tentunya produk Barat) masih mengandung unsur dikotomik. Makanya perlu diadakan islamisasi.

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui pengertian dikotomi pendidikan ?

2. Untuk mengetahui tinjauan sejarah social dan politik dikotomi pendidikan di Indonesia? 3. Untuk mengetahui dampak dikotomi terhadap perguruan tinggi islam

BAB I

PROBLEMATIKA DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA A. Pengertian Dikotomi Pendidikan

Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. (John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia )(Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992), h. 180.

Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa) Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 205.

Secara terminologis, Ahmad Watik Pratiknya, mengatakan bahwa dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). "Identifikasi Masalah

Pendidikan Agama Islam di Indonesia", Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), h. 104.

Bagi Al- Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh). ('Penulis adalah Alumni

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, sekarang dosen tidak tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari).

Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini.

B. Tinjauan Historis Dikotomi Pendidikan di Indonesia

Tidak ada yang menyangkal bahwa dikotomi dari sistem pendidikan di indonesia, yaitu pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda.

Orang-orang Belanda beserta keluarganya memerlukan pendidikan dan latihan baik mengenai pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus tentang Indonesia, disamping itu VOC

(2)

kekuasaan dan misionarisnya dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Sudah barang tentu

sekolah-seolah tersebut didirikan dengan berbagai kriteria dan variasinya secara diskriminatif yang bertujuan untuk mempertahankan perbedaan sosial, mengkristenkan masyarakat pribumi dan menjadikan rakyat sebagai pegawai atau pekerja kasar atau murahan Oleh karena itu, kalaulah pada akhirnya Belanda membuka kesempatan pendidikan bagi rakyat pribumi, tetapi tujuannya tidak lain membentuk kelas elit dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendah/kasar. Pendeknya pendidikan hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan perbedaan sosial, bukan untuk mobilitas sosial.

C. Tinjauan Politik Dikotomi Pendidikan di Indonesia

Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi

pelaksanaan pendidikan Islam, dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.

Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di Lembaga-lembaga pendidikan. Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja. Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Watan dan lain-lain. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kebangkitan pribumi. Pada satu sisi kebijakan tersebut

melahirkan kondisi psikologis “sebagai warga kelas dua” dikalangan muslim. (Rusydi: Wacana dikotomi ilmu daiam Pendidikan Islam dan Pensaruhnya

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).

D. Pendidikan di Indonesia Merupakan Kebijakan Pemerintah

Kondisi dikotomi ini diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial masyarakat Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu disatu pihak adalah kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan

keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah kelompok yang merupakan produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda yang mempunyai pandangan “sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari urusan publik dan urusan agama. kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan daripada penjajahan Belanda, tetapi kebijakan dasar pemerintahan penjajahan Jepang berorientasi pada penguatan kekusasaannya di Indonesia, dan pendidikan Islam di zaman Jepang adalah sebuah usaha untuk membantu kelangsungan perang Asia Timur Raya, Sehingga eksploitasi kemanusiaan benar-benar terjadi. Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintah Jepang

mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Selain itu untuk mengamankan kepentingannya, pemerintah Jepang banyak mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama, yang bertugas antara lain mengorganisasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha itu pada dasarnya bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah maupun pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.

Kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka yang terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan negara dan keputusan politik adalah orang-orang yang diberi mandat untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat dan masyarakat luas. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan cermin dari politik pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan.

Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga pendidikan persekolahan sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Secara pragmatis, hal ini dilakukan agaknya karena pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian

pergumulan antara sistem pendidikan ‘nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus

(3)

juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme, yang sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan.

Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum) , pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama. Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah. Masalah kurikulum merupakan salah satu pertimbangan dalam pemberian pengakuan pemerintah terhadap sekolah agama, sebab sekolah agama dan lembaga pendidikan Islam umumnya lebih memfokuskan kurikulumnya pada tafaqqahu fiddin, yang difokuskan pada bidang keislaman. Masalah kurikulum pendidikan ini yang menjadi salah satu pembeda sistem pendidikan yang berlangsung. Disamping itu administrasi berupa pengaturan dan pengawasan pendidikan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu

departemen pendidikan nasional dan departemen agama juga menjadi faktor pembeda yang lain. Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam.

Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.

Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah, juga dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan

pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam

.

Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang

diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.

Sebagai realisasi dari SKB Tiga Menteri itu, maka pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum yang menjadi acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah. Dengan diberlakukannya kurikulum standar yang menjadi acuan, berarti telah terjadi keseragaman dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun kuantitasnya. Kemudian adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah-sekolah umum setaraf, serta madrasah akan mampu berperan sebagai lembaga pendidikan yang memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan nasional.

Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45 tahun 1984 tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. SKB ini dijiwai oleh ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan

kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.

(4)

dikotomisasi kelulusan antar dua lembaga. Lebih parah lagi ditinjau dari sisi keahlian, adanya

dikotomisasi itu seakan-akan telah menciptakan label Islam dan label non-Islam terhadap kelulusan pendidikannya. Selain itu karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Ketika masuk ke perguruan tinggi atau ke dunia kerja perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan oleh lulusan madrasah sebagai produk pendidikan Islam.

BAB II

IAIN SEBAGAI PRODUK DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM A. Sejarah Sosio Historis perubahan IAIN menjadi UIN

Sebagaimana yang dituliskan oleh Atho Mudzhar Kehadiran IAIN di tengah masyarakat pada dasamya merupakan perwujudan dari suatu cita-cita yang telah lama terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis sejak zaman penjajahan.

