• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kapang Rhizoctonia solani Khun. 2.1.1. Klasifikasi Rhizoctonia solani Khun. - UJI EFEKTIFITAS EKSTRAK ANTING-ANTING (Acalypha indica Linn.) SEBAGAI ANTIFUNGAL TERHADAP KAPANG Rhizoctonia Solani Khun. PENYEBAB PENYAKIT TANAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kapang Rhizoctonia solani Khun. 2.1.1. Klasifikasi Rhizoctonia solani Khun. - UJI EFEKTIFITAS EKSTRAK ANTING-ANTING (Acalypha indica Linn.) SEBAGAI ANTIFUNGAL TERHADAP KAPANG Rhizoctonia Solani Khun. PENYEBAB PENYAKIT TANAMAN "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kapang Rhizoctonia solani Khun. 2.1.1. Klasifikasi Rhizoctonia solani Khun.

Klasifikasi Kapang Rhizoctonia solani (Alexopoulos, 1996) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Phylum : Deuteromycota

Classis : Deuteromycetes

Ordo : Agonomycetales

Familia : Agnomycetaceae

Genus : Rhizoctonia

Species : Rhizoctonia solani Khun.

2.1.2. Morfologi

Rhizoctonia solani Khun mempunyai hifa yang bersifat hialin pada saat masih muda, kemudian berubah warna menjadi coklat kekuningan setelah tua. Hifa

bercabang membentuk sudut hampir tegak lurus (Gambar 2.1), mempunyai sel-sel

panjang berdiameter 8-12 μm. Pada keadaan lingkungan yang mendukung

(2)

masih muda dan berwarna putih, kemudian berubah warna menjadi coklat sampai

hitam setelah tua, membentuk percabangan didekat sekat pada hifa vegetatif yang

muda, membentuk hifa dan sekat yang pendek didekat tempat asal percabangan

ciri-ciri morfologi utamanya adalah tidak terdapat clamp connection dan konidium

(Parmater, 1965).

Menurut (Duggar, 1915 dalam Parmater, 1965 ), pembahasan rinci spesies R.

solani yang meliputi tanda-tanda seperti warna miselium pucat sampai coklat tua,

diameter relatif besar dengan percabangan dekat septum distal dari sebuah sel hifa,

sudut sering terbentuk pada hifa tua, terjadi penyempitan cabang hifa pada titik asal,

pembentukan septum di cabang dekat titik asal, mampu memproduksi sel monilioid

(sel gentong rantai) akan membentuk skelerotia, sklerotia R. solani pada dasarnya sama dengan sklerotia lain namun lebih gelap dan lebih berdinding tebal, kumpulam

masa sklerotia akan membentuk sklerotium yang memiliki bentuk hampir seragam,

sklerotium R.solani merupakan fase yang menandai gejala penyakit hawar pelepah,

memiliki keadaan sempurna basidiomycetous beda disebut sebagai Thaenaporus cucumis, memiliki bagian pori dengan septum menonjol, warna hifa muda hialin dan warna hifa tua coklat, diameter hifa rata-rata biasa sekitar 6-10 μm. diameter hifa

(3)

Gambar 2.1 Penampak Mikroskopis Kapang Rhizoctonia solani

2.1.3. Gejala Penyakit Hawar Pelepah Rhizoctonia solani Khun.

Gejala penyakit hawar padi yaitu, timbul bercak pada pelepah daun terutama

terdapat pada selubung daun. Bila kondisi lembab bercak tersebut dapat terjadi di

daun. Bercak tampak coklat kemerahan lalu menjadi putih kelabu dengan pinggiran

berwarna coklat. Bercak berbentuk bulat lonjong dan akhirnya menyebar secara

meluas. Ukuran bercak dapat mencapai panjang 2-3 cm. Pada kondisi yang

memungkinkan pelepah daun dapat menjadi busuk sehingga mempengaruhi

pembentukan biji (bila serangan terjadi sebelum bulir berisi) dan menyebabkan

tanaman mati (Harahap & Tjahjono, 1992).

