• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI WARIA SEBAGAI FIGUR AYAH DALAM FILM LOVELY MAN KARYA TEDDY SOERIAATMADJA - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "REPRESENTASI WARIA SEBAGAI FIGUR AYAH DALAM FILM LOVELY MAN KARYA TEDDY SOERIAATMADJA - FISIP Untirta Repository"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI WARIA SEBAGAI FIGUR

AYAH DALAM FILM LOVELY MAN KARYA

TEDDY SOERIAATMADJA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai

Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Oleh

Hendika Sekti Pratama NIM 6662101747

KONSENTRASI JURNALISTIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

SERANG

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Hendika Sekti Pratama. NIM 6662101747/2015. Skripsi. Representasi Waria Sebagai Figur Ayah Dalam Film “Lovely Man” Karya Teddy Soeriaatmadja. Isti Nursih, M.I.kom; Husnan Nurjuman, M.Si.

Penelitian ini didasari oleh anggapan masyarakat heteroseksual bahwa laki-laki haruslah maskulin dengan ciri laki-laki haruslah gagah, kuat dan mandiri sehingga laki-laki yang tidak dapat menunjukan kemaskulinan tersebut (feminis) akan dianggap abnormal oleh masyarakat heterogen. Film lovely man mengambarkan bagaimana figur laki – laki yang memiliki karakter feminis atau biasa disebut waria hidup ditengah-tengah terpaan hegemoni masyarakat heteroseksual. Dimana masyarakat hetero mendiskriminasikan kaum waria baik secara verbal maupun non verbal. Melihat fenomena yang terjadi di Indonesia terhadap waria. Maka, film lovely man menjadi perwakilan tentang kehidupan waria dimasyarakat. Dengan menggunakan analisis Charles Sanders Pierce mengenai tanda menunjukan bahwa waria dalam film lovely man mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat meskipun waria tersebut memiliki keluarga, figur ayah yang dibangun dalam film Lovely Man, direpresentasikan dengan melakukan pemisahan dikotomis antara laki-laki dan perempuan dengan melekatkan sifat dan perilaku tertentu yang seharusnya mereka lakukan. Lebih jauh film ini juga merepresentasikan bagaimana transgender, sebagai gender non-normatif, menjalani kehidupan yang akrab dengan dunia malam serta bagaimana identitas mereka ditolak masyarakat. film ini juga mencoba untuk keluar dari nilai-nilai heteronormatif. Bagaimana seorang transgender bisa memiliki pasangan dan anak seperti pasangan heteroseksual pada umumnya dan jika dilihat secara ideologis ataupun kepentingan, film ini memperjuangkan gagasan mengenai kesetaraan gender.

(6)

ABSTRACT

Hendika Sekti Pratama. NIM 6662101747/2015. Undergraduate Thesis.

Transgender representation as father figure in “Lovely Man”, a film directed by

Teddy Soeriaatmadja. Isti Nursih, M.I.Kom; Husnan Nurjuman, M.Si.

This Study is based on heterogeneous community‟s belief that men must be manly, strong and independent. Any male who fails to show his masculinity traits would be considered as abnormal by heterogeneous society. The Lovely Man film represents a male figure with feminine characters, also know as transgender, lives in the middle of the exposure to the hegemony of heterosexuals community. In which heterogeneous community discriminates transgenders verbally and non-verbally. Reflecting social phenomenon occurs to transgenders in Indonesia, Lovely Man is a suitable representative of transgender in society.Analysis using

Peirce‟s theory of signs show that the transgender in Lovely Man is disriminated by society. Father figure shaped in the Lovely Man film is dichotomically separting between males and females by embedding specific traits and behavior to each gender. Furthermore the film represents how transgender,as non-normative gender, living a nightlife and how their identity bring rejected by community. This film seeks to go out of the heteronormative values. How transgender is able to have partner and children as heterosexual couple in general. Ideologically, this film fights for the idea of gender equality.

(7)

Lembar Persembahan

Skripsi ini kupersembahkan untuk dua malaikat saya

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi ALLAH SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang tidak

terkira dan tidak terbatas, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti telah berupaya semaksimal mungkin

sesuai dengan kemampuan peneliti untuk mendapat hasil yang terbaik dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini juga dapat terselesaikan berkat bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak. Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka semua. Dalam kesempatan kali ini

peneliti ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya terutama kepada orangtua

yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan sampai terselesaikannya skripsi ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Soleh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Dr. Agus Sjafari, S.Sos M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Neka Fitriyah, S.Sos M.Si selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.

4. Puspita Asri Praceka, S.Sos M.Ikom selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.

(9)

6. Isti Nursih, S.Ip, M.Ikom selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi.

7. Husnan Nurjuman., S.Ag.,M.Si selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar mentrasfer khazanah ilmu pengetahuan serta membimbing peneliti untuk menyelesaikan skripsi.

8. Seluruh dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada peneliti.

9. Seluruh Staf Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah membantu peneliti melancarkan penyelesaian administratif selama berkuliah disini.

10.Mayabela Rengganis S.Sos yang menjadi pengingat, fasilitator dan partner sampai saat ini.

11.Terima kasih juga untuk Azy Syahrial Fauzi S.Pd yang telah terlebih dahulu menjadi penggerak pendidikan di desa tertinggal, Ade Wira Sakti

S.Pd yang menjadi motivasi peneliti bahwa hidup harus berdo‟a dan

berusaha, Mamduh Jamaludin S,pd, Reza Trisandi, Ahmad Fauzan S.Pd yang kembali mengejar gelar keduanya, Ansorul Hidayat S.pd yang akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikannya dan seluruh kawan-kawan D12 baik yang pernah berkunjung untuk sekedar bertukar pikiran atau sekedar bersenda gurau.

12.Teman-teman Komunikasi Jurnalistik 2010, Mardi, Rangga, Ucup, Iqbal (Nying-nying), Galuh, Agung, Romi, Putut, Alif (Black), Vicy (Lacuk), dan kawan kawan Humas baik dikelas F ataupun kelas lainnya.

(10)

FISIP (Teh Amy, Pupu, Dian, Jaro, Haedi, Rengga, dll) serta kawan – kawan Lab.TV, Pers Orange yang merelakan tempatnya dijadikan arena singgah sebelum memulai perkuliahan.

14.Terima Kasih juga teruntuk kawan–Kawan Redaksi Detik.com khususnya Divisi News DetikHealth Mbak Vita, Mas Uyung, Bang Reza, Mbak Rahma, Mbak Ajeng, Mbak Herni, Anwar dan Ghea yang telah memberi kesempatan peneliti untuk belajar menjadi jurnalis kilat.

15.Terima Kkasih juga untuk rekan-rekan Redaksi Warta Ekonomi (Mas Hatta, Mas Hendra, Mbak Childa, Mas Haikal, Mas Wijil, Aldi, Aries, Mas Pandu, Mamanya Dastan, dll) terima kasih pengalaman berharga bisa bekerja di media dengan penuh tantangan dan kendalanya.

