• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3). Terumbu karang terdiri atas binatang

karang (coral) sebagai organisme atau komponen dari ekosistem dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993). Terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).

Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi terumbu maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis sedangkan karang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu dan merupakan kelompok yang tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yang terdapat di jaringan polip binatang karang dan dapat melakukan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat dengan struktur dan bentuk bangunannya yang khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. (Nybakken 1997).

Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu, untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32°C, kedalaman air kurang dari 50 meter, salinitas air laut 30-36 ‰, laju sedimentasi relatif rendah dengan perairan yang

(2)

relatif jernih, pergerakan air/arus yang cukup, perairan yang bebas dari pencemaran, dan substrat yang keras. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan karang. Karang tidak bisa hidup di air tawar atau muara (Nybakken 1997).

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti: a) beraneka ragam avertebrata, berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili laut; b) beraneka ragam ikan terutama 50–70% ikan karnivora, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; c) reptil seperti ular laut dan penyu laut; d) ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Bengen 2001).

Suharsono (1984) menyatakan bahwa perbedaan tempat hidup, kondisi lingkungan serta kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi morfologi karang. Masing-masing jenis karang penyusun terumbu mempunyai respon yang spesifik terhadap lingkungannya. Faktor yang paling berpengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dan komposisi genetiknya menurut Wood (1997) adalah kedalaman, kuat arus dan gelombang.

Dilihat dari proses geologis terbentuknya terumbu karang dan hubungannya dengan daratan, maka terumbu karang dibagi ke dalam tiga tipe yaitu terumbu karang cincin (atoll), terumbu karang penghalang (barrier reefs), dan terumbu karang tepi (fringing reefs). Terumbu karang tepi adalah tipe yang paling banyak terdapat di Indonesia. Terumbu karang tipe ini berada di tepi pantai yang jaraknya kurang dari 100 meter ke arah laut sedangkan terumbu karang cincin (atol) biasanya terdapat di pulau-pulau kecil yang terpisah jauh dari daratan. Contoh terumbu karang penghalang terdapat di negara Australia yaitu Great Barrier Reefs. Contoh terumbu karang cincin dapat dilihat seperti di Takabonerate, Sulawesi Selatan. Pembentukan terumbu karang cincin ini memerlukan waktu beratus-ratus tahun. Pada tipe habitat yang berbeda, sebaran terumbu karang yang ada hampir sama, namun dengan adanya perbedaan tipe habitat tersebut menyebabkan timbulnya jenis karang yang lebih dominan dibandingkan dengan jenis lainnya, tergantung tipe habitat yang ditempati (Nybakken 1997).

(3)

Terumbu karang memiliki spesies yang amat beragam, dan sebagian besar dari spesies tersebut bernilai ekonomi tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal yang cukup luas dan terdiri dari berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis. Jenis biota yang berasosiasi merupakan kelompok biota yang khas menghuni daerah terumbu karang, dan beberapa di antaranya jarang bahkan tidak ditemui di ekosistem yang lain. Keberadaan biota asosiasi sebagai bagian dari keanekaragaman hayati sumberdaya memiliki nilai tersendiri dalam kompleksitas sistem ekologis sebuah ekosistem. Peran dan fungsi biota asosiasi dalam ekosistem terumbu karang tidak saja secara ekologis, namun juga penting secara ekonomis dimana beberapa dari biota tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi. Beberapa jenis organisme laut yang umumnya berasosiasi di ekosistem terumbu karang antara lain: sponge, hydra, ubur-ubur, alga/rumput laut, anemon laut, karang lunak, moluska, crustasea, ekinodermata, reptilia laut (penyu, ular laut, dan lain-lain), dan ikan karang (Nybakken 1997).

