KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK
DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME
ANDRE TANJUNG ORISA/ D 101 11 064
PEMBIMBING
I. Dr. JUBAIR., S.H., M.H.
II. KAMAL., S.H., M.H.
ABSTRAK
Kesimpulan penelitian adalah Kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti pembuktian tindak pidana terorisme sebagai alat bukti baru atau menambah alat bukti baru dan bukan sebagai perluasan alat bukti yang ada pada KUHAP, sehingga dapat berdiri sendiri diluar alat bukti KUHAP sesuai asas lex specialis karena undang-undang terorisme merupakan ketentuan khusus dari alat bukti yang ada pada KUHAP. Kekuatan alat bukti elektronik dalam undang undang tindak pidana terorisme harus didukung oleh saksi ahli untuk menjelaskan keaslian dari Informasi Elektronik tersebut dan dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan dan alat bukti Informasi Elektronikharus diambil atau diperoleh oleh penegak hukum yang berwenang.
Saran penelitian ini: Perlu perbaikan (revisi) atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, khususnya yang menyangkut pembuktian terhadap barang bukti data elektronik dan produksinya sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Sebaiknya Hakim menerapkan sistim pembuktian negatif dalam mengadili perkara tindak pidana terorisme dimana diajukan alat bukti elektronik sehingga dapat tercapai tujuan hukum acara pidana untuk mendapatkan kebenaran materiil.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini, Indonesia telah
berada dalam teknologi elektronik
yang berbasis kepada lingkungan
serba digital1.Dengan perkembangan
teknologi tersebut, menimbulkan
kuantitas kejahatan konvensional
yang dilakukan dengan modus
operandi yang canggih sehingga
dalam proses beracara diperlukan
teknik atau prosedur khusus untuk
mengungkap suatu kejahatan2. Disisi
lain terjadi peningkatan kejahatan
dengan mempergunakan teknologi
informasi sebagai modus operandi
melakukan kejahatan.
Penentuan mengenai cara
bagaimana pengenaan pembuktian
pidana dapat dilaksanakan terhadap
orang yang disangka melakuka
perbuatan pidana diatur di dalam
hokum pidana formal atau Kitab
Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Van Bemmelen
menyatakan bahwa,”Ilmu hokum
acara pidana mempelajari
1
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005, Hlm. 31
2
Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, Hlm. 3
peraturan yang diciptakan oleh
negara, karena adanya dugaan terjadi
pelanggaran undang - undang
pidana3”.
Pembuktian merupakan
masalah yang memegang peranan
penting dalam proses pemeriksaan
disidang pengadilan. Melalui
pembuktian tersebut ditentukan nasib
terdakwa.Apabila hasil pembuktian
dengan alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang tidak
cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa dibebaskan dari
hukuman.Sebaliknya, kalau
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti yang
diaturdalam Pasal 184 KUHAP,
maka terdakwa dinyatakan bersalah
dan kepadanya akan dijatuhka
nhukuman. Oleh karena itu, hakim
harus berhati-hati, cermat, dan
matang dalam menilai dan
mempertimbangkan nilai
pembuktian, serta meneliti sampai
3
dimana batas minimum kekuatan
pembuktian (bewijs kracht) dari
setiap alat bukti yang disebut dalam
Pasal 184 KUHAP tersebut.
Pembuktian menurut KUHAP,
menganu tsistem pembuktian
menurut undang-undang secara
negatif (negatief wettelijk stelsel)
yaitu system pembuktian yang
merupakan keseimbangan antara
system keyakinan hakim (conviction
in time) dengan system pembuktian
menurut undang-undang secara
positif (berdasarkan alat-alat bukti
yang ditentukan di dalam
undang-undang).Kedua system ini saling
bertolak belakang secara ekstrim.
Dimana kedua system ini dikenal
dengan system pembuktian secara
negative dengan memadukan antara
keyakinan hakim dengan
undang-undang secara positif4.
