1
KAJIAN GANGGUAN CUACA
PADA KEJADIAN HUJAN LEBAT DI BATAM
(Studi Kasus Tanggal 19 Desember 2014)
Adhitya Prakoso *, Aries Kristanto
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
*Email : prakoso.adhitya@gmail.com
ABSTRAK
Memasuki bulan Desember curah hujan di Pulau Batam mengalami masa puncak. Kejadian hujan lebat yang terjadi di Batam pada tanggal 19 Desember 2014 telah menyebabkan banjir dan menimbulkan kerugian materi lainnya. Curah hujan yang melebihi 100 milimeter di suatu wilayah, memberikan indikasi adanya faktor gangguan cuaca signifikan yang berperan dalam pembentukan suatu sistem awan konvektif yang besar dan luas. Analisis cuaca skala regional dan lokal dilakukan untuk mengidentifikasi gangguan cuaca yang berperan pada kejadian tersebut. Berdasarkan hasil olahan data observasi curah hujan, data udara atas Changi Singapura, satelit MT-SAT, dan data reanalisis Era Interim ECMWF, hujan lebat tanggal 19 Desember 2014 disebabkan karena adanya gangguan pada pola angin di sekitar Kalimantan yang dikenal dengan sebutan Borneo Vortex. Hujan lebat ini juga didukung oleh aktifnya aliran seruak dingin dari daratan Asia.
Kata kunci : hujan lebat, Borneo Vortex, monsun dingin Asia ABSTRACT
At the beginning of December, rainfall on the island of Batam have a peak periods. Torrential rain events that occurred in Batam on December 19th, 2014 has caused flooding and other material losses. Rainfall exceeding 100 millimeters in an area, provide indications of significant weather disturbance factors that play a role in the formation of a large convective cloud system. Using regional and local weather scale analysis, identification of weather disturbance is implemented to determine dominant factor on that event. Based on the processed results of rain observation data, Singapore Changi’s upper air data , MT - SAT satellite, and reanalysis Era Interim ECMWF data, torrential rain that occurred on December 19th, 2014 was caused due to a disturbance in wind patterns around Borneo , known as Borneo Vortex . The torrential rain also supported by an active cold surge flow of mainland Asia.
Keywords: torrential rain, Borneo Vortex, winter Asian monsoon
1. PENDAHULUAN
Chang dkk. (2005) memaparkan ada beberapa jenis gangguan cuaca yang berkontribusi terhadap proses pembentukan cuaca di wilayah Laut Cina Selatan dan Indonesia bagian Barat. Gangguan cuaca tersebut diantaranya adalah seruakan dingin (Cold Surge), Borneo Vortex, dan Madden Julian Oscillation.
Tangang dkk. (2008) menyimpulkan
penyebab banjir di semenanjung Malaysia pada tahun akhir tahun 2006 hingga awal tahun 2007 adalah karena terjadinya hujan
lebat dalam tiga episode. Hujan lebat ini disebabkan karena adanya Cold Surge yang berperan dalam pembentukan awan melalui adveksi udara dingin karena seruak dingin melalui bagian hangat dari Laut Cina Selatan bagian selatan. Selain itu kecepatan angin
lapisan bawah Cold Surge yang terkena
daratan juga dapat membentuk low-level
convergence sehingga terjadi pembentukan awan. Kesimpulan tersebut didasarkan pada analisisnya yang menggunakan data TRMM pada saat kejadian, analisis angin pada level
2 radiation (OLR) serta analisis suhu muka
laut.
Menurut Zakir dkk. (2010), seruakan dingin (Cold Surge) adalah aliran udara dingin dari daratan Asia yang menjalar memasuki wilayah Indonesia bagian barat. Seruakan dingin biasa terjadi pada saat di Asia
memasuki musim dingin (winter season).