Terumbu karang sangat bermanfaat bagi manusia sebagai tempat pariwisata, tempat menangkap ikan, pelindung pantai alami, dan tempat keanekaragaman hayati. Fungsi-fungsi yang terdapat pada ekosistem terumbu karang diantaranya adalah fungsi perikanan dimana habitat terumbu karang merupakan tempat ikan-ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Rata-rata hasil tangkapan ikan di daerah terumbu karang di Filipina adalah 15,6 ton/km2/tahun. Namun jumlah ini sangat bervariasi mulai dari 3 ton/km2/tahun sampai dengan 37 ton/km2/tahun (White & Cruz-Trinidad 1998).

Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Cesar (1996) memperkirakan bahwa

(4)

daerah terumbu karang yang masih asli dengan daerah perlindungan lautnya (marine sanctuary) dapat menghasilkan $24.000/km2/tahun apabila penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang dengan kondisi yang sangat baik tanpa daerah perlindungan laut di atasnya dapat menghasilkan $12.000/km2/tahun jika penangkapan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang yang rusak akibat penangkapan dengan racun dan bahan peledak atau kegiatan pengambilan destruktif lainnya (seperti penambangan karang, perusakan dengan jangkar, dan lain-lain) menghasilkan jauh lebih sedikit keuntungan ekonomi. Kawasan terumbu karang yang sudah rusak atau hancur 50% hanya akan menghasilkan $6.000/km2/tahun, dan daerah yang 75% rusak menghasilkan hanya sekitar $2.000/km2/tahun. Apabila terumbu karang sudah mengalami tangkap lebih oleh cukup banyak nelayan maka keuntungan ekonomi akan menurun sangat tajam.

Terumbu karang juga mempunyai nilai lain selain nilai ekonomi termasuk keuntungan ekonomi dari kemungkinan pengembangan pariwisata, perlindungan garis pantai, dan keanekaragaman hayati. Di Filipina diperkirakan bahwa 1 km2 terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara $15.000-$45.000 dari perikanan secara berkelanjutan, $2.000-$20.000 dari keuntungan pariwisata, dan keuntungan ekonomi sekitar $5.000-$25.000 dari perlindungan pesisir (perlindungan abrasi) dengan total keuntungan/pendapatan potensial antara $32.000-$113.000/km2/tahun (White & Cruz-Trinidad 1998).

Berdasarkan laporan hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), kondisi terumbu karang di Indonesia hanya 7% yang berada dalam kondisi sangat baik, 24% berada dalam kondisi baik, 29% dalam kondisi sedang dan 40% dalam kondisi buruk (Suharsono 1998). Diperkirakan terumbu karang akan berkurang sekitar 70% dalam waktu 40 tahun jika pengelolaannya tidak segera dilakukan.

2.2 Ikan Karang

Indonesia merupakan salah satu kawasan yang memiliki memiliki jumlah ikan karang terkaya di dunia. Allen (1991) menyatakan bahwa terdapat 123 spesies yang termasuk famili Pomacentridae, yang sekarang diperbarui sebanyak

(5)

152 spesies yang merupakan total tertinggi di dunia. Allen et al. (1998) mencatat sebanyak 87 spesies ikan bidadari (Pomacanthidae) dan kupu-kupu (Chaetodontidae) yang terdapat di Indonesia, yang juga merupakan jumlah tertinggi dunia.

Komunitas ikan merupakan salah satu komponen utama dalam ekosistem terumbu karang karena didapatkan dalam jumlah banyak dan menyolok. Karena jumlahnya yang besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka merupakan penyokong hubungan yang ada di dalam ekosistem terumbu karang. Salah satu sebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat terumbu yang terdiri dari karang, daerah berpasir, teluk dan celah, daerah alga, dan juga perairan yang dangkal dan dalam serta zona-zona yang berbeda yang melintasi karang (Nybakken 1997). Secara komersial, ikan-ikan karang memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (English et al. 1994).

