• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBAS YANG BERSYARAT EKONOMI NEGARA NEGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BEBAS YANG BERSYARAT EKONOMI NEGARA NEGA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BEBAS YANG BERSYARAT:

EKONOMI NEGARA-NEGARA BARU ASIA

TENGGARA 1960AN-1970AN DALAM

BAYANGAN AMERIKA SERIKAT

OLEH:

YUANITA WAHYU PRATIWI

13/347932/SA/16946

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Asia Tenggara tahun akademik 2014-2015

(2)

Pengantar

Dalam kelas awal mengenai konsep Asia Tenggara, disebutkan bahwa konsep ini bukan berasal dari dalam, melainkan merupakan konstruksi orang luar terhadap wilayah ini. Dalam buku Projection of Power, Anne L. Foster memperjelasnya dengan menyatakan bahwa 1914 sampai 1941 adalah kurun pembentukan Asia Tenggara sebagai unit geografis yang koheren dalam banyak hal karena interaksi politik intens antar bagian Asia Tenggara juga dengan Eropa dan Amerika sebagai penguasa yang ‘membentuk’ region ini.1 Secara umum, Asia

Tenggara sebetulnya cukup majemuk. Sebagaimana yang dikatakan Anne L. Foster, wilayah ini menjadi mirip satu sama lain setelah tersentuh kolonialisme, dan baru menjadi konstruksi kesatuan multinasional setelah kurun periode yang disebutkan tadi, terutama pada Perang Dingin, tentu tetap dengan beberapa pengecualian.

Pasca Perang Dunia II, negara-negara Asia Tenggara satu persatu memperoleh kemerdekaannya sebagaimana negara-negara jajahan pada umumnya. Dari sana, berdasarkan sebutan lama mereka lahir sebagai negara dunia ketiga. Mereka adalah para pemula, yang harus mengatur sebuah negara selayaknya negara-negara yang sudah mapan dengan tanpa modal, dan mau tidak mau harus menjadi pengekor dari gerakan mayor negara-negara kuat.

Ketika perseteruan terjadi antara Sosialisme dan Kapitalisme pasca PD II, paham Kiri tumbuh lebih subur di negara-negara yang baru merdeka, terutama mereka yang merdeka dari penjajahan keras seperti yang dilakukan Perancis dan Belanda. Paham tersebut lebih menekankan aspek-aspek seperti negara kuat, kesejahteraan sosial, pemihakkan terhadap rakyat, dan kepercayaan bahwa merdeka adalah lepas dari ketergantungan kepada asing. Meskipun begitu, demikianpun banyaknya negara yang mengalami penjajahan pahit Eropa yang memilih untuk menjadi Kiri, Kanan lah yang akhirnya memenangkan Perang Dingin. Di Asia Tenggara sendiri tercatat komunisme pernah terdapat hampir di setiap negara dan sampai membuat perang-perang sipil yang cukup besar2. Tapi saat ini, bahkan negara-negara

yang tetap mempertahankan ideologi komunis hanya mengaplikasikannya secara politik, sementara secara ekonomi, semuanya menjadi kapitalis.

Pada dekade 70-80-an, negara-negara yang kacau balau pada masa-masa panas perseteruan Blok Barat-Blok Timur di tahun 60-an ini mencatatkan prestasi gemilang dalam hal pencapaian pertumbuhan ekonomi.3 Beberapa negara itu bahkan disebut-sebut sebagai

keajaiban karena telah menandingi angka pertumbuhan di negara-negara maju, padahal mereka berangkat dari titik rendah dimana mereka berada beberapa tahun silam. Negara-negara tersebut adalah Thailand, Singapura, Filiphina dan Indonesia. Semua dari Negara- negara-negara itu memiliki arah ekonomi yang sama, yang terbuka terhadap asing, yang liberal, sekalipun liberalisme belumlah secara resmi mencatatkan kemenangannya. Apa yang sebetulnya terjadi dibalik ini adalah yang menjadi pertanyaan utama dalam makalah kecil ini.

1 Foster, Anne L.. Projections of Power: The United States and Europe in Colonial Southeast Asia 1919-1941. London: Duke University Press, 2010. hlm. 13

2 Emerson, Ruppert. American Policy in Southeast Asia. Sosial Research Vol. 14 No. 4 (December 1950)hlm. 485

(3)

Berkaca dari pengalaman Indonesia, Soekarno yang memimpin Indonesia pada masa kritis dan sangat keras dalam menentang Nekolim, mensterilkan diri dari ketergantungan terhadap asing. Ia menolak bantuan asing, masuk lalu keluar dari IMF, menerima bantuan hanya dari negara-negara Blok Timur untuk membangun ‘ikon-ikon’nya, dan membiarkan rakyat Indonesia tercekik atas idealismenya terhadap negara. Memasuki Orde Baru, Soeharto belajar dari kesalahan-kesalahan itu dan membangun sisi yang hilang dari pekerjaan Soekarno. Ia membuka lebar tangan kepada asing dan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya hingga Indonesia yang lebih realistis bisa terwujud. Di masa pemerintahannyalah keajaiban yang digadang-gadang itu terjadi.

