• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ada banyak jenis wayang di Nusantara yaitu Wayang Purwa, Wayang Uwong, Wayang Bèbèr, Wayang Suluh, Wayang Klithik,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ada banyak jenis wayang di Nusantara yaitu Wayang Purwa, Wayang Uwong, Wayang Bèbèr, Wayang Suluh, Wayang Klithik,"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada banyak jenis wayang di Nusantara yaitu Wayang Purwa, Wayang Uwong, Wayang Bèbèr, Wayang Suluh, Wayang Klithik, Wayang Ménak, Wayang Gedhog, Wayang Golèk, Wayang Kancil, Wayang Proklamasi, Wayang Dupara, Wayang Pancasila, Wayang Perjuangan, Wayang Wahyu, Wayang Sadat, Wayang Warta, Wayang Budha, Wayang Kampung Sebelah, dan lain-lain. Wayang Budha, Wayang Sadat, Wayang Warta, dan Wayang Wahyu merupakan wayang yang mendasarkan ceritanya pada ajaran agama. Wayang di bawah payung agama tersebut termasuk dalam kategori wayang langka. Sebagai wayang langka, ketiganya memiliki keunikannya masing-masing.

Wayang Budha adalah wayang yang terbuat dari kulit dengan ukuran yang besar (sekitar satu meter). Wayang Budha mengisahkan hal-hal yang terkandung pada ajaran agama Budha. Tokohnya antara lain: Sutosoma, Sidharta Gautama, dan Kinjara Karna. Wayang Budha tidak dimainkan oleh satu orang dalang tetapi oleh beberapa penari dengan diiringi suara dalang yang menuturkan jalan cerita. Wayang Budha diciptakan pada tahun

▸ Baca selengkapnya: lirik suluk wayang

(2)

1978 oleh Prapto, AS. Budiono, dan Hajar Satoto di Surakarta. Wayang ini pertama kali ditampilkan di hadapan umum di Pusat Kesenian Jawa Tengah, di Sasanamulya Surakarta.1

Wayang Sadat merupakan wayang kulit yang mementaskan lakon para wali dari Kerajaan Demak sampai Kerajaan Pajang. Kata ‘sadat’ merupakan singkatan dari sarana dakwah dan tabliq. Dalang, para pengrawit, dan boneka wayangnya memakai sorban.2

Wayang ini diciptakan oleh Suryadi Warnosukarjo. Wayang Sadat merupakan wayang yang bernafaskan Islam dengan cerita seperti “Kepyakan Masjid Demak”, “Wanasalam”, “Sunan Kalijaga”, “Ki Ageng Pandanaran”, dan “Wisuda Adipadi Demak”. Gending-gending iringannya juga bernafaskan Islam seperti Arkanul Iman, As Salam, Istighfar, Hamdallah, dan sebagainya.3

Wayang Warta adalah wayang dari kalangan Kristen Protestan dengan mengambil cerita dari Kitab Suci Agama Protestan. Wayang Warta diciptakan oleh Hadi Subroto dan digelar pakelirannya oleh Sumiyanta atas inisiatif Sukimin, guru Sekolah Dasar di Klaten pada sekitar tahun 1970. Beberapa sumber menyebutkan bahwa wayang ini mempunyai banyak kemiripan dengan Wayang Wahyu, baik dalam perupaan wayang maupun

1Tim Penulis Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia, (Jakarta: Sena

Wangi, Sekreatariat Nasional Pewayangan Indonesia, 1999), 338.

2Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 1010.

3Haryanto, S, Bayang-Bayang Adiluhung, Filsafat, Simbolis dan Mistik

(3)

lakon-lakon yang dipentaskan dan kemungkinan menjadikan Wayang Wahyu sebagai acuan penciptaannya.4

Wayang Wahyu adalah wayang yang lahir dari kalangan umat Katolik. Meskipun ide penciptaannya sudah muncul pada tahun 1950-an atau bahkan sebelumnya, Wayang Wahyu secara resmi berdiri pada tanggal 2 Februari 1960. Wayang Wahyu yang isi ceritanya adalah kisah-kisah Kitab Suci Katolik ini dicetuskan oleh biarawan Katolik yang bernama Bruder L. Timotius Wignyosubroto, FIC di Surakarta Jawa Tengah. Kelompok Wayang Wahyu di Surakarta ini bernama Ngajab Rahayu dan pertama kali dipentaskan pada tanggal 2 Februari 1960 di Susteran Fransiskus Purbayan Surakarta oleh dalang Ki Atmowijoyo dengan iringan karawitan pimpinan Y. Sutarno.

Menurut catatan Yayasan Wayang Wahyu Sala, Wayang Wahyu Ngajab Rahayu pernah berpentas sebanyak 80 kali sampai pada tahun 1974. Wayang Wahyu bahkan pernah pentas pada acara pekan wayang Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tahun 1966 dan 1974.5 Walaupun perkembangan Wayang

Wahyu tidak semaju Wayang Kulit Purwa, Wayang Wahyu Ngajab Rahayu mempunyai jadwal rutin pentas di RRI Surakarta dua kali

4Setyo Budi, 1999. “Spesifikasi dan Karakteristik Wayang Wahyu

Surakarta.” Tesis Program Magister Seni Rupa dan Seni Desain, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 37.

5Yayasan Wayang Wahyu Surakarta, Sejarah Wayang Wahyu di

(4)

dalam setahun (Hari Raya Natal dan Paskah). Wayang sejenis yakni wayang yang berisi cerita Alkitab bermunculan di tempat-tempat lain seperti wayang Sang Pamarta, Wayang Warta, Wayang Wahyu Hamangunsih Kroya, dan lain-lain.

