• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik

Pada bab ini akan menjelaskan mengenai gagal ginjal kronik yang meliputi definisi, etiologi, manifestasi, patofisiologi, stadium gagal ginjal kronik, penatalaksanaan gagal ginjal kronik, dan komplikasi gagal ginjal kronik.

2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011). Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya di eliminasi pada urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan elektrolit, serta asam basa (Suharyanto, 2009).

Ginjal merupakan organ tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan kestabilan tubuh, kelangsungan hidup, dan fungsi sel secara normal bergantung pada pemeliharaan konsentrasi garam, asam, dan elektrolit lain di lingkungan cairan internal (Rahayu, 2019). Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes, KDIGO (2012) gagal ginjal kronis merupakan kerusakan ginjal dan atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang

(2)

dari 260mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Soelistyoningsih, Dwi., 2018).

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik merupakan penurunan atau kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan cairan dalam tubuh yang berlangsung progresif dan irreversibel. Penyakit gagal ginjal kronik ini bersifat sillent killer yaitu penyakit yang tidak menunjukkan tanda dan gejala yang spesifik sebagaimana umumnya yang terjadi pada penyakit berbahaya lainnya.

2.1.2 Etiologi

Menurut Muttaqin (2011) banyak kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik. Kondisi klinis yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal. Kondisi yang disebabkan dari ginjal sendiri yaitu penyakit pada saringan (glomerulus); glomerulonefritis, infeksi kuman pyelonefritis, ureteritis, batu ginjal : nefroliatiasis, kista di ginjal: polcystis kidney, trauma langsung pada ginjal, keganasan pada ginjal, keganasan pada ginjal, sumbatan: batu, tumor, penyempitan/struktur. Sedangkan yang diakibatkan dari peynakit umum di luar ginjal meliputi penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi, dysplipidemia, SLE, infeksi di badan: TBC, paru, sifilis, malaria, hepatitis, preeklamsi, obat-obatan, kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar) (Muttaqin, A., 2011).

2.1.3 Manifestasi

Beberapa pasien yang mengalami gagal ginjal kronik akan menunjukkan tanda gejala. Keparahan tanda dan gejala tersebut dipengaruhi tingkat

(3)

kerusakan ginjal, usia, adalah salah satu faktor yang mendasari (Baughman, 2010). Tanda dan gejala nya meliputi hal berikut :

a. Gejala kardiovaskuler : perikarditis, hipertensi, edema pulmonal, gagal ginjal kongestif.

b. Gejala dermatologis, pruritus, serangan uremik khas karena pengobatan dini dan agresif.

c. Gejala gastrointestinal : penurunan nafsu makan, mual dan muntah, penurunan aliran cairan saliva, kehilangan kemampuan mengecap dan menghirup, stomatitis.

d. Terjadi perubahan neuromuskular, perubahan tingkat kesadaran, konsentrasi menurun, kedutan.

e. Keletihan, letargik, sakit kepala, dan kelemahan umum. (Sartika, 2018). 2.1.4 Patofisiologi

Menurut Bayhakki (2013) patofisiologi gagal ginjal kronik berhubungan dengan penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) dan klirens menurun, sedangkan kadar BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Sehingga ginjal kehilangan fungsinya untuk memikat urine. Untuk melanjutkan ekskresi sejumlah urine dikeluarkan sehingga mengakibatkan pasien mengalami kekurangan cairan. Secara bertahap tubulus kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri.

Ketika kerusakan ginjal terus berlanjut dan nefron yang berfungsi semakin sedikit maka GFR akan terus mengalami penurunan. Sehingga tubuh

(4)

menjadi kelebihan air, garam, dan sampah sisa metabolisme. Ketika GFR turun hingga di bawah 10-20 ml/mnt efek toksin uremik timbul pada tubuh klien (Bayhakki, 2013) .

