• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep

2.1.1 Interaksi Sosial

Priyatna (2013: 70) menyatakan bahwa interaksi adalah suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu dua atau lebih objek mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. Ide efek dua arah ini penting dalam konsep interaksi, sehingga ada lawan dari hubungan satu arah yang terjadi pada sebab akibat.

Priyatna (2013: 70) menjelaskan bahwa interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang dinamis antara individu dan individu, antara individu dan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok, baik dalam bentuk kerjasama, persaingan atau pertikaian. Interaksi sosial melibatkan proses-proses sosial yang bermacam-macam yang menyusun unsur-unsur dari masyarakat, yaitu proses tingkah laku yang dikaitkan dengan struktur sosial.

Soekanto (2006: 64) mendefinisikan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, bukan manusia dengan benda mati. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai. Saling menyapa, menegur, berjabat tangan, saling berbicara, berbahasa isyarat bahkan hingga berkelahi juga termasuk didalam interaksi sosial. Selama ada aksi dan reaksi antara kedua belah pihak maka, hal tersebut sudah dikatakan interaksi sosial. Saat seseorang memukul benda mati, itu tidak termasuk dalam interaksi sosial karena, tidak adanya reaksi balasan dari benda mati tersebut. Interaksi sosial terjadi apabila adanya komunikasi, tukar-menukar tanda atau formasi lisan.

Ratna (2003: 126) mengatakan bahwa komunikasi mengandaikan terciptanya mediasi dan respons-respons sosial secara terus-menerus, artinya, selalu terjadi substitusi interaksi sosial ke dalam pola-pola perilaku yang relatif lama, ke dalam institusi, yang pada dasarnya mengarah pada stabilitas struktur sosial. Meskipun demikian, kehidupan sosial tidak perlu diartikan sebagai stagnasi, sebab interaksi

(2)

sosial tidak pernah berhenti. Proses interaksi adalah proses pemberian makna, baik secara positif maupun negatif, baik dengan tujuan konstruktif maupun dekstruktif.

Interaksi sosial menghasilkan tindakan sosial. Weber (2006: 67) mengatakan bahwa tindakan- tindakan yang kurang “rasional” oleh Weber digolongkan kaitannya dengan pencarian “tujuan-tujuan absolut”, sebagai “tradisional”. Karena tujuan absolut dipandang oleh sosiolog sebagai data yang “terberi” (given), maka sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang digunakan tetapi, “irasional” dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.

Setiadi (2011: 61-62) memaparkan bahwa proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat jika individu dan kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama atau didalam kehidupan sosial.

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial sebagai faktor utama dalam kehidupan sosial.

Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto 2006: 64-65) ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial yaitu:

1. Proses yang asosiatif (akomodasi, asimilasi dan akulturasi). 2. Proses yang disosiatif (persaingan, pertentangan).

Bentuk-bentuk interaksi sosial adalah kerja sama, persaingan, akomodasi dan dapat juga berbentuk konflik.

Narwoko (2010: 57) mengatakan bahwa proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam suatu jangka waktu, sedemikian rupa hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan perilaku dalam kehidupan masyarakat. Secara garis besar, proses sosial bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu proses sosial yang asosiatif, dan proses sosial yang disosiatif.

(3)

Narwoko (2010: 57) menjelaskan bahwa proses sosial itu dapat disebut asosiatif apabila proses itu mengindikasikan adanya “gerak pendekatan atau penyatuan”.

Menurut Gillin, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan disoiatif. Proses asosiatif merupakan proses menuju terbentuknya persatuan sosial. Proses disoiatif merupakan proses mengarah pada perpecahan atau disintegrasi sosial.

1. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang asosiatif:

Proses Asosiatif (Soekanto 2012: 64). a. Kooperasi/ Kerja sama (Cooperation)

Soekanto (2012: 64) mengatakan bahwa kerja sama atau kooperasi merupakan perwujudan minat dan perhatian orang untuk bekerja bersama-sama dalam suatu kesepahaman, sekalipun motifnya sering dan bisa tertuju kepada kepentingan diri sendiri.