Dr. Satiman Wirjosandjoyo dalam Pedoman Masyarakat No, 15 Tahun IV (1938) pemah melontarkan gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang terjajah itu. Dikatakan oleh Satiman antara lain bahwa sewaktu Indonesia masih tidur, onderwijs (pengajaran) agama di pesantren mencukupi keperluan umum. Akan tetapi setelah Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama. Apalagi dengan kedatangan kaum Kristen yang banyak mendirikan sekolah dengan biaya rendah dan dikelola oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, maka keperluan akan adanya sekolah tinggi agama Islam itu semakin terasakan lagi dan kalau tidak, pengaruh Islam akan semakin kecil, Demikian alasan Satiman.

Gagasan tersebut terwujud tepatnya tanggal 8 Juli 1946 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja sebuah yayasan (Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam) yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Kemudian pada masa revolusi STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu. Selanjutnya, pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta. ("Sejarah Singkat IAIN", dalam http://ww w.ditpertais.net/ttgiain.asp.)

Oleh karena Yogyakarta dikenal sebagai kota revolusi maka pemerintah berinisiatif memberikan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949 kepada golongan nasionalis. Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguman Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957. Dalam rangka menjadikan PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta lebih memenuhi kebutuhan umat Islam akan pendidikan tinggi Agama Islam, dikeluarkanlah

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri. Menurut dokumen ini, penggabungan itu diberi nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) "al-Jami'ah al-Islamiyah al- Hukumiyah" yang berkedudukan di Yogyakarta, dengan PTAIN Yogyakarta sebagai Induk dan ADIA Jakarta sebagai fakultas dari Institut baru tersebut IAIN ini akhimya diresmikan pada 24 Agustus 1960 di Yogyakarta oleh Menteri Agama, K. H. Wahib Wahab.

Akhimya sampai dengan akhir 1970 di Indonesia telah berdiri 14 Institut Agama Islam Negeri, yang masing-masing diberi nama sesuai dengan nama para mujahid yang berjuang di daerah IAIN

tersebut.

Oleh karena asal mula berdirinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) lebih ditentukan oleh pertimbangan politis, yaitu, kalau Universitas Gajah Mada merupakan hadiah kepada para

nasionalis, maka IAIN Yogyakarta merupakan hadiah kepada kelompok Islam "politik" atau santri, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Oleh karena itulah ciri utama kelembagaan IAIN lebih

berorientasi ke dunia Timur Tengah, khususnya ke Mesir dengan pusat keilmuan Universitas Al-Azharnya, dan tidak ke dunia Barat. Konsekuensinya, nama fakultas dan "gaya" kerjanyajuga berorientasi ke Al-Azhar, yakni fakultas-fakultas Syari'ah, Ushuluddin, Dakwah, Tarbiyah dan Adab, meskipun tidak setiap IAIN mempunyai kelima fakultas tersebut. Dalam kenyataan, sampai kini tidak ada satu IAIN pun yang mempunyai nama fakultas selain lima tersebut, meskipun program studinya ada yang sudah berkembang dan tidak pasti selalu sama.

(5)

mengindikasikan kemandegan tradisi keilmuan di IAIN, dan kekakuan aturan yang telah menjadi "dogma". Lebih lanjut, kemandekan keilmuan ini terlihat jelas lagi dari segi esensi atau materi keilmuan yang diajarkan di IAIN itu sendiri, terutama sekali untuk tingkat S-1. Dua hal ini menjadi tanda yang kongkrit keterbelakangan IAIN yang tidak akan mampu menghadapi abad ke 21. ("A. Qodri Azizy, "Pengembangan Stmktur Kafakultasan IAIN", dalam http://www.

ditpertais.net/artikel/godriOl.asp)

Dengan kata lain, IAIN masih tertinggal jauh dalam ilmu-ilmu umum (teknologi), dan ini

mengindikasikan bahwa meskipun dalam perkembangannya IAIN ada mengajarkan beberapa ilmu umum tetapi tidaklah begitu aktual dan belum mampu bersaing, padahal persaingan global

semakin ketat. Contoh di lapangan, ketika penerimaan untuk ilmu ilmu umum seperti B. Inggris atau matematika ya ng sama-sama ada diajarkan di perguruan tinggi umum dan Islam, orang sepertinya lebih percaya kualitas dari alumni atau lulusan perguruan umum daripada perguruan Islam.

Oleh karena itulah gejala kontemporer menunjukkan adanya berbagai pembenahan dalam IAIN, baik dari segi konsep keilmuan, metodologi, teknik belajar-mengajar dan lain sebagainya. Upaya pembenahan ini menggiring IAIN kepada perubahan nama yang lazimnya disebut dengan UIN (Universitas Islam Negeri). Dalam keputusan presiden Nomor 50 tahun 2004, tujuan dibentuknya UIN ini adalah upaya menyatukan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang masih belum

bisadirealisasikan oleh perguruan tinggi Islam di saat bemama IAIN, sebagaimana yang diungkapkan dalam keputusan berikut ini:

Bahwa dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan ilmu Penge tahuan serta proses integrasi antara bidang ilmu agama Islam dengan bidang ilmu umum, dipandang perlu menetapkan

Keputusan Presiden tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri Sunan KaliJaga Yogyakarta menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang. Saat ini di Indonesia baru mempunyai tiga UIN yakni UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta sebagai perkembangan dari IAIN SyarifHidayatullah, UIN Malang sebagai perkembangan dari STAIN Malang dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai perkembangan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Masih minimnya dan mudanya umur UIN ini akan masih belum mampu menunjukkan hasilnya, apakah sudah mampu memenuhi tuntutan penyatuan ilmu umum dan agama atau tidak. Oleh karena itulah wacana integrasi ilmu ini harus terus diaktualkan terutama di perguman Islam tingkat lokal seperti di Kalimantan Selatan ini, agar bisa cepat tanggap dengan adanya berbagai problem di IAIN Antasari sekaligus berupaya

membenahinya, dengan perspektif historis-kultural masyarakat Banjar tanpa harus "membebek" kepada UIN yang sedang berkembang di atas sehingga IAIN Antasari jika memang ada upaya menyatukan ilmu umum dan agama tersebut sudah memiliki kesiapan dan memiliki konsep keilmuan yang khas dan unik.

