• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS EMPATHIC LOVE THERAPY UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF DAN KESIAPAN GURU DI SEKOLAH INKLUSI. Oleh: ADMILA ROSADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS EMPATHIC LOVE THERAPY UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF DAN KESIAPAN GURU DI SEKOLAH INKLUSI. Oleh: ADMILA ROSADA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS EMPATHIC LOVE THERAPY

UNTUK MENINGKATKAN

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF DAN KESIAPAN

GURU DI SEKOLAH INKLUSI

Oleh:

(2)
(3)

1

EFEKTIVITAS EMPATHIC LOVE THERAPY

UNTUK MENINGKATKAN

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF DAN

KESIAPAN GURU DI SEKOLAH INKLUSI

Admila Rosada

Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Huaniora No.1 Yogyakarta, 55281, Indonesia

Abstrak

Pendidikan inklusif telah dilaksanakan di Indonesia sejak disyahkannya UU Sisdiknas tahun 2003. Evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif ini menunjukkan masih rendahnya kesiapan guru dalam melangsungkan pembelajaran inklusif, padahal guru merupakan pilar utama dalam pendidikan. Guru merasa terbebani dengan tugas fasilitasi anak berkebutuhan khusus (ABK) sehingga mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. Kementerian Pendidikan Republik Indonesia telah menyelenggarakan pelatihan dan bimbingan teknis pelaksanaan pendidikan inklusi ini. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelatihan yang diselenggarakan pemerintah lebih bersifat teknis dan teoritis, belum menyasar ranah afeksinya. Empathic Love Therapy adalah serangkaian pelatihan dengan pendekatan transpersonal yang diberikan sebagai proses pengenalan diri sendiri (self). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Empathic Love Therapy efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif dan kesiapan guru melangsungkan pendidikan inklusi. Instrumen pengumpulan data menggunakan skala kesejahteraan subjektif dan skala kesiapan guru. Penelitian ini melibatkan 10 guru pendamping khusus (GPK) dari forum guru sekolah penyelenggaran pendidikan inklusi kota Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Empathic Love Therapy efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif namun tidak efektif meningkatkan kesiapan guru dalam melangsungkan pendidikan inklusi. Secara deskriptif, hasil penelitian dibahas dalam pembahasan dan diskusi.

Kata kunci: pendidikan inklusif, psikosintesis, kesejahteraan subjektif, kesiapan guru, anak berkebutuhan khusus, transpersonal.

Pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 pasal 31, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 70 tahun 2009 (Widiasti, 2013; Aznam, Oktafiana, & Utami, 2013; Irenewaty, 2008; Susanto, 2013) . Sementara itu, gerakan inklusi di kancah dunia telah diinisiasi jauh lebih awal melalui konferensi-konferensi internasional yaitu Human Rights and Convention of The

Rights of The Children tahun 1989 (Rosada & Oktafiana, 2013), The Publication of The Standard Rules on Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities by The United Nations tahun 1993 (Widiasti, 2013), Salamanca

(4)

2

Statement tahun 1994 (Mayor, 1994; Irenewaty, 2008; Susanto, 2013), dan

Seminar Agra tahun 1998 (Widiasti, 2013). Segala upaya yang telah dilakukan semua pihak pada lingkup lokal, regional. nasional dan internasional merupakan sebuah gerakan inklusi untuk perubahan dan layanan pendidikan yang lebih baik.

Implementasi pendidikan inklusi menemui banyak kendala. Salah satu faktor yang menghambatnya adalah faktor guru. Sikap para guru reguler yang sudah terbiasa mengajar anak normal memberikan kontribusi penghambat bagi kesuksesan praktik pendidikan inklusi (Avramidis, Bayliss, & Burden, 2000; Boer, Pijl, & Minnaert, 2010). Selain itu, guru reguler menunjukkan sikap negatif terhadap potensi ABK dibandingkan guru dari latar belakang pendidikan luar biasa (Brady & Woolfson, 2008; Woolfson & Brady, 2009)