Dibalik sebuah sistem ekonomi yang liberal, kita mengenal sesosok tokoh sentral. Kapitalisme awal, yang bernapaskan kebebasan, yang kemudian melahirkan masyarakat bentuk baru inisiator Liberalisme adalah milik Eropa, tapi tidak lagi di abad 20. Perang Dunia benar-benar telah menghancurkan supremasi bangsa tersebut atas ide-ide pencerahan yang berevolusi terus menjadi kepercayaan atas kemajuan, modernitas dan kesetaraan ala mereka yang kini dianggap hanya sebagai steatment penghalal kolonialisme dan sangat bias Barat. Ketika kolonialisme konvensional runtuh, datanglah imperialisme baru. Amerika Serikat adalah koloni yang merdeka, dan bukan pengkoloni paling tidak sampai akhir abad 19.4 Ia

terlibat dalam Perang Dunia II tanpa harus ‘terluka’, menang, memulai suatu perang baru yang mempertaruhkan ‘dominasi’ dengan Uni Soviet, dan memenangkannya lagi. Hari ini bangsa petani dan penambang ini telah menjadi Polisi Dunia.

Demikianpun, negara-negara dunia ketiga tetap merupakan unit politik merdeka yang lahir untuk melindungi warganya dan memenuhi peran-peran lainnya yang sesuai hakikat sebuah negara. Jika regional yang berisi negara-negara dunia ketiga ini muncul sebagai konstruksi imperialis lama, dikatakan merdeka, lalu kembali menjadi boneka dari imperialis baru, apa arti sesungguhnya dibalik keberadaannya? Tapi sebelum menjawab pertanyaan utama ini, makalah ini akan terlebih dahulu melihat kebijakan luar negeri Amerika dalam masa-masa awal pendirian negara-negara di Asia Tenggara berkaitan dengan urusan ekonomi mereka serta apa motifnya dan bagaimana mereka melakukannya sebagai penjelasan.

Kebijakan Amerika Serikat di Asia Tenggara Pasca PD II

Negara-negara yang baru merdeka seringkali berdiri kemudian benar-benar tanpa modal. Hal ini terjadi terutama pada mereka yang memerdekakan diri secara radikal. Keengganan melepaskan koloni membuat kemerdekaan itu seringkali dibeli dengan konsensus-konsensus penting seperti kedaulatan ekonomi. Dalam kasus Indonesia, KMB memberikan kemerdekaan dengan catatan Indonesia harus membayar apa yang telah dikeluarkan Belanda untuk kepentingannya sendiri di Indonesia selama ini sebagai hutang. Selain itu, penjaminan atas keselamatan perusahaan-perusahaan Belanda juga menjadi salah satu poin perjanjian.5

Jadi ketika Indonesia dibelit sekian banyak hutang, akses terhadap aset ekonomi samasekali dijauhkan darinya. Dari sana secara tidak langsung, kemerdekaan yang langsung menyeluruh

4 Foster, Anne L. Opcit. hlm. 1-2

(4)

adalah kemustahilan, tapi bagi negara-negara seperti Indonesia dan Filiphina yang juga menyetujui kontrol Amerika atas sumber daya alam setelah kemerdekaan6, kemerdekaan

politik jauh lebih penting.

Sementara negara-negara yang merdeka dengan cara yang lebih halus, biasanya akan tetap mengakui supremasi sang mantan pengkoloni di masa setelah kemerdekaannya. Transisi semacam ini termasuk tipikal yang setelah merdeka, elit yang kemudian mempimpin ditunjuk oleh mantan pengkoloni. Kondisi seperti inilah yang terjadi pada Malaysia karena di Malaysia, kesultanan-kesultanan lokal selalu diistimewakan Inggris sebagai simbol kepemimpinan lokal7. Secara ekonomi mereka akan lebih mudah menerapkan sistem liberal

karena tidak memiliki sentimen besar terhadap sistem khas para pengkoloni ini. Singapura, meski kasusnya sedikit khusus karena ia mendukung ekonomi bebas dengan berdasar pada karakter geografisnya sebagai pelabuhan strategis sejak berabad-abad lalu, tergolong maju dengan cara ini, dalam artian, mereka menerima sistem ekonomi liberal dengan ringan.

