• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS DENGAN KESESUAIANKODE DIAGNOSIS PADA REKAM MEDIS RAWAT JALAN DAN SOFTWARE

INA CBGS DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT I

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:

NURZARA ANGGAR WIDAYANTI J410 141 052

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016

(2)
(3)
(4)
(5)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS DENGAN KESESUAIANKODE DIAGNOSIS PADA REKAM MEDIS RAWAT JALAN DAN SOFTWARE

INA CBGS DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT I

Abstrak

Seiring dengan diberlakukannya UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN, kegiatan pemberian kode diagnosis pasien merupakan kegiatan yang penting. Pelaksanaan pengkodean diagnosis harus lengkap dan akurat sesuai dengan arahan ICD-10. Karakteristik seseorang dapat mempengaruhi perilakunya di tempat kerja. Oleh karena itu, karakteristik individu dalam hal ini tenaga perekam medis mampu mempengaruhi kinerjanya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan karakteristik perekam medis (jenis kelamin, status kepegawaian, dan lama kerja) dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian meliputi seluruh rekam medis rawat jalan pada bulan Januari 2016 yaitu sebanyak 3006 berkas. Sampel sebanyak 188 berkas dengan menggunakan teknik sistematic sampling. Hasil analisis menunjukkan kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs sebanyak 41 berkas (22%) tidak sesuai. Hasil uji hubungan menggunakan uji chi square menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin (0,003), status kepegawaian (0,0001), dan lama kerja (0,0001) dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I.

Kata kunci : Karakteristik, kesesuaian, diagnosis

Abstract

According to regulation No. 24 in 2011 about BPJS and No. 40 in 2004 about SJSN, givingdiagnose’s code is important. Diagnose’s code should complete and accurate accordance by ICD-10. Characteristics of the person can affect their behavior in the work place. Therefore, individual’s characteristics (gender, employment’s status, and length of employment)can be affecting their performance. The purpose of this researches is to know the relation of medical record practitioner’s characteristic with conformity of diagnose’s code in outpatient’s medical record and INA CBGs’s software in RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I. This study used analytic observational research with cross sectional study design. The population of research is outpatients’s medical record in January 2016 (3006 medical record). The sample in this study is 188 outpatient’s medical record using techniques of sistematic sampling. The analysis showed that diagnose’s code of outpatient’s medical record and INA-CBGs’ software as many as 41 files (22%) not conform. There is a correlation between gender (0,003), employment status (0,0001), and length of employment (0,0001) with conformity of diagnose’s code in outpatient’s medical record and INA CBGS’s software in RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I.

Keyword : Characteristic, conformity, diagnose

(6)

1.PENDAHULUAN

Rumah Sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien melalui pelayanan rawat jalan, rawat inap dan gawat darurat. Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasien harus memperhatikan mutu dan kualitas. Mutu pelayanan kesehatan suatu rumah sakit dapat dilihat dari peningkatan kualitas pelayanan kepada pasien termasuk kualitas pendokumentasian rekam medis.

Rumah sakit mempunyai kewajiban administrasi untuk membuat dan memelihara rekam medis pasiennya. Rekam medis dikatakan bermutu apabila rekam medis tersebut akurat, lengkap, dapat dipercaya, valid dan tepat waktu (Abdelhak dkk, 2001).

Pendokumentasian informasi medis harus mengandung data yang lengkap, metode penyimpanan dan prosedur harus dijaga, khususnya untuk administrasi pelayanan yang memadai sebab tujuan pokok pendokumentasian informasi medis untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun pra rumah sakit (Persi, 2006). Salah satu bentuk pengelolaan informasi medis yakni pendokumentasian serta pengkodean (coding) diagnosis.