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa guru merupakan salah satu kendala dalam implementasi pendidikan inklusi. Penerbitan SK dari Dinas Pendidikan ke sekolah-sekolah untuk menjadi sekolah inklusi mempengaruhi iklim sekolah dan juga kondisi psikologis guru. Guru akan mempersepsi situasi di mana sekolahnya yang selama ini berisi anak normal saja, kini harus menerima ABK yang sama sekali asing baginya. Guru juga memiliki perasaan-perasaan yang beragam dalam menghadapi ABK. Persepsi seseorang terhadap pengalaman hidup yang terdiri evaluasi kognitif dan evaluasi afektif ini disebut sebagai kesejahteraan subjektif (Ariati, 2010). Guru akan melakukan evaluasi kognitif dan evaluasi afektif berkait dengan pendidikan inklusi yang kini dihadapinya. Artinya, kebijakan inklusi di sekolah tempat guru bekerja mempengaruhi aspek psikologis guru yaitu kesejahteraan subjektif.

Terdapat dua pendekatan teori yang digunakan dalam kesejahteraan subjektif yaitu Bottom up Theories dan Top down Theories (Diener, 1984).

Bottom up Theories memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang

dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif, teori ini beranggapan perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu, misalnya: pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, pendapatan/gaji yang layak, dan sebagainya.

(5)

3

Sementara itu, Top down theories beranggapan bahwa kesejahteraan subjektif yang dialami seseorang tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.

Dari penggambaran di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah kebijakan dari sistem yang memiliki otoritas kepada lembaga di mana seseorang bekerja, dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif seseorang. Dalam konteks pendidikan inklusi, kesejahteraan subjektif guru menjadi terganggu akibat ditunjuknya sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Kesejahteraan diri yang selama ini sudah mapan menjadi terganggu akibat ada hal baru yang datang dan menuntut tanggung jawab lebih besar. Penelitian ini akan berfokus pada top down theories yaitu hal yang mempengaruhi cara pandang guru dalam mempersepsi lingkungan. Kondisi kesejahteraan subjektif guru akan baik adanya jika guru mampu menginterpretasi pengalaman hidup secara lebih positif. Cara memandang pengalaman hidup secara positif dapat tercapai bila guru dalam kondisi penuh cinta pada diri sendiri dan orang lain (kondisi penuh cinta empatik). Chan (2013) juga menegaskan bahwa kebersukuran, pemaafan, dan pandangan terhadap kebahagiaan mempengaruhi kesejahteraan subjektif seseorang yang mana hal ini dapat diraih ketika seseorang telah mengenali dirinya secara utuh.

Psikologi transpersonal mengkaji tentang potensi tertinggi yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta keadaan transendensi (Hidayati, 2013; Prabowo, 2008). Assagioli seorang psikiater Italia yang merupakan perintis psikologi transpersonal percaya bahwa aspek psikoanalitik tidak lengkap dalam memahami manusia sebab untuk mampu memahami diri sendiri maupun orang lain, seseorang memerlukan pengalaman estetika, insipirasi dan kesadaran yang lebih tinggi (Assagioli, 1973; Firman & Gila, 2002). Berdasarkan pemahaman tentang transpersonal itu,

(6)

4

Assagioli mengembangkan model psikosintesis sebagai pioner utama dalam memahami pendekatan psikologi transpersonal.

Psikosintesis merupakan bentuk psikologi transpersonal yang mengarahkan integrasi dimensi-dimensi spiritual dalam kesadaran. Psikosintesis adalah konsep yang dinamis tentang kehidupan psikologis yang saling terkait antara berbagai kekuatan dalam diri kita, yang berbeda satu sama lain dan terkesan saling berlawanan. Konsep ini menganggap adanya pusat spiritual dalam diri setiap individu, serta menggunakan metode tertentu yang memungkinkan pusat tersebut bergerak secara harmonis dan kreatif sehingga energi kehidupan dapat terekspresi secara sadar dan alami di dalam kehidupan. Model kesadaran jiwa yang paling penting dalam konsep ini adalah tentang “Jati Diri” dan “Diri Transpersonal” (Rueffler, 1995).

Empathic Love adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat memahami

dan mulai mengembangkan cinta pada keseluruhan kepribadiannya. Seseorang dapat menerima dan mencintai bahkan dapat bertanggungjawab terhadap kesehatan dan pertumbuhan pribadinya dalam setiap pengalaman hidupnya. Seseorang akan memiliki kemampuan untuk memiliki "cinta tanpa pamrih" dalam semua aspek kepribadian. Seseorang tersebut tidak akan memihak tetapi memahami dan menghormati semua, merangkul semuanya. Penyembuhan yang luar biasa dan pertumbuhan dari munculnya Empathic Love adalah "Aku" sebagai keseluruhan pribadi sehingga terbentuk "Saya hidup, penuh kasih dan berserah diri" (Firman & Gila, 2007).