Thailand yang menjadi kasus khusus karena tak mengalami kolonialisme juga mengalami hal yang sama soal pembentukan negara menuju ke arah yang liberal. Pengalamannya memodernisasi kerajaan mengingatkan kita pada Restorasi Meiji yang bersemboyan ‘Kita hanya bisa mengalahkan Barat dengan senjata Barat’. Dengan strategi-strateginya, Thailand selamat dari kolonialisme hingga 1914, ketika negara-negara pengkoloni sudah kehilangan kecenderungan untuk berekspansi karena masa High Colonialism lebih kepada bagaimana mereka memegang erat apa yang telah mereka miliki. Namun keselamatan itu tidak cuma-cuma. Pada masa kepemimpinan Mongkut yang seorang Buddhis terpelajar, ia menandatangani beberapa kontrak dengan Barat, diantaranya untuk memberi bantuan memodernisasi kerajaannya dan mengundang istri-istri missionaris untuk mengajari bahasa Inggris ke istri-istri dan anak-anaknya. Putranya, Chulalongkorn melanjutkan dan memperluas kebijakan semacam ini sehingga akhirnya negara-negara Barat berpikir menaklukan Thailand akan menjadi terlalu memakan biaya dan keberadaannya yang independen justru menjadi wilayah buffer bagi kekuasaan Inggris dan Prancis.

Sementara negara-negara seperti Malaysia dan Thailand telah menjadi stabil lebih dahulu, dan negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar masih berada dalam kondisi perang yang kritis, Indonesia, Filiphina dan Singapura baru mencapai kestabilan ekonomi pada 1970-an.8 Singapura awalnya memiliki masalah karena mayoritas penduduknya adalah etnis

Cina yang oleh pemerintahan Malaysia dipandang sebagai penduduk kelas dua, sementara Indonesia memiliki masalah berupa gerakan komunis dalam negeri dan tertutupnya hubungan dengan negara-negara barat. Dari kasus-kasus di beberapa negara tadi, menjadi Barat hampir menjadi satu-satunya jalan keluar dari kemampatan ekonomi negara baru.

Dalam sebuah artikel yang ditulis Frank C. Darling, Amerika Serikat memiliki 3 jenis instrumen kebijakan di Asia Tenggara yakni instrumen official, semi official dan instrumen

6 Lockard, Craig. Societies, Network, and Transition: A Global History. Boston: Wadsworth, 2011. hlm. 736

7 Ibid. hlm. 614

(5)

non official. Instrumen official datang langsung dari para pembuat kebijakan di Amerika Serikat dalam berbagai hal seperti diplomasi, bantuan militer, dan bantuan ekonomi. Instrumen semi official datang dari pemerintah resmi AS, tapi dengan maksud untuk memberi keuntungan atau perlindungan sementara terhadap sektor privat. Sementara itu instrumen non official digerakkan oleh institusi privat Amerika atau warga negara di lingkungan asing yang mendukung atau menguntungkan tujuan kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Jenis yang pertama mencakup perwakilan luar negeri yang juga menurut Darling, memberi asistensi ekonomi rutin sejak setelah PD II kepada Thailand, Filiphina, Vietnam Selatan, Malaysia, dan Laos, kemudian kepada 9 negara non komunis di Asia Tengara dengan porsi yang berbeda-beda. Lewat cara yang lebih halus, Amerika biasanya mendekat dengan instrumen ketiga, yang wujudnya bisa berupa korporasi, yayasan, lembaga, missionaris, universitas, jurnalis, wisatawan, buku, serta materi radio dan televisi.9 Contoh dari jenis ketiga ini adalah Ford

Foundation yang bekerjasama dengan Sumitro dalam mencetak Mafia Barkeley.

Dalam mengatasi krisis, Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia dan IMF serta negara-negara lain dalam IGGI. Dua lembaga yang disebutkan tadi merupakan bagian dari instrumen non official Amerika Serikat. IMF misalnya adalah salah satu dari 5 bagian IBRD yang awalnya dibangun untuk membantu pembangunan pasca perang10, tapi kemudian menentukan

arah ekonomi negara peminjam. Hutang dari IMF tidak hanya dibayar dengan uang, tapi juga kebijakan-kebijakan strategis penghilangan bea-bea yang nantinya mengarah pada pembentukan pasar bebas, dan AS berada dibalik semua ini dengan menjadi pemegang hak suara terbesar.11 Dengan ini bisa dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini memainkan peran

ganda selain sebagai ‘pemberantas kemiskinan’ seperti yang dikatakan di situs resminya, juga sebagai alat mobilisasi kebijakan negara-negara peminjam. Padahal, tidak semua negara siap dan cocok dengan sistem pasar bebas.