2.1.5 Stadium Gagal Ginjal Kronik

Tabel 2.1.5 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit

Derajat Deskripsi GFR Penatalaksanaan

1 Kerusakan ginjal dengan

LFG normal atau ↑ ≥ 90 Pengobatan primer dan kondisi komorbiditas 2 Kerusakan ginjal dengan

LFG ↑ ringan 60-89 Menekan laju kejadian GGK 3 Kerusakan ginjal dengan

LFG ↑ sedang 30 - 59 Evaluasi dan Pengobatan komplikasi 4 Kerusakan ginjal dengan

LFG ↑ berat 15 – 29 Persiapan transplantasi ginjal 5 Gagal ginjal < 15 atau

dialisiss Terapi pengganti ginjal (Zasra, Harun, & Azmi, 2018) 2.1.6 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

Menurut Haryanti (2015) pengobatan pada penyakit gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu penanganan konservatif dan terapi penggantian ginjal. Penanganan secara konservatif terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal, menstabilkan keadaan pasien dan mengobati setiap faktor yang reversible. Sedangkan untuk penanganan dengan pengganti ginjal dapat dilakukan dialisis intermiten atau transplantasi ginjal (Haryanti. 2015).

(5)

Tujuan dari pengobatan ini yaitu untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif. Pengobatan :

a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. 1. Pembatasan protein.

Pembatsan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium fosfat, serta mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari protein. 2. Diet rendah kalium

Masalah yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik yaitu hiperkalemia. Mengurangi asupan kalium dianjurkan dengan 40-80 mEq/hari. Karena jika mengkonsumsi makanan dan obat-obatan yang tinggi kalium dapat menyebabkan hiperkalemia.

3. Diet rendah natrium

Diet rendah natrium dianjurkan dengan 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium yang terlalu tinggi dapat menyebabkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif. 4. Pengaturan cairan

Pada pasien gagal ginjal kronik harus diperhatikan dalam pengkonsumsian cairan. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan. Asupan yang ebas dan tidak diawasi dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungs ginjal.

(6)

1. Hipertensi

a. Mengontrol dengan pembatasan natrium dan cairan.

b. Pemberian obat antihipertensi, tetapi jika pasien sedang melakukan terapi hemodialisa pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan ontravaskuler melalui ultrafiltrasi.

c. Pemberian hiuretik 2. Hiperkalemia

Hiperkalemia yaitu komplikasi paling serius, karena bila K+ serum mencapai sekitar 7 mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan henti jantung. Pengobatannya dpat dilakukan dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, dengan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian kalsium glukonat 10%.

3. Anemia

Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan penurunan sekresi eritropotein oleh ginjal. Pengobatannya dengan pemberian hormon eritroprotein, yaitu rekombinan eritropoietin, pemberian vitamin dan asam folat, besi dan transfusi darah.

4. Asidosis

Pada asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus di monitor dengan seksama.

(7)

Diet rendah fosft biasanya dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan makanan.

6. Pengobatan hiperurisemia

Pengobatan untuk hiperurisemia pada penyakit gagal gnjal kronik adalah pemberian alopurinol. Obat ini bekerja dengan mengurangi kasar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan tubuh.

2. Dialisis dan tranplantasi

Menurut Suharyanto (2009) terapi pada penyakit gagal ginjal kronik yaitu dengan dialisis dan tranplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankna keadaan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum yang biasanya diatas 6 mg /100 ml pada laki-laki atau 4 mg / 100 ml pada wanita dan GFR kurang dari 4 ml / menit (Suharyanto. 2009).

2.1.7 Komplikasi Gagal Ginjal Kronik

Menurut (Kusyati, 2018) terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien gagal ginjal kronik. Komplikasi tersebut yaitu :

1. Ketidakseimbangan cairan

Ginjal berfungsi sebagai pengatur volume dan kompisisi kimia dalam darah dengan mengekskresikan soute dan air secara selektif. Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat maka ginjal tidak mampu untuk menyaring urin. Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat di filter dengan mudah melalui tubulus, maka hal ini

(8)

akan mengakibatkan kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium (Suwitra, 2009).

2. Ketidakseimbangan natrium

Menurut Terril (2012) ketidakseimbangan natrium menjadi masalah yang serius deimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq per hari. Apabila terjadi kerusakan nefron maka tidak akan terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan LFG menurun dan dehidrasi. Retensi natrium atau peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron, berperan dalam meningkatnya resiko terjadinya gagal jantung dan hipertensi (Terrill, 2012).