Pelaksanaan pengkodean diagnosis harus lengkap dan akurat sesuai dengan arahan ICD-10 (WHO, 2004). Salah satu data yang penting dalam pendokumentasian rekam medis yakni kode diagnosis pasien. Kode diagnosis pasien digunakan sebagai acuan dalam penentuan besar biaya pelayanan kesehatan. Ketidaksesuaian dalam pemberian kode diagnosis pasien dapat mempengaruhi besarnya biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayarkan pasien. Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan pelaksanaan SJSN secara bertahap mulai 1 Januari 2014, kegiatan pemberian kode diagnosis pasien merupakan kegiatan yang penting. Kode diagnosis pasien harus tepat, benar dan sesuai dengan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Ketidaksesuaian dalam pemberian kode diagnosis dapat mempengaruhi proses klaim biaya pelayanan kesehatan pasien SJSN. Kode diagnosis yang tidak sesuai dan tidak akurat akan mengakibatkan proses klaim terhambat bahkan biaya pelayanan kesehatan pasien tidak terklaimkan. Ketepatan dan kesesuaian pemberian kode diagnosis pada rekam medis dan software INA-CBGs tersebut tergantung pada pelaksana yang menangani rekam medis, baik tenaga medis (dokter) maupun tenaga perekam medis.

Berdasarkan Muchlas (2008), karakteristik seseorang dapat mempengaruhi perilakunya di tempat kerja. Karakter-karakter tersebut diantaranya adalah karakteristik pribadi atau biografik seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan, status kepegawaian, ciri

(7)

kepribadian, nilai-nilai dan sikapnya, serta tingkat kemampuannya. Oleh karena itu, karakteristik individu dalam hal ini tenaga perekam medis mampu mempengaruhi kinerjanya. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Janah (2014) yang menjelaskan bahwa latar belakang pendidikan (p=0,001) dan masa kerja (p=0,001) memiliki hubungan dengan keakuratan kode diagnosis rawat jalan di RSPAU dr S Hardjolukito Yogyakarta, serta dalam penelitian Sukaesih (2008) dengan hasil penelitian bahwa variabel pendidikan (p=0001), masa kerja (p=0,001), pengetahuan (p=0,0001), pelatihan (p=0,0001) memiliki hubungan dengan kinerja petugas rekam medis di RSUD Rokan Hulu Riau.

Berdasarkan studi pendahuluan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I pada bulan Maret 2016, diperoleh hasil bahwa sebesar 28% atau 7 dari 25 kode diagnosis antara berkas rekam dengan software INA-CBGs ditemukan tidak sesuai. Presentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Lestari (2014) yang bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pendokumentasian diagnosis pada berkas rekam medis dan sistem EHR dengan hasil sebesar 11% kode diagnosis tidak sesuai. Berdasarkan hasil wawancara dengan supervisor Pengolahan Data RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, ketidaksesuaian kode diagnosis dapat berdampak pada banyak hal, yaitu terkait ketepatan klaim, medical history pasien menjadi tidak sesuai, laporan morbiditas menjadi tidak sinkron antara software INA CBGs dan SIRS. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui hubungan karakteristik petugas (jenis kelamin, status kepegawaian, dan lama kerja) dengan kesesuaian kode diagnosis antara rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Tempat penelitian inidi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I pada bulan Mei-Juni2016. Populasi dalam penelitian meliputi seluruh rekam medis rawat jalan pada bulan Januari 2016 yaitu sebanyak 3006 berkas. Sampel sebanyak 188 berkas dengan menggunakan teknik sistematic sampling.Data yang diambil dikumpulkan menggunakan instrumen check list (studi dokumentasi) dan dianalisis dengan menggunakan uji chi square.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan karakteristik perekam medis (jenis kelamin, status kepegawaian, dan lama kerja) dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah

(8)

Yogyakarta Unit I. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2016, dilakukan analisis secara univariat dan bivariat sebagai berikut.

3.1Analisis UnivariatTingkat Kesesuaian Kode Diagnosis pada Rekam medis rawat jalan dan Software INA-CBGs Pasien Rawat Jalan serta Karakteristik Petugas Rekam Medis Bagian Koding Rawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I

Tingkat kesesuaian tertinggi sebesar 100% oleh responden C, dan tingkat kesesuaian terendah sebesar 51,1% oleh responden A. Total ketidaksesuaian kode diagnosis yaitu 22% atau sebanyak 41 dari 188 berkas rekam medis. Selain itu, diketahui pula bahwa karakteristik petugas rekam medis bagian koding rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I yaitu, jenis kelamin petugas antara laki-laki dan perempuan masing-masing berjumlah 2, petugas rekam medis bagian koding lebih banyak yang berstatus kepegawaian sebagai pegawai kontrak, dan sebagaian besar petugas memiliki masa kerja kurang dari 1,5 tahun.