Beberapa sosiolog menganggap bahwa kerja sama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Sosiolog lain menganggap bahwa kerja sama merupakan proses utama. Golongan terakhir tersebut memahamkan kerja sama untuk menggambarkan sebagian besar bentuk-bentuk interaksi sosial atas dasar bahwa segala macam bentuk interaksi tersebut dapat dikembalikan kepada kerja sama. Kerja sama di sini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.

b. Akomodasi (Accomodation)

Akomodasi menunjuk pada suatu keadaan/penyesuaian, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-peorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha-usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.

(4)

Narwoko (2010:59) mendefinisikan bahwa akomodasi adalah suatu proses ke arah tercapainya persepakatan sementara yang dapat diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa. Akomodasi ini terjadi pada orang-orang atau kelompok-kelompok yang mau tak mau harus bekerja sama, sekalipun dalam kenyataannya mereka masing-masing selalu memiliki paham yang berbeda dan bertentangan.

Narwoko (2010: 60) menegaskan bahwa akomodasi jelas akan meredakan konflik dan menggantikan proses sosial yang disosiatif ini dengan suatu interaksi yang sedikit banyak bersifat damai. Akomodasi akan meredakan pertentangan, dan sikap yang lebih bersahabat mungkin saja timbul dari interaksi yang bersifat damai ini. Proses akomodasi memang berpengaruh besar pada sikap dan perilaku orang.

Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

C. Asimilasi (Assimilation)

Soekanto (2006: 80) menjelaskan bahwa asimilasi adalah proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses mental dengan memperhatikan tujuan dan kepentingan bersama.

D. Amalgamasi/Akulturasi

Norma (dalam Yusanti, 2010: 5) mengatakan bahwa amalgamasi merupakan proses peleburan kebudayaan, dari suatu kebudayaan tertentu yang menerima dan mengolah unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.

(5)

2. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang bersifat disosiatif:

Soekanto (2006: 81-91) menjelaskan bahwa interaksi sosial yang bersifat disosiatif sering disebut sebagai oppositional processes, persis halnya dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat yang bersangkutan.

Untuk kepentingan analisis ilmu pengetahuan, oposisi atau proses-proses yang disosiatif dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu :

a. Persaingan (competition) b. Kontravensi (contravention)

c. Pertentangan atau pertikaian (conflict)

a. Persaingan (competition) adalah suatu proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

b. Kontravensi (contravention) pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian.

c. Pertentangan atau pertikaian (conflict)

Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.

2.1. 2 Konflik Sosial

Setiadi (2011: 347-348) mengatakan bahwa istilah” konflik” secara etimologis berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian “konflik” dalam kehidupan sosial berarti

(6)

benturan kepentingan, keinginan, pendapat dan lain-lain paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Willian Chang mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah tempat tinggal, pekerjaan, uang dan kekuasasan?”, ternyata jawabnya “tidak”; dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.

Setyaning (2011: 5) mendefinisikan bahwa konflik merupakan proses sosial antar dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan. (Leopod Von Wiese,

.

Sunarto (2000: 218-219) menjelaskan bahwa Ralf Dahrendorf adalah seorang tokoh sosiologi modern. Dalam tulisannya mengenai kelas dan konflik kelas dalam masyarakat industri, ia menolak pandangan Marx. Ia mengamati bahwa, perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam tetapi dapat juga dari luar masyarakat. Perubahan dari dalam masyarakat tidak selalu disebabkan konflik sosial tetapi, terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain. Ia pun mengamati bahwa konflik tidak selalu menghasilkan revolusi, dan bahwa perubahan sosial dapat terjadi tanpa revolusi. Dengan demikian, konflik menurut Dahrendorf, merupakan sumber terjadinya perubahan sosial.

Setiadi (2011: 385-386) mengatakan bahwa pengaturan konflik menurut Ralf Dahrendorf adalah konflik sosial tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat diatur, sehingga setiap konflik tidak berlangsung dalam bentuk kekerasan.

