• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME | ORISA | Legal Opinion 9296 30377 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME | ORISA | Legal Opinion 9296 30377 1 PB"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN DAN KEKUATAN HUKUM INFORMASI ELEKTRONIK

DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA TERORISME

ANDRE TANJUNG ORISA/ D 101 11 064

PEMBIMBING

I. Dr. JUBAIR., S.H., M.H.

II. KAMAL., S.H., M.H.

ABSTRAK

Kesimpulan penelitian adalah Kedudukan informasi elektronik sebagai alat bukti pembuktian tindak pidana terorisme sebagai alat bukti baru atau menambah alat bukti baru dan bukan sebagai perluasan alat bukti yang ada pada KUHAP, sehingga dapat berdiri sendiri diluar alat bukti KUHAP sesuai asas lex specialis karena undang-undang terorisme merupakan ketentuan khusus dari alat bukti yang ada pada KUHAP. Kekuatan alat bukti elektronik dalam undang undang tindak pidana terorisme harus didukung oleh saksi ahli untuk menjelaskan keaslian dari Informasi Elektronik tersebut dan dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan dan alat bukti Informasi Elektronikharus diambil atau diperoleh oleh penegak hukum yang berwenang.

Saran penelitian ini: Perlu perbaikan (revisi) atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, khususnya yang menyangkut pembuktian terhadap barang bukti data elektronik dan produksinya sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Sebaiknya Hakim menerapkan sistim pembuktian negatif dalam mengadili perkara tindak pidana terorisme dimana diajukan alat bukti elektronik sehingga dapat tercapai tujuan hukum acara pidana untuk mendapatkan kebenaran materiil.

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat ini, Indonesia telah

berada dalam teknologi elektronik

yang berbasis kepada lingkungan

serba digital1.Dengan perkembangan

teknologi tersebut, menimbulkan

kuantitas kejahatan konvensional

yang dilakukan dengan modus

operandi yang canggih sehingga

dalam proses beracara diperlukan

teknik atau prosedur khusus untuk

mengungkap suatu kejahatan2. Disisi

lain terjadi peningkatan kejahatan

dengan mempergunakan teknologi

informasi sebagai modus operandi

melakukan kejahatan.

Penentuan mengenai cara

bagaimana pengenaan pembuktian

pidana dapat dilaksanakan terhadap

orang yang disangka melakuka

perbuatan pidana diatur di dalam

hokum pidana formal atau Kitab

Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP). Van Bemmelen

menyatakan bahwa,”Ilmu hokum

acara pidana mempelajari

1

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005, Hlm. 31

2

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, Hlm. 3

peraturan yang diciptakan oleh

negara, karena adanya dugaan terjadi

pelanggaran undang - undang

pidana3”.

Pembuktian merupakan

masalah yang memegang peranan

penting dalam proses pemeriksaan

disidang pengadilan. Melalui

pembuktian tersebut ditentukan nasib

terdakwa.Apabila hasil pembuktian

dengan alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang tidak

cukup membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa,

terdakwa dibebaskan dari

hukuman.Sebaliknya, kalau

kesalahan terdakwa dapat dibuktikan

dengan alat-alat bukti yang

diaturdalam Pasal 184 KUHAP,

maka terdakwa dinyatakan bersalah

dan kepadanya akan dijatuhka

nhukuman. Oleh karena itu, hakim

harus berhati-hati, cermat, dan

matang dalam menilai dan

mempertimbangkan nilai

pembuktian, serta meneliti sampai

3

(3)

dimana batas minimum kekuatan

pembuktian (bewijs kracht) dari

setiap alat bukti yang disebut dalam

Pasal 184 KUHAP tersebut.

Pembuktian menurut KUHAP,

menganu tsistem pembuktian

menurut undang-undang secara

negatif (negatief wettelijk stelsel)

yaitu system pembuktian yang

merupakan keseimbangan antara

system keyakinan hakim (conviction

in time) dengan system pembuktian

menurut undang-undang secara

positif (berdasarkan alat-alat bukti

yang ditentukan di dalam

undang-undang).Kedua system ini saling

bertolak belakang secara ekstrim.

