• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan BP.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan BP.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM

PERJANJIAN JUAL-BELI PERUMAHAN PROPERTI

DENGAN BP.GROUP MEDAN DITINJAU DARI UU NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

NIM : 100200258

HARUN JULIANTO CHRISTIANSON SITOHANG

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM

PERJANJIAN JUAL-BELI PERUMAHAN PROPERTI

DENGAN BP.GROUP MEDAN DITINJAU DARI UU NOMOR 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh :

NIM : 100200258

HARUN JULIANTO CHRISTIANSON SITOHANG

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

NIP : 1966033185081001 Dr. H. Hasim Purba,S.H.,M.Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

M.Husni.,S.H.,M.Hum

NIP : 195802021988031004 NIP : 195008081980021002 M.Hayat., S.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

karena anugerah dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul : Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan Bp.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan-bantuan

banyak pihak, oleh karena itu penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Terima kasih penulis sampaikan khusus buat Bapakku Jonny Sitohang dan

Ibuku Kartini Tambunan, yang telah membesarkan dan mendidik sehingga penulis

bisa menjadi seperti yang sekarang ini, juga selalu memberikan motivasi dan

dorongan kapanpun, dimanapun yang sangat berarti bagi penulis, terima kasih atas

kasih sayang dan kesabarannya selama ini. Semoga penulis dapat selalu membuat

papa dan mama bahagia dan bangga. Terima kasih juga buat abang dan

adik-adikku yang selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan

dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

(4)

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara,

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

3. Prof. Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H, DFM, sebagai Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

5. Dr. H. Hasim Purba, S.H.,M.Hum. sebagai Ketua Jurusan Departemen

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum sebagai Sekretaris Departemen

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

7. M. Husni, S.H.,M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I, yang membimbing

dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi

ini,

8. M. Hayat, S.H. sebagai Dosen Pembimbing II, yang membimbing dan

mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini,

9. Sahabat terkasih saya Zorro B.T.Saragih yang tiada henti selalu

mendampingi dalam suka maupun duka dan selalu memberikan motivasi

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini

10.Teman-teman sepergerakan di GMKI yang selalu melayani baik dalam

keadaan senang ataupun sulit, yang selalu memberikan dukungan kepada

(5)

11.Teman Seperjuangan saya Abangnda, anggie sihotang yang selalu

memberikan arahan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

Akhir kata, seperti pepatah tak ada gading yang tak retak, penulis

menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tak luput dari kekurangan-kekurangan,

maka dari itu penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua..

Penulis

(6)

“ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN PROPERTI DENGAN BP.

GROUP MEDAN DITINJAU DARI UUPK” Harun Sitohang*

M. Husni, S.H., M.Hum** M. Hayat, S.H.***

ABSTRAK

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, baik untuk tempat tinggal, tempat usaha, perkantoran, dan lain sebagainya. Kepemilikan rumah biasanya sering kali terjadi karena adanya jual beli. Namun, demikian, belum semua anggota masyarakat dapat menikmati atau memiliki rumah yang layak, sehat aman dan serasi. Saat ini telah berkembang suatu kebiasaaan di dunia properti sistem indent, ready stock untuk memasarkan rumah yang sedang dibangun, bahkan belum dibangun, oleh karena itu untuk sebagai pengganti akta jual beli yang tidak mungkin diterbitkan sebelum rumah selesai dibangun, diadakanlah perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah yang berisikan hak-hak dan kewajiban konsumen dan developer. PPJB ini disusun secara sepihak oleh pihak developer, serta bersifat baku dan isinya standar. Namun, mengingat yang membuat PPJB adalah pihak developer, tentunya ada kecenderungan faktor subjektifitas yang menguntungkan developer dan dapat merugikan konsumen.

Hukum Perlindungan Konsumen melalui berbagai peraturan yang terkandung di dalamnya mencoba mengatasi masalah-masalah yang selama ini berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen, yakni melalui pengaturan klausula baku, laranganbagi pelaku usaha, hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen, dan sebagainya. Berdasarkan UUPK ini jugalah penulis menganalisis materi PPJB Bp.Group Medan dengan menggunakan metode penelitian field research yang didukung dengan library research, untuk melihat apakah suda terjaminnya kepentingan konsumen di dalam PPJB atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian penulis berpendapat bahwa memang terdapat beberapa klausul dalam PPJB, baik yang ditinjau dari UUPK, bahkan SK Menteri Perumahan Rakyat No. 9 Tahun 1995 tentang pedoman pengikatan Jual Beli Rumah yang berpotensi merugikan konsumen. Oleh karena itu, harus ada tindakan preventif dan repreship yang tegas dari pemerintah dalam klausula baku ini, mengingat klausula baku tersebut sudah menjadi bagian umum dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai hal, baik dalam dunia usaha, perkantoran, maupun rumah pribadi.

Kata Kunci : Rumah, Hukum Perlindungan Konsumen ________________________

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

DAFTAR ISI

C. Tujuan dan manfaat penelitian ... 5

D. Keaslian penulisan ... 6

E. Tinjauan kepustakaan ... 7

F. Metode penelitian ... 8

G. Sistematika penulisan ... 10

BABII TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1999 ... 12

A. Latar Belakang Hukum Perlindungan Konsumen ... 12

B. Pengertian Konsumen dan hukum perlindungan konsumen .... 16

C. Asas, prinsip, dan tujuan hukum perlindungan konsumen ... 21

D. Hak dan kewajiban konsumen ... 27

E. Hak dan kewajiban pelaku usaha ... 41

BAB III PERJANJIAN JUAL- BELI PERUMAHAN BP. GROUP MEDAN ... 44

A. Proses Terjadinya Perjanjian Jual- Beli Perumahan Bp. Group Medan ... 44

B. Syarat- syarat Perjanjian Jual- Beli Perumahan Bp. Group Medan ... 50

C. Cara Pembayaran Dalam Perjanjian Jual- Beli ... 55

(8)

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL- BELI PERUMAHAN PROPERTI

BP. GROUP MEDAN ... 63

A. Keabsahan Jual beli perumahan Bp. Group Medan ... 63

B. Aspek hukum dalam perjanjian jual beli rumah Bp. Group Medan ... 68

C. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran jual-beli rumah properti ... 73

D. Penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran jual-beli rumah properti ... 76

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

(9)

“ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI PERUMAHAN PROPERTI DENGAN BP.