3. Gangguan Hematologi

Ginjal sebagai tempat produksi hormon eritropoetin yang mengontrol produksi sel darah merah. Pada pasien gagal ginjal produksi eritropoetin mengalami gangguan sehngga merangsang pembentukan sel darah oleh bone marrow. Akumulasi racun uremia akan menekan produksi sel darah merah dalam bone marrow dan menyebabkan massa hidup sel darah merah menjadi lebih pendek. Akibat gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi sehingga pasien gagal ginjal kronik akan mengalami kelelahan/fatigue (Suharyono, 2008).

Penurunan Hb pada pasien gagal ginjal kroik disebabkan oleh : kerusakan eritropoetin, masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma, defisiensi folat dan zat besi, dan intake nutrisi yang tidak adekuat (Alam, 2007).

(9)

4. Peningkatan ureum dan kreatinin

Menurut Rubenstein (2010) ureum merupakan hasil akhir metabolisme protein yang difiltrasi dengan bebas di glomerulus. Kadar ureum normal 20-40mg/dl. Sedangkan kreatinin berasal dari metabolisme kreatin pada otot. Tingkat produksinya berhubungan dengan masa otot, dan hanya sedikit bergantung pada asupan protein. Kadar kreatinin serum akan naik diatas batas normal jika penurunan fungsi ginjal mencapai 50%. Kreatinin normal 0,5-1,5 mg/dl (Rubenstein. 2010).

Peningkatan kadar kreatinin selalu disertai dengan peningkatan ureum, karena jika tidak maka peningkatan kadar kreatinin bisa terjadi karena pemecahan protein otot yang berlebihan seperti pada orang yang kerja keras, berjalan jauh, atau berolahraga berat. Menurut Hartono (2008) pasien gagal ginjal kronik bisa kehilangan kesadaran karena keracunan ureum tetapi juga mengalami sindrom tungkai yang terus bergerak (restless leg syndrome). Sindrom yang terdiri atas gerakan spontan tungkai dengan gangguan rasa, kelemahan otot, dan penurunan refleksi tendon (Hartono, 2008).

5. Gangguan Psikologis

Gagal ginjal kronik merupakan penyakit kronis yang mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama. Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik umumnya mengalami perubahan dalam psikologis mereka akibat gangguan fisiologis dan pengalaman mendapat penyakit yang mengancam jiwa. Seperti kecemasan, perilaku penolakan,

(10)

marah, perasaan takut, rasa tidak berdaya, putus asa atau bahkan bunuh diri (Erma, 2018).

Klien yang dirawat karena penyakit yang mengancam kehidupan lebih sering mengalami kecemasan, depresi dan marah. Kecemasan berhungan dengan stress fisiologis perburukan penyakit, tindakan hemodialisis, lingkungan sosial serta koping pasien yang maladaptif dapat meningkatkan kecemasan yang dirasakan. Secara fisik klien terlihat gelisah, gugup dan tidak dapat istirahat dengan tenang (Hawari, 2011).

2.2 Hemodialisis

Pada bab ini akan menjelaskan mengenai definisi hemodialisis, tujuan hemodialisis, jenis hemodialisis, indikasi hemodialisis, kontra indikasi hemodialisis, dan komplikasi pada hemodialisis.

2.2.1 Definisi Hemodialisis

Hemodialisis adalah terapi pengganti fungsi ginjal yang menggunakan alat khusus yang bertujuan untuk mengeluarkan toksik uremik dan mengatur cairan elektrolit tubuh (InfoDatin. 2017). Terapi hemodialisa digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Hemodialisis merupakan salah satu cara untuk memisahkan darah dari zat metabolisme dan racun dalam tubuh bila ginjal sudah tidak berfungsi lagi, hemodialisa dilakukan 2-3 kali seminggu dengan lama waktu 4-5 jam (Giawa, 2019). Proses hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah dalam tubuh pasien, suatu mekanisme yang membawa darah pasien ke dan dari dializen atau tempat terjadinya pertukaran cairan, elektrolit dan zat sisa tubuh (Baradero dkk. 2009).