16. Tidak lupa kawan-kawan KKM 15 tahun 2013 Desa. Rancailat Kab. Tangerang (Abah Didin, Syahnez, Marlin, Sopyan, Solihin, Nila, Linda, Risca,dll ) Terima kasih atas pengalaman dan shareing ilmunya.

Dan seluruh kawan-kawan yang tidak dapat peneliti sebut satu persatu yang

telah membantu peneliti menyelesaikan penelitian ini ataupun pemberi saran dan

masukan bermanfaat, Insya Allah seluruh kebaikan kalian menjadi ladang pahala dan

(11)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 13

1.3 Rumusan Masalah ... 13

1.4 Tujuan Penelitian ...14

1.5 Manfaat Penelitian ...14

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.5.2 Manfaat Praktis ... 15

1.5.3 Manfaat Sosial ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis ... 16

2.1.1 Komunikasi Massa ... 16

2.1.1.1 Karakteristik Komunikasi Massa ... 18

2.1.1.2 Fungsi Komunikasi Massa ...19

2.1.2 Pengertian Film ... 22

2.1.2.1 Unsur Pembentuk Film ... 26

2.1.3 Representasi ... 27

2.1.4 Pengertian Waria ... 30

2.1.5 Pengertian Ayah ... 32

2.1.5.1 Peran Ayah ... 33

2.1.6 Budaya Patriarki ... 36

2.1.7 Hegemoni ...37

2.1.8 Heteronormativitas... 40

(12)

2.2 Kerangka Berfikir ... 50

2.3 Penelitian Terdahulu ... 51

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian ... 55

3.2 Pendekatan Penelitian ... 57

3.3 Jenis Penelitian... 58

3.4 Unit Analisis... 59

3.5 Satuan Pengamatan... 63

3.6 Teknik Pengumpulan Data... 65

3.6.1 Dokumentasi ... 66

3.6.2 Studi Pustaka ... 66

3.7 Teknik Analisis Data ... 67

3.8 Jadual Penelitian ...72

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 73

4.1.1 Investasi Film Indonesia dan Karuna Pictures ... 74

4.1.2 Karya ...75

4.1.3 Teddy Soeriaatmadja ... 76

4.1.4 Deskripsi Film Lovely Man ...77

4.1.5 Sinopsis Film Lovely Man ... 79

4.1.6 Penokohan ... 80

4.1.6.1 Karakter Syaiful/Ipuy (Dony Damara) ...80

4.1.6.2 Karakter Cahaya (Raihannun)... 81

(13)

4.2.1 Film Lovely Man Dalam Unsur Pemaknaan Semiotik Charles Sanders Peirce ... 83 4.3 Pembahasan... 96

4.3.1 Perlawanan Budaya Patriaki Melalui Representasi Waria Sebagai Figur Ayah dalam Film Lovely Man ... 96

4.3.2 Hegemoni Masyarakat Heteronormativitas Melalui Representasi Waria Sebagai Figur Ayah dalam Film Lovely Man ... 99

BAB V PENUTUP

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 ... 29

Tabel 2.2 ... 50

Tabel 2.3 ... 51

Tabel 2.4 ... 54

Tabel 3.1 ... 62

Tabel 3.2 ... 64

Tabel 3.3 ... 65

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ...46

Gambar 4.2 ...80

Gambar 4.3 ...81

Gambar 4.4 ...83

Gambar 4.5 ...85

Gambar 4.6 ...87

Gambar 4.7 ...89

Gambar 4.8 ...92

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Waria adalah istilah baku dalam tata bahasa Indonesia yang berarti

wanita pria atau pria yang memiliki perasaan seperti wanita. Namun masyarakat Indonesia lebih akrab dengan istilah “Banci” atau “Bencong” yang merupakan bagian dari bahasa Indonesia informal untuk menyebut seorang laki-laki yang berpakaian atau berbicara sebaliknya atau tidak sesuai dengan kelaminnya.

Pada budaya patriarki, masyarakat yang menggunakan sistem patriaki lebih mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki sebagai sosok panutan

atau pemimpin dibanding dengan garis keturunan Ibu/perempuan dalam sebuah kelompok sosial masyarakat. Patriaki juga dapat dijelaskan dimana

keadaan masyarakat menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki jauh lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.1

Laki-laki dewasa selalu diidentikkan dengan sifat maskulin yang tegas, gagah, mandiri, tidak menangis (cengeng)2 dan bertanggung jawab terhadap

kelompok ataupun keluargaaanya. Didalam keluarga, laki-laki dewasa dibebankan tanggung jawab lebih dibanding perempuan dengan sebutan ayah. Selaku kepala keluarga seorang ayah dijadikan sebagai figur panutan karena

1

Saroha Pinem. 2009. Kesehatan Reproduksi & Kontrasepsi. Jakarta: Trans Media 2

Cengeng = Mudah menangis; suka menangis; lemah, tidak mandiri. Sumber :

(17)

dinilai mampu memimpin dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Namun bagaimana jika predikat Ayah yang memiliki sifat maskulin tersebut

dimiliki oleh seorang laki-laki dewasa yang memiliki kepribadian ganda, tidak hanya menjadi sosok maskulin melainkan memiliki sosok feminis. Hal ini yang kemudian bertolak belakang dengan sistem patriarki dimana Laki-laki

haruslah maskulin, Sehingga laki-laki yang memiliki sifat feminis bagi masyarakat partriarki dianggap abnormal dan menyalahi norma yang berlaku.

Dikarena menyalahi norma yang berlaku dimasyarakat menyebabkan laki-laki feminis atau biasa disebut waria,banci atau bencong mendapatkan perlakuaan diskriminatif dari masyarakat.

Berangkat dari logika tersebut, maka perlakuan diskriminatif yang ditujukan kepada waria baik dalam bentuk verbal maupun non verbal akan

membentuk stigma negatif dimasyarakat hetero. Stigma negatif tersebut yang kemudian membentuk pola pikir baru yang mendeskripsikan seseorang

maskulin atau feminim hanya berdasarkan tindakan heteroseksis atau disebut dengan heteronormatif.

Heteronormatif sendiri merupakan sebuah istilah yang digunakan

untuk mendeskripsikan sebuah norma yang meyakini bahwa manusia dibedakan menjadi dua gender yang berbeda (laki-laki dan perempuan),

bersifat saling melengkapi, dan memiliki peran alamiahnya masing-masing dalam kehidupan yang kemudian lahir istilah oposisi biner. Saskia Wieringa, Nursyahbani Katjasungkana, Irwan M Hidayana dalam buku Membongkar

(18)

sesungguhnya seksual normatif atapun non-normatif yang merupakan hasil dari konstruksi sosial masyarakat itu sendiri.3

Heteronormatif sendiri tidak akan terjadi bila tidak adanya hegemoni yang dibangun oleh masyarakat dominan. Seperti yang di utarakan Gramsci dalam Nezar Patria, Hegemoni adalah Sebuah pandangan hidup dan cara

berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun

perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.4

Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai

kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya

dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

Dengan demikian mekanisme yang digunakan masyarakat dominan dalam hal ini masyarakat hetero dilakukan dengan penguasaan kepada kelas

bawah (non-hetero) menggunakan ideologi yang akhirnya masyarakat hetero merekayasa kesadaran masyarakat non-hetero sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dari masyarakat yang dominan.