Hasil studi kancah menunjukkan bahwa masih kurangnya kualitas implementasi pendidikan inklusi di Kota Yogyakarta khususnya kompetensi tenaga kependidikan. Guru sebagai unsur utama dalam pendidikan belum sepenuhnya memahami inklusi serta belum memiliki persepsi positif tentang inklusi dan anak berkebutuhan khusus. Dalam praktiknya, hal ini kemudian mempengaruhi cara pandang guru terhadap kebijakan inklusi. Cara pandang guru (evaluasi kognitif) banyak ditentukan oleh kondisi-kondisi di luar dirinya. Kondisi pendidikan inklusi yang masih jauh dari ideal membentuk cara pandang guru yang negatif pula, padahal sebenarnya evaluasi kognitif dapat dipengaruhi oleh

(7)

nilai-5

nilai individu untuk mempersepsi kondisi yang ada. Sebagaimana disebutkan Diener (2000), untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.

Berkaitan dengan kesiapan guru, ketika individu telah melakukan evaluasi kognitif yang membentuk penilaian tentang kebijakan inklusi dan anak berkebutuhan khusus yang dihadapinya, maka guru akan berperilaku sesuai penilaian atau persepsinya tersebut. Perilaku yang ditunjukkan guru tersebut merupakan kesiapan dalam melangsungkan pendidikan inklusi. Widiasti (2013) menyebutkan bahwa kesiapan merupakan kemauan dan kemampuan dalam mempraktekkan tingkah laku tertentu sebagai respon terhadap situasi baru.

Secara jelas hasil studi kancah tersebut dapat dilihat dari bagan 1:

Bagan 1: Bagan Peta Pemikiran dan Hubungan Teoritis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah empathic love therapy efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif dan kesiapan guru di sekolah inklusi. Melalui empathic love therapy, apakah guru akan lebih sejahtera dan siap menjadi guru di sekolah inklusi dalam memfasilitasi anak berkebutuhan khusus.

KONDISI: - Pengalaman sedikit - Pemilihan jurusan tidak sesuai keinginan - Menjadi GPK bukan pilihan hidup - Pemahaman sempit tentang inklusi - Pengetahuan sedikit tentang ABK - Pemahaman kurang tentang kurikulum - Pandangan negatif tentang ABK - Harapan yang menuntut pihak di luar dirinya - Hubungan yang SWB (Bottom Up): Kesejahteraan ditentukan oleh SWB (Top Down): Persepsi, keyakinan, dan sifat kepribadian

yang difokuskan untuk mempersepsi

EMPATHIC LOVE

KESIAPAN: kemauan dan kemampuan dalam mempraktekkan tingkah laku tertentu sebagai respon terhadap situasi

(8)

6

METODE PENELITIAN

1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah 10 Guru Pendamping Khusus Kota Yogyakarta. Kesepuluh subjek berasal dari sekolah-sekolah inklusi di seluruh kota Yogyakarta mulai dari jenjang KB/TK hingga SMA/SMK.

Kriteria inklusi dalam pemilihan subjek adalah guru yang telah bekerja sebagai guru pendamping khusus minimal 2 tahun dan memiliki tingkat kesejahteraan subjektif dan kesiapan pada level rendah, sedang, atau tinggi. 2. Instrumen Pengukuran

a. Laporan Diri (Rosada dkk, 2014). Laporan diri ini merupakan instrumen untuk manipulation check berkait dengan aspek-aspek dalam empathic

love therapy. Laporan Diri ini berfungsi sebagai data yang menyatakan

dinamika pada aspek-aspek pada variabel yang dimanipulasi (variabel bebas) sebelum dilihat pengaruhnya terhadap variabel tergantung.

b. Skala Kesejahteraan Subjektif (Utami, 2010)

Skala kesejahteraan subjektif yang digunakan dalam studi ini adalah skala kesejahteraan subjektif yang dikembangkan oleh Utami (2010). Skala ini disusun berdasarkan teori Diener (1984) bahwa kesejahteraan subjektif terdiri dari tiga aspek, yaitu: adanya afek positif, tidak adanya afek negatif, dan adanya kepuasan hidup. Peneliti menggunakan skala ini secara langsung mengingat reliabilitas skala ini cukup tinggi. Skala ini memiliki reliabilitas yaitu afek positif r = 0.911; afek negatif r = 0.941; dan kepuasan hidup = 0.908. Skala ini juga memiliki relibialitas skor komposit dengan koefisien relibialitas yang tinggi pula yaitu r = 0,939.