2.1.4. Siklus Hidup Rhizoctonia solani Khun.

Kapang Rhizoctonia solani mempunyai siklus hidup, yaitu siklus hidup tingkat imperfek. Pada tingkat imperfek, R. solani hanya membentuk miselia dan

(4)

(anamorph), kapang tersebut memiliki fase seksual Thanatephorus cucumeris dan sering dikatakan sebagai tingkat perfek (Schumann & D’Arcy 2006).

2.1.5. Siklus Penyakit

R. Solani dapat bertahan hidup pada tanaman hidup atau sebagai saprofit pada sisa-sisa bahan organik. R.solani dikenal sebagai patogen yang dapat bertahan hidup

dalam tanah (soil-borne) dalam bentuk sklerotia atau miselia istirahat (Angrios,

1996). Pada kondisi yang mendukung perkembang biakan penyakit, sklerotia dari R. solani mampu berinteraksi dengan tanaman inang. Bila patogen tersebut berhasil

masuk ke dalam jaringan tanaman inang dan berkembang biak akan menyebabkan

proses fisiologi tanaman inang terganggu (Angrios, 1988).

2.2. Tanaman Anting-antingan (Acalypha indica Linn) 2.2.1. Klasifikasi Anting-antingan (Acalypha indica Linn)

Berikut Klasifikasi tumbuhan anting-anting (Acalypha indica L), menurut

(Cronquist, 1966) :

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida

Subclassis : Rosidae

Ordo : Euphorbiales

Familia : Euphorbiaceae

Genus : Acalypha

(5)

2.2.2. Morfologi Tumbuhan Anting-antingan (Acalypha indica Linn)

Achalypha indica merupakan tanaman semusim, tegak, dengan tinggi dari 30

s.d 50 cm, Perbungaan bagian ujung saling menyendiri atau sepasang-sepasang.

paling sering memanjang sampai 5-18 mm batang panjang dan tipis sering diakhri

oleh bunga betina yang abnormal. Bunga betina memiliki daun pelindung dengan

bentuk dangkal dan bergigi namun sangat jarang yang memiliki bulu, lebar daun

pelindung berkisar 3-4 mm untuk tumbuhan yang kecil dan 7-10 mm bagi tumbuhan

dengan ukuran yang lebih besar. Daun pelindung yang dimiliki anting-anting meliliki

panjang melebihi panjang dari buah, dengan 2-6 bunga tetap; buah 2 ¼-2 ½ mm di

sebelah dalamnya. Rambut pada batang bagian atas melengkung dengan daun bentuk

telur sampai belah ketupat. Daun dari bawah Berbentuk segitiga sungsang (baji),

dangkal bergigi, permukaan atasnya gundul, atau berbulu hanya pada uratnya.panjang

daun mencapai 1 ¼ - 7 cm dengan lebar 1 ¼ -5 cm; tangkai daun memiliki panjang

2-6 cm dengan lebar 0,25-1.00 cm dan sangat jarang sampai 1,2-60 cm (Gambar 2.2).

(6)

Gambar 2.2. TumbuhanAnting-anting (Acalypha indica Linn.)

2.2.3. Ekologi tanaman Anting-antingan (Acalypha indica Linn.)

Acalypha indica Linn. Sering juga disebut anting-anting. Karena bentuk bunganya seperti bentuk anting-anting. Anting-anting merupakan gulma yang sangat

umum ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan, lapangan rumput, maupun di lereng

gunung (Sriwahyuni, 2008). Biasa ditemukan di dataran rendah, daerah yang sedikit

berbayang, pinggir jalan, kebun desa (Backer & van den Brink, 1965).

2.2.4. Fitokimia Anting-antingan (Acalypha indica Linn.)

Hasil uji fitokimia ekstrak anting-antingan pada beberapa penelitian

menunjukan bahwa dalam tumbuhan anting-anting terdapat beberapa senyawa

metabolit sekunder penting seperti saponin, flavonoid, glikosida, phytosterol.

