• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI PATI TEMU LAWAK SEBAGAI ALTERNATIF PEMANFAATAN TEMU LAWAK UNTUK BAHAN BAKU PRODUK OLAHAN PANGAN : STUDI KASUS DI DESA PABUARAN, KEC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI PATI TEMU LAWAK SEBAGAI ALTERNATIF PEMANFAATAN TEMU LAWAK UNTUK BAHAN BAKU PRODUK OLAHAN PANGAN : STUDI KASUS DI DESA PABUARAN, KEC"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

244

PRODUKSI PATI TEMU LAWAK SEBAGAI ALTERNATIF PEMANFAATAN TEMU LAWAK UNTUK BAHAN BAKU PRODUK OLAHAN PANGAN : STUDI KASUS DI DESA

PABUARAN, KEC. SALEM, KAB. BREBES, JAWA TENGAH Wawan Agustina

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna

Jl. K.S. Tubun No. 5 Subang, Telp. (0260) 411478, Fax. (0260) 411239 e-mail : wanwa03@gmail.com

ABSTRAK

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) merupakan salah satu tanaman jenis temu-temuan yang selama ini telah dikenal memiliki manfaat yang baik untuk kesehatan. Komponen penyususn terbesar dari temulawak adalah pati. Pati temulawak dapat di ekstrak dan dijadikan produk alternatif untuk bahan olahan pangan sehat. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menginformasikan proses produksi pati temulawak secara tradisional dan pemanfaatannya. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode observasi, pengujian laboratorium. Metode observasi dilakukan untuk mengetahui proses produksi pati temulawak secara tradisional di Dusun Ganggarok, Desa Pabuaran, kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa tengah. Pengujian laboratorium dilakukan untuk uji proksimat terhadap pati yang dihasilkan. Secara tradisional Proses produksi pati temulawak meliputi pemanenan, pencucian, pengupasan, pemarutan, pemerasan, pengendapan, pencetakan dan pengeringan. Rendemen pati yang dihasilkan sekitar 23%. Hasil uji proksimat terhadap kandungan pati temulawak diketahui bahwa pati temulawak mengandung karbohidrat sebsesar 65,56%; protein 0,27%; kadar abu 0,25%; lemak 0,10%; dan kadar air 24,18%. Karbohidrat merupakan komponen dengan konsentrasi tertinggi dan lemak adalah komponen dengan kadar terendah. Pati temulawak yang dihasilkan biasanya diolah untuk membuat makanan jell seperti agar-agar atau puding yang dicampur dengan irisan kelapa. Kata Kunci : Pati, Temulawak, Desa Pabuaran, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes.

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang dikenal memiliki nilai manfaat bagi kesehatan. Tanaman temulawak ini tumbuh liar di hutan-hutan jati di Jawa dan Madura dan dapat dipanen pada umur 7 – 12 bulan (Hayani, 2006). Di daerah berbeda nama tanaman ini pun dikenal dengan sebutan yang berbeda, di daerah Jawa Barat dikenal dengan nama koneng gede dan di Madura dikenal dengan nama temu lobak (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010).

Secara turun temurun tanaman temulawak telah digunakan oleh masyarakat sebagai tanaman obat. Beberapa manfaat temulawak yang sering dipublikasikan yaitu diantaranya untuk pengobatan sakit limfa, sakit ginjal,

sakit pinggang, asma, sakit kepala, masuk angin, maag, sakit perut, sakit perut waktu haid, menghilangkan bau amis sewaktu haid, memperbanyak produksi ASI, memacu ASI macet, susah buang air besar, sembelit dan menambah nafsu makan (ww.iptek.net, 2005). Tanaman temulawak memiliki umbi berupa rimpang yang berwarna kuning. Bagian umbi atau rimpang inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan untuk obat, terutama obat-obat tradisional. Kandungan kimia dalam temulawak terdiri dari kurkumin, minyak atsiri (kamfer, sikloisoprenmirsen, karbinol) dan xanthorizal yang berkhasiat sebagai astrigensia (Koswara, dkk., 2012). Menurut Adiningrum (2009), temulawak bermanfaat untuk pengobatan penyakit saluran pencernaan, kelainan hati, kantung empedu, pankreas, usus

(2)

245

halus, tekanan darah tinggi, kontraksi otot dan sebagai imunomodulator.