Zakir dkk. (2010) menyebutkan adanya seruakan dingin ini ditandai dengan:
a. Perbedaan tekanan udara antara Gushi
(30o LU, 115o BT) dengan Hongkong (22o LU, 114o BT) sebesar 10 mb.
b. Selama 24 jam turunnya suhu udara di
Hongkong sekitar 5o C atau lebih.
c. Selama 24 jam ada peningkatan
kecepatan angin di Hongkong mencapai 10 knot atau lebih.
d. Angin disekitar wilayah laut Cina
Selatan dari utara atau Timur Laut dengan kecepatan di atas 10 knot.
Menurut Braesicke dkk. (2012) Borneo
Vortex adalah sirkulasi angin tertutup yang tampak secara jelas diatas Laut Cina Selatan ekuator dan benua maritim Indonesia bagian barat selama musim dingin di Belahan Bumi Utara (BBU) berlangsung. Dalam jurnalnya juga disebutkan bahwa Mower dkk. (1984) adalah salah satu yang pertama kali
mendeskripsikan Borneo Vortex secara
singkat dari kejadian pada Desember 1978 dengan menganalisis vortisitas relatif pada lapisan 850 mb, dimana terdapat siklon inti hangat dengan pusat dekat dengan selatan-barat dari pulau Kalimantan.
Chang dkk. (2005) menjelaskan Borneo
Vortex teridentifikasi saat terjadi sirkulasi tertutup yang berlawanan dengan arah jarum jam pada angin 925 mb di area 2.5° LS - 7.5° LU, 107.5° BT - 117.5° BT.
Anip dan Lupo (2012) menjelaskan rata-rata suatu sistem vorteks memiliki masa hidup 3.6 hari yang menunjukkan bahwa vorteks tersebut adalah fenomena cuaca skala
sinoptik. Selain itu dalam periode
bulanannya, bulan Desember merupakan puncak kejadian Borneo Vortex berdasarkan frekuensi kejadian dan masa hidupnya. Sebagai salah satu negara yang berada di wilayah tropis, wilayah Indonesia berpotensi
besar terjadi cuaca ekstrem yang dapat memberi dampak buruk dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Salah satu kejadian cuaca ekstrem adalah terjadinya curah hujan lebat yang dapat mengakibatkan terjadinya banjir. Pada umumnya banjir dapat berdampak buruk bagi sektor pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi. Kejadian ini umumnya disebabkan adanya curah hujan yang turun dengan intensitas tinggi ditambah dengan keadaan topografi suatu wilayah, luasan daerah serapan air, sistem drainase dan kebiasaan masyarakat (Suyono dkk, 2009).
Batam yang terletak di propinsi Kepulauan Riau berada di daerah equatorial dan dikelilingi lautan. Hal ini menjadikan cuaca di Batam yang sering terjadi sangat unik. Iklim di wilayah Batam sepanjang tahun panas dan lembap serta banyak curah hujan. Dua musim monsun utama sangat dominan di wilayah ini, Monsun Timur Laut terjadi pada bulan Desember sampai dengan Maret dan Monsun Barat Daya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September (Prawoto dkk., 2011). Pada saat monsun dingin Asia, di wilayah Batam sering kali terjadi kondisi cuaca yang lebih buruk seperti hujan dengan intensitas lebat. (Setiawan, 2014). Hujan – hujan dari awan konvektif mendominasi kejadian cuaca di Batam karena persediaan uap air yang melimpah dari wilayah perairan yang mengelilingi Pulau Batam (Prawoto dkk., 2011).