GROUP MEDAN DITINJAU DARI UUPK” Harun Sitohang*

M. Husni, S.H., M.Hum** M. Hayat, S.H.***

ABSTRAK

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, baik untuk tempat tinggal, tempat usaha, perkantoran, dan lain sebagainya. Kepemilikan rumah biasanya sering kali terjadi karena adanya jual beli. Namun, demikian, belum semua anggota masyarakat dapat menikmati atau memiliki rumah yang layak, sehat aman dan serasi. Saat ini telah berkembang suatu kebiasaaan di dunia properti sistem indent, ready stock untuk memasarkan rumah yang sedang dibangun, bahkan belum dibangun, oleh karena itu untuk sebagai pengganti akta jual beli yang tidak mungkin diterbitkan sebelum rumah selesai dibangun, diadakanlah perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah yang berisikan hak-hak dan kewajiban konsumen dan developer. PPJB ini disusun secara sepihak oleh pihak developer, serta bersifat baku dan isinya standar. Namun, mengingat yang membuat PPJB adalah pihak developer, tentunya ada kecenderungan faktor subjektifitas yang menguntungkan developer dan dapat merugikan konsumen.

Hukum Perlindungan Konsumen melalui berbagai peraturan yang terkandung di dalamnya mencoba mengatasi masalah-masalah yang selama ini berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen, yakni melalui pengaturan klausula baku, laranganbagi pelaku usaha, hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen, dan sebagainya. Berdasarkan UUPK ini jugalah penulis menganalisis materi PPJB Bp.Group Medan dengan menggunakan metode penelitian field research yang didukung dengan library research, untuk melihat apakah suda terjaminnya kepentingan konsumen di dalam PPJB atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian penulis berpendapat bahwa memang terdapat beberapa klausul dalam PPJB, baik yang ditinjau dari UUPK, bahkan SK Menteri Perumahan Rakyat No. 9 Tahun 1995 tentang pedoman pengikatan Jual Beli Rumah yang berpotensi merugikan konsumen. Oleh karena itu, harus ada tindakan preventif dan repreship yang tegas dari pemerintah dalam klausula baku ini, mengingat klausula baku tersebut sudah menjadi bagian umum dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai hal, baik dalam dunia usaha, perkantoran, maupun rumah pribadi.

Kata Kunci : Rumah, Hukum Perlindungan Konsumen ________________________

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di indonesia, maka

kebutuhan masyarakat akan rumah semakin meningkat. Pembangunan perumahan

merupakan salah satu upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia,

sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada

pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan pekerjaan serta menggerakkan

kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahterahan

masyarakat.Sehubungan dengan itu upaya pembangunan perumahan terus

ditingkatkan, untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang makin

meningkat, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat terutama golongan

yang berpenghasilan rendah dan dengan tetap memperhatikan persyaratan,

minimum bagi perumahan yang layak, sehat, aman dan serasi.

Dalam pembangunan perumahan, perlu diperhatikan kondisi dan

pengembangan nilai- nilai sosial budaya masyarakat, laju pertumbuhan penduduk

dan penyebarannya, pusat- pusat produksi dan tata guna tanah dalam rangka

membina kehidupan masyarakat yang maju. Pembangunan perumahan harus

sebagai perwujudan pengamalan penataan ruang.1

Pemilikan rumah oleh masyarakat dapat terdiri dari berbagai cara, diantaranya

dapat diperoleh melalui pemberian subsidi rumah oleh pemerintah bagi pegawai

1

Herman Hermit. 2009. Komentar Atas Undang – Undang Perumahan dan

(11)

negeri, dan secara umumnya adalah melalui peralihan hak dan atau jual beli. Dan

yang paling berkembang pada saat ini ialah kepemilikan rumah melalui properti

yang dilakukan secara cash maupun kredit. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

pada umumnya semua masyarakat adalah konsumen pengarumahan, dimana

sudah sewajarnya untuk dilindungi oleh peraturan hukum yang berkaitan dengan

jual beli rumah, untuk menghindari sengketa maupun kerugian yang dapat dialami

oleh setiap konsumen serta menciptakan suatu kepastian hukum.

Peranan konsumen diarasakan sangat berpengaruh dalam menjaga

keerlangsungan perekonomian , namun pada kenyataannya konsumen sebagai

salah satu pelaku ekonomi posisinya sangat lemah terutama dalam hal

perlindungan hukum. Hal ini dapat kita lihat dengan dibuatnya formulir- formulir

standar yang mengikat atau lebih dikenal dengan perjanjian baku.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perjanjian baku ini adalah perjanjian

atau persetujuan yang dibuat para pihak mengenai sesuatu hal yang telah

ditentukan secara baku ( standar ) serta dituangkan secara tertulis. Di dalam

perjanjian baku ini sering dimuat klausula- klausula pengecualian ( exemption

clause ), misalkan: meniadakan tanggung jawab pengembang dalam hal terlambat

menyerahkan bangunan, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran

uang muka, akan dikenakan penalti atau denda, membebaskan pengembang dari

klaim atau kondisi maupun kualitas bangunan yang melampaui batas waktu 100 (

(12)

Hondius menyebut pembuat kontrak standar itu sebagai “ pembuat undang-

undang swasta “ atau “ hakim swasta “.2

Dari jenis pengaduan konsumen perumahan yang sampai pada YLKI, secara

umum ada dua yakni :

Lebih lanjut dikatakannya adanya

penyalahgunaan keadaaan ( misbruik van omstandigheiden ), karena pihak lain

berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai

“ hakim swasta “.