Salah satu undang-undang
yang dikecualikan dari KUHAP
dalam hal pembuktian dan alat-alat
buktinya adalah Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang
4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, Hlm. 278
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003)
sebagai undang-undang khusus yakni
terdapat didalam undang-undang ini,
yaitu bukti permulaan dan alat bukti
mengalami perluasan, sebagai diatur
dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal
27 yang memberikan batasan alat
bukti dalam perkara tindak pidana
terorisme yang berbeda dengan alat
bukti yang diatur dalam KUHAP
meliputi:
Bukti permulaan menurut UU
No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, dalam penjelasan Pasal
26 menegaskan bahwa:
1. Untuk memperoleh Bukti
Permulaan yang cukup,
penyidik dapat
menggunakan setiap
Laporan Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah
dapat atau diperoleh Bukti
Permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus
dilakukan proses
pemeriksaan oleh Ketua dan
Wakil Ketua Pengadilan
3. Proses pemeriksaan
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dilaksanakan
secara tertutup dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan
adanya Bukti Permulaan
yang cukup, maka Ketua
Pengadilan Negeri segera
memerintahkan
dilaksanakan Penyidikan.
Penetapan suatu Laporan
Intelijen sebagai Bukti Permulaan
dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua
Pengadilan Negeri melalui suatu
proses/mekanisme pemeriksaan
(Hearing) secara tertutup. Hal itu
mengakibatkan pihak intelijen
mempunyai dasar hukum yang kuat
untuk melakukan penangkapan
terhadap seseorang yang dianggap
melakukan suatu Tindak Pidana
Terorisme, tanpa adanya pengawasan
masyarakat atau pihak lain manapun.
Padahal kontrol sosial sangat
dibutuhkan terutama dalam hal-hal
yang sangat sensitif seperti
perlindungan terhadap hak-hak setiap
orang sebagai manusia yang sifatnya
asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Selanjutnya Pasal 27 UU No.
15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menegaskan mengenai
alat bukti sebagai berikut:
1. Alat buki sebagaimana
dimaksud dalam KUHAP5;
2. Alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu;
dan
3. Data, rekaman, atau
informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu
yang terekam secara
elektronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada:
UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme sebagai undang-undang
khusus (lex specialis derogat lex
generalis), berarti UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme mengatur secara
materiil dan formil sekaligus,
sehingga terdapat pengecualian dari
asas yang secara umum diatur dalam
KUHP dan KUHAP. Sudikno
Mertokusumo6, Lex specialis derogat
lex generalis, harus memenuhi kriteria:
1. Bahwa pengecualian
terhadap undang-undang
yang bersifat umum,
dilakukan oleh peraturan
yang setingkat dengan
dirinya, yaitu
Undang-Undang.
2. Bahwa pengecualian
termaksud dinyatakan
dalam undang - undang
khusus tersebut, sehingga
pengecualiannya hanya
berlaku sebatas
pengecualian yang
dinyatakan dan bagian
yang tidak dikecualikan
tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan
pelaksanaan
undang-undang khusus tersebut.
Hukum Pidana khusus, bukan
hanya mengatur hukum pidana
materilnya saja, akan tetapi juga
hukum acaranya (formil), oleh
karena itu harus diperhatikan bahwa
aturan-aturan tersebut seyogyanya
tetap memperhatikan asas-asas
umum yang terdapat baik dalam
ketentuan umum yang terdapat dalam
KUHP bagi hukum pidana
materilnya sedangkan untuk hukum
pidana formilnya harus tunduk
terhadap ketentuan yang terdapat
dalam KUHAP7. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam
UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang berkaitan dengan
alat bukti yang diperluas yaitu
mengakui bukti elektronik sebagai
alat bukti selain yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP.
Pada perkembangannya, alat
bukti sebagaimana diatur dalam
KUHAP tidak lagi dapat
mengakomodir perkembangan
teknologi informasi, hal ini
menimbulkan masalah baru. Salah
satunya adalah munculnya kejahatan
teroris baru yaitu cyber terrorism,
tentu saja upaya penegakan hukum
tidak boleh berhenti karena
ketidakadaan hukum yang mengatur
7
Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Univ Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 148
penggunaan barang bukti dan alat
bukti berupa informasi elektronik di
dalam suatu penyelesaian peristiwa
hukum8.
Alat bukti berupa informasi
elektronik saat ini telah
perkembangan dengan pesat, hal ini
turut didukung dengan kemajuan
berbagai teknologi yang dapat
mempermudah pekerjaan dan dapat
dilakukan dengan cara instan, selain
itu maraknya penggunaan informasi
elektronik dan sejenisnya bukan lagi
barang langka. Hal ini tentunya
membuat aktivitas informasi
elektronik bukan hal baru bagi
kebanyakan orang9.