Skala kesejahteraan subjektif terdiri dari tiga subskala yaitu subskala afek positif; subskala afek negatif; dan subskala kepuasan hidup. Subskala afek positif dan subskala afek negatif mengukur kondisi afek individu. Subskala afek positif terdiri dari 27 aitem berupa kata-kata dan menunjukkan emosi positif. Sementara itu, subskala afek negatif terdiri dari 29 aitem berupa kata-kata yang menunjukkan emosi negatif.

(9)

7

Penyajian kedua subskala ini dicampur menjadi satu bagian dengan pola mengacak urutan kedua jenis afek tersebut. Selanjutnya, subskala kepuasan hidup mengukur kepuasan hidup individu berdasarkan aspek-aspek tertentu (finansial, makanan, kesehatan, tempat tinggal, tempat kerja, pekerjaan, transportasi, hubungan sosial, aktualisasi diri, pengelolaan waktu, fasilitas kerja, kemampuan menolong orang lain, spiritualitas, dan istirahat (Utami, 2010).

c. Skala Kesiapan Sekolah Inklusi pada standar tenaga kependidikan (Widiasti, 2013). Skala ini mencakup kesiapan pada kompetensi teknis dan kompetensi kolaboratif. Skala ini terdiri dari 42 aitem yang mewakili kesiapan guru, baik secara kognitif, afeketif dan perilaku dalam melangsungkan pendidikan inklusi. Widiasti (2013) menjabarkan bahwa GPK memiliki indikator kesiapan sekolah antara lain: menyusun rancangan program ABK, berpartisipasi dalam penjaringan ABK, berkonsultasi dengan ahli terkait, melaksanakan tes, berpartisipasi dalam menyusun Program Pendidikan Individu (PPI), mengimplementasikan PPI, menyelenggarakan pertemuan dengan orangtua, bekerjasama dengan guru reguler, dan membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri.

Widiasti (2013) menyebutkan bahwa validitas isi skala diperoleh melalui professional judgment. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa skala kesiapan sekolah memiliki koefisien indeks daya beda aitem berkisar antara 0,269 sampai 0,864. Sementara itu, reliabilitas skala kesiapan sekolah ini sebesar r = 0,987. Angka ini menunjukkan bahwa skala tersebut reliabel.

d. General Overall Assessment (GOA) dan Specific Assessment and Reaction (SAR). Alat pengukuran ini merupakan alat evaluasi terhadap keseluruhan proses terapi. Data yang diperoleh dari pengukuran ini digunakan sebagai analisis deskriptif, baik berkaitan dengan proses terapi per sesi maupun berkaitan dengan dinamika subjek penelitian. GOA dan SAR ini berisi seperangkat pertanyaan yang meliputi: pengalaman selama mengikuti terapi, sejauh mana terapi ini dipandang membantu individu, seberapa

(10)

8

besar materi terapi setiap sesi dapat dipahami, bagaimana kebermanfaatan terapi bagi subjek, rekomendasi yang akan diberikan setelah terapi, perubahan yang dirasakan setelah mengikuti terapi, serta tindak lanjut setelah terapi.

3. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimen kuasi. Penelitian ini memanipulasi sebuah variabel secara sengaja untuk melihat dampaknya pada kelompok tertentu (Cook dan Campbell, 1979; Shaadish, Cook, dan Campbell, 2002).

Rancangan penelitian ini adalah one group pre-post test design (Cook dan Campbell, 1979; Shaadish, Cook, dan Campbell, 2002). Berikut desain eksperimen yang digunakan:

Tabel 1: Rancangan Eksperimen

Kelompok Pretest Perlakuan Postest

Perlakuan O1 X O2

Keterangan: O1: pretest; X: empathic love therapy; O2: postest.