3.2Analisis BivariatHubungan antara Jenis Kelamin, Masa Kerja, dan Status Kepegawaiandengan Kesesuaian Kode Diagnosispada Rekam medis rawat jalan dan Software INA-CBGs Pasien Rawat Jalandi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I Tabel 1. Hubungan antara Jenis Kelamin, Masa Kerja, dan Status Kepegawaian dengan

Kesesuaian Kode Diagnosis pada Rekam medis rawat jalan dan Software INA-CBGs Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I

Kesesuaian Koding Total P value Sesuai Tidak sesuai N % N % N % Jenis Kelamin Laki-laki 65 69,1 29 30,9 94 100 0,003 Perempuan 82 87,2 12 12,8 94 100 Total 147 78,2 41 21,8 188 100

Masa Kerja ≤3 tahun 123 87,2 18 12,8 141 100

0,001 >3 tahun 24 51,1 23 48,9 47 100 Total 147 78,2 41 21,8 188 100 Status Kepegawaian Tetap 24 51,1 23 48,9 47 100 0,001 Kontrak 123 87,2 18 12,8 141 100 Total 147 78,2 41 21,8 188 100 4

(9)

Tabel 1. menunjukkan bahwa coder berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat kesesuian kode diagnosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan coder laki-laki, yaitu sebesar 87% atau sebanyak 82 berkas. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,003, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I.

Tabel 1. menunjukkan bahwa coder dengan masa kerja kurang atau sama dengan 3 tahun memiliki tingkat kesesuian kode diagnosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan coder dengan masa kerja lebih dari 3 tahun, yaitu sebesar 87,2% atau sebanyak 123 berkas. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,001, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I.

Tabel 1, menunjukkan bahwa coder dengan status kepegawaian sebagai pegawai kontrak memiliki tingkat kesesuian kode diagnosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan coder berstatus kepegawaian tetap, yaitu sebesar 87,2% atau sebanyak 123 berkas. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,001, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status kepegawaian dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I.

3.3Pembahasan

3.3.1 Tingkat Kesesuaian Kode Diagnosis pada Rekam medis rawat jalan danSoftware INA-CBGs Pasien Rawat Jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I Pemberian kode diagnosis yang sesuai dengan diagnosis dokter sangat berpengaruh dalam penentuan biaya klaim asuransi. Hal ini sesuai dengan Konsil Kedokteran Indonesia (2006) yang menyebutkan bahwa salah satu manfaat rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Dalam hal ini, apabila coder tidak teliti dalam mengkode diagnosis, maka jumlah pembayaran klaim juga akan berbeda.

(10)

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pengkodean pada software INA CBGs hanya berpedoman pada lembar JKN tanpa memperhatikan informasi yang terdapat dalam berkas rekam medis. Hal tersebut mampu menyebabkan kode yang diberikan menjadi kurang spesifik. Selain itu menimbulkan terjadinya ketidaksesuaian kode diagnosis antara software INA CBGs dengan berkas rekam medis rawat jalan sebab pengkodean dilakukan dua kali.

Pengkodean yang hanya mengacu pada lembar JKN tanpa melihat berkas rekam medis dapat mengakibatkan kode diagnosis menjadi kurang akurat sebab coder tidak memperhatikan riwayat penyakit sebelumnya maupun lembar pemeriksaan lain seperti lembar laboratorium, lembar radiologi. Sebaiknya coder dalam mengkode selain menggunakan lembar JKN sebagai acuan juga melihat berkas rekam medis, sehingga data riwayat penyakit lebih lengkap, misalnya untuk pasien dengan kasus kontrol.

Tingkat ketidaksesuaian kode diagnosis rawat jalan pada rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs mencapai 22% atau sebanyak 41 berkas, sedangkan kesesuaian kode diagnosis sebanyak 78% atau 147 berkas. Presentase ketidaksesuaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Lestari (2014) yang bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pendokumentasian diagnosis pada berkas rekam medis dan sistem EHR dengan hasil sebesar 11% kode diagnosis tidak sesuai.