Pertama, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran hak- hak individual konsumen perumahan, seperti mutu

bangunan dibawah standar, ukuran luas tanah tidak sesuai dan lain- lain.

Kedua, pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat pelanggaran hak- hak kolektif konsumen perumahan, seperti tidak dibangunnya fasilitas

sosial/ umum, sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim/

informasi dalam iklan, brosur, dan pameran perumahan.

Bahkan tidak jarang harga jual yang sudah disepakatai ternyata tidak

diikuti dengan pelayanan yang baik kepada konsumen perumahan baik pelayanan

prajual maupun purnajual. Keadaan ini sering membuat konsumen menjadi

kecewa dan mengadukan permasalahn- permasalahan yang dialaminya, baik di

media massa maupun lewat lembaga- lembaga perlindungan konsumen. Sering

kali penyelesaian keluhan atau komplain konsumen itu tidak wajar bagi

2

E.H. Hondius, “ Syarat- syarat Baku dalam Hukum Kontrak “, dalam Kompendium Hukum Belanda

(13)

konsumen, bahkan sangat mengecewakan sehingga tentunya menambah

kekecewaannya.

Melihat banyak sekali penyimpangan- penyimpangan yang terjadi dalam

pelaksanaan penjual rumah properti ini, khususnya terhadap konsumen

perumahan, maka penulis menganggap penting pembahasan mengenai perjanjian

jual beli rumah yang berbentuk perjanjian baku , dengan membandingkannya

dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.

B. Permasalahan

Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis dari berbagai informasi,

literature serta peristiwa- peristiwa yang terjadi di masyarakat dalam hal

pembelian dan penjualan perumahan, maka permasalahan yang penulis angkat

dalam skripsi ini adalah :

a. Apakah prosedur-prosedur dalam jual beli rumah properti yang dilakukan

oleh Bp. Group medan telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku?

b. Aspek hukum apa yang dihadapi dalam perlindungan konsumen oleh Bp.

Group Medan ?

c. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran jual beli

perumahan ?

d. Bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dan

(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun penulis mengangkat judul skripsi tentang “ aspek perlindungan

hukum konsumen dalam perjanjian jual beli perumahan properti dengan Bp.

Group medan “. Ingin melakukan penelitian yang bertujuan :

a. Ingin mengetahui secara konkrit bagaimana pelaksanaaan perjanjian

jual-beli perumahan yang dilakukan oleh Bp. Group medan sudah memenuhi

unsur- unsur hukum dan kepastian hukum.

b. Untuk mengetahui aspek hukum apa sajakah yang ditimbulkan akibat

tidak dilindunginya hak konsumen.

c. Untuk mengetahui sejauhmana pertanggungjawaban dari pelaku usaha

apabila terjadi pelanggaran dalam jual beli rumah

d. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa konsumen apabila

terjadi pelanggaran dalam jual beli rumah properti.

Adapun manfaat dari penelitian penulisan skripsi ini adalah :

a. Secara Teoritis

- Untuk lebih mengetahui secara mendalam mengenai prosedur- prosedur

jual beli perumahan yang sah dan sesuai dengan prosedur hukum yang

berlaku serta lebih khususnya bagi perlindungan konsumen terhadap

jual-beli perumahan tersebut.

- Untuk mengetahui prosedur maupun langkah-langkah baik litigasi maupun

(15)

b. Secara Praktis :

- Dapat menambah wawasan maupun ilmu pengetahuan mengenai jual beli

perumahan properti

- Agar masyarakat khususnya konsumen dapat mengetahui apasaja yang

menjadi hak-haknya apabila terjadi pelanggaran terhadap jual beli

perumahan serta apabila perlindungan hukum terhadap konsumen itu

dilanggar.

D. Keaslian Penulisan

Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian jual- beli

perumahan Properti dengan Bp. Group Medan Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen “ sengaja diangkat penulis sebagai judul

skripsi karena telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan ini diselesaikan

berdasarkan data- data yang dikumpulkan oleh penulis sendiri dari berbagai

sumber, seperti melalui bacaan, berdasarkan hasil wawancara.

Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat.

Kalaupun ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah

berbeda. Sebagai contoh skripsi yaitu :

1. Wilma Silalahi/ 930200238, Perjanjian yang timbul sehubungan

dengan jual- beli perumahan Real Estate pada PT. Ira widya utama

(16)

2. Reni Andawita/ 950200138, Perjanjian jual beli perumahan dan

jaminan terhadap konsumen oleh pihak developer ( studi kasus : perum

perumnas Helvetia Medan )

3. Adi Suryadi Tarigan/ 95020002, Tanggung jawab Pt. Unitwin

indonesia medan sebagai developer kepada konsumen dalam

perjanjian jual beli perumahan ( studi kasus perumahan cemara hijau

medan )

Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung

jawabkan secara akademis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Istilah konsumen berasal dari kata Consumer ( Inggris- Amerika ), atau

Consument/ konsument ( Belanda )3. Dalam kamus Bahasa Inggris- Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen4. Ada juga yang

memberi batasan bahwa konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang

atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu5

3

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen , Diadit Media, Jakarta Pusat, 2002, hal 3

. Hukum Konsumen menurut Az

Nasution adalah : “ Keseluruhan asas- asas dan kaidah- kaidah yang mengatur

hubungan dan masalah penyedia dan penggunaan produk ( barang dan jasa )

antara penyedia dan penggunaannya, dalam kehidupan masyarakat”. Sedangkan

Batasan berikutnya adalah batasan Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu : “

4

John M. Eshols & Hasan Sadly, kamus inggris- indonesia , Gramedia, Jakarta, 1996, hal 124

5

(17)

keseluruhan asas- asas dan kaidah- kaidah yang mengatur dan melindungi

konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.6 Cakupan Hukum Perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua

aspek, yaitu:7

1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada

konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil

kepada konsumen.