Durasi pertunjukan Wayang Wahyu biasanya berlangsung selama dua sampai tiga jam. Iringan menggunakan gamelan pelog slendro dengan kerangka pertunjukan Wayang Kulit Purwa (pathet nem, sanga dan manyura). Wayangnya terbuat dari kulit dan dipahat serta di-sungging (diwarnai). Tokoh-tokoh Wayang Wahyu dikelompokkan menjadi tokoh laki-laki, tokoh perempuan, malaikat, setan, kayon/gunungan, dan pelengkap yang terdiri dari rampogan/ampyak, binatang, senjata, serta benda-benda lain. Tokoh-tokoh wayang yang dipentaskan ini disesuaikan dengan jalannya cerita misalnya tokoh Yesus, Maria, dan Yusuf untuk lakon “Kelahiran Yesus”; tokoh Musa, Harun, Maryam, Amram, Yokhebed dan Firaun untuk lakon “Banjaran Musa”; dan tokoh Yusup, Yakub, Potifar, Yehuda, Benyamin, Lewi, Simeon, dan sebagainya untuk lakon “Yusup Si Pemimpi.”

Seluruh teknik penyajiannya yaitu catur, sabet, suluk, struktur pertunjukan dan karawitan iringan cenderung sama dengan wayang kulit purwa.6 Selain terdapat kemiripan dengan

6Bambang Murtiyoso, “Keragaman Wayang Jawa” dalam Teori

Pedalangan, Bunga Rampai Elemen-elemen Dasar Pakeliran, Suyanto (editor)

(5)

Wayang Purwa dalam hal teknik penyajian, struktur dan iringan pertunjukan, unsur-unsur pedalangan yang disebut dengan estetika pedalangan juga terdapat dalam Wayang Wahyu. Unsur-unsur itu adalah: (1) pelaku pertunjukan yang terdiri dari dalang sebagai pelaku utama dan pengrawit, pesinden, penggerong sebagai pelaku pendukung; (2) unsur garap pakeliran yang meliputi: lakon dan sanggit, catur, sabet dan karawitan pakeliran; (3) peralatan pertunjukan yang meliputi wayang, kelir, kotak, keprak, cempala, gamelan, serta lampu; dan (4) penghayat seni pedalangan.7 Meskipun demikian, Wayang Wahyu memiliki

kekhasan yaitu Alkitab (Kitab Suci) sebagai sumber cerita.

Alkitab sebagai sumber cerita dapat diceritakan kembali dengan pelbagai media misalnya kotbah (homili), puisi, tembang macapat, nyanyian, lukisan, musik, novel, cerpen, film, drama, dan teater boneka/wayang. Wayang Wahyu adalah salah satu dari ragam media tersebut. Proses penggunaan media atau mediasi8

tersebut terkait erat dengan pendapat Sapardi Djoko Damono

7Soetarno, Sunardi dan Sudarsono, Estetika Pedalangan, (Surakarta: ISI

Surakarta, 2007), 27.

8Kata ‘mediasi’ di sini bukan merupakan istilah sosiologis melainkan

istilah teknis yang merujuk pada proses penggunaan media. John Fiske (1990:18) dalam bukunya yang berjudul Introduction to Communication Studies menjelaskan istilah medium. Medium adalah sarana teknis maupun fisik untuk meng-convert pesan ke dalam bentuk tanda sehingga mampu ditransmisikan melalui channel. Medium/media dibagi menjadi tiga kategori yakni 1. The

presentational media, contohnya tubuh, suara, wajah, dll; 2. The representational media, contohnya buku, lukisan, foto, tulisan, arsitektur,

dekorasi interior, penataan taman, dll; 3. The mechanical media, contohnya radio, TV, fax, dll. Wayang Wahyu merupakan representational media.

(6)

tentang peralihan wahana. Wahana adalah medium yang digunakan untuk mengungkapkan, mencapai, atau memamerkan gagasan atau perasaan. Di dalam alih wahana atau alih medium tercakup kegiatan penerjemahan, penyaduran, dan pemindahan dari satu jenis kesenian kepada jenis kesenian yang lain.9

Alih wahana atau alih media sangat terkait dengan intertekstualitas, yakni perjumpaan atau hubungan antar teks. Hal ini didukung oleh pendapat Linda Hutcheon (2007) yang menyatakan bahwa alih wahana atau adaptasi merupakan sebentuk intertekstualitas.10 Ada perjumpaan antara yang tertulis

dalam teks dengan gagasan yang dibawa oleh si pembaca teks. Teks kisah Alkitab berjumpa dengan buku tafsir, buku referensi dan pemahaman serta pengalaman dalang/penyusun naskah.

Lakon “Hana Caraka Nabi Elia” sajian Ki Blacius Subono menarik untuk ditelaah dari sisi mediasinya. Lakon tersebut merupakan media untuk menceritakan kembali kisah Elia dalam Alkitab. Kata hana caraka dalam lakon atau judul itu berarti “ada utusan” sedangkan Nabi Elia adalah nama seorang utusan Tuhan (nabi) yang dikisahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Lakon yang terdokumentasikan dalam bentuk video ini mengambil sebagian kisah hidup Elia yang terdapat pada Alkitab Perjanjian

9Sapardi Djoko Damono, Alih Wahana, (... : Editum, 2012), 1-2.

10Linda Hutcheon, A Theory of Adaptation, (New York: Routledge Taylor &

(7)

Lama yaitu Kitab 1-2 Raja-raja. Elia adalah nabi yang hidup pada abad IX SM yakni pada masa pemerintahan Raja Ahab, Ahazia dan Yoram. Penampilan fisik Nabi Elia dapat diketahui dari 2 Raj 1:8: “Jawab mereka kepadanya: "Seorang yang memakai pakaian bulu, dan ikat pinggang kulit terikat pada pinggangnya." Maka berkatalah ia: "Itu Elia, orang Tisbe!”

Elia adalah utusan Tuhan yang bertugas untuk mempertobatkan Raja Ahab (Raja Israel Utara) yang terjerat oleh kesenangan menyembah berhala (Dewa Baal) dan mendirikan kuil Baal di ibukota. Ahab adalah raja yang paling jahat di Kerajaan Utara.11 Dosa Ahab ini dipengaruhi oleh istrinya yang bernama

Izebel. Ahab merebut kebun anggur milik Nabot seorang dari tanah Yizreel (1 Raj 21). Atas kelicikan Izebel istrinya, Nabot berhasil terbunuh dan kebun anggur dapat diambil oleh Raja Ahab. Elia pun menegur raja Ahab karena kejahatannya dengan menyatakan hukuman Tuhan bahwa Ahab dan Izebel akan mati dan dimakan anjing, kemudian keluarganya akan dimusnahkan; akan tetapi Raja Ahab bertobat, sehingga hukuman baginya ditunda ke zaman anaknya.