(11)

2.2.2 Tujuan Hemodialisis

Tujuan dari terapi hemodialisis yaitu :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin dan sisa metabolisme lainnya.

b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.

c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita kerusakan fungsi ginjal.

d. Menggantikan fungsi ginjal untuk sementara waktu sambil menunggu program pengobatan lainnya (Nuari, 2017)

Bagi pasien penyakit gagal ginjal kronik, kebanyakan dari mereka memerlukan waktu antara 9 dan 12 jam dialisis per minggu, biasanya dibagi menjadi tiga sesi yang sama (Jameson, J. Larry., 2013).

2.2.3 Jenis Hemodialisis

Menurut Askandar (2015), hemodialisis terdapat 2 jenis, meliputi :

1. Hemodialisis pada gagal ginjal akut : SLED, SLEDD, Isolated UF atau HD

intermillent.

2. Hemodialisis pada penyaki ginjal kronis :

a. Hemodialisis konvensional : homodialisis kronis biasanya dilakukan 2-3 kali per minggu, selama sekitar 1-5 jam untuk setiap tindakan.

b. Hemodialisis harian : bisanya digunakan oleh pasien yang elakukan cuci darah sendiri di rumah, dilakukan selama 2 jam setiap hari.

c. Hemodialisis nocturnal : dilakukan saat pasien tidur malam, 6-10 jam per tindakan, 3-6 kali dalam seminggu (Tjokroprawiro, 2015).

(12)

2.2.4 Indikasi Hemodialisis

Pengobatan hemodialisis biasanya dilakukan apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Gejala klinis lainnya ini yaitu jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100ml pada pria, 4 mg/100ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Selain indikasi terebut, juga disebutkan ada indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik. Hemodialisis dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 ml/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 8-10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala uremia dianjurkan dilakukan hemodialisis. Indikasi relatif dari hemodialisis adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi (Nuari, 2017).

2.2.5 Kontra Indikasi Hemodialisis

Kontra indikasi dari hemodialisis yaitu hipotensi yang tidak responsive terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik, tidak di dapatkan akses vaskuler pada hemodialisis, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi yang launnya diantaranya penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (Nuari, 2017).

(13)

2.2.6 Komplikasi pada Hemodialisis

Menurut Mutaqqin (2011) komplikasi yang terjadi pada hemodialisis diantaranya yaitu:

a. Komplikasi akut hemodialisis yaitu komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi yaitu hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam dan menggigil.

b. Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy, neurophaty, disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan infeksi, amiloidiosis, dan acquired cystic kidney disease (Himmelfarb. 2013).

c. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rentan mengalami permasalahan psikologis sehingga mengakibatkan gangguan psikologis. Hemodialisis menyebabkan individu menjadi sering merasa khawatir dengan kondisi tubuhnya, dan kesulitan dalam mempertahankan pekerjaannya (Novalia. 2010). Selain itu masalah psikolgis yang menyertai pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis yaitu yaitu delirium, depresi, gejala panik atau fatigue, kram dan kecemasan.

d. Gangguan tidur : pasien yang menjalai hemodialisis 25% mengalami gangguan tidur dan berakibat pada penurunan kualitas tidur dibandingkan dengan orang dewasa normal.

(14)

2.3 Konsep Tidur

Pada bab ini akan menjelaskan mengenai konsep tidur hingga terjadinya gangguan tidur yang akan mempengaruhi kualitas tidur pada individu.

2.3.1 Definisi Tidur

Tidur adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan status kesadaran serta berkurangnya persepsi seseorang dan terjadi penurunan reaksi terhadap lingkungan (Ratnasari, 2016). Tidur juga dapat diartikan sebagai keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Tarwoto. 2015). Istirahat dan tidur merupakan hal penting bagi kesehatan tubuh. Menurut Asmadi (2008) manfaat dari terpenuhinya tidur yakni tercapainya tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal (Muhammad, Habib. 2019). Pada saat tidur terjadi proses pemulihan yang bermanfaat untuk mengembalikan keadaan seseorang dalam kondisi semula sehingga tubuh yang semula merasa kelelahan akan menjadi segar kembali dan siap untuk melakukan aktivitas harian. Proses pemulihan yang terhambat akan menyebabkan organ tubuh tidak bisa bekerja secara maksimal. Hal ini terjadi pada seseorang yang mengalami gangguan tidur sehingga mengalami penurunan jumlah tidur yang kurang sehingga tubuh akan cepat lelah serta terjadi penurunan pada kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan dan berpartisipasi dalam aktivitas keseharian (Ratnasari, 2016).