Berdasarkan wawancara dengan salah satu petugas rekam medis bagian koding, ketidaksesuaian tersebut dapat berdampak pada medical history pasien menjadi tidak konsisten, laporan morbiditas yang tidak sama antara software INA CBGs dan SIRS, serta dapat berpengaruh terhadap besar klaim yang harus dibayarkan. Oleh karena itu, sebaiknya diberlakukan peraturan yang lebih jelas tentang petunjuk acuan pengkodean diagnosis dalam software INA CBGs. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I hendaknya melakukan evaluasi terhadap SOP atau prosedur tetap dan pelaksanaannya di rumah sakit terkait pengkodean diagnosis beserta lembar acuan yang digunakan. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir kesalahan maupun ketidaksesuaian pengkodean diagnosis. Appriliant (2013) dalam hasil penelitiannya mengenai keakuratan kode diagnosis pasien gawat darurat juga menyatakan bahwa faktor ketidaksesuaian pengkodean diagnosis dikarenakan belum adanya aturan khusus yang tertulis (SOP) mengenai pengkodean diagnosis menggunakan ICD-10. Selain itu, perlunya tim audit internal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I, sehingga kode diagnosis yang dikeluarkan oleh petugas sinkron atau sesuai antara rekam medis rawat jalan maupun software INA CBGs.

(11)

Ketidaksesuaian kode diagnosis antara berkas rekam medis dengan software INA CBGs yang terjadi menunjukkan bahwa kinerja petugas rekam medis belum sesuai dengan kode etik profesi rekam medis dan informasi kesehatan, khususnya pada Bab II pasal 2 ayat (2) bahwa Profesi MIK harus senantiasa menjalankan tugas berdasarkan ukuran profesi tertinggi dan ayat (6) bahwa Profesi MIK harus senantiasa melaksanakan tugas yang dipercayakan pimpinan kepadanya dengan penuh tanggungjawab, teliti dan akurat. Selain itu, belum sesuai pula dengan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 377/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Kompetensi Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan terkait salah satu kompetensi pokok perekam medis dan informasi kesehatan yaitu klasifikasi dan kodifikasi penyakit beserta masalah-masalah terkait yang berkaitan dengan kesehatan dan tindakan medis. Perekam medis seharusnya mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan dengan tepat sesuai dengan klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (menggunakan ICD-10) tentang penyakit dan tindakan medis dalam pelayanan dan manajemen kesehatan.

Bagian manajemen/pimpinan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I hendaknya mengevaluasi dan memperhatikan kinerja staf dalam suatu unit kerja sehingga diketahui perkembangan kinerja masing-masing staf dan dapat segera ditindaklanjuti apabila terjadi penurunan kinerja, seperti terjadinya ketidaksesuaian kode diagnosis antara rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs. Selain itu, memberikan pelatihan mengenai pengkodean diagnosis diharapkan mampu meningkatkan kemampuan petugas untuk memahami sejumlah informasi dalam menentukan kode diagnosis yang tepat. Pihak manajemen rekam medis hendaknya menciptakan situasi dan kondisi yang dapat memotivasi petugas untuk meningkatkan kinerjanya misalnya supervisi, imbalan, penghargaan, maupun jenjang karir.

3.3.2 Hubungan antara Jenis Kelamin, Masa Kerja, dan Status Kepegawaian dengan Kesesuaian Kode Diagnosispada Rekam medis rawat jalan dan Software INA-CBGs Pasien Rawat Jalandi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I

Menurut Ilyas (2001) jenis kelamin akan memberikan dorongan yang berbeda, jenis kelamin laki-laki memiliki dorongan lebih besar daripada wanita karena tanggung jawab laki-laki lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa coder berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat kesesuian kode diagnosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan coder laki-laki, yaitu sebesar 87% atau sebanyak 82 berkas. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I (p=0,003).

(12)

Perbedan kesesuaian kode diagnosis antara petugas dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dapat disebabakan oleh perbedaan tingkat ketelitian dan kehati-hatian. Petugas berjenis kelamin perempuan cenderung lebih hati-hati dan teliti dibandingkan dengan petugas berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut dilihat dari tingkat kesesuaian kode diagnosis pada petugas perempuan yang lebih tinggi. Selain itu, petugas perempuan cenderung lebih mematuhi peraturan yang berlaku dibandingkan dengan petugas laki-laki, misalnya terkait jam kerja. Disebutkan pula oleh Wahjono (2010), studi psikologis menemukan bahwa wanita bersedia untuk mematuhi wewenang sedangkan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan (ekspetasi).