Tokoh Elia, Ahab, Izebel, dan lain-lain dikonkretkan ke dalam boneka wayang. Si pencipta wayang meresepsi (menerima)

11Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (Editor) Terjemahan

Hadiwiyata, A.S, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 320.

(8)

karakter setiap tokoh berdasarkan pembacaannya terhadap teks Alkitab atau teks lain (dapat berupa kata-kata verbal). Konkretisasi tokoh ke dalam boneka wayang merupakan persoalan tersendiri. Si seniman wayang seperti sedang membuat film rohani yang ceritanya bersumber dari Bible, harus menentukan para pemainnya yaitu tokoh wayang-wayangnya. Proses pembuatan wayang ini memerlukan seorang ahli tafsir Kitab Suci, yang biasanya adalah seorang pastor atau orang yang pernah memperdalam Kitab Suci secara khusus. Buku-buku refrensi yang kredibel pun diperlukan sebagai acuan.

Boneka wayang yang digunakan dalam pentas “Hana Caraka Nabi Elia” lain dari biasanya. Boneka wayangnya diciptakan oleh Ki Blacius Subono sendiri. Bentuk wayang lebih besar namun masih mengacu pada bentuk Wayang Wahyu versi lama milik paguyuban Wayang Wahyu Ngajab Rahayu Surakarta, yakni perpaduan bentuk setengah wayang setengah manusia. Istilah yang lebih dikenal sekarang adalah wayang rai wong (realis). Tokohnya juga berjubah dengan memakai atribut yang umum pada komik cerita Alkitab yakni memakai sepatu sandal. Penggunaan boneka wayang memuat persoalan lain yakni tentang kesepakatan penokohan dan teknik sabet (gerak-gerik wayang).

Ki Blacius Subono dalam mengisahkan perjuangan Elia, mengikuti alur garap lakon pada naskah yang disusun oleh

(9)

Sudarko Prawiroyudo. Cerita dimulai dengan adegan prolog sebagai pengantar yang memperkenalkan siapakah tokoh Elia dan tugas perutusan yang diterimanya. Elia ditugasi oleh Tuhan untuk mempertobatkan Raja Ahab yang menyembah berhala. Adegan dilanjutkan dengan tampilnya Raja Ahab yang ingin merebut kebun anggur milik Nabot. Izebel istri Ahab sanggup membantu Ahab dan mengutus kepala prajurit untuk membunuh Nabot. Kepala prajurit pun berangkat melaksanakan tugas. Peristiwa ini dikemas dengan adegan budhalan (berangkatnya prajurit untuk mengemban misi).

Adegan selanjutnya adalah adegan perang yang mengakibatkan tewasnya Nabot oleh prajurit utusan Izebel. Setelah itu, terdapat adegan selingan (semacam adegan gara-gara). Kisah dilanjutkan dengan adegan perang antara Elia dan iblis (semacam adegan perang kembang). Iblis dikalahkan dan Elia diutus untuk menjumpai seorang janda yang membutuhkan pertolongannya. Adegan selanjutnya berupa pertemuan Elia dengan Ayem (janda di Sarfat) yang ditolong Elia. Adegan ini disusul dengan adegan konfrontasi Ahab dan Elia (perlombaan/adon-adon) yang disusul dengan adegan kekalahan dewa Baal. Adegan terakhir adalah adegan pertobatan Ahab kemudian tancep kayon.

(10)

Adegan-adegan dalam pergelarannya logis dan runtut namun terdapat persoalan di dalamnya. Persoalannya adalah bahwa urutan adegan dalam pergelaran tersebut berbeda dengan urutan yang tertulis pada Alkitab. Ketidaksesuaian ini dapat berseberangan dengan fungsi pokok Wayang Wahyu yakni sebagai media penyampaian kisah Alkitab. Namun, kebutuhan untuk menciptakan variasi dengan cara menambah, mengurangi, dan mengubah urutan cerita merupakan suatu keniscayaan di dalam proses resepsi dan alih wahana.

Ki Blacius Subono dalam pergelaran ini berkolaborasi dengan dua dalang lain, yaitu Dionisius Salya Teja Nurendra (dalang cilik) dan Lukas Wisnu Aji (dalang remaja). Dalang cilik Salya Teja mengisi adegan selingan yaitu kisah binatang yang sarat dengan pesan moral. Lagu-lagu dolanan dimunculkan untuk mengiringi kisah binatang yang dibawakannya. Dalang remaja Lukas Wisnu Aji diberi kesempatan untuk mengisi adegan setelahnya yaitu perang kembang.

Hadirnya dalang cilik untuk membawakan kisah binatang pada rangkaian pertunjukan lakon Elia juga mengandung pertanyaan-pertanyaan lain. Apakah dia hadir untuk sekadar selingan? Kalau benar itu selingan, apakah pertunjukan ini memang memuat adaptasi dari pakem Wayang Purwa yang selalu menyajikan adegan selingan dan humor? Kalau hendak

(11)

dirangkaikan dengan kisah Elia, sambungannya ada di mana? Kalau bukan sekadar selingan, untuk apa ajaran moral lewat kisah binatang ini tiba-tiba muncul? Apakah ini sebentuk kreativitas sebagai dampak dari peralihan media? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menambah kekayaan analisis tentang dampak peralihan media yang terkait pula dengan resepsi (penerimaan oleh pembaca teks).