3

Saskia E Wieringa, Nursyahbani katjasungkana, Irwan M Hidayana.2007. membongkar seksualitas perempuan yang terbungkam. Jakarta:Kartini Network

4

(19)

Di lingkungan masyarakat terdapat bermacam-macam perbedaan, mulai dari status sosial, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan lain

sebagainya. Perbedaan inilah yang seharusnya saling dihargai oleh satu sama lain. Perbedaan tersebut diharapkan dapat mempersatukan semua lapisan masyarakat dan dipandang secara positif. Masyarakat yang menganut pola

pikir heteronormatif sebagai ideologi seksual (nilai dasar yang menuntun seseorang atau sekelompok orang dalam seksualitas), akan menganggap

bahwa seks diluar heteroseks adalah tidak normal.

Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian heteronormatif berkembang menjadi sebuah ideologi yang disebut Heteronormativitas.

Heteronormativitas dalam sebuah jurnal yang di tulis oleh Dr. Argyo Demartoto, M.Si. berjudul Seks, Gender, Seksualitas Gay dan Lesbian Secara

sederhana dapat didefinisikan sebagai Ideologi tentang keharusan untuk menjadi heteroseksual, yang didasarkan pada penindasan orientasi seksual lain

yang tidak berorientasi reproduksi keturunan seperti onani, masturbasi atau homoseksualitas. Juga keharusan akan kesesuaian antara identitas gender dan identitas seksual dimana jika beranatomi laki-laki harus maskulin, dan

sebaliknya bila beranatomi perempuan maka harus feminim.5

Gayle Rubin melalui bukunya yang berjudul Thinking About Sex

(1984) menyatakan bahwa pada masyarakat yang heteronormatif, relasi yang terbaik dan diharapkan adalah relasi heteroseksual, marital dan prokreatif. Ideologi heteronormativitas pula yang secara hegemoni mengajarkan

5

(20)

masyarakat untuk berpikir secara dikotomis: laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin. Waria dengan status gender dan orientasi seksual di

luar dari dikotomi tersebut dianggap „abnormal‟ dan lekat dengan kesan

menyimpang.

Koeswarno dalam bukunya yang berjudul Hidup Sebagai Waria,

menjelaskan bahwa waria secara fisik adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan dan

berpenampilan tidak ubahnya seperti perempuan lainnya.6 Waria oleh

masyarakat hetero dikelompokan sebagai bagian dari kelompok “Abnormal”

karena tidak sejalan dengan aturan heteroseks seperti halnya LGBT (Lesbian,

Gay, Biseksual, Transgender) akhirnya mendapatkan diskriminasi sosial dan mengkonstruksikan makna waria dimasyarakat.

Budaya Patriarki serta dogma agama juga mengambil peran penting untuk membentuk seperangkat sistem, dimana laki-laki dipusatkan dengan

maskulinitasnya dan perempuan dengan feminimitasnya. Pada budaya patriarki feminitas yang identik dengan perempuan dijadikan sebagai The second sex atau jenis kelamin kedua yang yang cenderung tunduk dibawah

kontrol laki hal ini kemudian berimplikasi pada waria atau sebagai laki-laki feminim yang kemudian turut mendapat tekanan dan kekerasan atas

feminitas yang dimilikinya. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan berbasis gender maupun seksualitas yang menimpa waria inilah yang kemudian dilanggengkan masyarakat untuk mendiskriminasi.

6

(21)

Dengan adanya sudut pandangan seperti ini para waria secara tidak langsung akan terdiskriminasi dari kehidupan sosial dan mendapat penolakan

dari masyarakat dominan dikarenakan pola pikir dikotomis tersebut. Hal-hal inilah yang nanti akan menimbulkan diskriminasi sosial. Padahal dalam pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.39/1999 Tentang HAM telah disebutkan bahwa

diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan, yang langsung ataupun tak langsung, didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar

agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau penggunaan

HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan

sosial lainnya.7

Untuk menekan diskriminasi tersebut semakin meluas berbagai cara

dilakukan agar waria mendapat pengakuan atas keberadaan mereka, diantaranya adalah munculnya berbagai penyelenggaraan kegiatan yang melibatkan waria didalamnya. Selain itu munculnya berbagai figur waria saat

ini seperti Dorce Gamalama yang mengeksistensikan dirinya dibidang hiburan, Solena Chaniago dengan profesinya sebagai Master Barber di

Amerika Serikat dengan salah satu prestasinya sebagai pencukur rambut Bill Clinton yang merupakan Presiden ke 42 Amerika Serikat. Ataupun Dena Rachman mantan artis cilik yang beralih profesi menjadi seorang Desainer

7

(22)

Fashion ternama Italia, Merupakan langkah awal usaha mereka untuk diterima di lingkungan masyarakat. Selain itu penggunaan media massa digunakan

sebagai salah satu cara mereka untuk mendapat pengakuan, Salah satunya adalah program yang ditayangkan disalah satu televisi swasta yang berjudul

Be A Man pada tahun 2008, dimana dalam tayangan tersebut kehidupan seorang waria dibentuk agar menjadi laki-laki maskulin dengan pelatihan dan pendidikan bergaya militer yang dilatih oleh TNI (Tentara Nasional

Indonesia). Pengangkatan tokoh waria dalam film-film layar lebar oleh para sineas seperti film Taman Lawang, Lovely Man, Betty Bencong Slebor, Madam X dll. Menjadi cara lain waria mendapatkan legalitas dimasyarakat

Saat ini masyarakat Indonesia sangat antusias terhadap film-film dalam negeri dan jumlah film tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Apalagi

film-film yang memunculkan tokoh waria. Pada bulan Mei 2013 Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Pangestu dalam syukuran

dan puncak perayaan Hari Film Nasional ke-63 di Balaiurang Soesilo Soedarman, mengatakan dari periode Januari hingga pertengahan Mei 2013, terdapat 44 judul film Indonesia yang dirilis, jumlah tersebut meningkat dari

tahun lalu yang hanya 40 judul film Indonesia.8

Pada dasarnya film berperan sebagai sarana hiburan namun menurut

Denis McQuail, Film adalah sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebisaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat

8

(23)

umum.9 Film-film yang beredar dimasyarakat setidaknya memiliki pesan moral maupun makna-makna tertentu. Secara denotasi film dipahami

sebagaimana adanya dan penikmat film tidak perlu berusaha banyak untuk lebih menggali dan memahami secara mendalam. Inilah yang menjadi kekuatan sebuah film sebab lebih mudah memberikan sesuatu yang mirip

dengan kenyataan serta mengkomunikasikan sesuatu dengan teliti yang jarang dilakukan oleh bahasa tulisan maupun lisan. Sistem bahasa mungkin lebih

berkemampuan untuk mengemukakan dunia ide secara imaginatif, tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk menyampaikan informasi terperinci tentang realita-realita fisik.