(7)

Ismail (2011: 4-5) mengatakan bahwa setiap komunitas memiliki struktur sosial yaitu jalinan hubungan antar individu atau kelompok sosial dalam masyarakat sesuai status dan peranan yang dimilikinya. Bentuk struktur sosial tersebut dapat berupa proses konflik dan integrasi (pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat) dalam masyarakat. Konflik dan integrasi merupakan sebuah pasangan yang melekat dalam kehidupan masyarkat. Jadi, walaupun konflik merupakan bentuk kontradiktif (berlawanan, bertentangan) dari integrasi, namun tidak selamanya kedua hal tersebut harus dipertentangkan. Dalam kehidupan nyata integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan sebenarnya dapat ditata kembali.

Dalam materialisme dialektikalnya bahwa konflik mendorong timbulnya konflik lebih lanjut. Dari hasil-hasil pemikiran para pemikir abad kesembilan belas, bahwa konflik selalu bersifat merusak.

Setiadi (2011: 348) menguraikan bahwa dalam International Encyclopedia of the Social Sciences VOL. 3 (hal. 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu. dengan demikian, pihak-pihak dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia william Chang (2001).

Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah interaksi antara para anggota. Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi: cooperative

(kerjasama), competition (persaingan) dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial sehari-hari tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga ditandai oleh berbagai bentuk persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan seluruh masyarakat yang hidup selalu bersifat kooperatif.

(8)

George Simmel dan Ralf Dahrendorf fokus dalam membicarakan interaksi sosial dan konflik sosial. Setiadi (2011: 94) Ralf dahrendorf dalam pandangannya, bahwa dalam setiap masyarakat cenderung menyimpan potensi konflik. Beberapa angapan dasar berkenaan dengan konflik menurut Ralf Dahrendorf yaitu:

1. Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi perubahan dan konflik sosial, sehingga antara konflik dan perubahan merupakan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi, sedangkan perbedaan akan mengantarkan pada timbulnya situasi konflik.

2. Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi diatas penguasaan atau dominasi sejumlah kekuatan-kekuatan lain. Dominasi kekuatan secara sepihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung benih-benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik manifes (terbuka).

Secara struktural, konflik dapat mengubah keseimbangan kekuasaan antara kelompok dominan dan kelompok minoritas.

Setiadi (2011: 382) secara identitas, konflik akan menumbuhkan kesadaran mengenai siapa mereka dan mempertegas batas-batas kelompok.

George Simmel (dalam Setiadi, 2011: 381) menyatakan bahwa masyarakat yang sehat tidak hanya membutuhkan hubungan sosisal yang sifatnya integratif dan harmonis, tetapi juga membutuhkan adanya konflik.

Simmel memandang konflik sebagai suatu yang tidak dapat dicegah timbulnya, yang secara potensial dapat mempunyai kegunaan yang fungsional dan kontruksif (bersifat membangun), maupun sebaliknya, dapat pula tidak bersifat fungsional dan destruktif (bersifat merusak).

(9)

Konflik mempunyai potensi untuk memberi pengaruh positif maupun negatif dalam berbagai taraf interaksi manusia. Dalam kehidupan manusia terutama dalam bermasyarakat, manusia tidak akan terlepas dari konflik dan pertikaian yang ada. Hal ini dikarenakan pada kecenderungan lain dari manusia, selain bekerja sama manusia juga mempunyai keinginan untuk lebih baik dari manusia yang lain, maka timbullah apa yang disebut persaingan dalam kehidupannya.

Setiadi (2011: 369) menerangkan bahwa setiap kehidupan sosial selalu berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan gejala yang bersifat permanaen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik, baik secara personal maupun secara interpersonal. Setiap kehidupan sosial terdapat konflik didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yeng mengisi setiap kehidupan sosial. Gejala konflik akan berjalan seiring dengan kehidupan sosial itu sendiri sehingga, lenyapnya konflik juga akan bersamaan dengan lenyapnya kehidupan sosial. Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi perubahan dan konflik sosial, sehingga antara konflik dan perubahan merupakan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi sedangkan perbedaan akan mengantarkan timbulnya situasi konflik.

2.1.3 Tokoh Utama

Nurgiyantro (2007 : 176) mendefinisikan bahwa tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.

(10)

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Sosiologi Sastra

Soekanto (2006: 64) mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang-perorangan, bukan manusia dengan benda mati. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai.

Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan. (Leopod Von Wiese,

.

Ratna (2004: 331) mengatakan bahwa sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke-18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael.