4. Analisis Data

Data angka yang diperoleh dari laporan diri akan diolah menjadi data grafik yang menunjukkan dinamika empathic love subjek dari hari pertama hingga hari terakhir.

Hasil pengumpulan data berupa angka pada skala kesejahteraan subjektif dan skala kesiapan guru akan dianalisis secara kuantitatif menggunakan t-test yaitu membandingkan skor pada pretest dan postest. Selain itu juga akan dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil catatan lapangan (observasi, wawancara), serta respon subjek terhadap pertanyaan terbuka pada lembar GOA dan SAR.

(11)

9

PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Tahap Persiapan

a. Perijinan Penelitian

Penelitian ini telah mendapatkan ijin resmi dari instansi terkait yaitu Dinas Perijinan dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.

b. Penyusunan Modul dan Validasi Modul

Validasi modul diperoleh melalui beberapa ahli yaitu:

1) Professional judgment dari empat orang expert (akademisi dan praktisi) yang memahami konsep dasar psikologi transpersonal. 2) Peserta ujicoba modul tahap ujicoba eksternal. Peserta terdiri dari

10 orang yang memiliki karakteristik menyerupai kelompok perlakuan dari sisi usia dan latar belakang profesi.

3) Psikolog yang mengikuti ToT. Psikolog yang mengikuti ToT berjumlah 7 orang. Ketujuh psikolog ini adalah tim pengambil data pada seluruh penilitian dalam penelitian payung ini.

c. Penyusunan manipulation check

Manipulaton check yang digunakan dalam penelitian ini berupa

lembar laporan diri yang berisi 15 indikator empathic love. Lembar ini disusun berdasarkan hasil dari tahap impelementasi modul.

d. Adaptasi alat ukur

Alat ukur kesejahteraan subjektif disusun dengan melakukan adaptasi terhadap skala kesejahteraan subjektif yang disusun oleh Utami (2010) dan skala kesiapan sekolah inklusi kompetensi tenaga kependidikan yang disusun oleh Widiasti (2013).

2. Tahap Pelaksanaan

a) Penentuan Kelompok Penelitian

Subjek penelitian dijelaskan tentang gambaran kegiatan empathic love

therapy dan diminta mengisi lembar informed consent.

b) Fase pretest

Subjek penelitian mengisi skala kesejahteraan subjektif dan skala kesiapan guru sebagai data pretes.

(12)

10 c) Fase intervensi

Pelaksanaan empathic love therapy dilakukan dalam 8 pertemuan yang mana setiap pertemuan dilakukan setiap hari masing-masing 4 jam. d) Fase posttest

Setelah semua sesi pelatihan empathic love dilaksanakan, peneliti melakukan posttest pada kelompok perlakuan. Peneliti mengukur kesejahteraan subjektif dan kesiapan guru menggunakan skala kesejahteraan subjektif dan skala kesiapan guru (standar tenaga kependidikan).

ANALISIS DATA 1. Pretes

Berdasarkan penghitungan pada skala kesejahteraan subjektif, terdapat 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi yaitu 2 orang memiliki kesejahteraan subjektif rendah, 7 orang memiliki kesejahteraan subjektif sedang dan 1 orang berada pada kategori kesejahteraan subjektif tinggi. Sepuluh GPK yang lain tidak terekrut sebagai subjek penelitian karena tidak memenuhi kriteria inklusi (kategori kesejahteraan subjektif sangat tinggi) serta tidak menyepakati butir-butir dalam informed consent.

Pada penghitungan kesiapan guru menggunakan rumus dan kategorisasi yang telah ditentukan, diperoleh 5 orang guru yang kesiapannya sedang dan 5 orang guru yang memiliki kesiapan tinggi. Sepuluh GPK yang lain tidak terekrut sebagai subjek penelitian karena tidak memenuhi kriteria inklusi (kategori kesiapan guru sangat tinggi) serta tidak menyepakati butir-butir dalam informed consent.