Pinjaman dana dan investasi asing yang terus-terusan memasuki negara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi di negara ini memiliki ciri khas tertentu. Kebanyakan negara-negara Asia Tenggara saat ini menjadi eksportir hasil alam seperti yang dilakukannya di masa kolonial, hanya saja bukan semata-mata sekedar produk eksploitasi, tapi lebih merupakan industri mentahan yang menggambarkan sedikit kemajuan ekonomi. Jika pada masa kolonial yang di ekspor adalah emas, dan rempah, saat ini mereka digantikan oleh minyak, karet, beras, gula, dan minyak kelapa.12 Negara-negara yang mencatatkan perkembangan ekonomi

paling pesat juga menjadi penerima utama dari investasi asing. Investasi ini mendorong industrialisasi yang memberdayakan sumber daya manusia Asia Tenggara selain ekstraksi terhadap alamnya.

Dengan adanya kabar baik itu, bukan berarti tidak ada yang masih harus dikritisi dari capaian Asia Tenggara saat ini. Berkaca dari pengalaman terdahulu Filiphina, ketika modal Amerika

9 Darling, Frank, C.. US policy in Southeast Asia.Asian Survey Vol. 14, No.7 (Juli, 1974) hlm. 613-620

10 http://www.imf.org/external/about.htm (22 Juni 2015, pukul 09.53)

11 Bimo Aji. Peran Amerika Serikat dalam pemberian Pinjaman Pinjaman IMF untuk mengatasi Krisis di Indonesia. Tesis. Universitas Indonesia. http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp? id=75018&lokasi=lokal (diakses 22 Juni 2015 pukul 10.35)

(6)

Serikat semakin tertanam di menjelang perempat kedua abad 20, Filiphina memang dibangun secara besar-besaran oleh AS sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi dan perdangangan bebas yang dibuka diantara keduanya, tapi hal ini bersifat merusak bagi produksi domestik Filiphina. Ketika Filiphina mengekspor kopra untuk industri margarin dan sabun internasional di Amerika, produk-produk jadi Amerika justru menggantikan produk lokal Filiphina. Dari kuota impor dari AS yang hanya 9% pada 1899, pada 1933 ia membengkak menjadi 64%. Manufaktur lokal tetap terjadi pada tingkat rumahan sementara yang berorientasi ekspor bergantung pada bahan dan mesin impor.13 Dengan demikian, terciptalah

sebuah ketergantungan besar dalam Filiphina terhadap AS, dan kiranya, ketergantungan ini dimiliki oleh negara-negara lain dengan jejak perkembangan ekonomi yang serupa dengan Filiphina dewasa ini.

Menurut Onghokham dalam pengantarnya untuk buku Kaum Kapitalis Asia Tenggara, kapitalisme sebetulnya bukan suatu sistem yang jahat. Ia bisa baik, bahkan sangat baik jika diaplikasikan secara tidak tanggung-tanggung dalam artian seluruh bagian dari negara sama-sama menjadi kapitalis.14 Saat ini yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara justru lebih

merupakan dualisme ekonomi modern daripada kapitalisme. Konsep Boeke tentang dua sistem antara kapitalis dan pra-kapitalis yang terjadi sekaligus di suatu masyarakat memang terulang lagi. Negara-negara seperti ini bersikap tanggung-tanggung terhadap kapitalisme. Keuntungan atas sistem yang kapitalistik hanya dinikmati oleh kalangan atas, pengusaha dengan modal besar dan para pembuat kebijakan, tapi tidak dengan pengusaha kecil-kecilan. Masyarakat mayoritas yang justru tergolong pra-kapitalis ini dibungkam dengan indoktrinasi pemerintah yang menyuarakan ‘kekhasan’, katakanlah Ekonomi Pancasila, yang pada praktiknya tidaklah nyata.