Film adalah pesan komunikasi yang membutuhkan interpretasi lebih dalam untuk mendeskripsikan gambaran akan makna. Lebih lanjut, film

menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi.

Kekuatan makna bukan terletak pada apa yang dilihat tapi justru apa yang tidak dilihat. Kehadiran sebuah imajinasi dalam film tidak sekedar karena bacaan visual pola pikiran namun film memberikan pengalaman

mental yang merupakan stock of knowledge untuk menyediakan kerangka referensi dan rujukan bagi individu dalam kesatuan tindakannya.

Film sendiri mempunyai makna yang unik diantara media komunikasi lainnya. Selain sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang memberikan

9

(24)

jalur pengungkapan kreatifitas, dan media budaya yang menggambarkan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal

tersebut menjadikan film sebagai media yang mempunyai peranan penting dimasyarakat. Sobur mengatakan bahwa kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli berpendapat

bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.10 Lain halnya dengan Marcel Danesi dalam bukunya Pengantar Memahami

Semiotika Media mengatakan bahwa film telah menjadi obat yang sempurna untuk melawan kebosanan, akibatnya medium film telah menjadi kekuatan besar dalam perkembangan budaya pop yaitu budaya yang karakteristik

pendefenisiannya adalah pembauran dan percampuran seni serta pengalih perhatian secara beragam.11

Dalam berbagai macam penelitian mengenai efek film terhadap masyarakat, hubungan antara film selalu mempengaruhi dan membentuk

masyarakat berdasarkan muatan pesan (isi) dibaliknya tanpa ada balasan (feedback).

Untuk menggugah kesadaran kritis atas fenomena-fenomena yang

terhadap waria salah satu sineas berbakat Indonesia Tedy Soeriaaatmadja pada tahun 2011 mengangkat fenomena waria ini dalam sebuah film yang berjudul

Lovely Man produksi Investasi Film Indonesia dan Karuna Pictures. Sebagai gambaran singkat film ini menceritakan seorang anak bernama Cahaya berumur 19 tahun yang diperankan oleh Raihaanun, Ia merupakan seorang

10

Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya hal : 127 11

(25)

gadis muslim sederhana dan tinggal bersama ibunya, sedangkan sang ayah Saiful yang diperankan Dony Damara, meninggalkan mereka pada saat

Cahaya berumur 4 tahun. Oleh sang ibu, Cahaya dibesarkan dengan nilai-nilai keislaman. Dimana dalam film tersebut Cahaya diceritakan bersekolah di sebuah pesantren. Setelah dewasa, Cahaya memiliki sebuah masalah yang

cukup sulit hingga ia memutuskan untuk mencari dan bertemu ayahnya berharap dapat menyelesaikan masalahnya. Berbekal sebuah alamat yang ia

ambil dari ibunya. Serta sebuah foto dirinya ketika bersama sang ayah dahulu, Cahaya memberanikan diri pergi ke Jakarta untuk pertama kalinya. Dengan penuh harapan akan bertemu sang ayah. Sesampainya di Jakarta, ternyata

mencariayahnya tidaklah semudah yang Ia bayangkan. Hingga akhirnya Cahaya mencari sang ayah ke sebuah tempat prostitusi transgender, Taman

Lawang. Betapa terkejutnya dan kecewanya Cahaya, ketika melihat dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang transgender. Pertemuan itu sendiri

tidak hanya mengejutkan Cahaya melainkan Syaiful sama terkejutnya dengan kehadiran Cahaya, Bahkan pada awalnya Ipuy sapaan akrab syaiful menolak kehadiran gadis tersebut. Namun jiwa kebapakan Syaiful tidak lantas hilang.

Dalam kepekatan malam Jakarta Syaiful akhirnya memilih untuk menemani Cahaya dan berusaha mengisi kerinduan Cahaya pada sosok ayah yang telah

lama Ia rindukan.

Film yang digarap oleh Tedy Soeriaatmadja ini berhasil meraih tujuh penghargan pada tahun 2012. Dua penghargaan pertama untuk kategori aktor

(26)

Golden Reel, Lovely Man berhasil menyabet dua penghargaan untuk kategori Film dan sutradara terbaik, Sedangkan di Tel- Aviv LGBT International Film

Festival mendapatkan penghargaan Best International Narative Feature. Selain itu pada tahun 2013 Lovely Man juga mendapatkan penghargaan Jati Emas untuk kategori Sutradara terbaik dan Skenario terbaik dipenghargaan

Akademi Film Indonesia.

Dalam penelitian ini peneliti membahas bagaimana waria

direpresentasikan sebagai figur ayah untuk melawan stigma negatif masyarakat terhadap hegemoni heteronormativias tersebut melalui simbol, tanda atau lambang pada setiap scene yang mewakili dalam film Lovely Man.

Representasi sendiri adalah proses mengkodekan (encoding) dan memperlihatkan (display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan

posisi ideologis. Tim O'Sullivan dalam Saiful Totona, membedakan istilah representasi pada dua pengertian, pertama, representasi sebagai suatu proses

dari representing. Kedua, representasi sebagai produk dari proses sosial representing. Sehingga pada tatanan pertama merujuk kepada proses, sedangkan yang kedua merujuk kepada produk dari pembuatan tanda yang

mengacu pada sebuah makna.12

Oleh karena itu untuk menganalisis bagaimana proses representasi

tersebut terjadi peneliti akan menggunakan analisis semiotik dari Charles Sanders Peirce. Charles Sanders Peirce dalam elemen makna peircesan atau biasa disebut dengan Triangle of meaning membagi tanda menjadi tiga.

12

(27)

Pertama adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal

lain di luar tanda itu sendiri atau disebut dengan Sign. Kedua adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda atau biasa disebut dengan Object. Ketiga adalah pemberian kesan, pendapat atau

pandangan teoritis terhadap sesuatu atau konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna

yang ada didalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk pada sebuah tanda atau disebut dengan Interpretant.

Melalui analisis semiotik Charles Sanders Peirce inilah metode yang

akan digunakan untuk meneliti makna semiotik dibalik setiap scene-scene film

Lovely Man melalui bidang suara dan visual. Film Lovely Man sendiri

menyajikan fenomena seorang transgender yang memiliki pasangan dan anak seperti pasangan heteroseksual pada umumnya dan masih tetap bertanggung

jawab terhadap keluarganya dengan memberikan nafkah terhadap anaknya Meskipun stigma yang dibangun masyarakat beranggapan bahwa waria belum tentu memiliki pasangan seperti masyarakat heteroseks terlebih memiliki anak

dikarena hegemoni heteronormatif tersebut. Karena film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian

memproyeksikannya ke atas layar.13 Membuat peneliti semakin tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam sebuah skripsi berjudul :

13

(28)

“Representasi waria sebagai figur ayah dalam Film Lovely Man

Karya Tedy Soeriaatmadja”

1.2.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka,

permasalahan yang dapat di identifikasi untuk diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tanda (sign) merepresentasikan waria sebagai figur ayah pada film Lovely Man karya Tedy Soeriaatmadja ?