Tentang dampak peralihan media, yang dalam istilah Sapardi Djoko Damono adalah alih wahana, dikatakan bahwa salah satu dampak sangat penting dari beralihnya wahana yang terus-menerus adalah tumbuhnya kreativitas untuk melahirkan kisah-kisah baru. Kisah-kisah baru ini sedikit banyak bersumber pada cerita yang sebelumnya sudah ada.12 Pradopo selebihnya

mengatakan tentang makna karya sastra yang terkait dengan kreativitas:

“Di samping adanya perbedaan cakrawala harapan itu, meskipun pembaca itu menentukan makna karya sastra, tetapi tidak dapat diingkari bahwa dalam karya sastra itu, ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang “mengharuskan” pembaca untuk mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra sendiri yang mengandung kemungkinan banyak tafsir (poly-interpretable)… dengan demikian setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan tersebut.”13

12Sapardi Djoko Damono, 2012, 54.

13Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik dan Penerapannya, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995), 208.

(12)

Ki Blacius Subono sebagai penyaji dan Sudarko Prawiroyudo sebagai penyusun naskah tentu saja memunculkan pelbagai kreativitas. Kreativitas dalam pedalangan terkait dengan sanggit. Sanggit ini terdiri dari sanggit lakon, sabet, catur, dan karawitan pakeliran. Membedah persoalan tentang bagaimana kisah Elia ini disanggit (dikreasi) merupakan pembahasan yang penting. Melalui pembahasan sanggit, proses resepsi dan alih wahana semakin tampak.

Digelarnya lakon di tempat umum juga merupakan hal yang menarik karena Wayang Wahyu membawa dirinya “keluar dari gedung gereja.” Pergelaran diadakan di Balai Soedjatmoko, Bentara Budaya Surakarta pada tanggal 14 Desember 2013. Pentas ini diselenggarakan dalam rangka Perayaan Natal tahun 2013. Durasi pergelaranya adalah 2 jam 10 menit (mulai pkl 20.00 WIB). Sebelum dipentaskan di Balai Soedjatmoko, lakon yang sama dipentaskan di RRI Surakarta pada tanggal 16 November 2013.

Sisi menarik lainnya terdapat pada dalang penyaji. Pergelaran disajikan oleh Ki Blacius Subono yang dikenal sebagai dalang dan komposer karawitan handal. Dia juga merupakan seorang dosen pedalangan di Institut Seni Indonesia Surakarta. Keberhasilan pergelaran ini tentu sangat ditentukan terutama oleh Subono sebagai dalang.

(13)

B. Rumusan Masalah

Berpijak pada beberapa substansi latar belakang yang memuat pelbagai identifikasi masalah di atas, yang secara garis besar memberi gambaran tentang adanya Wayang Wahyu dan gambaran tentang alih media yang terkait dengan resepsi di dalamnya, maka masalah pokok yang merupakan inti kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana intertekstualitas struktur lakon pertunjukan Wayang Wahyu lakon “Hana Caraka Nabi Elia” sajian Ki Dalang Blacius Subono?

2. Mengapa dramatisasi diperlukan dalam sanggit lakon “Hana Caraka Nabi Elia”?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengungkap kekhasan Wayang Wahyu sebagai media pengkisahan kembali teks Alkitab.

2. Untuk mengungkap adanya intertekstualitas dalam struktur lakon Wayang Wahyu “Hana Caraka Nabi Elia” sajian Ki Blacius Subono.

(14)

3. Untuk mengungkap dramatisasi dalam sanggit lakon “Hana Caraka Nabi Elia” dalam relasinya dengan naskah dan teks Alkitab.

Sedangkan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Memahami proses konkretisasi naskah tulis menjadi naskah pergelaran.

2. Memperkaya metodologi kajian seni pertunjukan dengan penerapan teori alih wahana, teori resepsi dan teori estetika pedalangan.

3. Memberi alternatif model kajian seni pertunjukan.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang Wayang Wahyu memang belum banyak mengingat popularitas Wayang Wahyu yang belum tinggi. Sebagai bahan informasi umum, Yayasan Wayang Wahyu Surakarta (1975) menerbitkan buku kecil berjudul Sejarah Wayang Wahyu di Surakarta. Buku yang dilengkapi dengan foto-foto ini diterbitkan dalam rangka ulang tahun Wayang Wahyu ke-15 yakni pada tanggal 02 Februari 1975. Buku ini berisi sejarah Wayang Wahyu disertai kata pengantar dari berbagai pelaku Wayang Wahyu yaitu pencipta, perintis, ketua yayasan, dan dalang yang terlibat. Buku

(15)

ini juga mencatat peristiwa penting tentang perintisan Wayang Wahyu yang tidak lepas dari kiprah enam orang yang disebut sebagai pendiri Wayang Wahyu, yakni Bruder Timotius L. Wignyosubroto, FIC, MM. Atmowijoyo, R. Roesradi Wijayasawarno, J. Soetarmo, A. P. Soeradi, dan R. Ng. Th. Martosoedirjo. Adanya pengurus Wayang Wahyu menunjukkan bahwa Wayang Wahyu bukanlah karya individual, melainkan karya Gereja sebagai sebuah kesatuan.

Setyo Budi (1999) menulis tesis tentang Wayang Wahyu dengan judul “Spesifikasi dan Karakteristik Wayang Wahyu Surakarta.” Tesis ini ditulis untuk Program Pascasarjana Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Tesis yang diawali dengan tinjauan mengenai wayang secara umum ini menjelaskan bagaimana latar belakang pemunculan, konsep penciptaan, fungsi dan perkembangan Wayang Wahyu Surakarta. Sesuai judulnya, Setyo Budi menjelaskan bagaimana spesifikasi pakeliran, sistematika dan proses pergelaran Wayang Wahyu. Yang pertama, spesifikasi Wayang Wahyu Surakarta dijelaskan dengan memaparkan warna baru pada sistematika pakeliran yaitu yang ada pada struktur dramatik dan unsur-unsur pertunjukan yang dilihat dan didengar. Yang kedua, karakteristik Wayang Wahyu Surakarta dijelaskan dengan memaparkan teknik garap, jenis, bentuk, ukuran, lambang, dan kemungkinan nilai-nilai estetiknya.