Dimana kedua system ini dikenal

dengan system pembuktian secara

negative dengan memadukan antara

keyakinan hakim dengan

undang-undang secara positif4.

Salah satu undang-undang

yang dikecualikan dari KUHAP

dalam hal pembuktian dan alat-alat

buktinya adalah Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang

4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, Hlm. 278

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003)

sebagai undang-undang khusus yakni

terdapat didalam undang-undang ini,

yaitu bukti permulaan dan alat bukti

mengalami perluasan, sebagai diatur

dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal

27 yang memberikan batasan alat

bukti dalam perkara tindak pidana

terorisme yang berbeda dengan alat

bukti yang diatur dalam KUHAP

meliputi:

Bukti permulaan menurut UU

No. 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, dalam penjelasan Pasal

26 menegaskan bahwa:

1. Untuk memperoleh Bukti

Permulaan yang cukup,

penyidik dapat

menggunakan setiap

Laporan Intelijen.

2. Penetapan bahwa sudah

dapat atau diperoleh Bukti

Permulaan yang cukup

sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) harus

dilakukan proses

pemeriksaan oleh Ketua dan

Wakil Ketua Pengadilan

(4)

3. Proses pemeriksaan

sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) dilaksanakan

secara tertutup dalam waktu

paling lama 3 (tiga) hari.

4. Jika dalam pemeriksaan

sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) ditetapkan

adanya Bukti Permulaan

yang cukup, maka Ketua

Pengadilan Negeri segera

memerintahkan

dilaksanakan Penyidikan.

Penetapan suatu Laporan

Intelijen sebagai Bukti Permulaan

dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua

Pengadilan Negeri melalui suatu

proses/mekanisme pemeriksaan

(Hearing) secara tertutup. Hal itu

mengakibatkan pihak intelijen

mempunyai dasar hukum yang kuat

untuk melakukan penangkapan

terhadap seseorang yang dianggap

melakukan suatu Tindak Pidana

Terorisme, tanpa adanya pengawasan

masyarakat atau pihak lain manapun.

Padahal kontrol sosial sangat

dibutuhkan terutama dalam hal-hal

yang sangat sensitif seperti

perlindungan terhadap hak-hak setiap

orang sebagai manusia yang sifatnya

asasi, tidak dapat diganggu gugat.

Selanjutnya Pasal 27 UU No.

15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme menegaskan mengenai

alat bukti sebagai berikut:

1. Alat buki sebagaimana

dimaksud dalam KUHAP5;

2. Alat bukti lain berupa

informasi yang diucapkan,

dikirimkan, diterima, atau

disimpan secara elektronik

dengan alat optik atau

yang serupa dengan itu;

dan

3. Data, rekaman, atau

informasi yang dapat

dilihat, dibaca, dan/atau

didengar, yang dapat

dikeluarkan dengan atau

tanpa bantuan suatu

(5)

yang terekam secara

elektronik termasuk tetapi

tidak terbatas pada:

UU No. 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme sebagai undang-undang

khusus (lex specialis derogat lex

generalis), berarti UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme mengatur secara

materiil dan formil sekaligus,

sehingga terdapat pengecualian dari

asas yang secara umum diatur dalam

KUHP dan KUHAP. Sudikno

Mertokusumo6, Lex specialis derogat

lex generalis, harus memenuhi kriteria:

1. Bahwa pengecualian

terhadap undang-undang

yang bersifat umum,

dilakukan oleh peraturan

yang setingkat dengan

dirinya, yaitu

Undang-Undang.

2. Bahwa pengecualian

termaksud dinyatakan

dalam undang - undang

khusus tersebut, sehingga

pengecualiannya hanya

berlaku sebatas

pengecualian yang

dinyatakan dan bagian

yang tidak dikecualikan

tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan

pelaksanaan

undang-undang khusus tersebut.