2. Analisis Visual Inspection (Data Grafik dari Manipulation Check)

Berikut adalah data grafik manipulation check kesepuluh subjek pada 7 sesi empathic love therapy:

(13)

11

Grafik 1: Manipulation Check_Model 1_15 aspek

Berdasarkan data grafik manipulation check of empathic love di atas, dapat diketahui bahwa seluruh subjek penelitian mengalami dinamika naik pada setiap aspek empathic love dari hari pertama hingga hari ke tujuh. Nilai bergerak dari 5,99 hingga 8,64 dengan tren memuncak pada hari ke empat (sesi I Love My Self) kemudian stabil kembali pada hari ke lima hingga hari ke tujuh dengan rerata nilai 7,24.

Hasil data manipulation check ini kemudian dapat digunakan sebagai pijakan untuk melanjutkan pada tahap pengukuran variabel bebas karena dapat disimpulkan bahwa individu telah berada pada kondisi empathic love (cinta empatiknya telah tercapai).

3. Analisis Kuantitatif (Uji Hipotesis)

Dalam rangka menguji hipotesis, peneliti menggunakan paired sample

t-test untuk membandingkan skor kesejahteraan subjektif dan skor kesiapan

guru antara pretes dengan postes. Hasil analisis statistik sebagaimana tertera dalam tabel berikut:

Tabel 2: Paired sample t-test Kesejahteraan Subjektif dan Kesiapan

Variabel t Sig Keterangan

Kesejahteraan subjektif

2,435 0,038 Signifikan

Kesiapan 2,014 0,075 Tidak signifikan

4. Catatan Lapangan

Sepuluh subjek penelitian menunjukkan komitmen yang tinggi dalam mengikuti rangkaian empathic love therapy. Hal ini tampak dari kehadiran yang penuh, kedisiplinan mengerjakan dan mengumpulkan tugas rumah, keseriusan mengikuti sesi-sesi terapi melalui visualisasi, keseriusan saat

0 2 4 6 8 10 as p e k1 as p e k2 as p e k3 as p e k4 as p e k5 as p e k6 as p e k7 as p e k8 as p e k9 as p e k10 as p e k11 as p e k12 as p e k13 as p e k14 as p e k15 Series1 Series2 Series3 Series4 Series5 Series6

(14)

12

mendengarkan sharing pengalaman dari sesama subjek, serta sikap keterbukaan tentang proses perjalanan pribadinya.

Salah satu tugas rumah yang diberikan adalah latihan relaksasi dan visualisasi setiap hari. Tugas ini digunakan sebagai pengontrol bagi subjek penelitian untuk senantiasa mempraktekkan latihan ini sebagai keterampilan dasar mengikuti sesi empathic love therapy.

5. Analisis Deskriptif

Data yang digunakan dalam analisis deskriptif ini adalah data dari

General Overall Assessment (GOA) dan Specific Assessment and Reaction

(SAR). Dari tujuh sesi yang dijalani, subjek penelitian menyatakan bahwa sesi ke tujuh (Cinta dan Syukur) adalah sesi yang paling membantu. Selain itu, sesi Cinta dan Syukur ini pula yang dirasa paling mudah dimengerti.

Pengalaman fisiologis atau perasaan yang subjek kemukakan antara lain: perasaan jauh lebih tenang, nyaman, ikhlas, menikmati, perasaan labih bahagia, lebih bersyukur, lebih dewasa, emosi semakin terkikis, lebih percaya diri, lebih bisa mengontrol emosi, tubuh terasa rileks, dan mudah konsentrasi.

Berhubungan dengan proses diri, setelah mengikuti empathic love

therapy, subjek penelitian menyatakan mampu mengenal diri sendiri,

mencintai diri, menerima diri, mengelola diri, pengendalian diri, memaafkan diri sendiri, dan membantu menghadapi kehidupan. Selain itu, subjek juga mampu menerima banyak ketidaksempurnaan diri, menyadari berbagai peran atau pemain dalam diri, mampu mencapai tujuan hidup yang kekal penuh kedamaian (aspirasi), dan mampu menjaga jarak dengan masalah. Berkaitan dengan penghambat, subjek menjadi lebih mengenal si penghambat, menerima penghambat menjadi bagian dalam diri sehingga mampu menyelaraskan dan menyeimbangkan antara kelebihan dan kekurangan diri sendiri.