2. Bagaimana objek (object) merepresentasikan dirinya sebagai figur

ayah?

3. Bagaimana Interpretan (interpretasi) figur ayah digambarkan pada

film Lovely Man?

1.3.Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk menganalisis dengan menggunakan Semiotik Peirce

tentang :

“ Bagaimana waria dalam film lovely man direpresentasikan

(29)

1.4. Tujuan Penelitian

Dalam sebuah penelitian pastilah memiliki tujuan, dimana tujuan

dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menemukan tanda (sign) representasi waria digambarkan sebagai figur ayah dalam film Lovely Man karya

Tedy Soeriaatmadja

2. Untuk menemukan Objek (Object) merepresentasikan dirinya

sebagai figur ayah ?

3. Untuk menemukan Interpretan (interpretasi) waria dalm film

Lovely Man digambarkan sebagai figur ayah untuk melawan hegemoni heteronormativitas masyarakat ?

1.5.Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu Komunikasi, khususnya komunikasi massa mengenai penggunaan semiotik Charles Sander Peirce dalam sebuah film.

b. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai dunia

(30)

1.5.2 Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan referensi bagi kalangan pembuat film untuk mengangkat realitas sosial masyarakat melalui media massa.

b. Sebagai bahan referensi atau acuan bagi penggiat seni bagaimana merepresentasikan sesuatu yang dianggap tabu dimasyarkat ke

dalam sebuah bentuk karya seni.

1.5.3 Manfaat Sosial

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Komunikasi massa

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner. Komunikasi massa merupakan pesan yang dikomunikasikan

melalui media massa pada sejumlah besar orang. Tapi menurut Gerbner definisi komunikasi massa adalah :

“Mass communication is the technologically and instituationlly based production and distribution of the broadly shared continious flow of message in industrial societies"

Produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga

dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri.14 Sedangkan menurut Rakhmat komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang

tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.15

Dengan demikian komunikasi massa atau komunikasi melalui media massa sifatnya "satu arah" (One way traffic). Begitu pesan disebarkan oleh komunikator, tidak diketahui apakan pesan tersebut diterima, dimengerti,

atau dilakukan oleh komunikan. Komunikasi massa berbeda dengan

14

Elvinaro Ardianto dan lukiyati komala Erdiyana. 2004. Komunikasi massa suatu pengantar: Bandung: Simbiosa rekatama media. hal 3-4

15

Jalaluddin Rahmat. 2009. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama media hal : 189

(32)

komunikasi antarpersonal dan komunikasi kelompok. perbedaanya terdapat pada komponen-komponen yang terlibat didalamnya, dan proses

berlangsungnya komunikasi tersebut. Komunikasi massa memiliki karakteristik seperti komunikator yang terlembagakan, pesannya bersifat umum, komunikannya anonim dan heterogen, media massa menimbulkan

keserempakan dimana mengutamakan isi ketimbang hubungan, komunikasi yang bersifat satu arah memiliki batasan terhadap indra

sehingga umpan balik (feedback) mengalami ketertundaan (delayed) atau bahkan tidak langsung (inderect).

Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) dalam Nurudin

mendefinisikan sesuatu yang disebut komunikasi massa dapat mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan

secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula, antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, ataupun gabungan di antara media tersebut.

2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan

(33)

Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain.

3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu diartikan milik publik.

4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata

lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba.

Komunikasi massa juga dikontrol oleh gatekeeper (penapis

informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum

disiarkan lewat media massa.

2.1.1.1Karakteristik Komunikasi Massa

Komunikasi massa pada dasarnya memiliki beberapa karakteristik yang dikemukakan oleh para ahli seperti menurut Wright dalam Ardianto

komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama yaitu:16

16

(34)

1)Diarahkan kepada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim.

2)Pesan disampaikan secara terbuka.

3)Pesan diterima secara serentak pada waktu yang sama dan bersifat sekilas (khusus untuk media elektronik).

Pada komunikasi massa, pesan ditujukan untuk semua orang dan

tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu dikarenakan sifatnya yang heterogen dan anonim. Meskipun pesan tersebut diterima secara serentak pada waktu yang relatif bersamaan. Pesan tersebut akan terpilah

dengan sendirinya berdasarkan dengan fungsi dari pesan tersebut. Sehingga pesan komunikasi massa biasanya bersifat umum atau terbuka

yang dapat berupa fakta maupun opini.

2.1.1.2Fungsi Komunikasi Massa

Terdapat beberapa fungsi komunikasi massa, salah satunya yang dikemukakan oleh Effendy dalam Ardianto, secara umum yaitu:17

1. Fungsi Informasi Fungsi memberikan informasi ini diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca,

pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan sesuai dengan kepentingannya.

17

(35)

2. Fungsi Pendidikan Media massa banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya mendidik seperti melalui pengajaran nilai, etika, serta

aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa, pendengar atau pembaca.

3. Fungsi Mempengaruhi Media massa dapat mempengaruhi khalayaknya baik yang bersifat pengetahuan (cognitive), perasaan

(affective), maupun tingkah laku (conative).

Dalam sebuah film fungsi komunikasi massa terlihat begitu jelas dimana film tidak hanya dijadikan sebagai media hiburan melainkan

memberikan nilai-nilai informasi yang edukatif bagi khalayak. Selain itu pesan yang disampaikan melalui film akan jauh mudah diterima

ketimbang dengan pesan yang disampaikan secara konvensional atau langsung dikarenakan pesan yang disampaikan pada sebuah film dikemas

dengan gaya yang berbeda dan mengikuti konteks sosial yang diangkat dalam film tersebut.

Pendapat lain mengenai fungsi komunikasi massa juga

dikemukakan oleh Dominick dalam Ardianto, yaitu terdiri dari :18

1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi ini menunjuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan maupun yang dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

18

(36)

2. Interpretation (Penasiran) Fungsi ini mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya

lebih lanjut dalam komunikasi antarpesona atau komunikasi kelompok.

3. Linkage (Pertalian) Fungsi ini bertujuan dimana media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan

minat yang sama tentang sesuatu.

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai) Fungsi ini artinya bahwa media massa yang mewakili gambaran masyarakat

itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka

harapkan.

5. Entertainment (Hiburan) Fungsi ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan pikiran halayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali.