Alasan AS ‘Menginginkan’ Asia Tenggara dan Strategi-Strategi Awalnya

Amerika Serikat adalah negeri yang berisi koloni-koloni pekerja keras dari Eropa yang menambang dan bertani di tanah yang baru. Ia baru menjadi pusat industrialisasi menjelang abad 20.15 Industrialisasi yang terjadi di Amerika ini membutuhkan pasar yang lebih besar

daripada sekedar pasar internal Amerika. Pada akhir abad 19 juga terjadi krisis besar di Amerika. Krisis yang dikenal dengan Panic 1893 ini muncul sebagai akibat dari pembangunan besar-besaran di AS dan membuat banyak orang Amerika menganggur. Sementara itu, ia hanya bisa menyaksikan negara-negara Eropa yang berada dalam golden age di koloninya menikmati keuntungan besar atas mereka. Para pengkoloni memiliki sekaligus pusat bahan baku dan pasar yang menjamin kesejahteraan mereka. Ketika Eropa membagi-bagi China sebagai hasil Opium War di pertengahan abad 19 dan tengah menikmatinya, AS berambisi untuk mengambil hati Cina dengan mengampanyekan

13 M.C. Ricklefs. Ed. A New History of Southeast Asia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Hlm. 405-408

14 Onghokham. “Kapital” dan Politik. Dalam Kaum Kapitalis Asia Tenggara. Jakarta: YOI, 1998. Hlm. vii-xiv

(7)

‘Kebaikan Pintu Terbuka’ lewat pangkalan di Manila. Inilah yang mendasari kolonisasi Amerika Serikat terhadap Filiphina.

Selain kolonisasi terhadap Filiphina yang dikatakan secara implisit sebagai ‘mewujudkan takdir’, Amerika sebetulnya juga bergerak di sektor privat dibalik negara-negara kolonial resmi. Dalam mempertahankan kekuasaannya di Hinda Belanda, Belanda sebetulnya ingin melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia seperti Inggris dan AS dengan menarik mereka melalui pembukaan investasi yang minim batasan.16 Untuk mengambil keuntungan secara

langsung dari negara-negara Asia Tenggara juga akan menjadi cukup beresiko bagi Amerika Serikat yang belum berurusan langsung dengannya, oleh karena itu, ia lebih mempertahankan hubungan yang erat dengan negara-negara pengkoloni.17 Keduanya, baik Amerika maupun

pengkoloni Eropa sepakat untuk menekan secara radikal nasionalisme dan lebih dahulu mengarahkan mereka menuju konsumerisme dan kapitalisme industrial yang akan menjadi pegangan mereka kedepannya ketika sistem kolonial konvensional tidak lagi bisa bertahan.

Hubungan AS dengan pengkoloni Eropa bisa dilihat dari hubungan ambivalennya dengan Belanda. Selama masa awal kemerdekaan, AS demikian diidealkan oleh kaum nasionalis Indonesia. Mereka bahkan secara eksplisit mengidentikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan Declaration of Independence-nya AS. Mereka juga menyadari bahwa AS adalah kekuatan utama di Pasifik Barat dan perusahaan AS dinilai jauh lebih murah hati dibanding Belanda, sehingga Sumitro Djojohadikusumo atas dorongan pemerintah kemudian mendekati Amerika pada 1950-an. 18

Sampai pada saat itu, sebetulnya AS masih bersikap acuh terhadap Indonesia. Perhatiannya kepada wilayah ini masih mempertimbangkan kehadiran Belanda yang akan kembali lagi pasca kekalahan Jepang dan supaya Belanda tetap setuju berpartisipasi dalam NATO. Intinya, AS menjaga perasaan Belanda yang ia jadikan pegangan terhadap Indonesia. Namun semuanya berubah pasca Peristiwa Madiun. Peristiwa yang dikatakan sebagai pintu masuk Indonesia ke Perang Dingin ini membuat AS mendukung pemerintahan Moh. Hatta.19 Kalau

menurut Anne L. Foster Amerika sebelumnya agak takut memegang langsung negara-negara Asia Tenggara, dalam kasus Indonesia, penumpasannya terhadap pemberontakan PKI Madiun 1948 membuat ketakutan itu hilang. Secara drastis, pemihakan AS kemudian berubah. Jika sebelumnya ia mendukung Belanda, setelah Agresi Militer II, AS lah yang justru memaksa Belanda untuk segera menyerahkan kedaulatan Indonesia.

Filiphina sepertinya tidak membuat AS merasa cukup. Setelah mendapatkan segala keuntungan dari kolonisasinya terhadap Filiphina, ia mengincar probabilitas yang lebih luas. Terlebih lagi, ketika itu, saingan-saingan Eropa tuanya sedang menghadapi masalah besar di Perang Dunia II. Semasa PD II, Asia Tenggara memang dikuasai Jepang, tapi pendudukan singkat yang ekstraktif itu berbeda jauh dengan penetrasi perlahan dan mengakar yang

16 Cribb, Robert, Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013. Hlm. 191

17 Foster, Anne L.. Opcit. hlm. 2

(8)

dilakukan AS secara intensif sejak memasuki abad 20.20 Bagaimanapun, Asia Tenggara

adalah wilayah yang hasil buminya kaya. Masih dalam suasana industrialisasi, ia adalah sumber dan pasar sekaligus yang menggiurkan.