Pada kasus banjir yang terjadi di Batam 19 Desember 2014, banjir terjadi setelah hujan lebat mengguyur wilayah tersebut sepanjang hari. Hujan lebat tersebut terjadi pada saat aktifnya monsun dingin pada saat puncak curah hujan di Batam. Curah hujan selain dikarenakan oleh pengaruh dari monsun dingin Asia, perlu dicurigai fenomena atau
gangguan cuaca lainnya yang ikut
mendukung mekanisme penyebab hujan sangat lebat tersebut. Gangguan skala regional yang kemungkinan terjadi dan mempengaruhi cuaca di Batam diantaranya adalah seruakan dingin dari daratan Asia atau
yang lazim disebut Cold Surge, adanya
daerah vorteks siklonik di sekitar Kalimantan (Borneo Vortex), serta gangguan pada pola angin seperti daerah pumpunan angin (konvergensi) dan belokan angin (shearline).
3
2. DATA DAN METODE
Dalam penelitian ini adapun bahan berupa data yang digunakan antara lain:
a) Peta isohyet hasil olahan dari data
pengamatan curah hujan harian Stasiun Meteorologi Hang Nadim Batam dan 9 titik Automatic Weather Station.
b) Data analisis surface pressure, angin
lapisan 925 mb dan moisture transport
jam 00 UTC hasil olahan data reanalysis
model ECMWF dengan resolusi spasial 0,125° x 0,125°.
c) Data udara atas dari stasiun meteorologi Changi Singapura tanggal 18 – 19 Desember 2014.
d) Data satelit MT-SAT format netcdf (.nc)
tanggal 18 – 19 Desember 2014.
e) Data analisis kelembaban udara, nilai
divergensi dan vertical velocity di sekitar area pulau Batam hasil olahan data reanalysis model ECMWF dengan resolusi spasial 0,125° x 0,125°.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Menginterpretasikan peta isohyet untuk
mengetahui bagaimana apakah hujan yang terjadi merata atau tidak di Pulau Batam.
Mengintepretasikan peta tekanan, angin
dan moisture transport untuk mendeteksi gangguan cuaca
Melihat pola labilitas vertikal apakah
mendukung kejadian hujan lebat.
Melihat bentuk dan luasan awan serta
nilai suhu puncak awan untuk menaksir jenis awan.
Melihat nilai kelembaban udara,
divergensi dan vertical velocity sesaat sebelum dan saat kejadian hujan lebat.
Membuat kesimpulan berdasarkan hasil
analisis dan pembahasan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Isohyet
Peta sebaran curah hujan yang dibuat dari data hujan akumulasi 24 jam di 9 titik AWS dan di Stasiun Meteorologi Hang Nadim Batam memberikan gambaran bahwa pada saat kejadian hujan lebat tanggal 19 Desember 2014, terlihat sebaran hujan cukup merata di Pulau Batam berkisar antara 50 –
150 mm (gambar 3.1). Akumulasi curah hujan > 100 mm terjadi di wilayah Batam Bagian Timur, sedangkan daerah lain seperti Batam bagian Barat, Tengah dan Selatan curah hujan terakumulasi secara merata < 100 mm pada tiap lokasi AWS. Akumulasi curah hujan terbesar tertakar di Stamet Hang Nadim Batam sebesar 116.7 mm dan terkecil tertakar di AWS Sei Harapan.
Gambar 3.1 Peta Spasial Sebaran Hujan Tanggal 19 Desember 2014.
3.2 Analisis Surface Pressure
Analisis skala sinoptik dimulai dengan informasi tekanan pada permukaan laut (MSLP) di sekitar daratan Asia, Laut Cina Selatan hingga Indonesia mulai tanggal 17 hingga 20 Desember 2014 tiap 24 jam. Berdasarkan gambar 3.2 pada tanggal 17 hingga 19 Desember 2014 membuktikan adanya daerah bertekanan tinggi sebesar 1036 mb di sekitar daratan Asia. Terlihat juga pada saat yang sama garis Isobar yang cukup rapat di dekat wilayah Cina.