B. Pandangan Prof. Dr. Azyumardi Azra tentang IAIN (UIN) di masa sekarang Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada

mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”

“Jika di pesantren mereka memahami dikotomi ilmu: Ilmu Islam (naqliyah dan ilmu keagamaan) dan ilmu umum (sekuler dan duniawiah), maka di IAIN merekadisadarkan bahwa hal itu tidak ada. Di IAIN mereka bisa memahami bahwa belajar sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, sama

pentingnya dengan belajar ilmu Tafsir al-Quran. Bahkan ilmu itu bisa berguna untuk memperkaya pemahaman mereka tentang tafsir. Tetapi, IAIN tidak mengajarkan apa yang sering disebut dengan “islamisasi ilmu pengetahuan” sebab semua ilmu yang ada di dunia ini itu sama status dan arti pentingnya bagi kehidupan manusia.”

Itulah pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pernyataan itu dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama.

Pengakuan Profesor Azyumardi Azra tentang corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN itu tentu saja menarik untuk kita simak, sebab disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi justru dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, sebab sudah berhasil mengubah banyakn mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi mahasiswa atau sarjana-sarjana liberal.

(6)

”Model studi Islam tersebut membuka wawasan mahasiswa IAIN yang pada umumnya berbasis pesantren dan madrasah. Memang, pada tahun-tahun pertama studi di IAIN, sebagian mahasiswa yang telah terdidik dengan budaya pengkajian Islam pesantren mengalami goncangan. Tetapi setelah itu umumnya bisa memahami arti penting model studi Islam di IAIN. Selain itu dalam pengamatan Azyumardi, liberalisasi studi Islam di IAIN juga telah mengubah caara pandang mahasiswa umumnya terhadap ilmu.” (hal. 117).

Saya tidak ingin berkomentar terlalu jauh terhadap pernyataan Prof. Azyumardi atau fakta-fakta liberalisasi IAIN yang dipaparkan oleh para aktor utamanya di perguruan tinggi Islam. Pada catatan-catatan sebelumnya, kita sudah sering membahas masalah ini. Karena masalah ini teramat sangat penting bagi masa depan pendidikan Islam dan bahkan masa depan umat Islam di Indonesia, ada baiknya kita simak kembali sejumlah pemaparan tentang proses liberalisasi IAIN, sebagaimana diuraikan dalam buku tersebut.

Proses liberalisasi itu dimulai dari pulangnya para kafilah yang menimba ilmu di Institute of Islamic Studies of McGill University. Mereka mendapat didikan dari profesor-profesor Islamic Studies

kenamaan semisal Charles J. Adam, pakar dalam sejarah Islam; Wilfred Cantwell Smith, pakar sejarah peradaban Islam dan perbandingan agama; N. Barkes, ahli Turki dan sekularisasi di dunia Muslim, Herman Landolt, pakar filsafat, sufism, dan Syiah; Wael Hallaq, pakar hukum Islam, dan sebagainya. ”Para alumni McGill ini, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda, pada gilirannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam pengembangan wacana akademik kajian keislaman dan dunia birokrasi di tanah air.” (hal. vii-viii).

Dijelaskan juga dalam buku ini, bahwa IAIN kini sudah berubah, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis.

“IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam.

Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah.” (hal. x).

Perubahan status IAIN dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis, memang dilandasi dengan perubahan metodologi studi Islam, dari metode para ulama menjadi metode para orientalis, seperti diungkapkan oleh buku ini:

“Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun

pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal. xi)

BAB II

DAMPAK DIKOTOMI ILMU BAGI UMAT ISLAM

Dua orang anak muda yang baru lulus dari sebuah perguruan tinggi Islam bersama-bersama berangkat ke perpustakaan daerah untuk mencari koran gratis agar bisa mendapatkan informasi lowongan kerja. Sesampainya di perpustakaan, mereka pun langsung mengambil dan membolak-balik koran-koran yang ada. "Perusahaan Distributor Consumer Goods Nasional Besar Membutuhkan segera Chief Accounting (CA), Usia 27 Tahun, Pendidikan minimal Sl Accounting". "We are seeking qualified and highly motivated people to fill the position with the following requirements :

Mechanical Engineering Manager". Berlembar-lembar koran lama dan baru dibolak balik tetapi posisi yang diberikan selalu untuk lulusan perguruan Tinggi umum. Akhimya, mereka pun kelelahan dan salah satu dari merekabergumam "sulitjuga ya cari pekerjaan yang pas dan bergengsi buat lulusan seperti kita ini dibanding mereka yang lulus dari perguruan umum", sang kawan pun menjawab "betui juga, padahal andai aku dulu menuruti sarankakakku untuk kuliah di perguruan Tinggi umum dan mengembangkan kemampuan kimiaku, mungkin aku sekarang sudah bekerja di perusaahan yang sama seperti kakakku". Dengan langkah yang agak gontai merekapun beranjak pulang.

Fenomena di atas hanyalah bagian kecil dari dampak adanya dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam. Kesulitan para lulusan perguruan Tinggi Islam untuk mencari kerja sudah cukup dimaklumi. Mahasiswa perguruan Islam yang tidak dilengkapi dengan kemampuan yang kreatif selain ilmu-ilmu agama tidak mampu bersaing dengan para mahasiswa lulusan umum, terutama dalam lahan

(7)

kuat dalam transmisi keilmuan Islam klasik namun karena kurangnya improvisasi metodologi maka akhimya transmisi tersebut hanya memunculkan penumpukan keilmuan, bahkan muncul anggapan bahwa ilmu tidak perlu ditambah lagi atau sudah mencapai fmalnya dan ini mengindikasikan

lemahnya kreatifitasumat. ("Malik Fajar, "Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren", Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta : Paramadina, 1997), h. 114.)