Ikan karang merupakan jenis ikan yang umumnya menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya relatif mudah dijangkau. Jenis substrat yang biasanya dijadikan habitat antara lain karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak (Suharti 2005). Berdasarkan tingkah lakunya, ikan karang ada yang hidup secara individu atau ditemukan menyendiri contohnya ikan lepu ayam (Pterois sp.), mengelompok 3-10 ekor contohnya ikan kambuna (Platax sp.), dan dalam bentuk gerombolan contohnya ikan ekor kuning (Caesio sp.). Kelompok ikan karang terdiri dari: a) jenis ikan yang hidup menetap di karang; b) ikan yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya; c) jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenil, dan pada saat dewasa beruaya keluar terumbu (Nybakken 1997).

Selain kecenderungan tersebut, ikan karang juga mempunyai sifat teritorial, mereka akan menentukan wilayah kekuasaannya sehingga jika mereka diusik oleh penyelam, beberapa saat kemudian akan datang kembali ke wilayah tersebut. Contohnya pada jenis ikan betok laut (Pomacentrus sp.), ikan giru (Amphiprion sp.) dan ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.). Sedangkan yang bersifat

(6)

migratori atau senantiasa berpindah ekosistem antara lain ikan hiu (Carcharinus sp.) (Nybakken 1997).

Sekitar 30 sampai 100 spesies dari beberapa famili ikan karang yang banyak mendominasi, diantaranya adalah Pomacentridae (ikan betok laut), Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), Acanthuridae (ikan pakol), Scaridae (ikan kakatua), Apogonidae (ikan serinding), Gobiidae (ikan gobi) dan Serranidae (ikan kerapu). Umumnya ikan-ikan karang ini mudah ditandai dari warna, corak dan struktur badannya yang berbeda, sehingga memudahkan dalam pengamatan jenis dan tingkah laku ikan-ikan karang.

Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Gazin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Hampir seluruh ikan yang hidup di terumbu karang mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem karang, baik dalam hal perlindungan maupun makanan. Oleh karenanya jumlah individu, jumlah spesies dan komposisi jenisnya dipengaruhi oleh kondisi setempat. Telah banyak penelitian yang membuktikan adanya korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikan-ikannya. Oleh karena itu pengamatan ikan karang ini senantiasa dilakukan bersamaan dengan pendataan bentuk pertumbuhan terumbu karang.

2.3 Definisi Kawasan Konservasi Perairan

The International Union for Conservation of Nature (IUCN) mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu areal di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ditetapkan dengan aturan hukum atau cara-cara lain yang efektif utuk dilindungi sebagian maupun keseluruhan tutupan alamnya. IUCN mengelompokan kawasan dilindungi terdiri

(7)

atas 6 kategori yaitu: (1) Strict nature reserve/wildernes area; (2) National park; (3) Natural monument; (4) Habitat/species management area; (5) Protected landscape/seascape; dan (6) Managed resources protected area. Upaya konservasi ini telah dirumuskan oleh IUCN dengan mengeluarkan “World Conservation Strategy” tahun 1980 dalam bentuk 3 (tiga) strategi utama yaitu: (1) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; (2) melindungi keanekaragaman genetik; dan (3) pemanfaatan spesies dan ekosistem berkelanjutan (Kelleher & Kenchington 1992).

Kawasan konservasi perairan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah kawasan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Jenis kawasan konservasi perairan menurut Pasal 8 ayat 2 Peraturan Pemerintah tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan adalah Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Taman Nasional Perairan didefinisikan sebagai kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya. Taman Wisata Perairan didefinisikan sebagai kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

2.4 Fungsi Kawasan Konservasi Perairan

Penetapan kawasan konservasi haruslah diartikan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan suatu pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Salm et al. (2000) mengatakan bahwa pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya pesisir mensyaratkan sebagian wilayah tersebut dipertahankan kondisinya

(8)

sealamiah mungkin. Penetapan kawasan konservasi perairan dimaksudkan untuk mengamankan habitat kritis untuk produksi ikan, melestarikan sumberdaya genetis, menjaga keindahan alam dan warisan alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan berkelanjutan mengharuskan adanya pemanfaatan yang bijaksana dan pengelolaan yang menggunakan pendekatan kehati-hatian terhadap sumberdaya dan ekosistemnya, sehingga tidak merugikan hak generasi yang akan datang.