Amerika Serikat sangat ahli bermain tanpa harus kotor. Hal tersebut diterapkannya pada PD II dan dalam upaya pewujudan hegemoni terhadap Asia Tenggara. Bab 3 buku Projection of Power berjudul An Empire of the Mind. Menariknya bab ini membahas tentang keberhasilan ekspansi Amerika melalui budaya. Bab ini dibuka dengan surat dari seorang mahasiswa Vietnam kepada keluarganya yang tidak pernah disampaikan karena tersensor pemerintah Perancis. Surat itu menggambarkan Amerika sebagai peradaban terbaik di muka bumi. Dalam analisisnya Foster memakluminya sebagai pandangan seorang yang berkedudukan sebagai elit (karena memiliki kesempatan untuk belajar di AS) dan mengalami perbedaan kontras antara Amerika dan negaranya yang masih dibawah Prancis. Amerika melambangkan masa depan cerah untuknya secara pribadi atas kebebasan dan kehormatan yang didapatkannya di sana, begitu juga untuk negaranya ketika ia menyarankan kerabatnya untuk mengutamakan anaknya agar bisa berbahasa Inggris. Lebih jauh lagi menurut Foster, ini adalah hubungan yang diimpikan Amerika Serikat terhadap incaran-incarannya di Asia Tenggara.21

Setelah perang Dunia II, perusahaan, produk dan nilai-nilai Amerika Serikat memberi pengaruh besar terhadap perubahan kehidupan sehari-hari di Asia Tenggara. Dalam perkebunan-perkebunannya, Amerika juga menyediakan perumahan, pelayanan kesehatan, dan sekolah bagi anak-anak pekerja. Dengan ini ia membuat perlakuannya terlihat kontras dengan yang dilakukan Belanda atau Inggris sebagai Imperialis dan Kolonialis lama. Ketika Eropa, Cina dan Jepang hanya mengekspor tekstil dan sepeda, Amerika Serikat mengekspor mobil, mesin jahit, lampu, dan kerosin. Barang-barang dari AS mungkin memang lebih mahal, tapi bisa membawa perubahan lebih ke masyarakat. Lampu bisa membuat orang produktif bahkan di malam hari, membantu orang membaca, memperpanjang waktu untuk diskusi dan bertukar ide yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan politik. Mesin jahit juga bisa menjadi aset yang menumbuhkan bisnis-bisnis kecil. Selain itu, melalui film yang bahkan diputar hingga ke kampung-kampung,22 Amerika menyajikan lebih dari sekedar

hiburan, tapi juga indoktrinasi halus atas nilai-nilai politik dan ekonominya. Inilah yang dimaksud bermain tanpa harus kotor khas Amerika.

Asia Tenggara yang Merdeka

Dalam kelas-kelas di kuliah Sejarah Indonesia Abad 17-18, Asia Tenggara sebelum kedatangan Eropa pernah digambarkan sebagai wilayah yang turut terinterkoneksi bersama India dan Cina dalam Inter-asian Trade secara setara. Mereka bukan negara-negara modern seperti sekarang, tapi memiliki spesialisasi komoditi per wilayah dan dapat memperdagangkannya secara adil. Jack Goldstone dalam Why Europe mempertanyakan

20 Myint, Hla. Opcit. hlm. 26

(9)

apakah kenaikan Eropa atas dunia yang menyebabkan kejatuhan peradaban lainnya.23 Tapi

tidak bisa dipungkiri jika didengar sekarang, keadaan pada masa Inter-asian Trade rasanya jauh lebih membahagiakan dibandingkan membayangkan kita terus-terusan berada dalam dominasi kulit putih di masa-masa selanjutnya.

Hari ini, hampir semua bangsa di dunia telah merasakan kemerdekaan. Kemerdekaan ini merupakan hasil dari despotisme sekian lama atas bangsa-bangsa superior terhadap yang lainnya. Tapi dari uraian di atas, mereka yang terbiasa menguasai belum melepaskan yang pernah dikuasainya kepada kemerdekaan yang sejati. Dengan cara yang eksplisit maupun halus kita dipaksa sekali lagi menjadi pengikut di dalam nuansa kemerdekaan yang kata Pembukaan Undang-Undang Dasar, “...merupakan hak segala bangsa.”