Hukum Pidana khusus, bukan

hanya mengatur hukum pidana

materilnya saja, akan tetapi juga

hukum acaranya (formil), oleh

karena itu harus diperhatikan bahwa

(6)

aturan-aturan tersebut seyogyanya

tetap memperhatikan asas-asas

umum yang terdapat baik dalam

ketentuan umum yang terdapat dalam

KUHP bagi hukum pidana

materilnya sedangkan untuk hukum

pidana formilnya harus tunduk

terhadap ketentuan yang terdapat

dalam KUHAP7. Hal tersebut sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam

UU No. 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme yang berkaitan dengan

alat bukti yang diperluas yaitu

mengakui bukti elektronik sebagai

alat bukti selain yang diatur dalam

Pasal 183 KUHAP.

Pada perkembangannya, alat

bukti sebagaimana diatur dalam

KUHAP tidak lagi dapat

mengakomodir perkembangan

teknologi informasi, hal ini

menimbulkan masalah baru. Salah

satunya adalah munculnya kejahatan

teroris baru yaitu cyber terrorism,

tentu saja upaya penegakan hukum

tidak boleh berhenti karena

ketidakadaan hukum yang mengatur

7

Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Univ Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 148

penggunaan barang bukti dan alat

bukti berupa informasi elektronik di

dalam suatu penyelesaian peristiwa

hukum8.

Alat bukti berupa informasi

elektronik saat ini telah

perkembangan dengan pesat, hal ini

turut didukung dengan kemajuan

berbagai teknologi yang dapat

mempermudah pekerjaan dan dapat

dilakukan dengan cara instan, selain

itu maraknya penggunaan informasi

elektronik dan sejenisnya bukan lagi

barang langka. Hal ini tentunya

membuat aktivitas informasi

elektronik bukan hal baru bagi

kebanyakan orang9.

Dalam beberapa kasus,

penguasaan terhadap teknologi

seringkali disalahgunakan untuk

melakukan suatu kejahatan, diantara

ragam kejahatan itu menggunakan

teknologi didalamnya terdapat

kejahatan teroris baru yaitu cyber

terrorism, penanganan cyber terrorism berbeda dengan penanganan terorisme konvensional,

8 Muhammad Labib dan Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Rafika Aditama, Bandung 2005, Hlm. 26: 26

(7)

perbedaannya adalah penggunaan

alat bukti berupa informasi

elektronik.

Apa yang diuraikan dilatar

belakang masalah di atas tentu harus

ditelusuri bukan saja melalui

perundang-undangan yang ada, akan

tetapi juga melalui studi

kepustakaan. Sehingga dapat

ditentukan bagaimana suatu

pembuktian tindak pidana terorisme

yang menggunakan perkembangan

elektronik dianggap sah menurut

hukum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka

yang menjadi rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan

informasi elektronik dalam

pembuktian tindak pidana

terorisme?

2. Bagaimana kekuatan

hokum alat bukti

elektronik dalam undang

undang tindak pidana

terorisme?

II. PEMBAHASAN

A. Kedudukan Informasi

Elektronik Dalam

Pembuktian Tindak Pidana

Terorisme

Terkait dengan pengaturan alat

bukti elektronik sebagaimana

dinyatakan dalam beberapa pasal, di

antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka

4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3).

Alat bukti elektronik tersebut

mempunyai sifat yang berbeda dari

alat bukti umum yang diatur dalam

KUHAP. Salah satu perbedaannnya

adalah bentuknya yang bersifat

digital (non paperbased) sehingga

membutuhkan keahlian khusus untuk

dapat memahami arti dan makna

serta keaslian alat bukti digital

tersebut.

Terkait dengan hal ini, tidak

terdapat pengaturannya dalam UU

No. 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas UU No. I1 Tahun

2008 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik, apakah sebuah

alat bukti elektronik dapat diterima

begitu saja sebagai alat bukti di

persidangan, ataukah harus

(8)

menjamin keaslian alat bukti

tersebut. Hal ini berbeda dengan

praktik di berbagai negara yang

mengatur Standard Operational

Procedure (SOP) terhadap penggunaan alat bukti elektronik,

yang dikembangkan dari SOP yang

dibuat oleh International

Organization of Computer Evidence (IOCE) yang merupakan standar

intenasional.10

Perkembangan teknologi dan

hukum seharusnya berjalan

beriringan, perkembangan ini telah

menyebabkan pergeseran dari media

cetak ke media digital dari dokumen

yang konvensional ke dokumen

elektronik seperti video sebagai lex

specialis, UU No. 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme memiliki

kekhususan secara formil di banding

KUHAP. Salah satu kekhususannya

tersebut adalah terkait penggunaan

alat bukti yang merupakan

pembaharuan proses pembuktian

konvensional dalam KUHAP.