(16)

Berdasar pada latar belakang adanya Wayang Wahyu, konsep penciptaan Wayang Wahyu dan perkembangannya yang disinkronkan dengan intrepretasi perlambangan dan pemaknaannya dari sisi perupaan dan sistematika pakelirannya, Setyo Budi kemudian menggunakan tafsir fenomenologis. Tafsir fenomenologisnya berupa nilai-nilai filosofis tentang etis moral dan religius dan nilai-nilai temuan lain. Setyo Budi mengungkap bagaimana perlambangan, pemaknaan dan nilai-nilai filosofis dalam Wayang Wahyu, serta muatan nilai-nilai baru di dalamnya.

Poplawska (2004), dalam tulisannya yang berjudul “Wayang Wahyu as an Example of Christian Forms of Shadow Theatre”, menguraikan penciptaan Wayang Wahyu, teater bayangan khas Katolik di Jawa Tengah dan keterkaitannya dengan perhatian Gereja pada inkulturasi. Poplawska menyajikan sejarah singkat Wayang Wahyu dan analisis mengenai praktik pertunjukannya. Berkat Konsili Vatikan II, Gereja Katolik membuka kesempatan penggunaan alat-alat musik tradisional dan penggunaan bahasa lokal. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja tidak lagi eropa-sentris. Gereja Katolik mencanangkan pentingnya inkulturasi. Tujuan inkulturasi adalah “is preserve the culture and at the same time to adapt it to a changed social situation.”14 Atmosfer kebijakan Gereja

14Marzanna Poplawska, “Wayang Wahyu as an Example of Christian

Forms of Shadow Theatre” dalam Jurnal Asian Theatre Journal, vol 21, no 2, 2004, hal 196, Hawai’i: University of Hawai’i Press.

(17)

Katolik yang dimulai pada tahun 1960-an ini meneguhkan pandangan bahwa adanya Wayang Wahyu dimengerti sebagai konsekuensi dari kebijakan Gereja tersebut.

Poplawska mengurai sejarah singkat Wayang Wahyu kemudian membahas tentang bentuk wayang yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi dan cerita yang bersumber dari Kitab Suci Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru. Ketaatan dalang terhadap ajaran resmi Gereja saat memainkan Wayang Wahyu ditekankan oleh penulis. Selanjutnya dibahas mengenai musik pengiring dan sulukan Wayang Wahyu yang meminjam dari Wayang Purwa. Walau demikian, diciptakan musik kreasi baru (garap). Wayang Wahyu juga menggunakan koor dengan jumlah yang lebih banyak daripada Wayang Purwa. Teks lagu yang digunakan diambil dari Kitab Mazmur. Poplawska juga menyebutkan kesulitan menyuarakan tokoh Wayang Wahyu karena bentuk wayangnya yang berbeda dari wayang tradisional.

Mengenai praktik pertunjukan Wayang Wahyu, Poplawska mengatakan bahwa Wayang Wahyu dipentaskan pada perayaan-perayaan khusus di dalam Gereja Katolik misalnya pada saat perayaan Natal dan Paskah. Pentas diadakan di Gereja-gereja untuk memperingati ulang tahun Gereja, di sekolah dan universitas Katolik. Dikatakan pula bahwa dalang Wayang Wahyu yang biasanya sekaligus dalang Wayang Purwa harus menguasai

(18)

pengetahuan khusus tentang Kitab Suci, maka kehadiran pastor sebagai konsultan penting di sini. Wayang Wahyu dimungkinkan pula untuk ditonton oleh masyarakat umum, tidak hanya oleh umat Katolik, bahkan para pemain gamelannya pun ada yang non Katolik. Pertunjukan Wayang Wahyu biasanya dihadiri oleh pejabat pemerintah dan aparat setempat atau sekolah seni misalnya ISI di Surakarta. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Pada saat tertentu, Wayang Wahyu dipentaskan dalam acara nasional atau lokal misalnya pada acara festival wayang nusantara. Wayang Wahyu pun dipamerkan di museum wayang di Jakarta ataupun pada acara pameran di tingkat daerah misalnya dalam festival keraton. Sumber dana Wayang Wahyu didapat dari para donatur Gereja.

Poplawska juga mengatakan bahwa pengembangan Wayang Wahyu terus berjalan. Di situ ada interaksi antara agama dengan kebudayaan, tradisi, dan kesenian lokal. Melalui eksperimen, kreativitas, dan inovasi, banyak orang Jawa melihat bahwa Wayang Wahyu merupakan bagian dari pengembangan kesenian yang memperkaya kesenian tradisional dan kebudayaan Jawa. Menurutnya, masa depan Wayang Wahyu tergantung pada para pastor yang memperhatikan kesenian tradisional, seniman Katolik, dan siapapun yang ingin mengembangkannya di banyak tempat.

(19)

Sunardi (2013) menulis buku yang berjudul Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan Wayang. Buku ini menjelaskan unsur-unsur estetika pertunjukan wayang dan penerapan serta perwujudannya dalam pakeliran wayang berdasarkan sajian para dalang tenar sejak era Nartasabda, Anom Suroto, Manteb Sudharsono dan Purbo Asmoro. Nuksma berarti merasuk atau manjing. Seorang dalang harus mampu merasuki karakter wayang dengan penuh penghayatan. Wayang-wayang menjadi hidup dengan prinsip nuksma ini. Nuksma mencakup sabetan (gerak wayang) yang hidup dan antawecana atau dialog tokoh yang hidup. Tokoh wayang yang marah akan tergambarkan seperti orang yang sungguh marah atau tokoh wayang sedih atau gembira tergambarkan seperti orang yang sedih atau gembira. Nuksma menunjuk pada kekuatan dalang di dalam menjiwakan pertunjukan wayang.15

Mungguh berarti pantas, cocok sesuai dengan sifat-sifatnya, atau seperti sepatutnya. Logika cerita yang baik dijelaskan dengan pengertian mungguh ini. Sang dalang tidak menyajikan lakonnya dengan mungguh yaitu jika ia menceritakan Gatotkaca mati sebelum perang Baratayuda. Sang dalang meninggalkan konsep mungguh jika ia mengisahkan peristiwa keberangkatan Prabu Karna dan Kurawa dari alun-alun menuju kedaton dengan naik

15Sunardi, Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan Wayang, (Solo: ISI Press, 2013), 1.