Kandungan kimia yang terbesar dari temulawak adalah pati. Selain pati masih terdapat beberapa jenis zat lainnya yaitu protein, lemak, serat kasar dan beberapa jenis mineral. Kadar atau komposisi kimia beberapa zat yang terdapat dalam rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 1. Pati temulawak

berupa serbuk berwarna putih kekuningan. Warna kekuningan ditimbulkan karena masih adanya kurkumin yang bercampur. Pati temulawak ini juga mempunyai sifat mudah dicerna. Keberadaan kandungan kurkumin dan sifatnya yang mudah dicerna menjadikan pati temulawak dapat dijadikan bahan olahan pangan seperti campuran makanan bayi dan pengental sirup (Sembiring, 2006)

Tabel 1. Komposisi Kimia Rimpang temulawak

Komposisi Kadar (%) Pati 58,24 Lemak 12,10 Kurkumin 5,05 Serat Kasar 4,20 Abu 4,90 Protein 2,90 Mineral 4,29 Minyak atsiri 8,00

Sumber : Chen et al. 2006 dalam Koswara, 2012) Temulawak ternyata tidak hanya dimanfaatkan

sebagai bahan baku obat, tetapi temulawak juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan pangan. Di dusun Ganggarok, Desa Pabuaran, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Temulawak telah dioalah untuk menghasilkan pati dan dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan pangan. Pati temulawak ini diolah untuk membuat makanan tradisional seperti jelly yang dicampur dengan irisan kelapa. Masyarakat setempat mengenal pati temulawak dengan sebutan aci koneng dan produk olahannya yang berupa seperti jelly sering disebut dengan nama bubur aci koneng. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyampaikan informasi mengenai proses produksi pati temulawak secara tradisional di wilayah tersebut di atas, mengetahui kandungan kimiawinya berdasarkan uji proksimat, serta pemanfaatannya untuk produk olahan pangan.

METODE Alat

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah berupa instrumen pertanyaan dan kamera untuk survey / observasi proses

pengolahan. Selain itu dalam pengujian terhadap kandungan kimia secara proksimat diperlukan beberapa peralatan laboratorium seperti neraca digital, soxhlet, buchi kjeldahl, pipet, buret, peralatan gelas dan lainnya. Bahan

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi bahan produksi saat pengamatan yaitu rimpang temulawak dan air. Bahan lainnya yang diperlukan adalah bahan analisa kimia untuk uji karbohidrat, protein, dan lemak. Tahapan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah pengamatan proses produksi, diskusi dengan pengrajin dan melakukan pengujian terhadap produk pati yang sudah ada. Pengujian produk pati dilakukan di Laboratorium Pengujian Pangan dan Pakan, Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Pengujian dilakukan untuk menganalisa kandungan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi pati temulawak dimulai dari proses pemanenan temulawak. Di wilayah desa Pabuaran kecamatan Salem, temulawak berupa tanaman liar yang belum

(3)

246

dibudidayakan. Tanaman temulawak tumbuh liar di hutan dan area perkebunan yang tidak terawat. Tanaman temulawak biasanya dipanen pada saat musim kemarau ketika daun-daun temulawak mulai layu bahkan mengering. Umur tanaman ini jika diperkirakan dari musim kemarau ke musim kemarau berikutnya sekitar 7-12 bulan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hayani (2006) yaitu bahwa temulawak dapat dipanen pada umur antara 7-12 bulan.

Temulawak yang diperoleh dari hasil pemanenan kemudian di kupas tipis untuk membuang kulit dan kotorannya. Pengupasan juga bermanfaat untuk mempermudah pemarutan yang dilakukan dengan menggunakan alat parut tradisional. Jumlah produksi yang dilakukan di tempat kajian ini hanya sekitar 2 kg bahan buku temulawak basah. Setelah proses pengupasan kemudian dilanjutkan dengan pemarutan. Proses pemarutan berfungsi untuk menghaluskan rimpang temulawak sehingga mempermudah proses ekstraksi pati temulawak. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara penambahan air dan memerasnya di atas saringan. Proses pemerasan dilakukan beberapa kali dengan menggunkan air hasil perasan maupun air bersih. Untuk proses ektraksi sebanyak 2 kg rimpang temulawak dibutuhkan air sekitar 15-25 liter. Air hasil perasan kemudian ditampung dalam wadah (tempayan) dan ditunggu sampai

pati mengendap. Proses pengendapan pati memerlukan waktu selama 4 jam.