Dikarenakan pada bulan Desember
merupakan puncak musim dingin di wilayah BBU, hal ini mengindikasikan akan adanya arus massa udara yang mengalir kuat dari daerah tersebut menuju BBS. Hal ini juga didukung oleh adanya daerah palung equator serta daerah bertekanan rendah di sepanjang wilayah Indonesia. Tercatat selama 3 hari sejak tanggal 17 Desember 2014, tekanan di wilayah Indonesia mencapai 1012 - 1010 mb. Kondisi ini mengakibatkan pasokan massa udara dari Asia semakin kencang menerobos wilayah Indonesia, sehingga
4 akan memicu tumbuhnya banyak awan di
Indonesia termasuk Pulau Batam.
Gambar 3.2 Peta Isobar dengan interval 2 mb tanggal 17 – 20 Desember 2014.
3.3 Analisis Wind Streamline
Identifikasi gangguan cuaca yang dilakukan pada tekanan pada permukaan laut (MSLP) diperjelas dengan informasi arah dan kecepatan angin. Gambar 3.3 merupakan
merupakan overlay antara arah dan kecepatan
angin pada lapisan 925 mb. Dengan memilih lapisan 925 mb dimaksudkan mampu memberikan gambaran tentang gangguan cuaca yang terjadi dalam kurun waktu tanggal 17 hingga 20 Desember 2014 yang terkait dengan arah dan kecepatan angin yang terjadi. Pada tanggal 17 Desember 2014, ada beberapa indikasi gangguan cuaca yang terjadi. Gangguan cuaca tersebut di antaranya daerah pertemuan massa udara (konvergensi) di sekitar Laut Cina Selatan serta daerah
belokan angin (shear) di wilayah Riau,
Kalimantan Barat hingga Selat Karimata,
sedangkan pada tanggal 18 Desember 2014 terlihat pula adanya pusaran atau vortex yang terbentuk di bagian Barat Pulau Kalimantan. Daerah vortex berupa eddy yang terjadi di atas Pulau Kalimantan tersebut diduga adalah
fenomena yang biasa disebut dengan Borneo
Vortex. Selain itu pada tanggal 19 Desember 2014 atau pada saat kejadian hujan lebat terlihat juga adanya daerah konvergensi di sekitar Laut Cina Selatan. Kondisi ini berpotensi menyebabkan pemampatan massa udara yang dapat menggerakkan massa udara
naik dan membentuk banyak awan-awan konvektif.
Gambar 3.3 Peta Streamline 925 mb tanggal 17 – 20 Desember 2014.
Selain gangguan yang telah disebutkan, yang perlu dicermati lagi adalah tingginya kecepatan angin di Laut Cina Selatan. Arah angin Utara hingga Timur Laut dari Laut Cina Selatan tersebut mengarah ke perairan Kepulauan Riau hingga Selat Karimata dengan kecepatan di atas 30 knot. Hal ini merupakan kondisi signifikan yang dapat menjadi indikasi adanya gangguan cuaca skala sinoptik yang dikenal dengan seruakan
dingin (Cold Surge) dengan catatan kecepatan
angin meredional di Hongkong lebih dari 10 knot.
3.4 Analisis Moisture Transport
Analisis Moisture Transport dilakukan untuk mengetahui daerah dan asal dari uap air yang merupakan unsur utama pembentuk awan. Berdasarkan gambar 3.4 pada saat kejadian hujan lebat di Batam yang terjadi pada tanggal 19 Desember 2014 terlihat bahwa uap air banyak berasal dari Laut Cina Selatan yang mengarah menuju wilayah Pulau Batam. Dengan ketersedian uap air yang banyak,
rata-rata lebih dari 1000 Kg/ms-1 mendukung
proses pembentukan awan.