(20)

kuda karena jarak antara alun-alun dengan kedaton sangatlah dekat. Mungguh menunjuk pada pertunjukan wayang yang diekspresikan dalang memiliki kaidah-kaidah seni pedalangan.16

Nuksma dan mungguh mengandung tiga aspek yaitu teknis, rasa dan budaya. Uraian buku ini sangat jelas dan rinci serta berdasarkan kenyataan lapangan dan pengalaman empiris sehingga estetika pedalangan dapat dipahami dan tidak abstrak.

Soetarno, Sunardi dan Sudarsono (2007) dalam bukunya yang berjudul Estetika Pedalangan mengulas tentang pengertian estetika, estetika Barat dan estetika Timur, dan estetika padalangan. Unsur-unsur estetika pedalangan berisi uraian mengenai dalang sebagai pelaku utama pertunjukan wayang, pengrawit, pesinden, penggerong sebagai pelaku pendukung pertunjukan wayang, unsur-unsur garap pakeliran, peralatan pendukung pertunjukan, dan penghayat pertunjukan wayang diuraikan dengan lengkap. Konsep-konsep estetika pedalangan berisi pembahasan tentang konsep estetika pedalangan keraton, pedalangan gaya keraton, konsep estetika pedalangan kerakyatan, pedalangan gaya kerakyatan, dan klasifikasi konsep estetika pedalangan. Hal-hal tersebut diuraikan untuk pengayaan tentang gaya pedalangan.

(21)

Pembahasan tentang konsep estetik unsur garap pakeliran yang berisi konsep estetika lakon, konsep estika catur, konsep estetika sabet, dan konsep estetika karawitan pakeliran sangat memperkaya pemahaman. Pengertian tentang rasa pun dijabarkan dengan menjelaskan orientasi estetik pertunjukan wayang. Metode analisis estetik pertunjukan wayang menjadi contoh bagaimana peneliti menganalisis pertunjukan wayang. Dengan demikian, buku ini menjadi pijakan ulasan mengenai estetika pedalangan dan akan lebih lengkap jika diterapkan untuk menganalisis pertunjukan Wayang Wahyu.

Anthony C. Thiselton (2012), dalam jurnalnya yang berjudul “Reception Theory, H. R. Jauss and the Formative Power of Scripture” mengulas adanya link (penghubung) antara teori resepsi Jauss dan Kitab Suci yaitu adanya kekuatan formatif. Menurutnya, Jauss dengan tegas mengatakan bahwa teks membawa “makna yang belum selesai” dan berfokus pada pengaruh sejarahnya. Bagi Thiselton, Jauss menyuguhkan disiplin pendekatan yang lebih tepat untuk Kitab Suci daripada kebanyakan teori reader-response. Cakrawala harapan memainkan peran utama dalam penafsiran teks-teks Alkitab. Thiselton menyarankan enam hal yang paralel pada saat menafsir Alkitab yaitu: (1) Jauss menolak setiap objektivitas nilai-netral dalam penafsiran; (2) cakrawala harapan pembaca berasal sebagian dari

(22)

pembacaan teks sebelumnya; (3) Horison dapat bergerak dan berubah, dengan demikian mentransformasi pembaca seperti perubahan-perubahan tersebut; (4) Genre biblis menampilkan semua pemikiran Jauss tentang respon pembaca, misalnya, perumpamaan tentang pertobatan mungkin melampaui harapan orang Kristen atau mengecewakan orang yang tidak percaya; (5) Seperti Gadamer, Jauss menekankan pentingnya rumusan pertanyaan konstruktif dalam pendekatan teks; (6) “Level of readings”-nya Jauss berhubungan erat dengan gagasan polifoni-nya Bakhtin. Dicontohkan di sini adalah sejarah penerimaan dari Ulrich Luz pada Injil Matius, dari Childs pada Kitab Keluaran, dan dari komentarnya pada 1 Korintus dan 1 dan 2 Tesalonika.

Pertunjukan Wayang Wahyu dengan lakon “Hana Caraka Nabi Elia” oleh Ki Dalang Blacius Subono belum pernah diteliti, maka dari sisi keaslian karya, tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan. Tekanan penelitian yang mengungkap peralihan media dalam lakon “Hana Caraka Nabi Elia” merupakan kekhasan penelitian ini.

E. Landasan Teori

Penelitian ini mempunyai tujuan yakni mengungkap struktur lakon dan mengungkap sanggit lakon “Hana Caraka Nabi

(23)

Elia” dalam relasinya dengan naskah dan teks Alkitab. Untuk itu, penelitian ini bersifat analitis deskriptif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena permasalahan yang dikaji bukanlah wilayah dan sumber data yang dapat digeneralisasikan, bukanlah fenomena statistik, bukan persoalan jumlah atau angka-angka tetapi merupakan fenomena tentang kesenian yang berisi ide, tindakan dan hasil tindakan.

Teori estetika resepsi oleh Wolfgang Iser (1926-2007) dan teori alih wahana oleh Sapardi Djoko Damono digunakan untuk mengalisis peralihan media dari teks Alkitab menjadi pergelaran Wayang Wahyu. Estetika resepsi adalah estetika yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra.17 Dalam teori estetika resepsi, proses membaca

merupakan syarat awal yang sangat penting untuk seorang pembaca. Iser menegaskan bahwa proses membaca melibatkan interaksi antara teks dengan pembacanya:

“From this we may conclude that the literary work has two poles, which we might call the artistic and the aesthetic: the artistic pole is the author’s text and the aesthetic is the realization accomplished by the reader. In view of this polarity, it is clear that the work itself cannot be identical with the text or with the concretization, but must be situated somewhere between two.”18

17Rachmat Djoko Pradopo, 1995, 206.

18Wolfgang Iser, The Act of Reading, (London: The John Hopkins

(24)

Karya sastra mempunyai dua kutub yaitu artistik dan estetik. Artistik merupakan teks oleh pengarang, sedangkan estetik adalah hasil atau realisasi yang diperoleh pembaca saat membaca teks tersebut. Karena dua kutub tersebut, hasil pembacaan seorang pembaca berbeda dengan maksud pengarang bahkan dengan pembaca lainnya.