Menurut Wahjono (2010), terdapat beberapa perbedaan penting antara pria dan wanita yang mempengarui kinerja walaupun perbedaan tersebut kecil adanya. Misalnya dalam kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas untuk sukses, atau kemampuan belajar antara pria dan wanita memiliki perbedaan, sementara dalam kemampuan belajar antara pria dan wanita tidak ada perbedaan yang konsisten.

Perbedaan jenis kelamin tidak menyebabkan perbedaan kinerja seseorang, namun berbagai faktor yang berkaitan dengan jenis kelamin, seperti perbedaan mendapatkan formasi, besarnya gaji dan lain-lain, yang mampu mempengaruhi kinerja seseorang (Robbins, 2003).

Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu organisasi, lebaga dan sejenisnya. Masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan para pekerja dalam melaksanakan aktivitas kerjanya (Siagian, 2007). Masa kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lama kerja coder yang bertugas mengkode diagnosis rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I pada saat penelitian dilakukan.

Berdasarkan hasil penelitian, coder dengan masa kerja kurang atau sama dengan 3 tahun memiliki tingkat kesesuian kode diagnosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan coder dengan masa kerja lebih dari 3 tahun yaitu sebanyak 123 berkas (87,2%). Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I (p=0,0001).

(13)

Penelitian Masni, dkk (2010) tentang hubungan karakteristik individu dan beban kerja dengan kinerja perawat di ruang instalasi rawat inap RSU Haji Makassar menunjukkan hasil bahwa masa kerja tidak berhubungan dengan kinerja pribadi perawat (p=0,645) dan kinerja profesi perawat (0,723). Menurut Masni, dkk (2010), lamanya seorang perawat bekerja di bagian tertentu membuat mereka jenuh dengan kondisi yang ada di ruangan tersebut. Keadaan inilah yang mendorong timbulnya perasaan malas bagi perawat dalam bekerja, sehingga keinginannya untuk memberikan kinerja yang maksimal menurun, akibatnya meskipun mereka telah lama bekerja di unit tersebut, tetapi kinerja pribadinya tidak meningkat. Selain itu, kurangnya kasus-kasus baru yang muncul membuat perawat mengandalkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam memberikan perawatan kepada pasien, sehingga berapa lamapun mereka bekerja, tidak dapat menghasilkan kinerja profesi yang optimal.

Tingginya angka ketidaksesuaian oleh petugas koding dengan masa kerja lebih dari 3 tahun di RS PKU Muhammadiyah Unit I dapat diakibatkan oleh tingkat kejenuhan yang lebih tinggi dibandingkan petugas dengan masa kerja kurang dari 3 tahun. Selain itu, dapat dilihat dari tingkat kelelahan, tingkat ketelitian, maupun tingkat motivasi petugas dalam bekerja. Manajemen rekam medis hendaknya memberikan penyegaran lokasi kerja maupun diadakan reward dan punishmen agar mampu meningkatkan motivasi petugas.

Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 377/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Kompetensi Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, untuk dapat memenuhi kompetensi perekam medis serta untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam manajemen rekam medis, perekam medis hendaknya mengikuti pelatihan-pelatihan tentang manajemen rekam medis. Bagi petugas koding dengan masa kerja lebih dari 3 tahun di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I perlu diberikan pelatihan sebagai penyegaran terkait perkembangan pengkodean diagnosis menurut ICD-10 maupun perkembangan/pembaharuan dari software INA CBGs, sedangkan bagi petugas kurang dari 3 tahun maupun petugas baru hendaknya diberikan pelatihan terlebih dahulu sebelum mulai bekerja di rumah sakit sebagai pengenalan maupun adaptasi terhadap tugas dan tanggung jawab yang akan diterima.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa coder dengan status kepegawaian sebagai pegawai kontrak memiliki tingkat kesesuian kode diagnosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan coder berstatus kepegawaian tetap, yaitu sebesar 87,2% atau sebanyak 123 berkas. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara status kepegawaian dengan kesesuaian kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I (p=0,0001).