Jika Asia Tenggara dibentuk oleh konstruksi kolonial, merdeka, lalu menjadi sasaran imperialis baru, apakah kita sebetulnya telah merdeka? Dalam pendahuluan Projection of Power, disebutkan bahwa institusi dasar kekuatan negara terdiri dari kuasa ekonomi, sistem edukasi, metode pengumpulan pajak, dan semacam birokrasi pembuat kebijakan.24 Dari sana,

sebagai sebuah negara, jika dilihat dari sudut pandang saat ini, negara-negara di Asia Tenggara hanya memiliki sedikit pilihan tentang kuasa ekonomi. Negara-negara ini telah dibawa dengan pinjaman-pinjaman, investasi asing, dan organisasi internasional untuk memilih sesuatu yang belum tentu pilihannya.

Jika kapitalisme memang diputuskan menjadi jalan yang diambil negara untuk bertahan hidup, mestinya semangat wirausaha dipupuk hingga ke sektor-sektor terkecil, sehingga dualisme ekonomi modern yang dikatakan Onghokham tidak terjadi lagi. Ruth McVey dalam artikelnya Wujud Wirausaha Asia Tenggara juga menjelaskan mengenai hal ini. Menurutnya kemunculan industri manufaktur di Indonesia adalah sebuah anomali.25 Industri ini tidak

cocok dengan masyarakat kita yang mayoritas adalah petani. Dengan ini memang muncul kemungkinan bahwa kita sedang memulai revolusi Industri seperti yang telah dilakukan Eropa dan Amerika, tapi mengingat bahwa teknologi yang digunakan adalah impor dan transfer teknologi tidak betul-betul terjadi, manufaktur itu hanya semu. Idealnya, jika tahap pengolahan itu memang ada, seharusnya ada tiga skala industri yang memainkan perannya masing-masing kalaupun yang bisa terintegrasi di pasar internasional hanya perusahaan besar. Industri kecil menurut McVey bisa menjadi pemasok bagi perusahaan besar yang melakukan transaksi, dan perusahaan menengah bisa mulai terlibat dalam melakukan transaksi dan investasi jika memang sudah bisa.26 Tapi itu semua tetap bergantung kepada perusahaan besar

dan pemerintah yang secara langsung menetukan keputusan bagi semuanya karena apapun yang dilakukan pengusaha-pengusaha kecil dihadapan sebuah sistem kapitalis yang dikuasai kekuatan kekuatan besar yang abstrak seperti modal dan sistem dunia, hanya sebuah usaha yang tidak ada artinya.

Kesimpulan

23 Goldstone, Jack. Why Europe. NY: McGraw-Hill, 2009. Hlm. 162 24 Foster, Anne L. Opcit. hlm. 13

25 McVey, Ruth. Wujud Wirausaha Asia Tenggara. dalam Kaum Kapitalis Asia Tenggara. Jakarta: YOI, 1998. Hlm. 2-3

(10)

Jika tidak memisahkan peristiwa dengan konteks waktu, kita bisa melihat apa yang dialami Asia Tenggara saat ini sebagai bagian dari kejadian yang memang ada saat ini, dan hal ini tidak bisa dikomparasikan soal lebih baik atau lebih buruknya dengan kondisi lain andai suatu kejadian tertentu di masa lalu tidak terjadi. Saat ini Asia Tenggara adalah sebuah regional yang terdiri dari negara-negara merdeka. Sebagian besar dari negara-negara ini pernah melalui masa kritis yang sangat sulit, seperti halnya Vietnam dan Kamboja, tapi sekarang semuanya telah membaik.

Meski merupakan konstruksi para pengkoloni, aktivitas mereka di Asia Tenggara memang mau tidak mau telah semakin mengintegrasikan wilayah ini satu sama lain. Dan daripada konstruksi mereka, integrasi yang telah terbentuk, kemiripan nasib, dan kedekatan geografis telah lebih berpengaruh banyak kepada Asia Tenggara saat ini.

Jika pertanyaannya adalah apakah Asia Tenggara benar-benar merdeka jika lahir atas prakarsa orang lain dan kembali dihegemoni pihak lain setelah merdeka, jawabannya iya. Kemerdekaan dalam setiap waktu memiliki ukurannya masing-masing. Dulu, sebelum hak asasi manusia diakui bersama, sebagian manusia diperbudak sementara sebagian yang lain berteriak-teriak soal kesetaraan derajat sosial. Sampai saat ini, suka atau tidak suka, kemerdekaan dalam segala aspek hingga kebebasan ekonomi, untuk negara-negara dunia ketiga memang hanya sebatas wacana. Pembatasan kebebasan ekonomi ini bahkan bukan hanya dibentuk dengan peraturan, tapi juga penanaman ide lewat produk-produk kebudayaan seperti film Amerika sehingga seringkali tidak disadari. Pembatasan ini juga bukan hanya terjadi pada Asia Tenggara, tapi juga negara-negara dunia ketiga di belahan dunia lainnya.