Iser selanjutnya mengatakan: “Reading is not a direct ‘internalization’, because it is not a one-way process, and our concern will be to find means of describing the reading process as a dynamic interaction between text and reader.”19 Proses membaca bukanlah internalisasi langsung sebab itu bukanlah proses satu arah melainkan proses interaksi dinamis antara pembaca dengan teks.

Iser kemudian mengatakan:

...throughout the reading process there is a continual interplay between modified expectation and transformed memories. However, the text itself doesn’t formulate expectations or their modification; nor does it specify how the connectibility of memories to be implemented. This is the province of the reader himself and so here we have a first insight into how the synthetizing activity of the reader enables the text to be translated and transferred to his own mind.”20

Dikatakan bahwa sepanjang proses membaca, terdapat interaksi terus-menerus antara harapan (ekspektasi) dan ingatan. Bagaimanapun, teks tidak membentuk harapan atau menentukan

19Wolfgang Iser, 1987, 107. 20 Wolfgang Iser, 1987, 111-112.

(25)

bagaimana tersambungnya ingatan. Ini adalah wilayah pembaca sendiri maka terdapatlah wawasan bagaimana aktivitas sintesa oleh pembaca memungkinkan teks untuk diterjemahkan dan ditransfer ke pikirannya sendiri. Dengan kata lain hendak dikatakan bahwa pada saat proses membaca, terdapat hubungan saling mempengaruhi antara ingatan dan harapan. Ingatan dan harapan tidak pernah dibentuk oleh teks tersebut tetapi oleh pembaca itu sendiri. Maka benarlah bahwa setiap pembaca dapat memiliki interprestasi yang berbeda-beda dengan pembaca lainnya ketika teks diterjemahkan dan ditransfer dalam pikiran setiap pembaca.

Teori alih wahana juga digunakan untuk menganalisis proses peralihan media dalam pertunjukan Wayang Wahyu lakon “Hana Caraka Nabi Elia” sajian Ki Dalang Blacius Subono. Alih wahana berbicara tentang wahana yang beralih. Di dalam alih wahana terdapat kegiatan menterjemahkan, menyadur, dan memindahkan satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Pembicaraan tentang alih wahana pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan antar media.

“Setidaknya ada dua konsep yang dicakup dalam istilah wahana. Pertama, wahana adalah medium yang dimanfaatkan atau dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu. Kedua wahana adalah alat untuk membawa atau

(26)

memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain.”21

Alih wahana memuat adanya konsekuensi yaitu munculnya berbagai variasi, bahkan dikatakan bahwa alih wahana memakan korban. Ketika membahas tentang alih wahana dari “bunyi” ke “aksara”, Damono mengatakan:

“Dengan wahana yang baru, yang berupa gambar, bunyi harus tunduk kepada tata cara gambar dan bukan tata cara bunyi. Alih wahana telah memakan korban, tetapi justru kita syukuri karena kita telah menciptakan tata cara baru untuk menampung hal yang lama, yang sebelumnya sudah ada dalam ujud atau wahana bunyi.”22

Dikatakan juga bahwa alih wahana memang menuntut perubahan watak, ciri, atau ‘pesan’-tidak akan pernah bisa mempertahankan hakikat yang lama ke habitat yang baru. Setiap hasil alih wahana, dengan demikian, selalu merupakan karya baru.23

Damono juga mengatakan bahwa cerita adalah unsur yang paling mudah dialihwahanakan:

“… cerita pada dasarnya adalah unsur yang dengan mudah dipindahkan dari satu jenis wahana ke jenis wahana yang lain, maka terjadilah perjalanan ulang-alik cerita dari novel, film, ke games… Namun, dalam pelaksanaannya ‘sesuatu’ itu pun terpaksa berubah karena harus tunduk sepenuhnya pada wahananya yang baru. Bisa dibayangkan, semakin sering terjadi peralihan wahana akan semakin sering terjadi

21Sapardi Djoko Damono, 2012, 2. 22Sapardi Djoko Damono, 2012, 24. 23Sapardi Djoko Damono, 2012, 24.

(27)

pengubahan dan pengembangan sesuatu – yang bisa berupa ideologi, amanat, gagasan, atau ‘sekedar’ suasana.”24

Cerita Elia, setelah dialihwahanakan, menjadi pergelaran Wayang Wahyu. Kini cerita itu menggunakan wahana atau media yang baru. Media baru tersebut dianalisis dengan teori estetika pedalangan (dramaturgi pedalangan), maka teori ini dipakai untuk menjelaskan sekaligus untuk mengungkapkan bagaimana Ki Dalang Blacius Subono mentransformasi naskah Wayang Wahyu ke dalam pergelaran. Teori estetika pedalangan yang terdapat dalam buku Estetika Pedalangan oleh Soetarno, Sunardi dan Sudarsono (2007) menjadi kerangka pokok untuk melihat transformasi yang terjadi. Alasan digunakannya pendekatan dramaturgi pedalangan adalah kedekatan Wayang Wahyu dengan Wayang Purwa. Dramaturgi pedalangan terkait erat dengan garap pakeliran yaitu lakon, catur, sabet, dan karawitan.25 Konsep nuksma dan mungguh oleh Sunardi (2013) dalam bukunya yang berjudul Nuksma dan Mungguh juga akan digunakan untuk melihat sejauh mana dalang mampu menjiwai lakon dan penokohan serta bagaimana naskah dan pergelarannya bersifat pantas, cocok sesuai dengan sifat-sifatnya, atau seperti sepatutnya.26

24Sapardi Djoko Damono, 2012, 150. 25Sunardi, 2013, 77.