(15)

2.3.2 Tahapan Tidur

Tidur dibagi menjadi dua yaitu Nonrapid Eye Movement (NREM) dan Rapid

Eye Movement (REM). Masa NREM seseorang terbagi menjadi empat tahapan

dan memerlukan kira-kira 90 menit selama siklus tidur. Menurut Tarwoto (2015) tahapan tidur NREM dan tahapan tidur REM meliputi :

1. Tahapan tidur NREM

a. NREM tahap I : Tingkat transisi diantara mengantuk dan tertidur, merespon cahaya, berlangsung beberapa menit, mudah terbangun dengan rangsangan, aktifitas fisik, tanda vital, dan metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang bermimpi, tahap ini berakhir selama 5-10 menit.

b. NREM tahap II : Periode suara tidur, mulai relaksasi otot, berlangsung 10-20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan dengan mudah.

c. NREM tahap III : Tahap awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit dibangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, NREM langsung 15-30 menit.

d. NREM tahap IV : tahap tidur terdalam, tidak ada pergerakan mata dan aktivitas otot, sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif, untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun, sekresi lambung menurun,seseorang yang terbangun pada tahap ini tidak secara langsdung tersadar namun menyesuaikan diri terlebih dahulu, merasa pusisng dan disorientasi untuk beberapa menit setelah terbangun dari tidur.

(16)

a. Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM.

b. Pada orang dewasa normal REM yaitu 20-25% dari tidur malamnya. c. Jika individu terbangun pada tidur REM, maka biasanya terjadi

mimpi.

d. Tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan adaptasi.

3. Karakteristik tidur REM

a. Mata : cepat tertutup dan terbuka.

b. Otot-otot : kejang otot kecil, otot besar imobilisasi. c. Pernafaan : todak teratur, kadang dengan apnea. d. Nadi : cepat dan ireguler.

e. Tekanan darah : meningkat dan fluktuasi. f. Sekresi gaster : meningkat.

g. Metabolisme : meningkat, temperatur tubuh naik. h. Gelombang otak : EEG aktif.

i. Siklus tidur : sulit dibangunkan (Tarwoto, 2015) 2.3.3 Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Tarwoto, 2015).

(17)

Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan seseorang, termasuk kuantitas tidur, latensi tidur, efisiensi tidur, dan gangguan tidur. Menurut Windy (2015) penurunan kualitas tidur berhubungan dengan perasaan cemas, depresi marah, kelelahan, kebingungan dan mengantuk di siang hari. Sedangkan kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan yang tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur (Windy et al., 2009). 2.3.4 Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur

Menurut Tarwoto (2015) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas tidur, yaitu :

1) Penyakit

Seseorang yang mengalami sakit memerlukan waktu tidur lebih banyak dari normal. Namun demikian, keadaan sakit menjadikan pasien kurang tidur atau tidak dapat tidur. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis 60% mengalami gangguan tidur (Shen et al., 2016). Gangguan tidur ini rata rata dipengaruhi oleh perubahan keadaan yang dialami pasien dan adanya peningkatan uremia.

2) Lingkungan

Pasien yang biasa tidur di lingkungan yang tenang dan nyaman, kemudian terjadi perubahan suasana seperti gaduh, maka akan menghambat tidurnya. 3) Motivasi

Motivasi dapat mempengaruhi tidur dan dapat menimbulkan keinginan untuk tetap bangun dan waspada menahan kantuk.