Proses terapi yang melibatkan keseluruhan proses pribadi ini ternyata juga dirasakan subjek berhubungan dengan orang lain atau lingkungan. Subjek merasa memiliki banyak teman, mencintai orang atau lingkungan sekitar, belajar dari lingkungan, menerima orang lain apa adanya, tidak menuntut

(15)

13

orang lain, memahami karakter orang lain, lebih bisa menghadapi kenyataan, lebih bisa menghadapi permasalahan, serta berdampak positif terhadap sikap, pola pikIr, dan perilaku. Kesemua pengalaman ini menunjukkan pengalaman

empathic love yang berhasil dicapai subjek untuk menemukan Aku Sejati.

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Berdasarkan analisis data pada data manipulation check, dapat diketahui bahwa seluruh subjek penelitian menunjukkan kenaikan skor pada setiap aspek

empathic love dari hari pertama hingga hari ke tujuh. Nilai bergerak dari 5,99

hingga 8,64 dengan tren memuncak pada hari ke empat (sesi I Love My Self) kemudian stabil kembali pada hari ke lima hingga hari ke tujuh dengan rerata nilai 7,24. Hasil olah data manipulation check ini menunjukkan bahwa individu telah berada pada kondisi empathic love (cinta empatiknya telah tercapai).

Hasil manipulation check ini didukung dan diperkuat dengan data catatan lapangan dan analisis deskriptif. Catatan lapangan menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki komitmen yang tinggi yang mendukung proses pencapaian cinta empatik. Ditambah lagi, analisis deskriptif juga menunjukkan bahwa subjek penelitian mampu mencapai “Aku yang Sejati” sehingga pencapaian ini dapat digunakan untuk mencintai orang lain. Hasil ketiga analisis tersebut selaras dengan hasil uji hipotesis yang menunjukkan bahwa empathic love therapy signifikan meningkatkan kesejahteraan subjektif namun tidak signifikan meningkatkan kesiapan guru di sekolah inklusi. Hasil uji hipotesis ini dibahas dalam diskusi berikut ini.

Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dapat diketahui bahwa empathic love

therapy efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif. Penilaian individu akan

afek dalam diri dan evaluasi kognitif terhadap kepuasan hidupnya terfasilitasi setelah individu mencapai cinta empatik. Empathic Love adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat memahami dan mulai mengembangkan cinta pada keseluruhan kepribadiannya. Seseorang dapat menerima dan mencintai bahkan dapat bertanggungjawab terhadap kesehatan dan pertumbuhan pribadinya dalam setiap pengalaman hidupnya. Seseorang akan memiliki kemampuan untuk memiliki "cinta tanpa pamrih" dalam semua aspek kepribadian. Seseorang

(16)

14

tersebut tidak akan memihak tetapi memahami dan menghormati semua bagian dalam dirinya. Penyembuhan yang luar biasa dan pertumbuhan dari munculnya

Empathic Love adalah "Aku" sebagai keseluruhan pribadi sehingga terbentuk

"Saya hidup, penuh kasih dan berserah diri" (Firman & Gila, 2007).

Definisi operasional tentang kesiapan dalam penelitian ini yaitu kemauan dan kemampuan dalam mempraktekkan tingkah laku tertentu sebagai respon terhadap situasi baru. Berkaitan dengan kesiapan guru, kesiapan yang dimaksud bagi GPK adalah menyusun rancangan program bagi ABK, berpartisipasi dalam penjaringan ABK, berkonsultasi dengan ahli terkait, melaksanakan tes, berpartisipasi dalam penyusunan Proram Pembelajaran Individu (PPI), mengimplementasikan PPI, menyelenggarakan pertemuan dengan orangtua, bekerjasama dengan guru reguler, dan membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri (Widiasti, 2013). Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan tidak siginifikan, artinya empathic love therapy tidak efektif meningkatkan kesiapan guru melangsungkan pendidikan inklusi. Hal ini dikarenakan sesi-sesi dalam empathic love therapy tidak memfasilitasi pencapaian kompetensi teknis GPK. Sesi yang disajikan lebih pada penyiapan secara mental yang menstimulasi kemauan dan kemampuan dalam mempraktekkan tingkah laku tertentu sebagai respon terhadap situasi sebagai GPK di sekolah inklusi.

.

KESIMPULAN

Hasil olah data manipulation check dapat disimpulkan bahwa individu telah berada pada kondisi empathic love (cinta empatiknya telah tercapai).