Lemahnya daya kreatifitas dan metodologi ini akhimya mengarahkan kepada pola belajar-mengajar yang lazimnya disebut Paulo Freire dengan banking concept of education (konsep pendidika ala bank). Anak didik dijadikan sebagai banking, tempat menamh investasi, disuplai, sehingga mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Dan sangat minim pembentukan anak didik yang diposisikan kepada belajar-mengajar problem posing of education yakni menawarkan persoalan-persoalan yang

problematis dan menuntut anak didik berpikir kreatif dan memecahkannya.

Oleh Paulo Freire, konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan benda dan gampang diatur, semakin banyak anak didik menyimpan tabungan yang dititipkan maka semakin kurang mereka mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Jadi konsekuensinya cara belajar-mengajar seperti ini selain mematikan kreatifitas juga mampu menciptakan dikotomi antara dunia dan manusia, manusia (anak) semata-mata ada di dunia bukan bersama dunia, manusia hanyalah penonton bukan pencipta.44Cara berpikir normatif dan doktrinal juga membentuk cara penyampaian keilmuan yang monoton dan monolog bukan bersifat dialog dan komunikatif. Metode yang menjadikan satu orang total sebagai sumber wacana dan menjadikan yang lain sebagai

sesuatu yang pasif, pada akhimya mampu membentuk budaya ketergantungan, sementara budaya ketergantungan mampu menciptakan budaya suap-menyuap, dan ini tentu berefek kepada

kebobrokan moral bangsa. (Ayumardi Azra, "Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam", Munir Mulkhan et. at., Religiusitas IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 85-86.)

Dampak dikotomi keilmuan ini juga diungkapkan oleh M. Iqbal bahwa seorang anak muslim hasil didikan masa klasik bingung menghadapi realitas sejarah yang tidak dapat dipahaminya.

Perlengkapan intelektualnya terlalu minim untuk mampu bergumul dengan realitas yang

mencekam. Dan yang lebih parah lagi pola belajar-mengajar doktriner dan normatif yang biasa dikembangkan pada wilayah agama bias menghilangkan daya tarik terhadap kajian keagamaan itu sendiri sebab dengan cara itu para pengkaji tidak perlu lagi menelaah dan meneliti agama itu dikarenakan mereka sudah tahu jawaban-jawaban yang akan diberikan yang mungkin telah mereka peroleh sebelumnya dari berbagai forum pengajian,Dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam ini bisa juga berefek pada wilayah politik. Sebagaimana maklum di Indonesia bisa ditemukan antara partai politik yang cenderung nasionalis dan Islamis. Keduanya cenderung untuk saling

menegasikan dan berebut kekuasaan bukan saling merangkul dan saling bekerjasama untuk membangun negeri ini. Singkatnya, dikotomi keilmuan ini betul-betui memberikan dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena pandangan dasar serta produk

pemikiran (pendidikan) umat Islam terpecah belah maka cara hidup dan tingkah laku masyarakat Islam pun menjadi terpecah belah, sulit untuk bersatu, mudah dipermainkan oleh yang lain, serta sering tertinggal dalam persaingan peradaban. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan peringatan Nabi Muhammad SAW dulu bahwa suatu masa nanti umat Islam sangat banyak namun mereka hanya seperti buih yang mudah diombang-ambingkan oleh gelombang

BAB III KESIMPULAN

1. Dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu

pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh). 2. Tidak ada yang menyangkal bahwa dikotomi dari sistem pendidikan di indonesia, yaitu

pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda.

3. Kondisi dikotomi ini diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial

masyarakat Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu disatu pihak adalah kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah

kelompok yang merupakan produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda yang mempunyai pandangan “sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama

(8)

4. Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang

ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat

melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.

5. ilmuan-ilmuan Muslim akhir abad ini berinisiatif untuk mengembalikan hakikat Pendidikan Islam yang di dalamnya tidak terdapat pendikotomian ilmu, sehingga tidak ada gap antara keduanya. Kemudian untuk mengejar ketinggalan terhadap Barat, mereka melanjutkan

dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang bersandarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Karena kalau diterima apa adanya, maka mau-tidak mau akan terjangkiti pendikotomian ilmu lagi. Kalau melihat sejarah dikotomi ilmu, bahwa dikotomi muncul pertama kali di Barat, maka semua pengetahuan yang ada sekarang (tentunya produk Barat) masih mengandung unsur

dikotomik. Makanya perlu diadakan islamisasi.

DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses belajar.

Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam diskursus mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak ada seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita ini adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial Belanda turut membentuk wajah pendidikan Indonesia.

Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat.Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis

sekolahan dan menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.

Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme lembaga pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam untuk urusan agama.

Pendidikan agama di sekolah menurut Zakiah Darajat sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik karena mempunyai aspek jiwa atau

pembentukan kepribadian dengan memberikan kesadaran dan pembiasaan melakukan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-laranganNya, melakukan praktek ibadah, sopan santuan dalam pergaulan sesamanya sesuai dengan ajaran akhlak agamanya akan menjadi bagian integral dari kepribadiannya ketika dewasa nanti dan aspek-aspek pendidikan agama yang ditujukan kepada pikiran dan kepercayaan.[[1]]

(9)

pendidikan yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti

Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.

Sebagai permasalahan pendidikan yang dialami Indonesia berdasarkan hasil penelitian lembaga-lembaga indefendent ataupun pemerintah yang berkaiatan dengan dunia pendidikan diantaranya sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.[[2]]

2. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak.[[3]]

3. Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% .[[4]]

4. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh

tertinggal di bawah Philipina , Thailand , Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh tertinggal. [[5]]

5. 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun

membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah. [[6]]

Itulah beberapa permasalahan pendidikan yang krusial di Indonesia yang membutuhkan segera penyelesaian secara sistematis, terencana dan terpola dengan baik. Jika tidak pendidikan kita mau dibawa ke mana dan bagaimana generasi yang dihasilkan di masa depan?