Tegasnya, hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan

peraturan perundang-undangan, baik undang-undang maupun peraturan

perundang-undangan lainnya serta putusan-putusan hakim yang

substansinya mengatur mengenai kepentingan konsumen.8

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian

hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan dan

kemudian dianalisis terhadap data yang dikumpulkan tersebut.

1. Bentuk Penulisan

6

Asas-asas dan kaidah-kaidah yang dimaksud adalah asas-asas dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lihat dalam Az. Nasution,Op.cit., h.22-23.

7

Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 152.

8

(18)

Penulisan skripsi ini menggunakan bentuk penilitian normatif empiris

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder, yang

meliputi :

a. Hukum primer , berupa peraturan perundang- undangan yang bersifat

mengikat dan disahkan oleh oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini

yang digunakan adalah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen .

b. Bahan hukum sekunder ; berupa bahan yang berhubungan erat dengan

topic penulisan skripsi, seperti: buku- buku karangan para sarjana, hasil

penelitian maupun situs internet.

2. Alat Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan data- data yang

diperlukan dengan dua cara :

1. Penelitian Lapangan ( Field research ) ; yakni dengan mengadakan

wawancara kepada General Manager dan staf pada Bp. Group Medan.

2. Penelitian Kepustakaan ( Library research ) : yakni dengan membaca,

mempelajari dan menganalisa buku- buku yang berhubungan dengan

(19)

3. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 ( lima ) bab, dimana masing- masing bab

dibagi lagi atas beberapa sub bab. Uraian singkat atas bab- bab dan sub- sub bab

tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

1. Bab Pertama merupakan bab yang menguraikan tentang hal- hal yang

umum yang mendasari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar

belakang, permasalahan, manfaat dan tujuan penulisan, keaslian penulisan,

tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

2. Bab Kedua merupakan bab yang berisi tentang gambaran umum tentang

perlindungan tentang konsumen dan perlindungan konsumen, yang

dimulai dengan latar belakang hukum perlindungan konsumen, pengertian

konsumen dan hukum perlindungan konsumen, asas, prinsip, dan tujuan

hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen, serta hak

dan kewajiban pelaku usaha.

3. Bab Ketiga merupakan bab yang menguraikan gambaran mengenai

developer dan konsumen perumahan, yang dimulai dari pengertian

developer, pengertian konsumen perumahan, hak dan kewajiban konsumen

perumahan, hak dan kewajiban developer dan hubungan konsumen dan

developer dalam kontrak baku.

4. Bab Keempat ini merupakan bab yang membahas tentang pokok

permasalahan yakni aspek perlindungan hukum konsumen dalam

perjanjian jual – beli perumahan properti dengan Bp. Group Medan

(20)

Keabsahan jual beli rumah yang ditawarkan Bp. Group Medan, aspek

hukum yang timbul dalam perjanjian jual beli perumahan Bp. Group

Medan, Tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran jual- beli

rumah properti, penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran jual-

(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. LATAR BELAKANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena

menyangkut aturan- aturan guna mensejahterahkan masyarakat, bukan saja

masyarakat selaku konsumen saja mendapat perlindungan, namun pelaku usaha

juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing- masing

ada hak dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, mengawasi dan

mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan

yang lain dengan demikian tujuan menyejahterahkan masyarakat secara luas dapat

tercapai.

Perhatian terhadap perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat (

1960- 1970-an ) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi

objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Banyak sekali artikel

dan buku yang ditulis berkenaan dengan gerakan ini. Di amerika serikat bahkan

pada era tahun – tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan

dijatuhkan putusan- putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.

Fokus gerakan perlindungan konsumen ( konsumerisme ) dewasa ini

sebenarnya masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke- 20. Di indonesia,

gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di amerika

serikat. YLKI yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen

di indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 mei 1973. Gerakan di

(22)

Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB ( ECOSOC ) No. 2111 Tahun 1978

tentang Perlindungan Konsumen. 9

Adapun yang membelatar belakangi lahirnya hukum perlindungan konsumen

ini, antara lain :

1. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas

Negeri- negeri yang sekarang ini disebut negara- negara maju telah menempuh

pembangunannya melalui tiga tingkat : unifikasi, industrilalisasi, dan negara

kesejahterahan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah

bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan

nasional. Tingkat kedua, pejuangan untuk pembangunan ekonomi dan

modernisasi politik. Akhirnya pada tingkat ketiga tugas negara yang terutama

adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrilalisasi, membetulkan

kesalahan- kesalahan pada tahap- tahap sebelumnya dengan menekankan

kesejahterahan masyarakat.

Sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah

perlindungan konsumen semakin meningkat. Gerakan perlindungan konsumen

sejak lama dikenal di dunia barat. Organisasi dunia seperti PBB pun tidak

kurang perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan keluarnya

Resolusi Perserikatan Bangsa- Bangsa No. 39/ 248 Tahun 1985. Dalam

resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya- bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

9

(23)

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan

kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen

Pada situasi ekonomi global dan menuju era perdagangan bebas, upaya

mempertahankan pelanggan/ konsumen atau mempertahankan pasar atau

memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas merupakan dambaan bagi setiap

produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha . Persaingan yang

semakin ketat ini juga dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen

pada umumnya.