(14)

Perbedaan ketidaksesuain kode diangnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs antara petugas tetap dan kontrak di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I dapat disebabkan oleh tekanan terkait perpanjagan kontrak, sehingga petugas kontrak memiliki motivasi untuk bekerja lebih teliti dan hati-hati. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil kesesuaian petugas kontrak yang lebih tinggi. Status kepegawaian baik pegawai tetap maupun pegawai kontrak seharusnya tidak menjadi alasan petugas rekam medis tersebut bekerja tidak sesuai dengan kewajibannya, sebab dalam kode etik profesi rekam medis dan informasi kesehatan, khususnya pada Bab II pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa seorang profesi MIK seharusnya senantiasa menjalankan tugas berdasarkan ukuran profesi tertinggi, serta pada ayat (6) yang menjelaskan bahwa profesi MIK seharusnya senantiasa melaksanakan tugas yang dipercayakan pimpinan kepadanya dengan penuh tanggungjawab, teliti dan akurat.

Pada penelitian Kanestren (2009) mununjukkan hasil yang sama bahwa variabel karakteristik individu (umur, lama kerja dan tingkat pendidikan, status kepegawaian) memiliki hubungan bermakna dengan kinerja perawat. Pegawai dengan status kepegawain yang sudah tetap cenderung bekerja sesuai dengan beban kerja tanpa adanya motivasi untuk berkembang, sedangkan pegawai belum tetap cenderung bekerja lebih hati-hati, lebih teliti, dan memiliki motivasi untuk berkembang lebih baik. Hasil penelitian Hotnida (2010) tentang analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja perawat dalam pendokumentasian proses keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Koja menunjukkan hasil yang sama bahwa status kepegawaian beserta umur, lama kerja, pendidikan, status pernikahan, persepsi seorang perawat terhadap kepemimpinan, hubungan antar kelompok, desain kerja, imbalan, fasilitas kerja, struktur organisasi, supervisi dan penghargaan berpengaruh terhadap skor kinerja perawat dalam pendokumentasian pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Beberapa hasil penelitian lain menunjukkan bahwa status kepegawaian tidak memiliki hubungan dengan kinerja seseorang, seperti hasil penelitian Saefulloh (2013) tentang perbedaan kinerja perawat PNS dengan Non PNS di ruang rawat inap RSUD Kabupaten Indramayu yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kinerja perawat PNS dengan non PNS di ruang rawat inap RSUD Kabupaten Indramayu (p=0,520). Hal tersebut dapat disebabkan karena perawat yang berstatus non PNS memiliki tanggung jawab yang sama dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien. Hasil penelitian Surani (2008) tentang analisis karakteristik individu dan faktor instrinsik yang berhubungan

(15)

dengan kinerja bidan pelaksana juga menunjukkan hasil bahwa status kepegawaian tidak berhubungan dengan kinerja (p=0,943).

Penelitian ini terbatas pada kesesuaian kode diagnosis antara rekam medis rawat jalan dan software INA CBGs, terkait keakuratan maupun ketepatan kode diagnosis belum diteliti oleh penulis. Oleh karena itu, masih dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keakuratan maupun ketepatan kode diagnosis antara rekam medis rawat jalan maupun software INA CBGs.

4. PENUTUP 4.1Simpulan

(1) Kode diagnosis pada rekam medis rawat jalan dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I sebanyak 41 berkas rekam medis (22%) tidak sesuai.Karakteristik petugas rekam medis bagian koding rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I yaitu jenis kelamin petugas antara laki-laki dan perempuan memiliki jumlah yang sama, petugas rekam medis bagian koding lebih banyak berstatus kepegawaian sebagai pegawai kontrak, dan petugas rekam medis bagian koding lebih banyak memiliki masa kerja kurang dari 1,5 tahun.

(2) Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kesesuaian kode diagnosis pada lembar poliklinik dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I (p=0,003).

(3) Ada hubungan antara masa kerja dengan kesesuaian kode diagnosis pada lembar poliklinik dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I (p=0,0001).

(4) Ada hubungan antara status kepegawaian dengan kesesuaian kode diagnosis pada lembar poliklinik dan software INA-CBGs pasien rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I (p=0,0001).

4.2 Saran

(1) Bagian manajemen/pimpinan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I hendaknya mengevaluasi dan memperhatikan kinerja staf dalam suatu unit kerja.