10

Agus Rahardjo, Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, Hlm 20.

Pengaturan mengenai alat bukti

dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme alat bukti

pemeriksaan tindak pidana terorisme

meliputi :

1. Alat bukti sebagaimana

diatur dalam KUHAP;

2. Alat bukti lain berupa

informasi yang diucapkan,

dikirimkan, diterima atau

disimpan secara elektronik

dengan alat optik atau

yang serupa dengan itu

dan,

3. Data, rekaman atau

informasi yang dapat

dilihat, dibaca dan/atau

didengar yang dapat

dikeluarkan dengan atau

tanpa bantuan suatu sarana

baik yang tertuang dalam

kertas, benda fisik apapun

selain kertas atau yang

terekam secara elektronik.

Termasuk tidak terbatas

pada :

1) Tulisan, suara atau

gambar;

2) Peta, rancangan, foto

(9)

3) Huruf, tanda, angka,

simbol atau perfoliasi

yang memiliki makna

atau dapat dipahami

oleh orang yang

mampu membaca

atau memahaminya.

Informasi Elektronik telah

mendapat kedudukan sebagai alat

bukti sah dalam pengaturan hukum

pidana di Indonesia khususnya dalam

tindak pidana terorisme sesuai

ketentuan Pasal 27 UU No. 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme. Informasi

Elektronik sebagai alat bukti baik

dalam bentuk informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik

merupakan alat bukti yang berdiri

sendiri, Pasal 27 UU No. 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme menyebutkan

bahwa informasi elektronik dan atau

dokumen elektronik dan atau hasil

cetakannya merupakan alat bukti

hukum yang sah dan menjadi

perluasan dari alat bukti yang sah.

Berdasarkan ketentuan tersebut

di atas, maka Informasi Elektronik

dalam tindak pidana terorisme

menempatkannya sebagai alat bukti

tersendiri disamping alat bukti yang

dikenal selama ini, sehingga yang

dimaksud perluasan dari alat bukti

yang sah adalah menambah jenis

alat-alat bukti menurut KUHAP,

sehingga bukan merupakan alat bukti

petunjuk sebagaimana dimaksud

dalam KUHAP karena Informasi

Elektronik sebagai alat bukti dapat

berdiri sendiri tanpa harus berkaitan

dengan alat bukti lainnya. Arti dari

kedudukan Informasi Elektronik

sebagai alat bukti berdiri sendiri,

sebagai perluasan (penambahan)

alat- alat bukti yang dikenal selama

ini, hal tersebut tidak secara tegas

dalam pasal-pasalnya, akan tetapi

dari penjelasan yang ada

menunjukkan kedudukannya sebagai

alat bukti yang berdiri sendiri yang

merupakan perluasan (penambahan)

(10)

B. Kekuatan Hukum Alat Bukti

Elektronik Dalam Undang

Undang Tindak Pidana

Terorisme

Kekuatan hukum Informasi

Elektronik, tidak terlepas dari

alat-alat elektronik itu sendiri dan proses

pengambilan Informasi Elektronik.

Proses pembuktian secara elektronik,

merupakan pembuktian yang

melibatkan berbagai hal terkait

teknologi informasi seperti informasi

dan atau dokumen elektronik dalam

perkara tindak pidana terorisme

namun tetap mendasarkan pada

ketentuan pembuktian sebagaimana

diatur dalam KUHP serta peraturan

perundang-undangan lainnya seperti

UU No. 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Pada perkara pidana

biasa/konvensional, alat-alat bukti di

atas merupakan alat bukti yang sah

secara hukum (Pasal 184 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara

Pidana), sepanjang diperoleh melalui

proses yang tidak melanggar hukum.