Terdapat 3 (tiga) tujuan utama yang ingin diraih dalam penetapan sebuah kawasan konservasi: (i) perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, (ii) pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, dan (iii) pengembangan non extractive uses dari suatu kawasan konservasi (ekoturism dan aktivitas rekreasional lainnya). Dalam banyak kasus, kombinasi ketiganya merupakan hal yang termasuk dalam pertimbangan dalam penetapan suatu kawasan konservasi. Beberapa objektif tersebut saling melengkapi, sementara dalam banyak kasus lain, saling berkompetisi antara satu dengan yang lainnya, yang didalamnya melibatkan konflik kepentingan dari beberapa pemangku kepentingan.

Sebagai sarana pengelolaan perikanan, kawasan konservasi perairan memiliki dua fungsi ekologi, yaitu: (1) limpahan ikan dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan. (2) ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan. Selain itu, sebagai sarana pengelolaan, kawasan konservasi laut memberikan manfaat tidak langsung berikut: (1) melindungi habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan jenis ikan komersial, dan (2) memberikan tempat berlindung ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial (Robert & Polunin 1993).

Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan perikanan: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran dari individu stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan rekrutan hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan

(9)

konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah Kawasan Konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (PISCO 2002). Peran kawasan konservasi perairan adalah melalui: (1) ekspor telur dan larva ke luar wilayah kawasan konservasi perairan yang menjadi wilayah penangkapan ikan bagi nelayan; (2) penyedia kelompok rekrutan ikan; (3) penambahan stok yang siap ambil di dalam wilayah penangkapan. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat adalah peningkatan hasil tangkapan nelayan di luar kawasan konservasi beberapa waktu setelah dilakukan penerapan kawasan konservasi perairan secara konsisten. Seberapa jauh efektivitas Kawasan Konservasi Perairan mampu memenuhi fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya, model, bentuk maupun posisi/letak wilayahnya, khususnya ukuran zona/wilayah yang dijadikan daerah perlindungan (no take area) dibandingkan dengan zona pemanfaatan (penangkapan).

Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa kawasan konservasi perairan, dengan suatu kawasan ‘larang-ambil’ yang substansial di dalamnya, menyebabkan peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami (Roberts & Hawkins 2000). Roberts & Hawkins (2000) melaporkan bahwa sebuah jejaring terdiri dari 5 kawasan konservasi perairan yang berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40 sampai 90%, sementara kawasan konservasi perairan di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970-an.

Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan-ikan ekonomis penting di dalam kawasan larang-ambil dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui (Roberts & Hawkins 2000): (1) limpahan penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, (2) ekspor telur dan/atau larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya dan (3) mencegah

(10)

hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar kawasan larang-ambil mengalami kegagalan.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

Analisis data hasil pengukuran menunjukkan bahwa peserta didik di Madrasah Tsanawiyah kode S mempunyai sikap-sikap spiritual yang unggul pada aspek beriman kepada Allah

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Aset pajak tangguhan diakui untuk semua perbedaan temporer yang dapat dikurangkan dan akumulasi rugi fiskal yang belum digunakan, sepanjang besar kemungkinan beda temporer yang

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

• Degree of bodily arousal influences the intensity of emotion felt Schachter’s Theory Type Intensity Emotion (Fear) Perception (Interpretation of stimulus-- danger) Stimulus

Metode BATIK (baca, tulis dan karya) dapat meningkatkan minat siswa dan mahasiswa untuk belajar bahasa Indonesia, dengan menggunakan dan mengenalkan budaya masayarakat

PERBEDAAN ANTARA AUDIT DAN AKUNTANSI (LANJUTAN) Transaksi Yang Mempunyai Nilai Uang Bukti Pembukuan Special Journal Trial Balance General Ledger Subsidiary Ledger Laporan