Dalam beberapa kasus,
penguasaan terhadap teknologi
seringkali disalahgunakan untuk
melakukan suatu kejahatan, diantara
ragam kejahatan itu menggunakan
teknologi didalamnya terdapat
kejahatan teroris baru yaitu cyber
terrorism, penanganan cyber terrorism berbeda dengan penanganan terorisme konvensional,
8 Muhammad Labib dan Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Rafika Aditama, Bandung 2005, Hlm. 26: 26
perbedaannya adalah penggunaan
alat bukti berupa informasi
elektronik.
Apa yang diuraikan dilatar
belakang masalah di atas tentu harus
ditelusuri bukan saja melalui
perundang-undangan yang ada, akan
tetapi juga melalui studi
kepustakaan. Sehingga dapat
ditentukan bagaimana suatu
pembuktian tindak pidana terorisme
yang menggunakan perkembangan
elektronik dianggap sah menurut
hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan
informasi elektronik dalam
pembuktian tindak pidana
terorisme?
2. Bagaimana kekuatan
hokum alat bukti
elektronik dalam undang
undang tindak pidana
terorisme?
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan Informasi
Elektronik Dalam
Pembuktian Tindak Pidana
Terorisme
Terkait dengan pengaturan alat
bukti elektronik sebagaimana
dinyatakan dalam beberapa pasal, di
antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka
4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).
Alat bukti elektronik tersebut
mempunyai sifat yang berbeda dari
alat bukti umum yang diatur dalam
KUHAP. Salah satu perbedaannnya
adalah bentuknya yang bersifat
digital (non paperbased) sehingga
membutuhkan keahlian khusus untuk
dapat memahami arti dan makna
serta keaslian alat bukti digital
tersebut.
Terkait dengan hal ini, tidak
terdapat pengaturannya dalam UU
No. 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas UU No. I1 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik, apakah sebuah
alat bukti elektronik dapat diterima
begitu saja sebagai alat bukti di
persidangan, ataukah harus
menjamin keaslian alat bukti
tersebut. Hal ini berbeda dengan
praktik di berbagai negara yang
mengatur Standard Operational
Procedure (SOP) terhadap penggunaan alat bukti elektronik,
yang dikembangkan dari SOP yang
dibuat oleh International
Organization of Computer Evidence (IOCE) yang merupakan standar
intenasional.10
Perkembangan teknologi dan
hukum seharusnya berjalan
beriringan, perkembangan ini telah
menyebabkan pergeseran dari media
cetak ke media digital dari dokumen
yang konvensional ke dokumen
elektronik seperti video sebagai lex
specialis, UU No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme memiliki
kekhususan secara formil di banding
KUHAP. Salah satu kekhususannya
tersebut adalah terkait penggunaan
alat bukti yang merupakan
pembaharuan proses pembuktian
konvensional dalam KUHAP.
10
Agus Rahardjo, Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, Hlm 20.
Pengaturan mengenai alat bukti
dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme alat bukti
pemeriksaan tindak pidana terorisme
meliputi :
1. Alat bukti sebagaimana
diatur dalam KUHAP;
2. Alat bukti lain berupa
informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima atau
disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu
dan,
3. Data, rekaman atau
informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan/atau
didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana
baik yang tertuang dalam
kertas, benda fisik apapun
selain kertas atau yang
terekam secara elektronik.
Termasuk tidak terbatas
pada :
1) Tulisan, suara atau
gambar;
2) Peta, rancangan, foto
3) Huruf, tanda, angka,
simbol atau perfoliasi
yang memiliki makna
atau dapat dipahami
oleh orang yang
mampu membaca
atau memahaminya.
Informasi Elektronik telah
mendapat kedudukan sebagai alat
bukti sah dalam pengaturan hukum
pidana di Indonesia khususnya dalam
tindak pidana terorisme sesuai
ketentuan Pasal 27 UU No. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Informasi
Elektronik sebagai alat bukti baik
dalam bentuk informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik
merupakan alat bukti yang berdiri
sendiri, Pasal 27 UU No. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menyebutkan
bahwa informasi elektronik dan atau
dokumen elektronik dan atau hasil
cetakannya merupakan alat bukti
hukum yang sah dan menjadi
perluasan dari alat bukti yang sah.