Massa udara dingin yang bersifat kering dari daratan Asia dan didorong oleh angin utara menjalar menyeruak ke arah selatan melewati Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan uap air yang cukup banyak. Adanya konvergensi di sekitar Pulau Batam membuat angin melemah yang akhirnya menyebabkan massa udara tersebut mendesak udara yang
5 lebih hangat di equator. Kondisi ini
merupakan indikasi adanya adveksi udara dingin atau dalam istilah lain disebut Cold Surge yang dapat mengakibatkan proses kondensasi dan membentuk awan-awan konvektif yang dapat menghasilkan hujan lebat terutama pada malam dan dini hari. Namun, secara umum nilai transport kelembapan di sekitar Pulau Batam sebelum, saat maupun sesudah kejadian hujan
lebat kurang signifikan. Nilai moisture
transport berkisar antara 1000 – 600 Kg/ms-1 selama kurun waktu tanggal 17 hingga 20 Desember 2014. Hal ini kurang mendukung dalam proses pertumbuhan awan-awan konvektif.
Gambar 3.4 Moisture Transport tanggal 17 – 20 Desember 2014.
3.5 Analisis Udara Atas
Berdasarkan hasil pengolahan data udara atas 18 Desember 2014 jam 12.00 UTC hingga 19 Desember 2014 jam 12.00 UTC (19.00 WIB), diperoleh kurva sounding seperti pada gambar 3.5. Kurva sounding pada sesaat sebelum kejadian hujan lebat atau pada tanggal 19 Desember 2014 jam 00.00 UTC (07.00 WIB) menunjukkan pada lapisan permukaan hingga lapisan 600 mb jarak antara profil suhu dan profil titik embun sangat dekat. Hal ini mengindikasikan bahwa udara pada lapisan tersebut sangat lembab. Pada lapisan 850 mb bahkan kedua garis
tepat berhimpit yang menunjukkan
kelembapan pada lapisan tersebut mencapai 100 %. Kondisi ini merupakan syarat dimulainya proses kondensasi uap air menjadi tetes-tetes awan. Puncak awan yang
terbentuk mencapai ketinggian sekitar 120 mb, yang mengindikasikan bahwa pada saat kejadian hujan lebat tanggal 19 Desember 2014, awan – awan yang terbentuk sangat tebal dan merupakan awan konvektif dengan
puncak yang tinggi seperti awan
cumulonimbus.
Berdasarkan hasil pengolahan data udara atas tanggal 18 Desember 2014 jam 12.00 UTC hingga 19 Desember 2014 jam 12.00 UTC (19.00 WIB), maka diperoleh nilai indeks stabilitas pada kejadian hujan lebat tanggal 19 Desember 2014 seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 3.1 Indeks Stabilitas tanggal 18 dan 19 Desember 2014.
dari hasil pengamatan radio sonde tanggal 18 – 19 Desember 2014 yang ditampilkan pada tabel 4.9 menunjukkan nilai SI mengindikasikan saat kejadian kondisi atmosfer labil lemah dan berpeluang membentuk kumpulan awan konvektif. Keadaan ini juga didukung oleh nilai LI yang berada pada kisaran -4 hingga -2 yang menggambarkan kemungkinan terjadi badai guruh hebat. Sementara dari nilai KI, terindikasi keadaan atmosfer di sekitar Batam pada saat kejadian berpotensi menyebabkan hujan lebat.
Pada hasil pengamatan juga menunjukkan nilai CAPE sesaat sebelum kejadian hujan lebat tercatat mencapai kisaran 1000 – 2500 J/Kg. Artinya, pada waktu tersebut terjadi konveksi sedang yang menyebabkan udara menjadi semakin labil dan berpotensi menghasilkan cuaca buruk seperti hujan lebat atau badai guruh.