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan pendidikan di Indonesuia apabila berkaca dari beberapa permasalahan tersebut di atas dapatlah diidentifikasi sebagai berikut:

1. Sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia yang dinaungi oleh dua Departemen ( dahulu ) dan sekarang disebut kementerian yaitu Kementerian Pendidikan Nasional yang menangani pendidikan umum dan Kementerian Agama yang menaungi pendidikan agama dan keagamaan menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif dalam tataran praktis.

2. Pemisahan dalam tataran konsep dan paradigma pendidikan di Indonesia menimbulkan dampak terjadinya dikotomi dan dualisme pendidikan.

3. Dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan membentuk sistem pengkotak-kotakan dalam pendidikan di Indonesia baik antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, negeri dan swasta, sentralisasi dan desentralisasi.

4. Terjadinya dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan agama di Indonsia menimbulkan

(10)

dengan pendidikan yang di bawah Kementerian Agama baik dari sisi sarana prasarana, sumber daya manusianya, maupun ketenagaannya.

5. Pendidikan agama Islam sebagai salah satu tonggak penanaman pendidikan moral hanya sebagai mata pelajaran baik di sekolah maupun di madrasah masih termarjinalkan dari mata pelajaran lainnya.

C. Batasan Masalah

Dengan luasnya permasalahan yang diidentifikasi dari beberapa yang berhubungan dengan dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia, maka pemakalah akan membatasi masalah dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia yang berkaiatan dengan pendidikan agama Islam.

D. Rumusan Masalah

Melalui makalah ini dapatlah dirumuskan mengapa pendidikan agama Islam di Indonesia masih terjadi dikotomi dan dulaisme?

E. Metode Kajian

Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah pendekatan deskriptif-historis. Saya berusaha mengungkapkannya, menggambarkan permasalahan yang saya angkat. Dalam tugas saya ini ada banyak tema besar yang secara eksplisit dipaparkan yang saya kategorikan sebagai permasalahan yang pertama yaitu dikotomi pendidikan , kedua dulaisme pendidikan di Indonesia, dampak akibat dikotomi dan dulisme pendidikan serta bagaimana solusi yang ditawarkan pakar pendidikan Islam.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Dikotomi dan dulaisme pendidikan 1. Pengertian Dikotomi

Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.[[7]] Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.[[8]] Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality)[[9]]. Bagi al- Faruqi, dikotomi adalah dulaisme religius dan kultural.[[10]]

Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sekarang ini. Proses sejarah tersebut diawali perkembangan pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam serta diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang cukup berpengaruh dalam pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban Islam.

Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dulaisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan.Dulaisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh).

2. Pengertian Dulaisme

(11)

sistem atau teori yang berdasarkan kepada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi.

Asal dualisme ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika yang lahir dari alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan raga manusia. Asal usul konsep dulaisme terkandung dalam pandangan hidup tentang alam (world view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan peradaban Barat.Gagasan tentang dulaisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman Plato dan Aristoteles yang memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan.Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa “kecerdasan”

seseorang merupakan bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena mental adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik.Oleh karena itu, faham dulaisme ini melihat fakta secara mendua.Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain.

Dulaisme yang dikenal secara umum sampai hari ini diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik.Descartes adalah yang pertama kali

memodifikasi dulaisme dan mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang(extendedsubstance). Dengan demikian memang secara ideologis diciptakan adanya dulaisme pendidikan, yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan pemerintah dan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional dan madrasah, pondok pesantren, sekolah yang kurang mendapat perhatian dan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.

B. Pandangan Islam mengenai dikotomi dan dulaisme pendidikan

Ilmu sebagai dasar pijakan dalam terjadinya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan dapat kita kaji dan analisa dari Al-Quran dan Al Hadits, sebagaimana diungkap Quraish Shihab,[[11]] kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran dan 750 ayat al-Quran yang

berbicara tentang alam materi dan fenomenanya. Hal ini mengisyaratkan agar manusia

mengetahui dan memanfaatkan alam ini.Objek Ilmu dalam Islam terbagi kepada dua bagian besar yaitu objek materi dan objek non-materi. Seperti kaum sufi melalui ayat-ayat al-Quran

memperkenalkan ilmu-ilmu yang merela sebut al-hadlarat al-Ilahiyah al-Khams ( lima kehadiran ilahi) sebagai gambaran keseluruhan realitas wujud, yaitu alam nasut ( alam materi), alam malakut ( alam kejiwaan), alam jabarut ( alam ruh), alam lahut (sifat-sifat ilahiyah, dan alam hahut ( wujud zat ilahi).

Selain itu banyak ayat al-Quran yang memerintahkan untuk berfikir tentang alam semesta,

melakukan perjalanan dengan titik tolak dan tujuan akhir karena Allah, seperti dalam Surat Al-‘Alaq sebagai surat yang pertama kali diturunkan diawali dengan kalimat Iqra dan diakhiri dengan

kalimat “wasjud waqtarib” ini merupakan indikator bahwa ilmu dalam Islam tidak dikenal Ilmu hanya untuk ilmu dan tidak dibenarkan dalam Islam. Sementara sekarang ini berkembang ilmu itu bebas nilai.[[12]]

Ulama-ulama kita dulu, tidak pernah membedakan ilmu umum dan ilmu agama, semuanya penting, hanya menurut Muhamad Abduh, misalnya, harus ada skala prioritas dimana ilmu agama perlu diajarkan pertama kali karena berkaitan dengan kebutuhan dasar sebagai orang beragama, dia harus tahu hakikat agamanya, supaya punya identitas, sistem moral yang kuat dan visi yang jelas. [[13]]

Bukti bahwa ulama dulu tak pernah menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Ini mengindikasikan Islam sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmudari aspek keutuhan ilmu para tokoh muslim, ulama terdahulu juga telah membuktikan kesatuan ilmu yang wajib dipelajari.[[14]]Al-Kindi misalnya merupakan seorang filsuf sekaligus agamawan, begitu pula al-Farabi. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizimi adalah ulama yang ahli

(12)

Al-Mukaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari dari kalangan ummat Islam maupun para orientalisme.