Dari beberapa fungsi yang dikemukakan oleh para ahli terdapat

benang merah yang sama bahwa komunikasi massa selain memberikan unsur hiburan juga memiliki fungsi untuk memberikan informasi yang memiliki nilai edukatif serta fungsi mempengaruhi melalui isi pesan yang

(37)

2.1.2 Pengertian Film

Media komunikasi adalah alat bantu yang digunakan dalam

mengefektifkan transformasi dua arah, yaitu sebagai perantara dalam penyampaian pesan-pesan sosial. Sehingga media komunikasi massa adalah alat bantu yang digunakan untuk mengefektifkan penyampaian

pesan pada masyarakat. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran, dan televisi, keduanya dikenal sebagai media

elektronik; surat kabar dan majalah, keduanya disebut sebagai media cetak serta media film. film sebagai media komunikasi massa adalah bioskop.19

Film dapat didefinisikan sebagai karya cipta seni dan budaya yang

merupakan media komunikasi massa pandang dengar dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, dan atau

bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya

dengan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan atau lainnya.

Film juga dapat digunakan sebagai media menjalin hubungan relasi

sosial masyarakat.20 Film memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menjangkau banyak segmen sosial, karena film memiliki potensi untuk

mempengaruhi khalayak luas. harus diketahui bahwa hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap

19

Elvinaro Ardianto dan lukiyati komala Erdiyana. 2004. Komunikasi massa suatu pengantar: Bandung: Simbiosa rekatama media. hal:3

20

(38)

masyarakat hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahamai secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat

berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya. kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasari atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film tersebut

dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikan ke atas layar.21

Selain itu film juga berperan sebagai pengalaman dan nilai. Film hadir dalam bentuk penglihatan dan pendengaran, melalui penglihatan dan pendengaran, film memberikan pengalam-pengalam baru kepada

penonton. Pengalaman tersebut yang kemudian memberi nuansa perasaan dan pikiran kepada penontonnya. selain itu juga film memiliki kekuatan

untuk membentuk budaya masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain memberikan penerangan, pendidikan dan membentuk budaya dalam

masyarakat, media film merupakan media yang memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk persepsi dibenak audiensnya.

Pada tahun 1888 Thomas Edison untuk pertama kalinya

mengembangkan kamera citra bergerak. Ketika itu ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah satu asistennya ketika sedang

bersin. Sesudah itu, Lumire bersaudara memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris.22 Pada titik ini fim telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi, menyampaikan

21

Alex sobur. 2004.Semiotik komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal: 126 22

(39)

kisah. jika sebelumnya bercerita hanya dapat dilakukan dengan lisan dan tulisan, kini muncul satu medium lagi: dengan gambar bergerak, yang

diceritakan adalah perihal kehidupan. disini lantas kita menyebut film sebagai representasi dunian nyata. Dibanding dengan media yang lain, film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin

dengan realitas sehari-hari.

Pembuat film biasanya melakukan pengamatan terhadap

masyarakat dan direkonstruksi serta menuliskan skenario hingga film selesai dibuat. Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata yang

merupakan hasil seni, dimana didalamnya diwarnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi.

Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri.

Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksud atau di representasikan oleh sesuatu, bagaimana makna digambarkan, dan mengapa ia memiliki makna. Sebagai tampilan pada tingkat penanda, film

adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat

petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena didalam genre

(40)

dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpant.23

Marcel Danesi dalam buku Pengantar Memahami Semiotika Media,

menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu Film Fitur, Film Dokumenter, dan Film Animasi. 24 Namun pada penelitian ini peneliti

hanya akan terfokus pada film fitur. Film Fitur merupakan karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi yang dibuat dalam tiga tahap .

Tahap produksi merupakan periode ketika skenario diperoleh.

skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya; bisa

juga ditulis secara khusus untuk dibuat filmnya. tahap produksi merupakan masa berlangsungya pembuatan film berdasarkan skenario. Tahap terakhir, Post-Produksi (editing) ketika semua bagian film yang tidak sesuai dengan

urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

Film adalah salah satu bentuk komunikasi yang melibatkan tanda

dan simbol dalam produksinya, serta mengandung makna di dalamnya. tanda dan simbol menjadi sasaran komunikasi antara pembuatan film

(sutradara) dengan penikmat film. Dalam produksi film pembuatan makna pada tanda dan simbol sangat erat kaitannya dengan pemberi pesan, apa dan bagaimana pesan itu disampaikan kepada si penerima pesan.

sedangkan makna dianggap sebagai yang muncul sebelum transmisinya

23

Marcel Danesi. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalan sutra hal: 134

24

(41)

tersalurkan melalui film. Pesan suatu film dapat ditransmisikan tanpa masalah kepada penonton yang pasif.25

2.1.2.1Unsur Pembentuk Film

Himawan Pratista dalam buku Memahami Film mengatakan. Film

secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuknya yakni26:

1. Unsur naratif Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Setiap film cerita tidak mungkin lepas dari unsur naratif. Setiap cerita pasti memiliki unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu, serta lainnya. Seluruh elemen

tersebut membentuk unsur naratif secara keseluruhan.

2. Unsur sinematik Unsur sinemantik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film yaitu:

2.1 Mise-en-scene: Setting atau latar, tata cahaya, kostum dan

make up, serta akting dan pergerakan pemain.

2.2 Sinematografi: Perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan objek yang diambil.

2.3 Editing: Transisi sebuah gambar (shoot) ke gambar (shoot) lainnya.

2.4 Suara: Segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indra pendengaran.

25

Joanne Hollows. 2010. Feminisme, feminitas dan budaya populer. Yogyakarta: Jalan sutra hal:57 26

(42)

Kedua unsur tersebut saling bertinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing-masing unsur

tersebut tidak akan dapat membentuk film jika hanya berdiri sendiri.

2.1.3 Representasi

Menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi

hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan.27 Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Marcel Danesi mendefinisikan representasi

sebagai, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Atau lebih tepat dapat diidefinisikan sebagai penggunaan „tanda-tanda‟ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik.

Stuart Hall dalam Indiawan ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan

sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa” yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita

harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim, supaya kita dapat

27

(43)

menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu.28

Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu

ditampilkan dalam pemberitaan. Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan, film dan hal-hal lain di luar pemberitaan, intinya bahwa sama

dengan berita, film juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu.

John Fiske dalam Wibowo merumuskan tiga proses yang terjadi

dalam representasi melalui tabel dibawah ini.

REALITAS

Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara

transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik

dan sebagainya.

REPRESENTASI

Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam

bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain). Elemen-elemen tersebut di transmisikan

28

(44)

ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek

digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain)

IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi

dan kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

Tabel 2.1 : Tiga proses dalam representasi

Sumber : Wibowo, Semiotika komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,2011)

Pertama, tahap realitas dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini

umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan.

Kedua, tahap representasi dalam proses ini realitas digambarkan

dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lainlain.

Ketiga, tahap ideologis dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi konvensi yang

diterima secara ideologis.

(45)

ada dalam masyarakat. Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada

pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah -ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi

merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia

sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru, juga merupakan hasil pertumbuhan

konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi.