Pada perkara tindak pidana

terorisme, alat-alat bukti yang sah

dan dapat diungkapkan dalam proses

pembuktian ditentukan berdasarkan

Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, yang menegaskan

bahwa informasi dan atau dokumen

elektronik dapat dianggap sebagai

alat bukti yang sah secara hukum

dalam proses pembuktian, khususnya

pada perkara tindak pidana

terorisme. Alat-alat bukti tersebut

merupakan perluasan dari alat-alat

bukti sebagaimana diatur dan berlaku

dalam hukum acara, khususnya

hukum acara pidana, yakni sesuai

ketentuan Pasal 184 KUHAP.

Dalam ilmu hukum sering

dibedakan antara alat bukti riil dan

alat bukti demonstratif. Yang

dimaksud dengan alat bukti riil

adalah alat bukti yang mempunyai

peranan langsung dalam

membuktikan fakta yang

dipersengketakan, seperti senjata,

peluru, pakaian, kontrak, yang

berhubungan dnegan fakta yang akan

dibuktikan. Jadi, alat bukti tersebut,

merupakan alat bukti riil. Sedangkan

yang dimaksud dengan alat bukti

demonstratif adalah alat bukti yang

(11)

membuktikan adanya fakta tertentu,

tetapi alat bukti ini dipergunakan

untuk membuat fakta tersebut

menjadi lebih jelas dan terang serta

lebih dapat cepat dimengerti. Namun,

dalam literatur sering antara alat

bukti riil dan alat bukti demonstratif disatukan dalam “istilah alat bukti

demonstratif11.

Penggunaan beberapa alat

bukti demonstratif di atas berupa

InformasiElektronik, termasuk

rekaman elektronik seperti kamera

tersembunyi (alat penyadap),

rekamangambar, video atausuara

yang tersembunyi melalui alat

perekam gambar, video atau suara,

pesan SMS melalui telepon seluler

pesan suara rekaman telepon, foto,

rekaman suara pilot pesawat dalam

kotak hitam pesawat, dan bukti fisik

lain atau sainstifik yang modern yang

semakin lama semakin banyak dan dimana bahwa rekaman elektronik merupakan bagian kecil dari alat bukti demonstratif yang keududukannya dapat membuat lebih terang dan jelas tentang kasus aau perkara yang sedang diperiksa oleh Hakim dalam persidangan di pengadilan

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Kedudukan alat bukti yang

disebutkan di dalam Pasal 27 UU

No. 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme termasuk di dalamnya alat

bukti yang berbentuk rekaman

dengan menggunakan sarana

elektronik seperti radio, kamera, tape

redorder, handphone, LCD,

Komputer, dan lain-lain yang

semacamnya (segalajenis media yang

dapatdifungsikanmerakam)

baikitusuara, gambar, dan lain-lain

(untuk lebih singkatnya disebut dengan ”rekaman elektronik”) menurut Romli Atmasasmita bahwa

alat bukti yang disebutkan di

dalamPasal 27 UU No. 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme tersebut

merupakan alat bukti yang berdiri

sendiri.

Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 20/PUU-XIV/2016, maka suatu

Informasi Elektronik tersebut selain

harus memenuhi syarat formil dan

materil, juga harus dimaknai bahwa

alat bukti elektronik tersebut

(12)

hukum atas permintaan para penegak

hukum. Dengan demikian, dalam hal

terdapat suatu alat bukti elektronik

yang diajukan dalam persidangan

diperoleh dengan cara yang tidak sah

atau tanpa adanya permintaan dari

para penegak hukum, maka alat bukti

elektronik tersebut tidak dapat

diperhitungkan sebagai alat bukti

yang sah dipersidangan. Dalam

konteks penegakan hukum sekalipun,

suatu alat bukti elektronik harus

diperoleh melalui prosedur yang

ditentukan oleh undang-undang, oleh

karena itu suatu alat bukti elektronik

yang diperoleh tanpa melalui

prosedur yang ditentukan oleh

undang-undang adalah tidak

dibenarkan.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari analisa yang telah penulis

uraikan pada bab sebelumnya, dalam

rangka menjawab permasalahan

dalam penelitian ini, maka dalam bab

ini akan diuraikan beberapa hal yang

merupakan kesimpulan dari hasil

penulisan, yaitu :