(28)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan pembacaan dan pembelajaran atas buku-buku dan tulisan-tulisan lainnya. Buku-buku dan tulisan-tulisan tersebut terkait dengan topik, metodologi, dan wawasan. Buku-buku dan tulisan-tulisan yang terkait topik adalah Sejarah Wayang Wahyu di Surakarta (1975), “Wayang Wahyu as an Example of Christian Forms of Shadow Theatre” (2004), “Spesifikasi dan Karakteristik Wayang Wahyu Surakarta” (1999), dan lain-lain. Buku-buku dan tulisan-tulisan yang terkait dengan metodologi antara lain berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian (2002), Estetika Pedalangan (2007), The Act of Reading (1987), Alih Wahana (2012), dan lain-lain. Buku-buku dan tulisan-tulisan yang terkait dengan wawasan adalah Prinsip-prinsip Dasar Sastra (1984), Ensiklopedi Wayang Indonesia (1999), A Theory of Adaptation (2006), dan lain-lain.

(29)

2. Observasi

Obvservasi atau pengamatan dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Pengamatan langsung:

Pengamatan langsung terjadi melalui pergelaran Wayang Wahyu lakon “Hana Caraka Nabi Elia” dan lakon lain, pemotretan boneka wayang, serta melalui video rekaman. Video direkam untuk kepentingan dokumentasi oleh paguyuban Wayang Wahyu Ngajab Rahayu Surakarta.

b. Wawancara:

Wawancara dilakukan dengan 11 orang narasumber. Mereka adalah Ki Blacius Subono (dalang), Lukas Prana Wisnu Aji (dalang), Nyi Siti Aminah Subanta (dalang), Ki Sujani (dalang), Warjo (pengrawit), Juworo (pengrawit), Trisula (pengrawit), Radian (pengrawit), Nikolen (sindhèn), Sudarko Prawiroyudo (pegiat Wayang Wahyu dan penyusun naskah), dan Bruder Heri Irianto, FIC (rohaniwan paguyuban Wayang Wahyu Ngajab Rahayu Surakarta). Kesebelas narasumber tersebut dipilih karena mereka terlibat dalam pergelaran. Ki Blacius Subono adalah dalang penyaji. Lukas Prana Wisnu Aji merupakan dalang remaja yang berkolaborasi. Nyi Siti Aminah Subanta merupakan dalang senior Wayang Wahyu. Ki Sujani mempunyai pengalaman dalam membuat naskah. Warjo, Juworo, Trisula, Radian, dan Nikolen

(30)

merupakan pelaku pendukung yang mempunyai pendapat tertentu tentang pergelaran yang diteliti. Informasi dari Sudarko dan Bruder Heri Irianto, FIC sebagai penyusun naskah dan pemberi latar belakang pergelaran tentu sangat diperlukan.

Ki Blacius Subono menjelaskan pengalaman berkesenian dan pengalaman mendalang Wayang Wahyu serta proses menyajikan lakon “Hana Caraka Nabi Elia.” Lukas Prana Wisnu Aji memberi keterangan tentang pengalaman mendalang Wayang Wahyu. Nyi Siti Aminah Subanta menjelaskan proses penyajian lakon dan proses pelibatan dalang cilik. Ki Sujani menjelaskan keterlibatannya dalam Wayang Wahyu serta pelbagai usulan untuk Wayang Wahyu.

Warjo, Juworo, Trisula, Radian, dan Nikolen masing-masing memberikan pandangannya tentang Ki Blacius Subono. Mereka menyampaikan kesan serta penilaian mereka terhadap lakon “Hana Caraka Nabi Elia.” Sudarko Prawiroyudo menjelaskan proses pembuatan naskah. Bruder Heri Irianto, FIC menjelaskan latar belakang penentuan lakon Elia.

3. Analisis data

Langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut. a. Pengelompokan data-data pertunjukan yang berupa:

(31)

latar belakang lakon, struktur lakon, iringan, sabet, catur, tabel, kreasi, repertoar, foto, hasil wawancara, dan lain-lain.

b. Penyusunan data:

Data disusun menjadi tulisan yang bersifat deskriptif kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut. Bab I Pendahulan

Bagian pertama berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Wayang Wahyu sebagai Media Penyampaian Kisah Alkitab

Bagian kedua menyampaikan apa itu Wayang Wahyu yang di dalamnya memuat kemunculan dan perkembangannya. Bentuk boneka, bentuk pergelaran, dan waktu pergelaran Wayang Wahyu diulas untuk mendukung penjelasan mengenai Wayang Wahyu. Pandangan Gereja Katolik tentang inkulturasi dan pandangan pemimpin Gereja Katolik juga diulas untuk memberi peneguhan tentang keberadaan dan fungsinya.

(32)

Bab III Struktur Lakon “Hana Caraka Nabi Elia”

Bagian ketiga membahas struktur lakon, keunikan, dan intertekstualitas pergelaran Wayang Wahyu lakon “Hana Caraka Nabi Elia” sajian Ki Blacius Subono.

Bab IV Sanggit dalam Relasinya dengan Naskah dan Alkitab Bagian keempat mengungkapkan bagaimana sanggit (kreativitas) Wayang Wahyu lakon “Hana Caraka Nabi Elia” dalam relasinya dengan naskah dan Alkitab. Perihal tersebut diurai dengan teori estetika pedalangan, teori estetika resepsi, dan teori alih wahana. Teori estetika pedalangan yang dibahas adalah sanggit, nuksma dan mungguh. Sanggit merujuk pada kreativitas, sedangkan kreativitas itu sendiri melekat pada proses resepsi dan alih wahana. Nuksma dan mungguh menjadi alat analisis apakah sanggit pergelaran tersebut sesuai dengan nilai estetika pedalangan dan naskah aslinya yaitu Alkitab. Bagian ini menjawab pertanyaan tentang perlunya dramatisasi dalam sanggit lakon.

Bab V Penutup

Bagian kelima berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

Wayang wong tidak saja merupakan salah satu sumber pencarian nilai-nilai yang amat diperlukan bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi wayang wong juga merupakan salah satu wahana

Maka, di dalam penelitian ini akan mendeskripsikan dan mengungkap makna yang ada di dalam pertunjukan Lakon Wayang Sawitri Sanggit Ki Nartosabdo dengan..