2. Hubungan antara Produsen dan Konsumen

Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen dengan konsumen

merupakan hubungan yang terus- menerus dan berkesinambungan. Hubungan

tersebut terjadi karena keduanya memang saling mengkhendaki dan mempunyai

tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara satu dengan yang lain.10

Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak

proses produksi, distribusi pada pemasaran dan penawaran. Hal tersebut secara

sistematis dimanfaatkan oleh produsen dalam suatu sistem distribusi dan

10

(24)

pemasaran produk barang guna mencapai tingkat produktivitas dan efektifitas.

Kemudian, dengan semakin meningkatnya permintaan dari konsumen akan suatu

barang menuntut produsen untuk meningkatkan produktivitasnya secara massal,

maka peran negara sangat dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan

konsumen pada umumnya.

Perlunya undang- undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya

posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Secara tidak langsung, hukum ini

mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab,

sedangkan secara langsung untuk meningkatkan martabat dan kesadaran

konsumen. Adapun kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen

di Indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan hak.

Bertolak dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap hak

konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh

sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan

dan kompherenshif sehingga terjadi suatu persaingan yang jujur yang secara

langsung atau tidak langsung menguntungkan konsumen.

B. PENGERTIAN KONSUMEN DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Istilah konsumen dapat kita jumpai dalam Undang- Undang Perlindungan

Konsumen ( Undang- undang No. 8 Tahun 1999 ) atau yang sering disebut dengan

UUPK , yakni terdapat dalam Pasal 1 , butir 2 bahwa konsumen adalah setiap

(25)

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk idup lain dan tidak

untuk diperdagangkan.

Pengertian konsumen dalam UUPK di atas lebih luas bila dibandingkan

dengan 2 ( dua ) rancangan undang- undang perlindungan konsumen lainnya,

yaitu pertama dalam Rancangan Undang- Undang Perlindungan Konsumen yang

diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa

:11

“ Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang

tidak untuk diperdagangkan kembali. “

Sedangkan yang kedua dalam naskah final Rancangan Akademik Undang-

Undang Tentang Perlindungan Konsumen ( selanjutnya disebut Rancangan

Akademik ) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja

sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen

Perdagangan RI menentukan bahwa, konsumen adalah setiap orang atau keluarga

yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.12

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “ korban produk yang

cacat “ yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga korban yang bukan

pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh

perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa pengertian

konsumen bersumber dari Product Liability Directive ( selanjutnya disebut

11

Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang Rancangan Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Yayasan Lembaga konsumen, Jakarta, 1981, hlm. 2.

12

(26)

Directive ) sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan

Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Dirrective tersebut yang berhak

menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian ( karena kematian

atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu

sendiri13

Di spanyol, konsumen diistilahkan tidak hanya individu ( orang ), tetapi juga

suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang

menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga

dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. .

14

Pengertian konsumen bukan hanya beraneka ragam, tetapi juga merupakan

pengertian yang luas, seperti yang dilukiskan secara sederhana oleh mantan

Presiden Amerika Serikat Jhon F. Kennedy dengan mengatakan, “ Consumers by

definition Include us all “. Meskipun beraneka ragam dan luas, dapat juga

diberikan unsur terhadap definisi konsumen, yaitu :

1. Setiap orang

Disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berperan sebagai

pemakai barang/ atau jasa. Istilah “ orang sebetulnya tidak membatasi

pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan , namun konsumen

juga harus mencakup badan usaha, dengan makna luas daripada badan hukum.

Dalam UUPK digunakan kata “ pelaku usaha“

2. Pemakai

13

Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya, Makalah, Elips Project, Ujungpandang, 1996, hlm. 13.

14

(27)

Konsumen memang tidak sekedar pembeli, tetapi semua orang (

perorangan atau badan usaha ) yang mengkonsumsi jasa dan/ atau jasa barang.

Jadi yang paling penting terjadinya transaksi konsumen berupa peralihan

barang dan/ atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam

menggunakannya.

3. Barang dan/ atau jasa

Undang- undang Perlindungan Konsumen ( UUPK ) mengartikan barang

sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,

yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan

oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/ atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus

tersedia di pasar. Dalam perdagangan yang semakin komplek dewasa ini,

syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup

lain.

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu

mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak

sekedar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/ atau jasa

(28)

6. Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Batasan ini terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup

pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya sulit untuk menetapkan

batas- batas seperti itu.

Dalam pengertian masyarakat umum saat ini, bahwa konsumen itu adalah

pembeli,penyewa, nasabah ( penerima kredit ) lembaga jasa perbankan atau

asuransi penumpang angkutan umum atau pada pokok langganan dari para

pengusaha15

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum.

Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan

(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya konsumen itu pelaksanaannya

berhak untuk dilandasi oleh perlindungan hukum atau yang pada kesehariannya

dikenal dengan istilah “ hukum perlindungan konsumen “

. Pengertian masyarakat ini tidaklah salah, sebab secara yuridis,

dalam kitab Undang- Undang Hukum Perdata, terdapat subjek- subjek hukum

dalam hukum perikatan yang bernama pembeli, penyewa, peminjam-pakai, dan

sebagainya.

Ada juga yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan

bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az, Nasution, misalnya

berpendapat bahwa hukum konsumen yang memuat asas- asas atau kaidah- kaidah

yang mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

konsumen. 16

15

Az. Nasution, Konsumen Dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal 68

Az Nasution mengakui, asas- asas dan kaidah- kaidah hukum yang

16

(29)

mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang

hukum.