Soekanto (2006: 356) menjelaskan bahwa menurut George Simmel, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan khusus, yaitu satu-satunya ilmu pengetahuan analitis yang abstrak diantara semua ilmu kemasyarakatan. Menurutnya, masyarakat merupakan suatu proses yang berjalan dan berkembang terus. Masyarakat ada dimana individu mengadakan interaksi dengan individu-individu lainnya. Interaksi timbul karena kepentingan-kepentingan dan dorongan tertentu. George Simmel mengatakan bahwa sosiologi merupakan bentuk-bentuk hubungan antarmanusia.

Sosiologi merupakan cabang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sebagai cabang ilmu, Sosiologi dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, August Comte (Bapak Sosiologi). Selanjutnya, Emile Durkheim mengembangkan sosiologi sebagai disiplin akademis. Sebagai sebuah ilmu, Sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.

(11)

Sosiologi sastra adalah ilmu mengenai asal-usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris.

(http://liestiadanbahasa.blogspot.com/2011/01/kajian-cerita-pendek-dengan-pendekatan.html).

Analisis sosiologi sastra tidak bermaksud untuk mereduksikan hakikat rekaan ke dalam fakta, sebaliknya, sosiologi sastra juga tidak bermaksud untuk melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi.

Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial.

(http://smpn3malangbong.wordpress.com/2012/01/18/analisis-cerpen-kawin-lah-karya-dorothea-rosa-herliany-berdasarkan-pendekatan-sosiologis/).

Makna karya seni terdiri atas hubungan-hubungan seimbang antara medium dengan pesan, bentuk dengan isi, sebagai keseimbangan totalitas artistik. Totalitas artistik, menurut visi sosiologi sastra, tidak semata-mata terkandung dalam unsur intrinsik melainkan juga memiliki ciri-ciri transformasinya dalam struktur yang jauh lebih luas, yaitu struktur sosial. Seluruh kehidupan manusia berada dan terarah pada ruang-ruang estetis. Hubungan sosial menjelaskan genesis karya sebagai salah satu akibat interaksi berbagai interaksi yang terjadi.

Ratna (2003:2) menegaskan bahwa ilmu sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra berbeda, bahkan bertentangan secara diametral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein, bukan apa yang seharusnya terjadi (das sollen). Sebaliknya, karya sastra jelas bersifat evaluatif, subjektif dan imajinatif.

(12)

Adapun pengertian lain dari sosiologi sastra yang merepresentasikan hubungan interdisiplin ini, yang masuk dalam ranah sastra, yaitu mencakup:

1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.

2. Pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.

3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya.

4. Hubungan dialek antara sastra dengan masyarakat.

Sebagai disiplin ilmu sosiologi memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut: (http://materikuliahevi.blogspot.com/2013/04/pengertian-ilmu-dan-sosiologi.html). 1. Bersifat empiris, artinya ilmu yang didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan

akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.

2. Bersifat teoretis, artinya ilmu yang disusun dari hasil-hasil observasi, yang bertujuan untuk mengabstraksikan dan menjelaskan hubungan sebab-akibat, sehingga menjadi teori.

3. Bersifat kumulatif, artinya dibentuk berdasarkan teori-teori yang telah ada dalam arti memperbaiki, memperluas dan memperhalus teori-teori yang lama.

4. Bersifat Non-Ethis, artinya ilmu tidak bertujuan untuk mempersoalkan buruk dan baiknya fakta tertentu, tetapi untuk menjelaskan fakta tertentu.

Ratna (2004: 339) memberikan sejumlah definisi mengenai definisi sosiologi sastra, diantaranya adalah:

1. Sosiologi sastra menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.

(13)

3. Sosiologi sastra menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu.

Sosiologi sering disebut kajian tentang masyakat atau kajian tentang kehidupan sosial, yang menelaah keteraturan tingkah laku yang ditampilkan keadaan sosial tempat mereka berada. Kondisi sosial masyarakat selalu memiliki ciri umum, yakni interaksi sosial, dimana individu dengan individu saling berhubungan dan berkerjasama untuk mencapai tujuan bersama masyarakat.