(Balasubramanian et al., 2012). Menurut Maduri et al. (2011), ekstrak daun

anting-anting dengan pelarut non polar seperti petrolium eter dan kloroform mampu

(7)

(Paindla et al., 2014), sedangkan pelarut semi polar seperti aseton membawa senyawa

non polar maupun polar seperti senyawa fenol, glikosida, protein, fenol ( Khanimozhi

et al., 2012). Untuk pelarut polar seperti alkohol akan membawa senyawa yang polar seperti flavonoid, quinine, coumarin, phenols dan juga saponin sedangkan air akan

membawa senyawa alkaloid, flavonoid, quinine, coumarin, phenols, tanin dan juga

saponin. Penelitian lain menunjukan ekstrak etanol mengandung flavonoid, tanin,

terpenoid, glikosida, saponin dan steroids sedangkan pada ekstrak air mengndung

senyawa flavonoid, saponin, terpenoid, glikosida (Selval et al., 2012).

2.2.5. Manfaat tanaman Anting-antingan (Acalypha indica L. )

Anting-anting sering digunakan sebagai antiradang, antibiotik, peluruh

kencing, obat malaria, malnutrisi, diuretik, untuk mengnetikan pendarahan, dan

sebagai atsrige (Radji et al., 2008). Sedangkan menurut Selvan et al. (2012),

anting-anting digunakan sebagai antikanker dan aktivitas antioksidan. Sebagai Aktivitas

analgesik pada tikus, efek neuro-perlindungan, Aktivitasanti-inflamasi, Aktivitas anti

jamur dan antibakteri. (Sanseera et al., 2012).

2.3. Padi (Oryza sp.)

2.3.1. Morfologi Tanaman Padi (Oryza sp.)

Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput-rumputan yang berasal dari

benua asia dan afrika. Sistem pembudidayaan padi di indonesia secara garis besar

dikelompokan menjadi dua yaitu padi sawah dan gogo. Tanaman padi sawah

(8)

ditumbuhkan pada kondisi yang tergenang air. Inilah yang menyebabkan tanaman

padi sawah rentan terkena hama dan penyakit. (Prasetyo, 2011)

2.3.2. Klasifikasi Tanaman Padi (Oryza sp)

Sistem Klasifikasi tanaman padi (Oryza sp) menurut Cronquist (1981) sebagai

berikut :

Divisio : Magnoliophyta

Clasiss : Liliopsida

Subclasiss : Commelinidae

Ordo : Cyperales

Familia : Poaceae

Genus : Oryza

Species : Oryza sp.

2.4. Hama dan Penyakit Serta Cara Pengendalian Penyakit

Hama dan penyakit merupakan organisme parasit karena memperoleh

sebagian zat makanan sebagai nutrisinya dari organisme lain. Hama adalah binatang

perusak tanaman budidaya misalnya padi, jagung, kentang, umbi, mangga, apel

jambu dll. Sedangkan penyakit adalah serangan mikroorganisme seperti Jamur,

bakteri dan virus tanaman yang menjadi sakit (Prasetyo, 2011).

Salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman budidaya padi adalah

golongan kapang yaitu Rhizoctonia solani. Kapang tersebut menyebabkan penyakit yang disebut hawar pelepah. Siklus penyakit paling umum terjadi pada saat tanaman

(9)

tersebut selama ini dengan menggunakan fungisida. Fungisida dibagi menjadi dua

yaitu fungisida sintetik dan fungisida nabati. Fungisida sintetik adalah fungisida

dengan bahan baku kimia untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan

jamur ( Sudarmo, 1991).

Salah satu fungisida yang biasa digunakan oleh petani untuk memberantas

kapang Rhizoctonia solani adalah Fulicur 430 Sc dengan kandungan 43% tebukonazol. Tebukonazol merupakan fungisida golongan triazole yang digunakan

untuk menghambat perkembangbiakan jamur. Tebukonazole diklasifikasi tingkat

toksisistasnya sebagai level III, yang berarti sedikit berbahaya (Food and Agriculture

Organisation, 2013).