Menurut business English Dictionary, perlindungan konsumen adalah

protecting consumers against unfair or illegal traders.17

Maka, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas- asas dan

kaidah- kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan

masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan

konsumen merupakan keseluruhan peraturan perundang- undangan, baik undang-

undang maupun peraturan perundang- undangan lainnya serta putusan – putusan

hakim yang substansinya mengatur mengenai kepentingan konsumen.

Perlindungan konsumen

adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang

diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya hal –

hal yang merugikan konsumen itu sendiri.

18

C. Asas, Prinsip Dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Di dalam Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan Konsumen dikatakan

bahwa: “ perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Memperhatikan

substansi Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan Konsumen demikian pula

penjelasannya, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 ( lima ) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan

17

Peter Colin, Op. Cit., h. 61.

18

(30)

manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan untuk

memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha,

dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukumn.”

Adapun di dalam perlindungan konsumen adanya suatu prinsip – prinsip,

prinsip tentang tanggung merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum

perlindungan konsumen. Dalam kasus - kasus pelanggaran hak konsumen

diperlukan kehati – hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung

jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak- pihak

yang terkait.19

19

(31)

Secara umum, prinsip- prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan

sebagai berikut :

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan ( fault liability atau

liability based on fault ) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam

hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata,

khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara terguh.

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal

tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur

pokok, yaitu ( 1 ). Adanya perbuatan, ( 2 ). Adanya unsur kesalahan, ( 3 ).

Adanya kerugian yang diderita, ( 4 ). Adanya hubungan kualitas dan

kerugian.

Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan

hukum. Pengertian “ hukum “, tidak hanya bertentangan dengan undang-

undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Ketentuan di

atas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara. Yakni asas audi et

alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang

berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak nbeban yang seimbang

dan patut sehingga masing – masing memiliki kesempatan yang sama untuk

(32)

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (

presumption of liability principle ), sampai ia dapat membuktikan ia tidak

bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Tampak beban

pembuktian terbalik ( omkering van bewijslast ) diterima dalam prinsip

tersebut. Undang- Undang Perlindungan Konsumen juga mengadopsi sistem

pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 (

lihat ketentuan Pasal 28 UUPK ).

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah

seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan

sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak

bersalah ( presumption of innocence ) yang lazim dikenal dalam hukum.

Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian

cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk

membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat

ini yang harus menghadirkan bukti- bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja

konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi

konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku

usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk

(33)

dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan

pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah hukum pengangkutan. Kehilangan

atau kerusakan pada bagasi kabin/ bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan

diawasi oleh si penumpang ( konsumen ) adalah tanggung jawab dari

penumpang. Dalam hal ini, pengangkut ( pelaku usaha ) tidak dapat diminta

pertanggungjawabannya. Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap

bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak ( strict liability ) sering diidentikkan

dengan prinsip tanggung jawab absolut ( absolute liability ). Kendati demikian

ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat

yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang

menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada

pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari

tanggung jawab, misalnya keadaan force majour. Sebaliknya, absolute

liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

pengecualiannya.

Menurut R.C. Hoeber , biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini

diterapkan karena ( 1 ) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk

membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi

yang kompleks; ( 2 ) diasumsikan produsen lebih dapatmengantisipasi jika

(34)

menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; ( 3 ) asas ini dapat

memaksa produsen lebih hati – hati. Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam

hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “ menjerat “

pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang

merugikan konsumen. Penerapan strict liability tersebut didasarkan pada

alasan bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri

dari resiko kerugian yang disebabkan oleh produk cacat.

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ( limitation of liability

principle ) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian

cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/ cetak itu

hilang atau rusak ( termasuk akibat kesalahan petugas ), maka konsumen

hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan

secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya

pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika

adapembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang jelas.

Setelah kita melihat asas- asas maupun prinsip- prinsip dalam hukum

perlindungan konsumen, tentunya terdapat juga tujuan dalam hukum

(35)

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan, Perlindungan

konsumen bertujuan : (a). Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan

kemandirian konsumen untuk melindungi diri; (b). Mengangkat harkat dan

martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif

pemakaian barang dan/ atau jasa; (c). Meningkatkan pemberdayaan konsumen

dalam memilih, menentukan dan menuntut hak- haknya sebagau konsumen;

(d). Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi; (e). Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung

jawab dalam berusaha; (f). Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang

menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan / atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Keenam tujuan di atas merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam

pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam

tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila

dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum

untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.

Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan

huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang

diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Jadi

semata- mata tujuan dalam perlindungan konsumen itu ialah untuk menciptakan

(36)

D. Hak Dan Kewajiban Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan

perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan / atau jasa

yang dapat dikonsumsi. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat

bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/ atau jasa yang diinginkan

dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, tetapi di sisi lain, dapat

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang

dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Berkenaan dengan pertimbangan

tersebut, maka konsumen sebagai pemakai barang/ jasa perlu juga diketengahkan

apa yang menjadi hak dan kewajibannya.

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999

adalah sebagai berikut : ( a ). Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang dan/ atau jasa; ( b ). Hak untuk memilih barang dan/ atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (

c ). Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenaikondisi dan jaminan

barang dan / atau jasa; ( d ). Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas

barang dan / atau jasa yang digunakan; ( e ). Hak untuk mendapatkan advokasi

perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara

patut; ( f ). Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; ( g ). Hak

untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; (

h ). Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila

(37)

sebagaimana mestinya; ( i ). Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang- undangan lainnya.

Hak – hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak- hak dasar

umum yang diakui secara internasional. Hak- hak dasar umum tersebut pertama

kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat, pada tanggal

15 maret 1962 yang menghasilkan empat hak dasar konsumen yang harus

dilindungi,20

1. Hak memperoleh keamanan ( the right to safety ) yaitu :

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang

dan / atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi

ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka

menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting.