Berdasarkan ketentuan tersebut
di atas, maka Informasi Elektronik
dalam tindak pidana terorisme
menempatkannya sebagai alat bukti
tersendiri disamping alat bukti yang
dikenal selama ini, sehingga yang
dimaksud perluasan dari alat bukti
yang sah adalah menambah jenis
alat-alat bukti menurut KUHAP,
sehingga bukan merupakan alat bukti
petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam KUHAP karena Informasi
Elektronik sebagai alat bukti dapat
berdiri sendiri tanpa harus berkaitan
dengan alat bukti lainnya. Arti dari
kedudukan Informasi Elektronik
sebagai alat bukti berdiri sendiri,
sebagai perluasan (penambahan)
alat- alat bukti yang dikenal selama
ini, hal tersebut tidak secara tegas
dalam pasal-pasalnya, akan tetapi
dari penjelasan yang ada
menunjukkan kedudukannya sebagai
alat bukti yang berdiri sendiri yang
merupakan perluasan (penambahan)
B. Kekuatan Hukum Alat Bukti
Elektronik Dalam Undang –
Undang Tindak Pidana
Terorisme
Kekuatan hukum Informasi
Elektronik, tidak terlepas dari
alat-alat elektronik itu sendiri dan proses
pengambilan Informasi Elektronik.
Proses pembuktian secara elektronik,
merupakan pembuktian yang
melibatkan berbagai hal terkait
teknologi informasi seperti informasi
dan atau dokumen elektronik dalam
perkara tindak pidana terorisme
namun tetap mendasarkan pada
ketentuan pembuktian sebagaimana
diatur dalam KUHP serta peraturan
perundang-undangan lainnya seperti
UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Pada perkara pidana
biasa/konvensional, alat-alat bukti di
atas merupakan alat bukti yang sah
secara hukum (Pasal 184 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara
Pidana), sepanjang diperoleh melalui
proses yang tidak melanggar hukum.
Pada perkara tindak pidana
terorisme, alat-alat bukti yang sah
dan dapat diungkapkan dalam proses
pembuktian ditentukan berdasarkan
Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yang menegaskan
bahwa informasi dan atau dokumen
elektronik dapat dianggap sebagai
alat bukti yang sah secara hukum
dalam proses pembuktian, khususnya
pada perkara tindak pidana
terorisme. Alat-alat bukti tersebut
merupakan perluasan dari alat-alat
bukti sebagaimana diatur dan berlaku
dalam hukum acara, khususnya
hukum acara pidana, yakni sesuai
ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Dalam ilmu hukum sering
dibedakan antara alat bukti riil dan
alat bukti demonstratif. Yang
dimaksud dengan alat bukti riil
adalah alat bukti yang mempunyai
peranan langsung dalam
membuktikan fakta yang
dipersengketakan, seperti senjata,
peluru, pakaian, kontrak, yang
berhubungan dnegan fakta yang akan
dibuktikan. Jadi, alat bukti tersebut,
merupakan alat bukti riil. Sedangkan
yang dimaksud dengan alat bukti
demonstratif adalah alat bukti yang
membuktikan adanya fakta tertentu,
tetapi alat bukti ini dipergunakan
untuk membuat fakta tersebut
menjadi lebih jelas dan terang serta
lebih dapat cepat dimengerti. Namun,
dalam literatur sering antara alat
bukti riil dan alat bukti demonstratif disatukan dalam “istilah alat bukti
demonstratif11.