Menurut aturan Pengendalian hama terpadu (PHT) yang merupakan

pendekatan dan teknologi pengendalian OPT yang berwawasan ekologi dan ekonomi

telah menjadi kebijakan dasar perlindungan tanaman nasional. Penggunaan pestisida

dan fungisida yang tidak bijaksana menimbulkan masalah baru seperti pencemaran

lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia hewan lain, resistensi hama dan

organisme bukan sasarannya mati (DEPTAN RI, 1997).

Oleh karena itu perlu ada peningkatan penggunaan fungisida dengan bahan

baku alami dari tumbuhan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan

fungisida sintetik. Fungisiada alami dibuat dari bahan alami tumbuhan (Damin,

2008).

(10)

Didalam tubuh mahluk hidup terdapat suatu proses kimia yang

memungkinkan terdapat suatu kehidupan, proses tersebut disebut dengan

metabolisme. Tumbuhan sebagai salah satu mahluk hidup menghasilkan dua senyawa

organik hasil metabolisme yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer

merupakan senyawa utama penyusun yang dibutuhkan untuk proses perkembangan

dan pertumbuhan mahluk hidup. Metabolit primer meliputi karbohidrat, protein,

lemak dan vitamin. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan

tumbuhan namun tidak berperan langsung dala proses pertumbuhan dan

perkembangan (Robinson, 1995).

Metabolit sekunder dikelompokan menjadi tiga yaitu, fenolat, terpen dan

senyawa yang mengandung nitrogen. Fenolat merupakan senyawa aromatik alami

yang mengandung gugus fenol. Beberapa senyawa yang termasuk fenolat antara lain

selulosa, lignin, flavonoid, dan tanin. Sejumlah metabolit sekunder memilki aktifitas

biologis seperti golongan, tanin, saponin, glikosida, terpenoid, flavonoid, tanin dan

alkaloid (Robinson, 1995).

2.6. Senyawa – Senyawa Metabolisme Sekunder

a. Tanin

Terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat

khusus dalam jaringan kayu. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan

enzim sitoplasma. Secara kimia tanin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin

terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi atau tanin katekin lebih

(11)

dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam larutan asam klorida encer. Bagian alkohol

dari ester ini biasanya gula, dan seringkali glukosa. Tanin terhidrolisis biasanya

berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat, hijau, kuning yang larut dalam

air (terutama air panas) membentuk koloid (Padmawinata dan Soediro, 1996).

b. Flavonoid

Flavonoid yang terdapat di alam antara lain adalah flavon, isoflavon,

antosianin, leuko-antosianin, dan kalkon. Senyawa senyawa ini merupakan zat warna

merah, ungu, dan biru, serta sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman.

(Robinson, 1995). Beberapa fungsi dari flavonoid bagi tumbuhan adalah sebagai zat

pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba, antivirus, dan

antiinsektisida. (Kristanti, 2008).

Sifat fisika dan kimia senyawa flavonoid antara lain adalah larut dalam air dan

pelarut polar. Sebagai glikosida maupun aglikon, senyawa flavonoid tidak dapat larut

dalam petroleum eter yang bersifat non polar namun dapat ditarik dengan pelarut

organik yang bersifat polar (Lathifah, 2008).

Flavonoid memiliki kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon

dan digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6. Artinya, kerangka karbonnya

terdiri atas dua gugus C6 yang dihubungkan dengan rantai alifatik tiga karbon.

flavonoid telah banyak dikarakterisasi dan digolongkan berdasarkan struktur

kimianya menjadi flavon, flavonol, flavonon, khalkon, xanton, isoflavon, dan

(12)