2. Hak memilih ( the right to choose )

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif konsumen apakah

ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/ atau jasa.

3. Hak mendapat informasi ( the right to be informed )

Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila

dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap

keterangan mengenai sesuatu barang yang akan dibelinya atau akan

20

Vernon A. Musselman dan Jhon H. Jackson introduction to modern Business, diterjemahkan Kusma Wiriadisastra, ( Jakarta : Erlangga, 1992 ), h. 294-295. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, ( Jakarta : Universitas Indonesia, 2004 ), h. 7. Bismar Nasution, Keterbukaan dalam Pasar Modal, ( Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011 ), h. 121. Marium Darus Badrul Zaman,

(38)

mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan

penuh kejujuran.

4. Hak untuk didengar ( the right to be heard )

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya

harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah,

termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut.

Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan

harapannya dalam mengonsumsi barang dan/ atau jasa yang dipasarkan

produsen.

Akhirnya, jika semua hak- hak yang disebutkan itu disusun kembali secara

sistematis, akan diperoleh urutan sebagai berikut :

1. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang

ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh

membahayakan jika dikonsumsi sehingga kosumen tidak dirugikan baik

secara jasmani maupun rohani. Hak untuk memperoleh keamanan itu

penting ditempatkan pada kedudukan utama, karena selama berabad-

abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen ( terutama

pembeli ) adalah pihak yang wajib berhati – hati, bukan pelaku usaha.

Dalam barang dan/ atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh

pelaku usaha beresiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, maka

Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Satu hal

(39)

keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang

ditetapkan.

2. Hak Untuk Mendapatkan Informasi Yang Jelas

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai

dengan informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen

tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan

jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan

kepada konsumen melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan

dalam kemasan produk.

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap

produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen, wajib

disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Menurut

Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang

relevan dibandingkan dengan sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini

(1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan juga penjualnya, (2) daya

beli konsumen yang semakin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek

yang beredar dipasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang,

(4) model- model produk lebih cepat berubah, (5) kemudian transportasi

dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada

bermacam- macam produsen atau penjual.21

21

(40)

Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W.

Micklitz,22

Selain ciri- ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal- hal

khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak- anak, orang tua, dan

orang asing ( yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat )

sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara. Informasi ini

harus diberikan secara sama bagi semua konsumen). Itulah sebabnya, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di

Jakarta, 26- 30 oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak

ini. Ia menyatakan, sebelum kita melangkah lebih detail dalam

perlindungan konsumen, terlebih dahulu harus ada persamaan persepsi

tentang tipe konsumen yang akan mendapat perlindungan. Menurutnya,

secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu konsumen

yang terinformasi (well informed) dan konsumen yang tidak terinformasi.

Ciri- ciri tipe pertama, antara lain (1) memiliki tingkat pendidikan

tertentu, (2) mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga

dapat berperan dalam ekonomi pasar, (3) lancar berkomunikasi. Dengan

memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan

relatif tidak memerlukan perlindungan. Tipe konsumen kedua memiliki

ciri- ciri, antara lain (1) kurang pendidikan, (2) termasuk kategori kelas

menengah ke bawah, dan (3) tidak lancar berkomunikasi. Konsumen

jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab Negara

untuk memberi perlindungan.

22

(41)

hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas

informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.

3. Hak untuk Didengar

Hak yang erat kaitannya denganhak untuk mendapatkan informasi

adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan

pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup

memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan

permintaan informasi lebih lanjut.

4. Hak untuk Memilih

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan

pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia

tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia juga

membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.

Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar.Jika

seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk

memproduksi dan memasarkan barang dan jasa, maka besar kemungkinan

konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk

yang lain.

Jika terdapat monopoli oleh perusahaan yang tidak berorientasi pada

kepentingan konsumen, akhirnya konsumen pasti didikte untuk

(42)

keadaan seperti itu, pelaku usaha dapat secara sepihak mempermainkan

mutu barang dan harga jual. Monopoli juga dapat timbul akibat- akibat

perjanjian- perjanjian antara pelaku usaha yang bersifat membatasi hak

konsumen untuk memilih.23

5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/ atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan

Dengan hak ini berartikonsumen harus dilindungi dari permainan

harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang

dan/ atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang akan

dibayar sebagai penggantinya. Namun, ketidakbebasan pasar, pelaku usaha

dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen

menjadi korban ketidakadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi

“ take it or leave it “. Jika setuju silahkan membeli, dan jika tidak maka

tinggalkan ( padahal di tempat lain pun pasar sudah dikuasainya ).

Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk

alternative ( bila masih ada ), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih

buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi tawar menawar antara pelaku

usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat saja membebankan biaya-

biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Praktik yang

terpuji ini lazim dikenal dengan externalities.

23

(43)

6. Hak untuk mendapatkan ganti rugi

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa

yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia

berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti

kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau

asas kesepakatan masing- masing pihak.

7. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi

dari pada hak pelaku usaha ( produsen/ penyalur produk ) untuk membuat

klausula eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan

konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-

pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak

mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain,

konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak- pihak

yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.

Hak untuk mendapat penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga

hak untuk mendapat ganti kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti

identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus

menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum

pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah

satu pihak. Tentu ada beberapa karakteristik tuntutan yang tidak

(44)

standing LSM yang dibuka kemungkinannya dalam pasal 46 ayat (1) huruf

(c) UUPK.

8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak

yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai

organisasi konsumen didunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat

berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas

lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan

non fisik.

Menurut Heindrad Steiger, sebagaimana dikutip oleh Koesnadi

Hardjasoemantri,24

24

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cet. 11, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1994, 119

hak atas lingkungan yang baik dan yang sehat

merupakan bagian dari hak- hak subjektif sebagai bentuk yang paling luas

dari perlindungan seseorang. Ini berarti setiap pemilik hak dapat

mengajukan tuntutan agar kepentingannya terhadap lingkungan yang baik

dan sehat dapat dipenuhi. Steiger menjelaskan, tuntutan tersebut memiliki

dua fungsi yang berbeda. Pertama, the function of defence, yakni hak bagi

individu untuk mempertahankan diri dari pengaruh lingkungan yang

merugikannya. Kedua, function of ferformance, yakni hak individu untuk

menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dipulihkan

(45)

Fungsi- fungsi itu telah tertampung sejak lama dalam hukum positif

indonesia. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang

bauik dan sehat semakin dikemukakan akhir- akhir ini. Karena hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak- hak

subjektif sebagai bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang.25

9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi jika seorang

pengusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan

usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan

menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan

kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang

dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan,

khususnya oleh pemerintah, guna mencegah munculnya akibat- akibat

langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen

sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada pada

saat ini, yaitu Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.26

25

Shidarta, Op.cit, hal. 24-25

26

(46)

10.Hak untuk mendapatkan Pendidikan

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang

baru. Oleh sebab itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum

melayani hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan

dengan kesadaran hukum. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum

masyarakat, semakin tinggi penghormatannya pada hak- hak dirinya dan

orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati

jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan

lembaga swadaya masyarakat.

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak

konsumen untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian

pendidikan konsumen ini tidak harus diartikan sebagai proses formal yang

dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang

diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak

informasi yang harus disampaikan pada konsumen. Bentuk informasi yang

lebih kompherensif dengan tidak semata- mata menonjolkan unsur

komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan

konsumen.

Disamping mempunyai hak- hak konsumen juga mempunyai kewajiban

atau tanggung jawab yang harus dilaksanakan, sebagai makhluk yang saling

membutuhkan satu sama lain. Dengan demikian apabila konsumen berharap hak-

(47)

mempunyai kesediaan yang sama terhadap pemenuhan kewajibannya, untuk itu

seorang konsumen perlu menyadari dan mengetahui tentang kewajibannya.

Dalam Pasal 5 Undang- Undang Perlindungan Konsumen, juga ditegaskan

mengenai kewajiban, dengan pengertian konsumen tidak hanya dapat menuntut

hak- haknya, namun demikian konsumen berkewajiban melaksanakan hal- hal

sebagai berikut :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi kemananan dan keselamatan.

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau

jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut

Sejalan dengan pasal 5 tersebut Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia-Medan juga menggaris bawahi bahwa konsumen berkewajiban untuk :

1) Bersikap kritis

Bertanggung jawab untuk bertindak lebih waspada pada kritis terhadap

harga dan mutu suatu barang atau jasa yang digunakan, serta akibat lain

yang mungkin ditimbulkannya. Sikap kritis konsumen sangat diperlukan

dalam rangka menentukan barang/jasa yang akan dikonsumsinya.

(48)

- Kritis terhadap penawaran barang/jasa oleh produsen secara langsung

maupun yang tidak langsung melalui media iklan di media cetak maupun

elektronika.

- Kritis terhadap penampilan fisik barang, takaran, ukuran dan timbangan

maupun mutu.

2) Berani bertindak atas kesadaran

Berani bertindak guna melindungi dirinya sendir maupun secara

berkelompok dalam upaya menjamin perolehan perlakuan yang adil.

3) Memiliki kepedulian sosial

Turut bertanggung jawab serta waspada terhadap segala akibat yang

ditimbulkan oleh sikap dan pola konsumsi kita bagi orang lain, terutama

golongan masyarakat bawah. Meskipun konsumen bebas memilih dalam

berkomunikasi barang/jasa sesuai dengan kemampuan ekonomi, sosial dan

pengetahuan, tapi cara berkomunikasi yang berlebihan tanpa

memperhatikan kondisi sosial masyarakat sekitarnya, akan dapat

menimbulkan kecemburuan sosial.

4) Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup

Mempunyai rasa tanggung jawab dalam melestarikan lingkungan hidup.

Konsumen wajib memiliki kesadaran terhadap kebersihan, keamanan,

kesehatan sebagai akibat pola konsumsinya terhadap lingkungan, seperti

tidak membuang sampah/limbah di parit atau sungai, atau di sembarang

(49)

5) Memiliki rasa kesetiakawanan

Maksudnya adalah mempunyai rasa tanggung jawab sosial untuk

menggalang kekuatan guna mempengaruhi dan memperjuangkan

kepentingan- kepentingan konsumen. Konsumen wajib tolong menolong

dan saling memberikan informasi serta berhimpun untuk melindungi

kepentingannya sebagai konsumen

E. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 diperinci apa saja yang menjadi

hak dan kewajiban pelaku usaha. Pelaku usaha juga mempunyai hak-hak yang

harus dihargai dan dihormati oleh konsumen,pemerintah serta masyarakat pada

umumnya karena pengusaha tanpa dilindungi hak-haknya akan mengakibatkan

berhentinya aktivitas perusahaan.

Adapun hak-hak dari pelaku usaha yang dimuat dalam Pasal 6

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, meliputi:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

(50)

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen, masyarakat, dan

pemerintah yang dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, meliputi :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan,perbaikan,dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti kerugian, dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan,pemakaian, dan/atau barang dan/atau jasa

(51)

7. Memberi kompensasi, ganti kerugian, dan/atau penggantian apabiula

barang dan/atau yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.27

27

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kegiatan transaksi yang terjadi di media internet khususnya situs jejaring sosial Kaskus khususnya mengenai penerapan