• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERJANJIAN JUAL- BELI PERUMAHAN

B. Aspek hukum dalam perjanjian jual beli rumah

Didalam perjanjian jual beli rumah properti antara pelaku usaha dan konsumen ini tanpa kita sadari melingkupi beberapa aspek hukum. Adapun, aspek-aspek hukum itu, yakni:

a. Aspek Keperdataan

Didalam praktik perjanjanjian jual-beli rumah properti ini dapat kita jumpai dalam KUH Perdata Buku Ke-III, tentang Perikatan (van Verbintenissen), termuat ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, syarat-syarat pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang dapat diadakan (Pasal 1233). Selanjutnya Pasal 1234 menyebutkan jenis-jenis perjanjian (prestasi) yang dapat diadakan terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya butir-butir perjanjian itu, setelah dipenuhinya syarat tertentu, dapat mengakibatkan cedera janji (wanprestasi). Perbuatan cedera janji ini memberikan hak pada pihak yang dicederai janji untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga. Kerugian-kerugian itu selain dari biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan, kerugian yang dialami, juga termasuk keuntungan (winstderving) yang diharapkan yang tidak diterima karena perbuatan ingkar janji tertentu.

Selain karena wanprestasi, dalam jual-beli rumah dapat juga disebabkan oleh perbuatan atau kealpaan yang melanggar atau melawan

hukum ( selanjutnya disebut PMH),36 adapun unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365 KUHPerdata,37

1) Adanya Suatu Perbuatan

maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya, perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk melakukannya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban timbul dari kontrak). 2) Perbuatan Tersebut Melawan Hukum

Sejak Tahun 1919, unsur melawan hukum diartikan dalam arti yang seluas-luasnya yakni meliputi; perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku,yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum,perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku,perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan,serta perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

36

Prof. Mr.N.E.Algra (voorzitter), poly yuridisch Zakboekje, Kon, PBNA, Arnhen 1987, hB1/ 110 dalam Az Nasution, ibid., hlm. 81-82

37

Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.

3) Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

Oleh karena pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut; adanya unsur kesengajaan,adanya unsur kelalaian (negligence, culpa), serta tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf seperti keadaan daya paksa (overmacht), membela diri,tidak waras,dan sebagainya. 4. Adanya Kerugian Bagi Korban

Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenai kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian immateril, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateril yang juga akan dinilai dengan uang. 5. Adanya Hubungan Kausal Antara perbuatan Dan Kerugian

Adanya unsur sebab-akibat yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Disini terdapat hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang dialami salah satu pihak.38

38

B. Aspek Hukum Publik 1. Hukum Pidana

Hukum pidana sendiri termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum administrasi negara, hukum acara, dan hukum internasional. Di antara semua aspek hukum publik itu, yang paling banyak menyangkut terhadap perlindungan konsumen dalam perjanjian jual-beli perumahan properti adalah hukum pidana dan hukum administrasi negara

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut kata “konsumen. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain:39

1. Pasal 382 bis: barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu diancan, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan dipidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

2. Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk

39

dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.

2. Hukum administrasi negara

Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi negara adalah instrumen hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administratif. Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha,( dalam hal ini pelaku usaha/developer).

Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan Pemerintah RI kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi `pelanggaran, izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah. Pencabutan izin hanya bertujuan untuk menghentikan proses produksi dari pelaku usaha/developer. Produksi di sini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang dan jasa.

Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini.40

Pertama, sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi

40

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.84

Pemerintah terkait. Sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang, bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk “membela diri”, antara lain mengajukan kasus tersebut ke pengadilan tata usaha negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dulu, sehingga berlaku efektif.

Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan itu biasanya berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen juga dihadapkan pada posisi tawar-menawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si produsen.

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pelanggaran Jual-Beli

Dokumen terkait