Jadi bisa dikatakan ternyata orang dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu.Karena bagi mereka semua aliran ilmu itu berada dalam satu atap bangunan pemikiran dan bersumber dari Allah, Dzat yang Maha Esa.Tidak ada ilmu yang berdiri sendiri.Semuanya saling terkait, saling melengkapi.Itu mungkin rahasia kenapa orang dulu bisa menghasilkan karya berbobot dan bertahan di pasaran dalam jangka waktu sangat lama, mereka punya otoritas keilmuan interdisipliner.

Konsep dikotomi ilmu masuk bersamaan dengan diterapkannya metode dulaisme keilmuan agama non agama (ilmi vs adabi).Proyek itu digalakan oleh Muhamad Ali Fasya, saat memimpin

Mesir.Tepatnya pasca dijajah Perancis,niatnya baik sebetulnya. Ia ingin memajukan umat Islam melalui sains dan teknologi, tapi cara yang ditempuh tidak tepat karena menghasilkan dulaisme keilmuan yang sangat berbahaya.[[15]]

Menurut H.M. Arifin, Al-Quran sebagai sumber pedoman bagi umat Islam mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia hampir dua pertiga ayat-ayat Al-Quran mengandung motivasi kependidikan bagi umat manusia. Allah Yang Maha Kuasa secara langsung menjadikan manusia baik atau jahat, pandai atau bodoh, bahagia atau celaka, sehat atau sakit, merupakan suatu sistem berbagai proses yang pada dasarnya sebagai mekanisme sebab akibat.[[16]]

Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat menunjukkan betapa penting antara keduanya dan saling berkaitan satu sama lain, maka dalam disiplin ilmu pun tidak harus membedakan ini ilmu duniawi dan yang lain ukhrawi. Seperti beberapa ayat berikut yang mengarahkan keseimbangan dalam pendidikan:

Artinya: “ Dan carila apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”[[17]]

“ … Dan apabila dikatakan , “berdirilah kamu”maka berdirilah niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11).[[18]]

Dikotomi ilmu adalah konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan salaf.

Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Apa yang diistilahkan orang-orang sekarang sebagai ilmu agama (ilmu-ilmu Islam- Teologi, Tafsir, Hadis,Fikih, dll) dan ilmu-ilmu umum (ilmu sekuler), dalam pandangan Islam, pada batas tertentu, wajib dikuasai semuanya. Hanya istilahnya dibedakan, kalau mempelajari ilmu agama (dasar-dasarnya) itu fardu ’ain.Artinya wajib bagi setiap manusia Islam mempelajarinya.Sementara mempelajari ilmu-ilmu umum adalah fardu kifayah.Artinya kalau secarafungsional sudah tercukupi kebutuhannya maka gugur kewajiban bagi yang belum mempelajarinya.Artinya terminologi dalam ranah keilmuan Islam sangat luas cakupannya

menyangkut hal yangbisa diverifikasi dan hal-hal yang bersifat metafisik. Maka menerjemahkan kalimat ‘ilmu dalam bahasa Arab dengan science (Inggris) menurut saya tidak tepat. Karena istilah science sangat positivistik hanya mendasarkan kebenaran pada realitas empiris belaka.

Secara normative-konseptual, menurut Abdul Rahman Al Segaf,[19] dalam Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu. Jika kita menoleh pegangan Islam yakni Al-Quran maupun Hadits kita tidak

menemukan baik secara tersirat terlebih lagi tersurat menemukan dalil mengenai dikotomi ilmu. Justru sebaliknya Islam mengajarkan untuk menuntut semua cabang ilmu.

Sedangkan menurut Ramayulis, dalam pendidikan Islam tidak dikenal pemisahan antara sains dan agama.Penyatuan keduanya merupakan tuntutan akidah Islam.Allah dalam doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam semesta termasuk manusia, dan menurunkan hokum-hukum untuk

mengelola dan melestarikannya. Hukum mengenai alam fisik merupakan sunnah Allah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia dinamakan din Allah. Hal ini

(13)

seorang pendidik harus dapat melakukan perubahan orientasi mengenal konsep ilmu yang secara langsung dikaitkan dengan dalil-dalil keagamaan atau sebaliknya.[[20]]

Memandang berbagai hal dampak dan implikasi negatif dari dikotomi ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan ilmu-ilmu umum (general sciences), maka sudah waktunya bagi kaum Muslimkhususnya lembaga-lembaga Islamuntuk melakukan “reintegrasi ilmu-ilmu”. Sehingga yang dibutuhkan sekarang adalah cara memandang kita selama ini yang masih mengkotak-kotakkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum haruslah direvolusi. Ilmu-ilmu

dipandang sebagai satu kesatuan, yang setara hierarkinya, yang dari perspektif Islam, sama-sama mendapat pahala jika menuntut dan menekuninya.