1. Kedudukan informasi

elektronik sebagai alat bukti

pembuktian tindak pidana

terorismesebagai alat bukti

baru atau menambah alat bukti

baru dan bukan sebagai

perluasan alat bukti yang ada

pada KUHAP, sehingga dapat

berdiri sendiri diluar alat bukti

KUHAP sesuai asas lex

specialis karena undang-undang terorisme merupakan

ketentuan khusus dari alat

bukti yang ada pada KUHAP.

2. Kekuatan alat bukti elektronik

dalam undang undang tindak

pidana terorisme harus

didukung oleh saksi ahli untuk

menjelaskan keaslian dari

Informasi Elektronik tersebut

dan dianggap sah sepanjang

informasi yang tercantum di

dalamnya dapat diakses,

ditampilkan, dijamin

keutuhannya, dan dapat

dipertanggungjawabkan

sehingga menerangkan suatu

keadaan dan alat bukti

Informasi Elektronikharus

(13)

penegak hukum yang

berwenang.

B. Saran

1. Perlu perbaikan (revisi) atas

Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana, khususnya yang

menyangkut pembuktian

terhadap barang bukti data

elektronik dan produksinya

sebagai alat bukti yang sah

menurut KUHAP.

2. Sebaiknya Hakim menerapkan

sistim pembuktian negatif

dalam mengadili perkara tindak

pidana terorisme dimana

diajukan alat bukti elektronik

sehingga dapat tercapai tujuan

hukum acara pidana untuk

mendapatkan kebenaran

(14)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Agus Rahardjo, Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan

Berteknologi. PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006

Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap

Keamanan Negara di Indonesia, Univ Indonesia, Jakarta, 1990

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia,

Sinar Grafika, Jakarta, 1985

Muhammad Labib dan Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Rafika Aditama, Bandung 2005

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996

B. UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1958)

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952, Undang-Undang

(15)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : ANDRE TANJUNG ORISA

TEMPAT/ TANGGAL LAHIR : TARAKAN, 19 NOVEMBER 1993

AGAMA : ISLAM

ALAMAT : BTN PALUPI PERMAI BLOK C NO 2

PALU

E-MAIL : andreorisaa@gmail.com

PEKERJAAN : MAHASISWA

STATUS : BELUM KAWIN

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD. TAHUN 1999 LULUS TAHUN 2005

2. SMPN TAHUN 2005 LULUS TAHUN 2008

3. SMAN TAHUN 2008 LULUS TAHUN 2011

4. MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TADULAKO

Palu, 20 November 2017

YANG MEMBUAT,

Referensi

Dokumen terkait

Kapital (dana) boleh dikata adalah “darah” bagi bisnis. Kekurangan kapital akan menyebabkan bisnis lesu. Oleh karena itu, uang harus dikelola dengan benar agar bisnis dapat

Untuk tahap dream, pada kelompok ini berharap dengan mempunyai kemampuan yang meningkat dalam pencatatan keuangan usaha, maka dapat bersinergi dengan Lembaga Keuangan

adalah menurunnya religiusitas remaja yang dilihat dari banyaknya remaja yang aktif bermain game online meninggalkan kegiatan ibadah seperti sholat 5 (lima)

Dengan adanya aplikasi penyewaan futsal berbasis web , maka pihak penyewa dapat melihat data – data customer yang memesan lapangan secara otomatis dan juga melihat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh profitabilitas, leverage, kepemilikan institusional, dan investment opportunity set (IOS) terhadap nilai

Fokus yang harus ditingkatkan dalam integrasi transportasi antarmoda di bandar udara antara lain perluasan fasilitas pendaftaran calon penumpang pesawat udara sebelum

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil pembahasan sebelumnya maka simpulan yang didapatkan sebagai berikut : (1) Evaluasi berbasis Computer Based Test

Gambaran status gizi berdasarkan indeks tinggi badan per umur pada anak talasemia β mayor di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.. Djamil Padang memperlihatkan