Tanggal/Jam SI LI KI CAPE 18 Desember 2014/ 12 UTC -0.6 -4.1 37.8 2192 J/Kg 19 Desember 2014/ 00 UTC -0.3 -2.7 37.8 1733 J/Kg 19 Desember 2014/ 12 UTC 1.2 -3.3 33.1 940 J/Kg
6
Gambar 3.5 Kurva sounding tanggal 18 Desember 2014 jam 12.00 UTC hingga 19
Desember 2014 jam 12.00 UTC. 3.6 Analisis Citra Satelit
Dengan menggunakan identifikasi suhu
kecerahan (brightnesss temperature) yang
dikonversi ke suhu puncak awan, maka kondisi citra satelit pada sebelum dan saat kejadian hujan lebat dapat menjelaskan kondisi awan yang tumbuh di atas Pulau Batam. Terlihat pada gambar 3.6 citra satelit jam 00 UTC (07.00 WIB) memperlihatkan liputan awan sudah mulai muncul di sekeliling Pulau Batam. Namun tepat di atas Pulau Batam masih terlihat berwarna hijau yang jika dikonversi ke dalam suhu puncak awan
berkisar -200C. Selanjutnya pada jam 02 UTC
(09.00 WIB) liputan awan mulai memasuki langit Pulau Batam dengan suhu puncak awan mencapai -800C yang mengindikasikan hujan lebat sudah mulai terjadi. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa awan-awan konvektif seperti Cumulonimbus mulai menyelimuti langit Pulau Batam. Suhu puncak awan kemudian terus menurun selaras dengan puncak kejadian hujan lebat hingga mencapai suhu terendah pada jam 04 UTC (11.00 WIB) dengan nilai < -800C. Selanjutnya langit Batam masih terus diselimuti awan-awan dingin hingga akhirnya berangsur-angsur menyebar dan menghilang pada jam 15 UTC (22.00 WIB). Hal ini dibuktikan dengan suhu puncak awan pada waktu tersebut sekitar
-100C yang artinya bukan lagi merupakan
awan cumulonimbus.
Gambar 3.6 Citra Satelit MT-SAT sebelum, saat dan sesudah kejadian hujan
lebat tanggal 19 Desember 2014.
3.7 Analisis Kelembapan
Berdasarkan hasil pengolahan data
kelembapan udara secara vertikal di area Pulau Batam tanggal 17 – 20 Desember 2014 pada lapisan 1000 hingga 200 mb (gambar 3.7) didapatkan informasi mengenai kelembapan udara pada sebelum dan saat kejadian hujan.
Gambar 3.7 Kelembapan per lapisan di Batam tanggal 17 – 20 Desember 2014.
7 Terlihat pada lapisan permukaan (1000 –
800 mb) sebelum dan saat kejadian hujan kondisi udara di Pulau Batam cukup jenuh dengan nilai 80 – 90%. Sedangkan pada lapisan menengah (700 – 500 mb) dan lapisan atas (500 – 200 mb) kelembapan juga masih sangat jenuh pada kisaran 80 – 85%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi udara sangat lembab selama periode terjadinya hujan lebat dan mendukung dalam proses kondensasi dalam pembentukan awan-awan konvektif.
3.8 Analisis Divergensi
Atmosfer Pulau Batam sebelum kejadian berkisar antara 0 hingga 20 x 10-6/s, saat menjelang kejadian hujan lebat berkisar -10 x 10-6/s hingga < -30 x 10-6/s, dan setelah kejadian berkisar antara 0 hingga 40 x 10-6/s. Nilai yang semakin negatif pada saat menjelang kejadian merupakan indikasi adanya konvergensi yang menyebabkan pengangkatan massa udara yang membentuk banyak awan. Sedangkan pada lapisan 500 – 200 mb, nilai divergensi di sekitar Pulau Batam sebelum, saat dan seusai kejadian hujan lebat bervariasi antara 0 hingga 40 x
10-6/s. Nilai yang semakin positif
menunjukkan bahwa pada lapisan tersebut terjadi penyebaran massa udara atau divergensi. Kondisi adanya konvergensi di lapisan bawah (low level convergence) dan divergensi di lapisan atas merupakan suatu kondisi yang baik dalam mendukung arus udara yang naik. Gerakan ke atas dari udara ini memicu pertumbuhan awan-awan yang menjulang tinggi yang dapat menghasilkan cuaca buruk.