Penggunaan beberapa alat
bukti demonstratif di atas berupa
InformasiElektronik, termasuk
rekaman elektronik seperti kamera
tersembunyi (alat penyadap),
rekamangambar, video atausuara
yang tersembunyi melalui alat
perekam gambar, video atau suara,
pesan SMS melalui telepon seluler
pesan suara rekaman telepon, foto,
rekaman suara pilot pesawat dalam
kotak hitam pesawat, dan bukti fisik
lain atau sainstifik yang modern yang
semakin lama semakin banyak dan dimana bahwa rekaman elektronik merupakan bagian kecil dari alat bukti demonstratif yang keududukannya dapat membuat lebih terang dan jelas tentang kasus aau perkara yang sedang diperiksa oleh Hakim dalam persidangan di pengadilan
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Kedudukan alat bukti yang
disebutkan di dalam Pasal 27 UU
No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme termasuk di dalamnya alat
bukti yang berbentuk rekaman
dengan menggunakan sarana
elektronik seperti radio, kamera, tape
redorder, handphone, LCD,
Komputer, dan lain-lain yang
semacamnya (segalajenis media yang
dapatdifungsikanmerakam)
baikitusuara, gambar, dan lain-lain
(untuk lebih singkatnya disebut dengan ”rekaman elektronik”) menurut Romli Atmasasmita bahwa
alat bukti yang disebutkan di
dalamPasal 27 UU No. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme tersebut
merupakan alat bukti yang berdiri
sendiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 20/PUU-XIV/2016, maka suatu
Informasi Elektronik tersebut selain
harus memenuhi syarat formil dan
materil, juga harus dimaknai bahwa
alat bukti elektronik tersebut
hukum atas permintaan para penegak
hukum. Dengan demikian, dalam hal
terdapat suatu alat bukti elektronik
yang diajukan dalam persidangan
diperoleh dengan cara yang tidak sah
atau tanpa adanya permintaan dari
para penegak hukum, maka alat bukti
elektronik tersebut tidak dapat
diperhitungkan sebagai alat bukti
yang sah dipersidangan. Dalam
konteks penegakan hukum sekalipun,
suatu alat bukti elektronik harus
diperoleh melalui prosedur yang
ditentukan oleh undang-undang, oleh
karena itu suatu alat bukti elektronik
yang diperoleh tanpa melalui
prosedur yang ditentukan oleh
undang-undang adalah tidak
dibenarkan.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisa yang telah penulis
uraikan pada bab sebelumnya, dalam
rangka menjawab permasalahan
dalam penelitian ini, maka dalam bab
ini akan diuraikan beberapa hal yang
merupakan kesimpulan dari hasil
penulisan, yaitu :
1. Kedudukan informasi
elektronik sebagai alat bukti
pembuktian tindak pidana
terorismesebagai alat bukti
baru atau menambah alat bukti
baru dan bukan sebagai
perluasan alat bukti yang ada
pada KUHAP, sehingga dapat
berdiri sendiri diluar alat bukti
KUHAP sesuai asas lex
specialis karena undang-undang terorisme merupakan
ketentuan khusus dari alat
bukti yang ada pada KUHAP.
2. Kekuatan alat bukti elektronik
dalam undang undang tindak
pidana terorisme harus
didukung oleh saksi ahli untuk
menjelaskan keaslian dari
Informasi Elektronik tersebut
dan dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan
sehingga menerangkan suatu
keadaan dan alat bukti
Informasi Elektronikharus
penegak hukum yang
berwenang.
B. Saran
1. Perlu perbaikan (revisi) atas
Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, khususnya yang
menyangkut pembuktian
terhadap barang bukti data
elektronik dan produksinya
sebagai alat bukti yang sah
menurut KUHAP.
2. Sebaiknya Hakim menerapkan
sistim pembuktian negatif
dalam mengadili perkara tindak
pidana terorisme dimana
diajukan alat bukti elektronik
sehingga dapat tercapai tujuan
hukum acara pidana untuk
mendapatkan kebenaran
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Agus Rahardjo, Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan
Berteknologi. PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005
Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara di Indonesia, Univ Indonesia, Jakarta, 1990
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia,
Sinar Grafika, Jakarta, 1985
Muhammad Labib dan Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Rafika Aditama, Bandung 2005
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996
B. UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958)
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952, Undang-Undang
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA : ANDRE TANJUNG ORISA
TEMPAT/ TANGGAL LAHIR : TARAKAN, 19 NOVEMBER 1993
AGAMA : ISLAM
ALAMAT : BTN PALUPI PERMAI BLOK C NO 2
PALU
E-MAIL : andreorisaa@gmail.com
PEKERJAAN : MAHASISWA
STATUS : BELUM KAWIN
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD. TAHUN 1999 LULUS TAHUN 2005
2. SMPN TAHUN 2005 LULUS TAHUN 2008
3. SMAN TAHUN 2008 LULUS TAHUN 2011
4. MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TADULAKO
Palu, 20 November 2017
YANG MEMBUAT,