4) Kelelahan

(18)

5) Kecemasan

Pada keadaan cemas seseorang mungkin meningkatkan saraf simpatis sehingga mengganggu tidurnya. Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa mengalami kecemasan dengan keadaan ketergantungan dengan terapi hemodialisis seumur hidupnya. Status kesehatan, keadaan ekonomi, serta proses hemodialisis itu sendiri dapat mempengaruhi perubahan dalam kehidupan penderita, yang mana semua itu merupakan salah satu pemicu atau penyebab terjadinya stress (Erma, 2018).

6) Alkohol

Alkohol menekan REM secara normal, seseorang yang tahan minum alkohol dapat mengakibatkan insomnia dan lekas marah.

7) Obat-obatan

Beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan gangguan tidur antara lain sebagai berikut.

a. Diuretik: menyebabkan insomnia b. Antidepresan: menyupresi REM c. Kafein : meningkatkan saraf simpatis d. Beta-bloker : menimbulkan insomnia

e. Narkotika : menyupresi REM (Tarwoto, 2015) 2.3.5 Kualitas Tidur pada Pasien Hemodialisis

Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur, frekuensi terbangun serta aspek subjektif dari tidur seperti kedalaman dan kepulasan tidur. Kualitas tidur yang buruk sering dikaitkan dengan kesehatan yang buruk (Tarwoto, 2015). Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis 60% mengalami gangguan tidur (Shen et al., 2016).

(19)

Gangguan tidur yang dialami oleh pasien hemodialisis disebabkan oleh banyaknya stressor sehingga timbul kecemasan baik dari penyakitnya atau terapi yang dijalaninya.

Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa sering berpikiran bahwa agar dapat bertahan hidup harus bergantung pada terapi hemodialisis dan juga timbul pemikiran bahwa nyawanya akan terancam dan harapan hidup jadi berkurang, khawatir bahwa usia tidak akan lama lagi serta masalah fisik yang menyebabkan kelelahan sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari, menimbulkan perasaan khawatir yang dapat berpengaruh pada kualitas tidur (Windy et al., 2009). Kualitas tidur yang buruk akan berpengaruh pada kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis karena dapat menyebabkan efek pada sistem endokrin, imun, sistem saraf dan kardiovaskular salah satunya hipertensi (Poorgholami, Jahromi, Kalani, & Parniyan, 2016).

2.3.6 Intervensi untuk Meningkatkan Kualitas Tidur

Terapi untuk meningkatkan kualitas tidur pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis terdiri atas terapi farmakologi dan terapi non farmakologis (Fitria, 2018). Terapi non farmakologis dapat mengatasi gangguan tidur pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

Salah satu terapi non farmakologis yang diberikan yaitu terapi relaksasi. Relaksasi merupakan suatu teknik didalam terapi perilaku dengan cara melemaskan otot untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan (Fahrudin,

(20)

2017). Terapi relaksasi dapat digunakan untuk memasuki tidur karena dengan merilekskan otot secara sengaja akan membentuk suasana tenang dan santai. Suasana ini diperlukan untuk mencapai kondisi gelombang alpha yaitu suatu keadaan yang diperlukan seseorang untuk memasuki fase tidur awal. Jika seseorang dapat diajarkan untuk merelaksasikan otot mereka, maka mereka benar-benar dapat mencapai kondisi rileks (Fahrudin et al., 2017).

Gambar

Tabel 2.1.5 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Judul Tugas Akhir: PERANCANGAN BUKU PANDUAN TENTANG SOLO TRAVELING dengan ini menyatakan bahwa, laporan dan karya Tugas Akhir ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

Hal ini menyatakan bahwa setiap sinyal periodik dapat dinyatakan oleh deret harmonik (karena output dari sebuah eksitasi sinus pada sistem statik dapat dinyatakan sebagai

Data Primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak terkait yang mengetahui

Pengertian budaya sangat luas dan kompleks, berikut dikemukakan beberapa unsur budaya yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam pembelian suatu

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Pengaruh Program Corporate

Berdasarkan pembahasan dan pengujian data diperoleh hasil penelitian yang menyangkut tentang pengaruh kualitas produk, biaya peralihan, dan persepsi harga terhadap kepuasan

Sugiarto Puradisastra, dr., M.Kes, selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali, yang dengan penuh perhatian telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran dalam