Setelah proses pengendapan, kemudian cairan berwarna kuning dibuang dengan menggunakan gayung secara perlahan-lahan sampai hanya tersisa endapannya saja. endapan yang tersisa kemudian encerkan kembali menggunakan air bersih dan kemudian dibiarkan kembali mengendap. Proses pengenceran kembali dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa pahit pada pati ketika diolah menjadi makanan. Setelah itu kemudian cairan dibuang dan pati dicatak berbentuk bulat menggunakan daun kelapa yang digulung. Pati yang yang sudah dicetak kemudian dikeringkan dengan cara dijemur dalam tampah. Pati yang sudah relatif kering kemudian dikemas dengan menggunakan kulit pohon pisang yang sudah mengering dan dilakukan pengeringan lanjut. Pengeringan lanjut dilakukan dengan cara digantung di atas tungku masak. Pengeringan lanjutan ini dapat meningkatkan keawetandari pati. Pati yang dihasilkan dari proses ekstraksi berupa serbuk berwarna putih kekuningan. Warna kuning ini berasal golongan senyawa kurkuminod yang masih bercampur. Kurkuminoid merupakan komponen senyawa yang memberi warna kuning pada rimpang temulawak yang terdiri dari dua jenis senyawa yaitu kurkumin dan desmetoksi kurkumin (Adiningrum, 2009). Diagram alir proses produksi dapat dilihat pada Gambar 1.

(4)

247

Gambar 1. Diagram alir proses produksi pati temulawak Dari setiap kurang lebih proses produksi 2 kg

rimpang temulawak hasil panen pada musim kemarau biasanya dicetak menjadi 5 buah. Rata-rata setiap buah memiliki bobot sebesar 92,13 gram sehingga dihasilkan total sebanyak 460,67 gram. Rendemen pati yang dihasilkan dari proses produksi temulawak adalah sebesar 23%. Rendemen pati yang dihasilkan masih cukup rendah jika dibandingkan dengan data-data yang ada yaitu kadar pati temulawak sebesar 58,24% (Chen et.al. 2006 dalam

Koswara, 2012); 41,45% (Hayani, 2006), 27.62 (Suwiah, 1991 dalam Prakasa, 2010). Kadar pati yang rendah ini sangat dimungkinkan karena proses ekstraksi yang belum optimal. Kekurang optimalan ini dapat diduga karena proses pemarutan yang masih manual dan hasilnya masih cukup kasar dan bisa juga pada pererasannya. Foto-foto proses produksi dapat dilkihat pada Gambar 2. dan gambar pati temulawak kering cetak dapat dilihat pada Gambar 3.

Temulawak Pengupasan Pemarutan Ekstraksi Kulit Ampas Air Bersih Pengendapan I (± 4jam) Pemisahan air I Pengenceran Pengendapan Pemisahan air Endapan Pati Pencetakan Pengeringan Endapan Pati Air Bersih Air Pati Air

(5)

248

Gambar 2. Foto-foto proses produksi pati temulawak secara tradisional

Gambar 3. Gambar pati temulawak kering Pati yang dihasilkan dari proses produksi

kemudian dianalisa kandungan kimianya secara proksimat yaitu meliputi kadar

karbohidrat, air, abu, lemak, dan protein. Hasil uji kandungan kimia dapat dilihat pada Tabel 2. Berikut :

`Tabel 2. Komposisi kimia pati temulawak

Komposisi Kadar (%) Karbohidrat 65,56 Lemak 0,10 Protein 0,27 Kadar Air 24,18 Kadar Abu. 0,25

Pengupasan Pemarutan Ekstraksi/Pemerasan

(6)

249

Dari Tabel 2. dapat diketahui bahwa komposisi dengan kadar tertinggi dari adalah karbohidrat yaitu 65,56%. Kadar lemak, protein dan abu masing-masing sebesar 0,10%, 0,27%, dan 0,25%. Jika dibandingkan dengan kandungan pada rimpang temulawak kadar ketiga komponen tersebut mengalami penyusutan yang signifikan. Penyusutan terbesar terjadi pada lemak hal ini disebabkan karena komponen lemak tersebut tidak terlarut dalam fasa air selama proses ekstraksi. Selain komponen tersebut diatas masih sangat mungkin mengandung senyawa kurkuminoid seperti yang diindikasikan dengan warna tepung pati yang kekuningan. Pati temulawak yang dihasilkan dapat dijadikan olahan pangan karena kandungan karbohidrat dan nilai gizi lainnya, selain itu keberadaan senyawa kurkuminoid yang masih tersisa dapat berperan untuk kesehatan tubuh.