3.9 Analisis Vertical Velocity
Berdasarkan gambar 3.9 terlihat pada saat menjelang terjadinya hujan lebat nilai vertical velocity pada lapisan 1000 – 200 mb berkisar antara -0.05 hingga 0.05 Pa/s, pada saat kejadian berkisar antara 0.2 hingga -0.05 Pa/s dan setelah kejadian di lapisan
1000 – 700 mb vertical velocity
menunjukkan nilai antara 0 hingga 0.15 Pa/s. Nilai yang negatif pada menjelang dan saat kejadian menggambarkan adanya gerakan udara vertikal ke atas. Gerak udara vertikal yang naik ini membawa massa udara yang lembab ke lapisan atas sehingga berpotensi
menghasilkan awan-awan konvektif yang menjulang tinggi. Sementara nilai yang positif di lapisan bawah pada setelah kejadian hujan lebat menggambarkan bahwa ada
gerakan udara ke bawah yang
mengindikasikan meluruhnya awan-awan penyebab hujan lebat tersebut.
Gambar 3.9 Vertical velocity per lapisan di Batam tanggal 17 – 20 Desember 2014.
4 KESIMPULAN
Berdasarkan analisis-analisis yang telah disebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa kejadian hujan lebat pada tanggal 19 Desember 2014 merupakan akibat dari gangguan cuaca yang terbentuk melalui peristiwa mekanis seperti konvergensi dan vortex dan didukung dengan proses thermis seperti konveksi dan adveksi udara dingin dari adanya Cold Surge.
DAFTAR PUSTAKA
BMKG, 2010, Peraturan KBMKG Nomor: Kep. 009 Tahun 2010 tentang Prosedur
Standar Operasional Pelaksanaan
Peringatan Dini, Pelaporan, Dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim Braesicke, P., Hai, O.S. dan Samah, A.A,
2012, Properties of strong off-shore Borneo vortices: a composite analysis of flow pattern and composition as captured by ERA-Interim. Journal of The Royal Meteorological Society 13:128-132.
Chang, C.P., Harr, P. A., dan Chen, H. J, 2005, Synoptic Disturbances over the Equatorial South China Sea and
8 Western Maritime Continent during
Boreal Winter, Monthly Weather Review, Vol. 133. Hal 489-503. Lupo, A.R. dan Anip, M.H.M., 2011,
Climatological Study of Borneo Vortex during Northern Hemisphere Winter Monsoon. Poster in Conference World Research Climate Programme (WRCP) 2011, Denver, Colorado-USA.
Prawoto, I., Azizah, N., dan Taufik, M., 2011, Tinjauan Kasus Banjir di Kepulauan Riau Akhir Januari 2011, Jurnal Megasains, Vol.2 No.2 - Juni 2011 Hal. 116 – 122.
Suyono, H., Satyaning, A., Boer, R., Agus, P., Ribudiyanto, K., Supiatna, J.,
Subarna, Leni, Linarka, U.,
Satyaningsih, R., Noviati, S., dan Kumalawati, R, 2009, Kajian Cuaca
Ekstrim di Wilayah Indonesia,
Puslitbang BMKG, Jakarta.
Tangang, F.T., Liew, J., Salimun, E., Vinayachandran, P.N., Seng, Y.K., Reason, C. J. C., Behera, S. K., dan Yasunari, T, 2008, On the roles of the northeast cold surge, the Borneo Vortex, the Madden-Julian Oscillation, and the Indian Ocean Dipole during the extreme 2006/2007 flood in
southern Peninsular Malaysia,
Geophysical Research Letters, Volume 35, Issue 14, July 2008, American Geophysical Union.
The European Centre for Medium-Range Weather Forecasts, 2015, [daring], http://apps.ecmwf.int/datasets/data/inte rim_full_daily/, diakses 10 Januari 2015.
Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M. K., 2010, Perspektif Operasional Cuaca
Tropis, Badan Meteorologi