Flavonoid disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba,

jadi secara in vitro flavonoid efektif sebagai substansi antijamur antimikroba yang

membunuh banyak mikroorganisme.Contoh senyawa flavonoid yang mempunyai

aktivitas antijamur antara lain adalah flavonol yaitu quersetin, kaempferol yang

mampu menghambat pertumbuhan Candida sp dan Microsporum sp. (Somchit, 2010)

c. Terpenoid

Terpenoid adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen, atau

karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatis. Secara kimia terpenoid

larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid

diekstraksi dari jaringan tumbuhan dengan memakai eter atau kloroform, dan dapat

dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina menggunakan pelarut

eter atau kloroform (Harborne, 1996).

d. Alkaloid

Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan, tetapi sering kali

kadar alkaloid kurang dari 1% (Kristanti et al., 2008). Alkaloid dari tanaman kebanyakan amina tersier dan lainnya terdiri dari nitrogen primer, sekunder dan

quarterner. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang

biasanya bersifat basa dan sebagian besar atom nitrogen ini merupakan cincin

aromatis (Achmad, 1986).

(13)

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa,

jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan

hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer, saponin sangat beracun

untuk ikan. Tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun

ikan. Saponin mempunyai efek antibakteri dan antijamur. Saponin memiliki struktur

yang dapat berikatan dengan molekul hidrofilik dan molekul-molekul organik non

polar (lipofilik) sehingga mampu merusak membran sitoplasma dan membunuh

bakteri Pembentukan busa yang lama pada waktu ekstraksi atau ekstrak tanaman yang

pekat menunjukkan adanya saponin (Wagner, 1984).

2.6.1. Mekanisme Senyawa Anti Jamur Menurut Pelzar & Chan (1988), Beberapa Cara Yaitu :

a. Kerusakan pada dinding sel

Dinding sel merupakan penutup lindung bagi sel lin juga berpartisipasi di

dalam proses-proses fisiologi tertentu. Strukturnya dapat dirusak dengan cara

menghambat sintesis dinding sel (Pelzar & Chan, 1988).

b. Perubahan permeabilitas sel

Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel

serta secara selektif mengatur aliran keluar-masuknya zat antara sel dengan

lingkungan luarnya. Membran ini juga merupakan situs beberapa reaksi nzim.

Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel

(14)

Perubahan molekul protein yaitu melalui proses denaturasi protein dan

asam-asam nukleat dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan

konsentrasi pekat beberapa zat kimia dapat mengakibatkan koagulasi (denaturasi)

ireversibel (tak dapat balik) komponen-komponen seluler yang vital ini (Pelzar

dan Chan, 1988).

d. Penghambatan kerja enzim

Setiap enzim dari beratus-ratus enzim berbeda-beda yang ada di dalam sel

merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu penghambat. Banyaknya zat

kimia telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimiawi. Penghambatan ini

dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel (Pelzar & Chan,

1988).

2.7. Penapisan Fitokimia Simplisia Anting-antingan (Acalypha indica Linn.) Pendekatannya secara penapisan fitokimia meliputi analisis kualitatif

kandungan kimia dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga

dan biji). Terutama kandungan metabolit sekunder yang bioaktif yaitu alkaloid,

antrakinon, flavonoid, glikosa jantung, kumarin, saponin (steroid dan triterpenoid),

tanin, polifenol, minyak atsiri. Adapun tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah

menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif atau kandungan yang

berguna untuk pengobatan (Pedrosa, 1978).

Metode yang digunakan untuk melakukan penapisan fitokimia harus

memenuhi beberapa persyaratan antara lain, sederhana, cepat dan dapat dilakukan

(15)

semikualitatif dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya

senyawa tertentu dari golongan senyawa yang dipelajari (Pedrosa ,1978).

Uji saponin menunjukkan positif apabila memiliki kemampuan membentuk

buih dalam air. Senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon

(Marliana et al., 2005).

Tanin terdeteksi dalam ekstrak karena kemampuan ion Fe3+ Dari reagen

membentuk kompleks dengan senyawa tanin. Kompleks terbentuk karena ikatan

kovalen antara ion Fe3+ dengan atom O dari gugus fungsi OH senyawa tanin yang

melepaskan atom H (Marliana et al., 2005).