Dalam buku Societies, Network, and Transition, dijelaskan bahwa dunia telah menjadi tidak seimbang sejak abad 16. Ketika itu perbudakan terjadi, bangsa Eropa memulai penaklukan terhadap bangsa lain, dan dominasi kulit putih dimulai. Ketika Eropa mencapai Amerika, mereka mendapat emas dan perak yang bisa digunakan untuk menembus Inter-asian Trade

sehingga Armed-Trading tidak lagi diperlukan. Hal ini berlanjut dengan kolonialisme yang kemudian melahirkan dunia kita saat ini. Setelah kolonialisme runtuh, hampir semua negara memang sama-sama merdeka, dan perdamaian dunia dijaga oleh organisasi non-state. Jika cukup sampai disitu, memang samasekali tidak terdengar ada dominasi, tapi penjelasan di atas telah menggambarkan betapa kebebasan ternyata masih memiliki terlalu banyak syarat.

Selain itu, globalisasi yang dikatakan tengah terjadi memang bukan terjadi untuk kali pertama. Sejak dulu, sebuah sistem dunia memang selalu ada, meski sistem dunia yang dimaksud bukan global, melainkan hanya merupakan suatu interkoneksi ekonomi yang luas. Dalam sistem semacam itu, penyusunnya dibagi menjadi dua jenis, yakni inti yang mengontrol dan membuat peraturan, dan tepian yang menjadi asal bagi barang-barang yang datang ke inti. Seperti inilah kiranya definisi keadilan untuk ukuran dunia saat ini.

(11)

2. Emerson, Ruppert. American Policy in Southeast Asia. Sosial Research Vol. 14 No. 4 (December 1950)

3. Scalapino, Robert A.. Asia Tenggara dalam Tahun 1980-an. Jakarta: YOI, 1985. 4. Catatan Kuliah Sejarah Indonesia sampai Abad 19-20. April, 2015.

5. Lockard, Craig. Societies, Network, and Transition: A Global History. Boston: Wadsworth, 2011.

6. Myint, Hla. Southeast asia’s economy developing policies in the 1970’s. NY: Preager, 1972.

7. Darling, Frank, C.. US policy in Southeast Asia.Asian Survey Vol. 14, No.7 (Juli, 1974)

8. About IMF http://www.imf.org/external/about.htm (22 Juni 2015, pukul 09.53) 9. Bimo Aji. Peran Amerika Serikat dalam pemberian Pinjaman Pinjaman IMF untuk

mengatasi Krisis di Indonesia. Tesis. Universitas Indonesia.

http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=75018&lokasi=lokal (diakses 22 Juni 2015 pukul 10.35)

10. M.C. Ricklefs. Ed. A New History of Southeast Asia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

11. Onghokham. “Kapital” dan Politik. Dalam Kaum Kapitalis Asia Tenggara. Jakarta: YOI, 1998.

12. Hug, E. Kathleen. Ed. Garis Besar Ekonomi Amerika Serikat. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 1981.

13. Cribb, Robert, Audrey Kahin. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013. Hlm. 191

14. Goldstone, Jack. Why Europe. NY: McGraw-Hill, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Zulham Mulyadi Nasution: Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Dan Barang Pada Angkutan Darat..., 2004... Zulham Mulyadi Nasution: Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Dan Barang

Seluruh penerimaan dari zakat, ‘usyr, dan sedekah ditransfer ke Baitul Mal (Kas Negara) untuk membiayai pengeluaran bagi kesejahteraan fakir miskin,

Secara keseluruhan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang diberikan oleh bidan di Puskesmas Johan Pahlawan masuk dalam kategori baik yaitu sebanyak

- Pengalaman personil atas nama Fikry Adinata untuk pengawas lapangan tidak sesuai dengan dokumen pengadaan, (dengan mengkonversi dari tahun lahir, didapat hanya 4 tahun, tertulis

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Lelang Nomor : 600.02.10/Pen.Pem/PML-CK-DPU/2011 tanggal 19 Agustus 2011, perihal Penetapan Pemenang Pelelangan Pengadaan Barang dan Jasa

Bahwa perkawinan dibawah umur masih terjadi jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan akan tetapi jika berdasarkan hukum

Abstrak: Peran Organisasi Regional Dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan Internasional. Hukum internasional telah mengatur sejumlah mekanisme dalam rangka

The questionnaire contains emotion regulation scale of Emotion Regulation Questionnaire (ERQ), which previously has been adapted and modified by Avinda Rizki in