(2) Selain adanya SOP tentang pengkodean diagnosis dengan menggunakan ICD-10, sebaiknya bagian rekam medis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I juga memberlakukan peraturan yang lebih jelas tentang petunjuk acuan pengkodean diagnosis

(16)

dalam software INA CBGs dan perlunya tim audit internal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I untuk meminimalisir ketidaksesuain kode diagnosis yang terjadi.

(3) Direktur rekam medis hendaknya memberikan pelatihan terkait perkembangan pengkodean diagnosis menurut ICD-10 maupun perkembangan/pembaharuan dari software INA CBGs.

(4) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut terkait keakuratan maupun ketepatan kode diagnosis antara rekam medis rawat jalan maupun software INA CBGs.

DAFTAR PUSTAKA

Abdelhak, M. (2001). Health Information of A Strategic Resource 2nd Edition.

Hotnida, L. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Perawat Dalam Pendokumentasian Proses Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Koja. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Jakarta: Universitas Indonesia.

Ilyas, Y. (2001). Kinerja Teori, Penilaian, dan Penelitian. Depok: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI.

Janah, F. M. (2015). Hubungan Kualifikasi Coder dengan Keakuratan Kode Diagnosis Rawat Jalan berdasarkan ICD-10 Di RSPAU Dr. S. Hardjolukito Yogyakarta 2015. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kanestren, D. R. (2009). Analisis Hubungan Karakteristik Individu Dan Lingkungan Kerja Dengan Kinerja Perawat Di Unit Rawat Inap RS Pertamina Jaya. Tesis (Tidak Dipublikaskan). Jakarta: Universitas Indonesia

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 377/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Kompetensi Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan.

Konsil Kedokteran Indonesia. (2006). Manual Rekam Medis. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

Lestari, D & Nuryati. (2014). “Kesesuaian Diagnosis pada Berkas Rekam Medis dan EHR Pasien Instalasi Gawat Darurat”. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Oktober 2014.

(17)

Masni., Ramli, Muh., Indar. (2010). “Hubungan Karakteristik Individu dan Beban Kerja dengan Kinerja Perawat di Ruang Instalasi Rawat Inap RSU Haji Makassar”. Jurnal MKMI, Vol 6 No.4, Oktober 2010, hal 227-234.

Robbins, S P. (2007). Perilaku Organisasi (Judul asli: Organizational Behavior Concept, Controversies, Applications 8th edition) Jilid 1. Penerjemah Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Saefullah, M. (2013). “Perbedaan Kinerja Perawat PNS dengan Non PNS di Ruang Rawat Inap RSUD Kabupaten Indramayu”. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 65-73.

Siagian, S P. (2008). Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukaesih, F. (2008). Hubungan Karakteristik Petugas dengan Kinerja Petugas Rekam Medis di Rumah Sakit Umum Daaerah Rokan Hulu. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Surani. (2008). Analisis Karakteristik Individu dan Faktor Instrinsik yang Berhubungan dengan Kinerja Bidan Pelaksana Poliklinik Kesehatan Desa dalam Pelayanan Kesehatan Dasar di Kabupaten Kendal tahun 2007. Tesis (Tidak Dipulikasikan). Semarang: Universitas Diponegoro.

Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jakarta: MenKes RI.

Wahjono, S.I., (2010). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

WHO (2004). International Statistical Classification of Diesases and Related Health Problems Tenth Revision. Geneva.

Referensi

Dokumen terkait

sejarah perkembangan aktifitas fisik dan pendidikan jasmani dari zaman prasejarah hingga era modern.Dimensi kedua adalah makna antar-budaya, yang merupakan komponen

keterampilan pola asuh anak perlu diajarkan kepada orang tua peserta didik sejak dini agar orang tua lebih paham dalam hal pola pengasuhan anak yang baik dan

(5) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menempatkan tindak pidana yang berkaitan dengan hak cipta sebagai delik biasa, Selain itu masih ada upaya hukum yang

Rancangan bentuk bioreaktor ini menerapkan bentuk parametrik, yaitu berupa konfigurasi garis-garis lurus vertikal yang disusun melingkar. Dengan kemiringan tertentu,

Pembangunan pengolahan air minum saat ini terus dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya daerah yang rawan air dan daerah pedesaan, akan tetapi penyediaan unit

Penerapan Strategi Think Talk Write dalam kegiatan pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia materi puisi hal ini dapat dilihat dari proses

Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu