• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Asas, prinsip, dan tujuan hukum perlindungan konsumen

Di dalam Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa: “ perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 ( lima ) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan

17

Peter Colin, Op. Cit., h. 61.

18

manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukumn.”

Adapun di dalam perlindungan konsumen adanya suatu prinsip – prinsip, prinsip tentang tanggung merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus - kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati – hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak- pihak yang terkait.19

19

Secara umum, prinsip- prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan ( fault liability atau liability based on fault ) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara terguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu ( 1 ). Adanya perbuatan, ( 2 ). Adanya unsur kesalahan, ( 3 ). Adanya kerugian yang diderita, ( 4 ). Adanya hubungan kualitas dan kerugian.

Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “ hukum “, tidak hanya bertentangan dengan undang- undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Ketentuan di atas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara. Yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak nbeban yang seimbang dan patut sehingga masing – masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab ( presumption of liability principle ), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik ( omkering van bewijslast ) diterima dalam prinsip tersebut. Undang- Undang Perlindungan Konsumen juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 ( lihat ketentuan Pasal 28 UUPK ).

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah ( presumption of innocence ) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti- bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab ( presumption nonliability principle ) hanya

dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/ bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang ( konsumen ) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut ( pelaku usaha ) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak ( strict liability ) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut ( absolute liability ). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majour. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut R.C. Hoeber , biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena ( 1 ) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; ( 2 ) diasumsikan produsen lebih dapatmengantisipasi jika sewaktu- waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau

menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; ( 3 ) asas ini dapat memaksa produsen lebih hati – hati. Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “ menjerat “ pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Penerapan strict liability tersebut didasarkan pada alasan bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang disebabkan oleh produk cacat.

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ( limitation of liability principle ) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/ cetak itu hilang atau rusak ( termasuk akibat kesalahan petugas ), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika adapembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang- undangan yang jelas.

Setelah kita melihat asas- asas maupun prinsip- prinsip dalam hukum perlindungan konsumen, tentunya terdapat juga tujuan dalam hukum perlindungan konsumen. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 3 UU Nomor

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan, Perlindungan konsumen bertujuan : (a). Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; (b). Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa; (c). Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak- haknya sebagau konsumen; (d). Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; (e). Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; (f). Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan / atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Keenam tujuan di atas merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Jadi semata- mata tujuan dalam perlindungan konsumen itu ialah untuk menciptakan suatu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Dokumen terkait