2.1.4 Pengertian Waria

Waria atau wanita pria dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai bencong yang mana merupakan istilah bagi laki-laki yang menyerupai perilaku wanita. Dalam istilahnya waria adalah laki-laki yang berbusana

dan bertingkah laku sebagaimana layaknya wanita. Pendapat lain mengenai waria adalah kecendrungan seseorang yang tertarik dan

(46)

kelamin sendiri itulah yang merupakan objek seksual paling menggairahkan.29

Secara fisiologis waria itu sebenarnya adalah pria. Namun pria (waria) ini mengidentifikasikan dirinya menjadi seorang wanita. Baik dalam tingkah dan lakunya. Misalnya dalam penampilan atau

dandanannya ia mengenakan busana dan aksesori seperti wanita. Begitu juga dalam perilaku sehari-hari, ia juga merasa dirinya sebagai seorang

wanita yang memiliki sifat lemah lembut.30

Menurut Benny D Setianto dalam Hesti dan Sugeng, menemukan empat kategori kewariaan: pertama, pria yang menyukai pria, kedua,

kelompok yang secara permanen mendandani diri sebagai perempuan atau berdandan sebagai perempuan, ketiga, kelompok karena desakan

ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktivitas sebagai perempuan, keempat, kelompok coba coba atau memanfaatkan

keberadaan kelompok itu sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka.31

Dari kelompok-kelompok waria tersebut pada umumnya mereka melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal, umumnya mereka

berprofesi di bidang-bidang yang memerlukan keterampilan yang biasa dilakukan wanita. Seperti salon, butik atau di bidang kesenian, meskipun

ada juga yang kerja kantoran. Para waria juga sering tampil apa adanya artinya tidak menutup-nutupi ciri kewariaan mereka. Biarpun berpakaian

29

Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta:Lkis Pelangi Aksara. 30

ibid 31

(47)

laki-laki tetapi gaya bicara dan tingkah laku mereka punya kekhasan. Seperti layaknya wanita, mereka juga berpakaian seperti wanita, lengkap

dengan pernak-perniknya. Dahulu para waria cenderung tertutup dan malu-malu namun kini mereka lebih berperan dan terbuka.32

2.1.5 Pengertian Ayah

E.H Tambunan menjelaskan bahwa Ayah adalah orang tua

laki-laki seorang anak. dalam hubungannya dengan anak, Sebutan "ayah" ditujukan pada ayah kandung (ayah secara biologis) atau ayah angkat. panggilan "ayah" juga dapat diberikan kepada seseorang yang secara de

facto bertanggung jawab memelihara seorang anak meskipun antara keduanya tidak ada hubungan darah.

Ayah merupakan gelar yang diberikan kepada seorang pria apabila pria itu telah memiliki anak, terlepas apakah anak itu anak kandung atau

anak angkat. kata ayah disebut juga bapak atau father dalam bahasa Inggris yang mengandung banyak pengertian. dalam hubungan kekerabatan kata ayah memberikan pengertian sebagai kepala keluarga

yang diharapkan membawa kesejahteraan bagi keluarganya. Masyarakat pada umumnya menuntut peran tanggung jawab yang lebih besar dari

seorang ayah. Bukan saja seorang ayah dituntut supaya dapat memenuhi

32

(48)

kebutuhan keluarga sehari-hari, tetapi lebih dari pada itu, yakni tanggung jawab untuk dapat mewariskan keturunan manusia yang lebih baik.33

2.1.5.1Peran Ayah

Peran merupakan aspek dinamis kedudukan atau status. Apabila

seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia

dijelaskan bahwa peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh individu sebagai anggota masyarakat.34

Setiap orang mempunyai macam-macam peran yang berasal dari

pola-pola pergaulan kehidupannya. Hal itu seklaigus mengartikan bahwa peran menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta

kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peran adalah ia mengatur perilaku seseorang, oleh karena itu

peran menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Interaksi antar individu dalam masyarakat dipahami sebagai suatu tata hubungan yang tidak melihat kepada

siapa-siapa anggota yang terlibat didalam hubungan itu melainkan pada pengaruh-pengaruh yang dipancarkan atau dijalankan oleh masing-masing

individu dan dengan siapa seseorang berinteraksi. Peran adalah tata hubungan antara dua hal yang tergantung dari apa yang disumbangkan,

33

E.H Tambunan. 1985. Pria Teladan. Bandung: Indonesia Publishing House hal : 29 34

(49)

artinya apa yang dilakukan seseorang untuk menimbulkan atau memelihara tata hubungan tersebut.35

Tanggung jawab seorang ayah merupakan satu pokok bahasan yang sangat penting dalam kehidupan. Tantangan untuk mewariskan generasi yang lebih baik harus mendapat tanggapan yang

sungguh-sungguh akan kemana dan bagaimana genrasi tersebut dikemudian hari, masa depannya juga ditentukan dengan bagaimana pembinaan para ayah

sekarang terhadap anak-anaknya terutama tanggung jawab. Tanggung jawab seorang ayah harus lebih banyak diberikan mengingat lebih hebatnya tantangan yang akan dihadapi anak-anak masa kini.

Menurut Olen (1987) dalam E.H Tambunan, ada empat peran dari pihak orang tua sehubungan dengan tahap-tahap pertumbuhan anak,

yaitu:36

1. Sebagai Pengasuh

Seorang ayah yang baik akan mengasuh dan memelihara anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.

2. Sebagai penguasa

Seorang ayah memiliki otoritas untuk mendidik serta mengarahkan perilaku anak-anak.

3. Sebagai Konsultan

Seorang ayah menjadi tempat bertanaya maupun meminta pendapat serta saran atas perilaku anak-anaknya.

35

Natalia Yessi Christianawati. 2008. Peran Ayah pada Perkembanagn Sosio-Emosional Anak Autis. Semarang:Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.

36

(50)

4. Sebagai teman dialog

Seorang ayah dapat menjadi seorang sahabt, tempat berkeluh kesah

anak-anaknya dan berbagi pengalaman hidup.

Sementara menurut Mc. Adoo dalam Christianawati peran ayah

dibagi menjadi lima, sebagai berikut :

1. Provider (penyedia dan pemberi fasilitas)

2. Protector (pemberi perlindungan) 3. Decision Maker (pembuat keputusan)

4. Child Specialiser and Educator (Pendidik dan yang menjadikan

anak sosial)

5. Nurtured Mother (pendamping ibu)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis

peran ayah secara garis besar dapat disebutkan antara lain sebagai berikut: sebagai penyedia dan pemberi fasilitas; pemberi pengasuhan dan perlindungan; pembuat keputusan penyelesai masalah; pendidik dan

(51)

2.1.6 Budaya Patriarki

Gazalba dalam Prasetya menjelaskan kebudayaan adalah cara

berpikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu.37 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

kebudayaan adalah: (1) Hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2) Keseluruhan

pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku.38

Sastriyani dalam buku Glosarium, Seks dan Gender menjelaskan Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang

mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki sedangkan patrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis keturunan kerabat pria atau

bapak.39 Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.40

Di negara-negara barat, Eropa barat termasuk Indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental mewarnai berbagai aspek

kehidupan dan struktur masyarakat. Pada tatanan kehidupan sosial, konsep patriarki dijadikan sebagai landasan ideologis dan pola hubungan gender

37

Prasetya, ST, dkk. 2004. Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : PT Rineka Citra hal : 30 38

Salim, dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta 39

Sastriyani, S. S. H. 2007. Glosarium, Seks dan Gender.Yogyakarta : Carasuati Books Hal :65 40

(52)

dalam masyarakat, dan dalam praktiknya secara sistematik akan saling berhubungan dengan pranata pranata sosial lainnya. Perbedaan gender

sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun ternyata perbedaan gender baik melalui mitos-mitos, sosialisasi, kultur, dan kebijakan pemerintah telah melahirkan hukum yang

tidak adil terutama bagi mereka yang memiliki karakter feminis bagi laki-laki dan maskulin bagi perempuan.