Walau Islam mengajarkan integralisme keilmuan menurut Azyumardi Azra ia menyebutnya tawhidic paradigm of sciencespada tingkat konseptual, tetapi harus diakui bahwa pada tingkat praksis tidak jarang terjadi disharmonisasi, dan dikotomi di antara keduanya, seperti dikemukakan penjelasan di atas.[[21]] Bahkan dikotomi sering menjangkau epistemologis, yakni antara wahyu dengan akal, atau antara “ilmu-ilmu agama” dengan “ilmu-ilmu umum”. Sebab itu, guna mengatasi

disharmonisasi dikotomi tersebut para pemikir dan ilmuwan Muslim menawarkan klasifikasi ilmu lengkap dengan hierarki mereka masing-masing.

Sebagaimana dikemukakan oleh Nasr yang dikutip oleh Azyumardi Azra, berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari persepektif Islam pada akhirnya adalah satu. [[22]]Dalam Islam sendiri sebenarnya tidak ada pemisahan yang sangat esensial antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”. Hal ini dapat kita lihat misalnya banyak intelektual muslim sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn sina, sampai Al-Ghazali, Nashir Al-Din Al-Thusi, dan Mulla Shadra dalam berbagai disiplin ilmunya dan perspektif inteklektualnya masing-masing yang dikembangkan dalam kemajuan Islam memang mengandung hieraraki tertentu, tetapi pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan subtansi dari segenap ilmu. Hal ini pula terbukti dan menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim kedalam hierarki ilmu pengetahuan Islam. Kita lihat misalnya salah seorang murid Imam Malik, asy-Syafi’I (150-204 H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa mempertemukan kedua kubu. [[23]] Sehingga pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir, bisa diredam sedini mungkin. Kita akan lihat sejauh mana asy_Syafi’I merumuskan dasar-dasar berpikir tersebut, yang oleh Fakhr ad-Din ar-Razi dibandingkan dengna posisi Aristoteles dalam bidang filsafat. Kalau Aristoteles berhasil merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi mantiqnya (logika), demikian asy-Syafi’I dianggap merumuskan cara-cara berpikir dalam agama dengan metodologi ushul fiqhnya seperti tertuang dalam master piece-nya ,ar-Risalah.[24]Artinya ini menandakan dalam pembentuan dasar-dasar hukum Islam (ushul fiqh) sangat menyentuh tradisi filsafat.

Selain asy-Syafi’I kita kenal nama dalam kancah pemikiran Islam Al-Kindi merupakan pemikir Muslim pertama yang berusaha memecahkan masalah klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi melibatkan pengguanaan akal dan nalar.Klasifikasi kedua adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu intelek, yang diperoleh terutama penggunaan akal dan pengalaman pengujian empiris.Dalam karyanya Fi Aqsam Al-Ulum (jenis-jenis Ilmu). Ia disusul oleh Al-Farabi, yang melalui karyanya Kitab Al-Ulum (Buku tentang Hierarki ilmu) memainkan pengaruh lebih luas.[[25]] Tokoh-tokoh lain yang mampu dalam mengintegrasikan ilmu adalah Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd yang semuanya mampu menjadi rujukan-rujukan keilmuannya sampai didunia Barat.

Nah bagaimana dengan klasifikasi ilmu-ilmu yang demikian rumit ?Hal ini menunjukkan

kompleksitas ilmu-ilmu yang berkembang dalam tradisi keilmuan dan perdaban Islam.Ilmu-ilmu agama hanyalah satu bagian dari ilmu-ilmu Islam secara keseluruhan.Pada tingkat praksisi bisa dikatakan, kemajuan peradaban kaum muslimin berkaitan dengan kemajuan seluruh aspekdan bidang-bidang keilmuan. Jadi, tatkala bidang-bidang ilmu tertentu dimakruhkan, apalagi

diharamkan, maka akan terciptalah disharmoni, diskrepansi yang mengakibatkan retardasi muslim secara keseluruhan.[[26]]

(14)

Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah pemberian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniyah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah. Manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia). Akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia.Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah, dan tinggi) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas

merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan. Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan

ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.[[28]]

Ilmu dan agama bukan sesuatu yang harus dipisahkan, tetapi lebih pada saling mengisi. Enstain seorang ahli fisika mengemukakan “ilmu tanpa agama adalah buta”.jadi semua punya titik temu yang mengarah pada dogma agama sebagai muaranya. Ilmu pegetahuan bermuara ke filsafat dan filsafat sebagai mother of secience “induknya ilmu bermuara ke agama.Jadi ilmu bukanlah semata-mata otoritas duniawi yang berbeda dengan agama yang dipandang berorientasi akhirat. Ini

pemahaman yang salah dan harus diluruskan bahwa ilmu itu adalah upaya akal untuk mengenal gejala alam yang tentunya sebagai cara mengenal keagungan Allah.

Akar masalah dikotomi ilmu dalam Islam di Indonesia persoalan pemisahan antara ilmu dan agama. Menurut Dr. Mochtar Naim dikotomi pendidikan adalah penyebab utama dari kesenjangan

pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya.[[29]] Hal ini merupakan warisan “leluhur” dari pihak koloni Belanda.[[30]]

Menjadi hal yang klasik dan menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences). Dikotomi yang mulai muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan pendidikan.[[31]]

Berbicara lebih jauh tentang pengdikotomian ilmu hal ini sangatlah terkait dengan masalah

dikotomi pendidikan (kelembagaan), sehingga berimbas pada terjadinya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama dalam arti kelembagaan yang dimana hal ini merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok pesantren, yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Karena tekanan politik pemerintah kolonial, maka sekolah-sekolah agama Islam memisah diri dan terkontak dalam kubu tersendiri.Sehingga dengan sendirinya mulailah pendidikan terkotak-kotak (dikotomi) antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bila kita menoleh sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi Azra, hal ini bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum

(keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.[[32]]

Setelah kemerdekaan, dulaisme yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan kita. Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap semula : berdiri di kutub yang berbeda dengan sekolah umum. Oleh karena itu keikutsertaan Departemen Agama secara historis dalam menangani

(15)

Kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah juga menjadi usaha untuk

menghilangkan dikotomi pendidikan di Indonesia,walaupun secara kelembagaan berjalan terus. [[34]] Akan tetapi SKB tiga menteri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang hingga kini tetap menjadi-jadi.