(http://materikuliahevi.blogspot.com/2013/04/pengertian-ilmu-dan-sosiologi.html).

Faruk (1999: 3) mengatakan bahwa pokok persoalan sosiologi adalah perilaku manusia sebagai subjek yang nyata; individual. Teladan dari paradigma ini adalah Skinner. Teori-teori yang termasuk didalamnya antara lain adalah teori sosiologi perilaku dan teori pertukaran.

Dalam sosiologi sastra terdapat interaksi sosial, stratifikasi sosial/tingkatan sosial dalam masyarakat, dan konflik sosial. Oleh sebab itu, dalam setiap karya sastra selalu terdapat interaksi sosial dan stratifikasi sosial/tingkatan sosial dalam masyarakat yang terkadang dapat menimbulkan konflik yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan dalam berinteraksi dan sifat masyarakat dalam membagi-bagi kelas-kelas sosial/ stratifikasi sosial.

2.3 Kajian Pustaka

Elva Yusanti (2011) dalam tesisnya yang berjudul Interaksi Sosial Dalam Trilogi Darah Emas Karya Meiliana K. Tansri: Pendekatan Sosiologis, membahas tentang interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Kajian yang dilakukan Elva Yusanti sangat membantu penulis dalam menganalisis interaksi sosial dalam novel Cerita Calon Arang karena persamaan unsur yang diteliti, yaitu interaksi sosial antartokoh yang bersifat asosiatif dan disosiatif.

(14)

Rohma Junita (2013) dalam tesisnya yang berjudul Stratifikasi dan Interaksi Tokoh-Tokoh Novel Langit Taman Hati Karya Cucuk Hariyanto: pendekatan sosiologis, membahas tentang stratifikasi dan interaksi sosial tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Kajiaan yang dilakukan Rohma Junita sangat membantu penulis dalam menganalisis interaksi sosial tokoh, karena persamaan unsur yang diteliti, bedanya Rohma Junita menganalisis semua tokoh sedangkan, penulis hanya tokoh utama saja.

Nova Mandasari (2010) dalam skripsinya yang berjudul Cerita Calon Arang

Karya Pramoedya Ananta Toer: Analisis Sosiosastra, membahas tentang gambaran intrinsik dan nilai sosial yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Kajian yang dilakukan Nova Mandasari sangat membantu penulis dalam melihat gambaran novel Cerita Calon Arang dari aspek nilai sosialnya.

Iwan Sebastian (2013) dalam skripsinya yang berjudul Moralitas Tokoh Utama Roman 813 Karya Maurice Leblanc: Analisis Sosiologi Sastra, membahas tentang moralitas tokoh utama berdasarkan tinjauan sosiologis Emile Durkheim. Kajian yang dilakukan Iwan Sebastian sangat membantu penulis dalam melihat gambaran moral tokoh utama dari aspek nilai sosialnya.

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan material limbah padi pada sekolah alam di Lombok Tengah tidak hanya mendukung nuansa alam yang diusung, namun juga dapat mengenalkan dan memberikan pembelajaran

Peningkatan konsentrasi ekstrak kental buah semangka dalam sediaan krim pelembab dapat meningkatkan efektivitas sediaan sesuai dengan spesifikasi yaitu memberikan kapasitas

Their behavioral tendency to act toward the value of togeth- erness or individualistic value depends on how much capital they have and their position within the diamond

4. Conclusions and Recommendations Based on this study, El Nino reduces the climatological rainfall of Cilacap Regency DSSUR[LPDWHO\ WR PP 0HDQZKLOH La Nina phenomenon

Tujuan metode kausal ini adalah untuk menentukan hubungan antar faktor (input dan output dari suatu sistem) dan menggunakan hubungan tersebut untuk meramal

Kelompok unsur logam tanah jarang pertama kali ditemukan pada tahun 1787 oleh seorang letnan angkatan bersenjata Swedia bernama Karl Axel Arrhenius, yang

Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa kelompok perlakuan jenis kelamin laki-laki mengalami semua mengalami kecemasan sedang pada saat pre , pada saat post mengalami perubahan

Karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang digunakan oleh seluruh bangsa di dunia untuk berkomunikasi, bahasa ini dapat dengan mudah masuk dan diterima oleh