Uji flavonoid digunakan untuk mendeteksi senyawa yang mempunyai inti

benzopiranon. Warna merah atau ungu yang terbentuk merupakan garam

benzopirilum, yang disebut juga garam flavilium (Achmad, 1986).

2.8. Uji Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Acalypha indica Linn.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan pemisahan komponen kimia yang

sering digunakan dalam kimia organik bahan alam. Fenomena yang terjadi pada KLT

adalah berdasar prinsip adsorbsi. Pada KLT, secara umum senyawa-senyawa yang

memiliki kepolaran rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa senyawa polar

(Kristanti et al., 2008).

KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang

larut dalam lipid, yaitu lipid, steroid, karotenoid, kuinon sederhana, dan klorofil

(16)

melihat kemurnian suatu senyawa organik. Ada dua macam fase dalam KLT yaitu

fase diam dan fase gerak.

Fase diam yang digunakan dalam KLT berupa zat padat silika atau alumina

yang mempunyai kemampuan mengabsorbsi bahan – bahan yang akan dipisahkan

sebagai absorben (Kristanti et al., 2008). Fase gerak yang dipakai adalah pelarut tunggal atau campuran pelarut dengan perbandingan tertentu. Pemisahan yang bagus

dapat dicari dengan mencoba coba mengelusi dengan berbagai perbandingan

campuran pelarut. Pendeteksian noda dapat dilakukan dengan pengamatan langsung,

dibawah sinar UV dan disemprot dengan reagen spesifik (Wagner, 1983).

2.8.1. Penelitian Tentang Potensi Antifungal Ekstrak Acalypha indica Linn. Salah satu tanaman yang memiliki sistem metabolit sekunder adalah

tumbuhan anting-antingan (Acalypha indica). Berdasarkan penelitian terdahulu

kamampuan ekstrak etanol Acalypha indica menunjukkan penghambatan maksimum

terhadap Bacillus cereus, Bacillussubtilis, Escherichiacoli, Salmonellatyphi, Vibrio

cholera dan Pseudomonas aeruginos, perlindungan dan neuro-terapi pada katak. (Saha et al., 2011). Anti bakteri pada Staphylococcus aureus, Bacillussubtilis,

Escherichiacoli dan Klebsiella sp. ( Rajaselvam et al, 2012). Aktivitas antimikrobial Etanol, Metanol, Aseton, Kloroform, Hexane dan Ekstrak petroleum eter sebagai anti

jamur pada Aspergillus niger, Candida albicans, Candida kefyr dan Candida

tropicalis (Kanimozi et al., 2012) sebagai antifungal pada Aspergilus flavus, Aspergilus niger Aspergilus terreus, Blastomyces dermatidis, Candida Albicans,

(17)

capsulatum, dan Penicillium marneffei (Balasubramanian et al., 2012). Ekstrak metanol Acalypha indica Linn terbukti sebagai anti kanker, antioksidan (Sanseera et

al., 2012). Ekstrak etanol, air, aseton dari Acalypha indica mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium.sp pada konsentrasi 50% (Siva et al., 2008).

Dari penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa tanaman anting-anting atau

(Acalypha indica) mampu berperan sebagai antifungal. Setiap organ dari tumbuhan

anting-anting mengandung senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai

antifungal. Namun kandungan metabolit sekunder dari beberapa ekstrak anting-anting

yang dihitung secara kuantitatif paling banyak terdapat di organ daun dengan total

berat konsentrasi ekstrak paling banyak didapat dari pelarut etanol (Solomon et al., 2005). Maka peneliti akan mengembangkan penelitian terdahulu tentang kemampuan

ekstrak anting-anting terhadap pertumbuhan kapang selain yang telah diujikan diatas,

Gambar

Gambar 2.1 Penampak Mikroskopis Kapang Rhizoctonia solani
Gambar 2.2. TumbuhanAnting-anting (Acalypha indica Linn.)

Referensi

Dokumen terkait