Hubungan antara ilmu dan agama ialah suatu pemikiran manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, melalui fenomena qauniyah dan fenomena aqliyah yang berkembang terus menerus. Inti

pemahaman hubungan tersebut ialah keimanan dan ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang tercermin dalam sikap dan prilaku:

1) Kebenaran Mutlak (al-haq) hanya kepada Allah semata dan kebenaran yang dicapai manusia (dengan qauniyah atau naqliyah) hanya kebenaran relatif

2) Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama karena keduanya berasal dari sumber yang sama

3) Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran dan bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi problema kehiduapan manusia.

C. Faktor-Faktor yang menyebabkan timbulnya dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan Lantas, mengapa terjadi dikotomi ilmu?Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari

beberapa hal.Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak

demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya.Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh.Epistemologi merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang. [[35]] Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother off all sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan,

sosiologi pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya.Tak pelak lagi hal ini menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masing-masing.[[36]]

Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.[[37]] Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.

Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya

pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[[38]] Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri, ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir

(16)

Setelah kita berbicara mengenai akar masalah dikotomi ilmu di Indonesia, sekarang akan

dipaparkan penyebab dan akibatnya dikotomi ini secara luas (sejarah Islam). Kemunculan dikotomi pendidikan menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Jasa Ungguh Muliawan, ia bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.[[39]]Selain itu terjadinya krisis multidimensi dalam pendidikan Islam, meminjam istilah Azyumardi Azra ia melihat pada persoalan-persoalan yang memang secara riil dihadapi oleh sistem pemikiran dan pendidikan Islam pada umumnya.

Sedangkan secara gamblang Azyumardi Azra menyebutkan bahwa permasalahan dikotomi

pendidikan (ilmu) pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual baik itu pada tataran epistemologisnya. Krisis konseptual tentang defenisi atau

terjadinya pembatasan ilmu-ilmu dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau melihat konteks Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional.[[40]]

Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.[[41]]

Krisis konseptual yang dimaksud adalah terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam. Kita sering mendengarkan adanya istilah ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah / religious sciences) atau menurut Azyumardi Azra yaitu ilmu-ilmu sacral (transenden).[[42]] Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi juga hal ini menyebabkan terjadinya pengkotakan (adanya gap) pada bidang kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan.

Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Ini jelas sekali terefleksi di Indonesia; misalnya dengan adanya dulaisme sistem pendidikan, pendidikan agama yang diwakili madrasah dan pesantren dengan pendidikan umum; di tingkat pendidikan tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan perguruan tinggi umum.[[43]] Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring waktu UIN dengan segala perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka jurusan-jurusan ilmu-ilmu umum.Hal ini menjadi babak baru buat

memecahkan masalah dikotomi pendidikan di Indonesia.

Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab pokok terjadinya dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:

1). Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam

Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M., yakni serbuan tentara Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreativitas, yakni “ijtihad”.

Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.[[44]]

(17)

berhasil diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan.Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin

muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.[[45]]

2). Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam

Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku.Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.

Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya dengan senang hati akan

membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.[[46]]

Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk.Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka.Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin.Untuk mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan umat,

mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.[[47]]

Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik dan budaya.[[48] ]Mereka cenderung menengok ke belakang ke romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.

Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem pendidikan, yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi mencari solusi dari malise yang

dihadapi umat, pengetahuan harus diIslamisasikan, sambil menghindari perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah prinsip yang

merupakan esensi Islam.[[49]] Untuk menuang kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti membuat teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat

manusia.[[50]]

Dengan demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat Islam (termasuk dikotomi pendidikan) adalah islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni pemaduan kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern melalui filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan menengah, juga kuliyah-kuliyah dan jami’ah– jami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan dengan sistem sekular dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum dengan proses islamisasi ilmu.

D. Sejarah timbulnya dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia

Sejarah di Indonesia, membuktikan terwujudnya komunitas haji, ulama, santri dan pedagang membuat anti terhadap imperialisme Belanda, seperti yang dilansir Clifford, pertumbuhan

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya selai rasa mangga „ Manggo Jam ‟ , warna yang digunakan pada teks rasa, merek, logo dan alamat website adalah kuning menyerupai warna buah mangga yang

Jika gas NH3 dalam kesetimbangan tersebut dipisahkan dan dilarutkan dalam 1Lair, maka pH larulan yang diperoleh adalah ..... Kelarutan besi (II) sulfida (FeS) dalam air

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan media audio visual pada paduan suara SD Muhammadiyah Kleco 2 Yogyakarta kelas percobaan A dan B pada berbagai macam lagu

Faktor-faktor pendorong kegiatan alihfungsi lahan sawah di Subak Kerdung terdiri dari rendahnya pendapatan usahatani padi, pemilik lahan bekerja di sektor lain, harga

Keberhasilan konseling sangat bergantung pada hal ini. Karena proses konseling sifatnya tidak boleh dipaksakan. Dalam 8 kali sesi konseling, sesi kedua dan ketiga

penelitian ini tidak fokus apakah negara maju atau belum tetapi lebih fokus pada bagaimana peran perusahaan yang kepemilikannya dikendalikan keluarga dan non-keluarga

19680 25 1992031006 Demikian laporan ini kami sampaikan untuk dijadikan data seperlunya , dan atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih. Sersama ini kami sampaikan dengan

Kedua tujuan program layanan konseling Islam dalam rangka mendukung kegiatan pembinaan narapidana pada Cabang Rumah Tahanan Negara Jantho di Lhoknga Kabupaten Aceh