Secara tradisional pada masyarakat setempat sekitar daerah pengolah pati temulawak, pati temulawak biasanya diolah menjadi makanan berupa jelly seperti produk olahan dari tepung hunkwee. Makanan yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah bubur aci koneng tersebut dibuat dengan cara pelarutan pati dalam air, pembuatan larutan gula, pencampuran, penambahan irisan kelapa, pemanasan, penuangan/pencetakan dan pendinginan. Produk makanan yang dihasilkan dapat langsung dimakan dan diyakini dapat memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh terutama untuk sistem pencernaan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Secara tradisional pati temulawak diproduksi dengan tahapan sebagai berikut : pemanenan, pencucian/pengupasan, pemarutan, pemerasan dengan penambahan air, pengendapantahap I, pembuangan air, pengenceran endapan dengan air bersih, pengendapan tahap II, pembuangan air, pencetakan dan pengeringan. Rendemen pati yang dihasilkan sekitar 23%. Hasil uji proksimat terhadap kandungan pati temulawak diketahui bahwa pati temulawak mengandung karbohidrat sebsesar 65,56%; protein 0,27%; kadar abu 0,25%; lemak 0,10%; dan kadar air 24,18%. Pati temulawak yang dihasilkan

masih berwarna kekuningan sebagai indikasi masih mengandung senyawa kurkumin. Saran

Perlu dilakukan kajian optimasi proses ekstraksi pati temulawak, analisa senyawa bioaktif dan pengembangan produk pangan berbasis tepung pati temulawak sebagai pangan fungsional.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada ibu Carni selaku pengolah temulawak, Aman Sugianto, Imam As’ari dan pihak-pihak lain yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningrum KW, A. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Ayam Petelur. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010. Budidaya Temulawak (Curcuma xanthoriza. Roxb.). Dinas PertanianTanaman Pangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Bandung.

Hayani, E., 2006. Analsis Kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Makalah temu teknis nasional tenaga pertanian 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Koswara, S., Citra Ayo Oktavia, dan Sumarto, 2012. Panduan Proses produksi Temulawak Instant. Seafast Center LPPM IPB. Bogor.

Prakasa, D. Y., 2010. Profil Metabolit Volatil Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang Dipanen pada Waktu Berbeda. Skripsi. Departemen Biokimia FMIPA IPB. Bogor.

(7)

250

Sembiring, B. Br., Ma’mun, dan Edi I. G. 2006. Pengaruh Kehalusan Bahan dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 53 – 58.

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Rimpang temulawak
Gambar 1.  Diagram alir proses produksi pati temulawak  Dari  setiap  kurang  lebih  proses  produksi  2  kg
Gambar 3. Gambar pati temulawak kering  Pati  yang  dihasilkan  dari  proses  produksi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merumuskan masalah bagaimana pesan dakwah dalam Iklan Pasta Gigi Sasha, berdasarkan penanda dan petanda, makna denotasi dan konotasi sesuai dengan

Penelitian ini bertujuan yaitu untuk mengetahui potensi larutan daun mimba dan MOL bonggol pisang dengan dosis yang tepat dalam mengendalikan penyakit antraknosa

Levene Statistic 1,667 dengan Signifikansi 0,203, nilai signifikansi ini > 0,05, menyatakan bahwa data peningkatan nilai pretest dan posttest kelas kontrol dan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan beton pracetak dibanding dengan beton konvensional pada proyek konstruksi.. Penelitian ini bertujuan untuk

Sedangkan proses IPA merupakan serangkaian urutan kejadian/fenomena yang terjadi di alam, ataupun perbandingan suatu kejadian/fenomena yang dapat digunakan untuk

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa responden memiliki tingkat gaya hidup sehat yang tinggi.. Setiap manusia mempunyai gaya hidup

Berdasarkan diagram 1.2 didapat bahwa aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan model pengajaran langsung pada kompetensi melakukan

Pelayanan pasien yang lemah, manula dengan ketergantungan bantuan diarahkan oleh kebijakan dan prosedur yang sesuai.. Pasien lemah, manula dengan ketergantungan bantuan