Sikap masyarakat patriaki yang kuat ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak menanggapi atau berempati terhadap segala tindak kekerasan baik verbal maupun non verbal yang menimpa terhadap

kelompok waria. Sehingga mengakibatkan timbulnya ketimpangan pada konsep budaya patriarki seperti maskulinitas adalah stereotype tentang

laki-laki yang dapat dipertentangkan dengan feminitas sebagai steretotype perempuan. Maskulin selalu diidentikan dengan sifat jantan yang ada pada

tubuh laki-laki, maskulinitas sendiri adalah kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual.41

2.1.7 Hegemoni

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu „eugemonia‟. Yang diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang

diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secaara individual

41

(53)

misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73).

Jika dikaitkan pada masa kini, pengertian hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar

maupun secara ketat terintegrasi dalam negara “pemimpin”.

Hegemoni dikembangkan oleh seorang filsuf Marxis Italia yaitu

Antonio Gramsci (1891-1937). Konsep hegemoni dikembangkan atas dasar dekonstruksi terhadap konsep-konsep Marxis ortodoks. Chantal Mouffe dalam bukunya yang berjudul Notes on the Sourthen Question

untuk pertama kalinya menggunakan istilah hegemoni ini di tahun 1926. Hal ini kemudian disangkal oleh Roger Simon, menurutnya istilah

hegemoni sudah digunakan oleh Plekhamov sejak tahun1880-an.42

Secara umum, hegemoni adalah sebagai suatu dominasi kekuasaan

suatu kelas sosial atas kelas sosial lainnya, melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan dominasi atau penindasan. Bisa juga hegemoni didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok

terhadap kelompok yang lain, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominasi terhadap

kelompok yang didominasi/dikuasai diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengekang pikiran.43 Adapun teori hegemoni yang dicetuskan

42

Ratna, Nyoman Kartha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal :181

43

(54)

Gramsci adalah Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam

masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam

makna intelektual dan moral.44

Hegemoni Gramsci menekankan kesadaran moral, dimana

seseorang disadarkan lebih dulu akan tujuan hegemoni itu. Setelah seseorang sadar, ia tidak akan merasa dihegemoni lagi melainkan ia sadar melakukan hal tersebut dengan suka rela. Jadi terdapat dua jenis

hegemoni, yang satu melalui dominasi atau penindasan, dan yang lain melalui kesadaran moral. Hegemoni dengan dominasi atau penindasan

merupakan hegemoni konsep Marxis ortodoks, biasanya bernuansa negatif. Sementara itu hegemoni menurut Gramsci, adalah hegemoni

dengan kepemimpinan intelektual dan moral, biasanya bernuansa positif. Hegemoni Gramsci sendiri memuat ide-ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan sosial secara radikal dan revolusioner. Gagasan

hegemoni Gramsci telah mengandung isu-isu pokok dalam studi kultural, seperti tentang pluralisme, multikultural, dan budaya marginal. Jadi

hegemoni Gramsci menolak konsep-konsep yang mengedepankan kebenaran mutlak, baik yang terkandung dalam Marxisme maupun non-Marxisme.

44

(55)

Menurut Gramsci, ideologi tidak otomatis tersebar dalam masyarakat, melainkan harus melalui lembaga-lembaga sosial tertentu

yang menjadi pusatnya.45 Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok

masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara

sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

Dengan demikian mekanisme yang digunakan masyarakat dominan dalam hal ini masyarakat hetero dilakukan dengan penguasaan kepada

kelas bawah (non-hetero) menggunakan ideologi yang akhirnya masyarakat hetero merekayasa kesadaran masyarakat non-hetero sehingga

tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dari masyarakat yang dominan.

2.1.8 Heteronormativitas

Hegemoni laki-laki atas perempuan memperoleh legitimasi dari

nilai-nilai sosial, agama, hukum tersosialisasi secara turun menurun dari generasi ke generasi.46 Timbulnya kemaskulinitasan pada budaya patriarki

45

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 74 46

(56)

karena adanya anggapan bahwa laki-laki menjadi sejati jika ia berhasil menunjukkan kekuasaannya atas perempuan.

Dikarenakan telah menjadi budaya dan mengakar sebagai Ideologi. masyarakat patriaki, sehingga menciptakan satu tataran baru dalam sudut pandang lain mengenai gender yaitu Heteronormativitas atau sering juga

disebut heteronormatif. Heteronormativitas adalah sebuah pandangan, pola pikir, kerangka tindakan berbasis heteroseksis (hubungan romantis-

seksual laki-laki dengan perempuan).47

Heteronormativitas dalam sebuah jurnal yang di tulis oleh Dr. Argyo Demartoto, M.Si. berjudul Seks, Gender, Seksualitas Gay dan

Lesbian Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai Ideologi tentang keharusan untuk menjadi heteroseksual, yang didasarkan pada penindasan

orientasi seksual lain yang tidak berorientasi reproduksi keturunan seperti onani, masturbasi atau homoseksualitas. Juga keharusan akan kesesuaian

antara identitas gender dan identitas seksual dimana jika beranatomi laki-laki harus maskulin, dan sebaliknya bila beranatomi perempuan maka harus feminim.48

Lalu mengapa hal ini menjadi permasalahan dan diperbincangkan, ternyata didalam definisi heteronormativitas melibatkan bias pendapat,

diskriminatif (tidak adil, menghakimi) dan stigmatif. Ambil contoh pada pendapat-pendapat berikut; seks diluar heteroseks adalah tidak normal,

47

http://lakilakibaru.or.id/2014/12/heteronormativitas-sebagai-bentuk.htmldiakses hari Jum’at

16 Januari 2015 pukul 14.06 WIB 48

Gambar

Tabel  2.1  ........................................................................................................
Tabel 2.1 : Tiga proses dalam representasi
Gambar 2.1 Elemen Makna Charles Sanders Peirce (tanda peircean)
Tabel 2.2 : Kerangka berfikir
+7

Referensi

Dokumen terkait