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada variabel kesejahteraan subjektif, ada perbedaan yang signifikan antara sebelum perlakuan dan setelah diberikan perlakuan. Namun pada variabel kesiapan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pretes dan postes.

Analisis deskriptif menunjukkan bahwa subjek penelitian merasakan kegunaan dan efektifitas empathic love therapy yang berhubungan dengan fisiologis, afeksi, proses diri sendiri, dan juga berhubungan dengan orang lain atau lingkungan.

(17)

15

Berdasarkan ketiga analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa empathic

love therapy dapat mengantarkan individu mencapai pada kondisi cinta empatik.

Kemudian, analisis statistik menunjukkan bahwa empathic love therapy efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif namun tidak efektif menigkatkan kesiapan guru di sekolah inklusi. Secara deskriptif, subjek penelitian mampu merasakan manfaat terapi baik bagi dirinya dan pengaruhnya bagi orang lain.

KETERBATASAN PENELITIAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan sebelum pengambilan data terbukti pada satu variabel tergantung saja yaitu kesejahteraan subjektif. Artinya, empathic love therapy efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif namun tidak efektif meningkatkan kesiapan guru di sekolah inklusi. Hasil ini dilatarbelakangi keterbatasan penelitian yaitu skala kesiapan guru yang lebih banyak mencakup kompetensi teknis dan kolaboratif yang kurang dapat terfasilitasi melalui empathic love therapy. Selain itu, penelitian ini tidak melakukan ujicoba skala terlebih dahulu sehingga faktor perbedaan karakter subjek penelitian tidak dapat diantisipasi.

SARAN

1. Bagi Guru di Sekolah Inklusi

Guru Pendamping Khusus (GPK) yang telah mengikuti empathic love therapy dapat menyampaikan pengalaman cinta empatiknya kepada GPK yang lain. Bagi GPK lain dapat belajar tentang bagaimana penerimaan dan mencintai diri sendiri dapat membantu mengantarkan pada mencintai orang lain khususnya anak berkebutuhan khusus.

2. Bagi Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta

Dalam konteks sekolah inklusi, kondisi cinta empatik ini dapat memberikan efek dan kosmos positif bagi anak dan sesama guru di sekolah inklusi. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dapat menindaklanjuti untuk melakukan

(18)

16 3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Data deskriptif yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data empirik yang sangat kaya yang dapat dikembangkan dalam penelitian selanjutnya. Peneliti lain dapat menggunakan data ini sebagai dasar untuk mengembangkan penelitian berikutnya. Hasil temuan pada penelitian berikutnya dapat disampaikan kepada peneliti dan tim penelitian empathic love therapy guna terus mengembangkan modul ELT dan kajian psikologi transpersonal.untuk mencapai jiwa-jiwa yang sehat dan penuh cinta.

(19)

17

DAFTAR PUSTAKA

_____________. (2012). Jogja Kota Inklusif. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 4 September 2012 hal 2.

Ariati, J. (2010). Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) Dan Kepuasan Kerja Pada Staf Pengajar (Dosen) Di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Undip , 117-123.

Assagioli, R. (1965). Psychosynthesis: A Manual of Principles and Techniques. USA: Penguin Books.

Assagioli, R. (1973). The Act of Will. USA: Penguin Books.

Assagioli, R. (1974). Training. Italy: Florence.

Avramidis, E., Bayliss, P., & Burden, R. (2000). Student teachers’ attitudes towardsthe inclusion of children with special educational needs in the ordinary school. Teaching and Teacher Education , 277-293.

Aznam, N., Oktafiana, S., & Utami, S. (2013). Teaching in Differentiation and

Learning Strategies:Implementation of Science in an Inclusive School, SMP Tumbuh Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: Yogyakarta State

University.

Azwar, S. (2009). Metode Penelitian (Cetakan IX). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Boer, A. D., Pijl, S., & Minnaert, A. (2010). Regular primary schoolteachers’ attitude towards inclusive education: a review of the literature.

International Journal of Inclusive Education , 1-24.

Brady, K., & Woolfson, L. (2008). What teacher factors influence their attributions for children’s difficulties in learning? British Journal of

Educational Psychology , 527-544.

Brown, K., Ryan, R., & Creswell, J. (2007). Mindfulness: Theoretical foundation and evidence for its salutary effects. Psychology Inq , 211-237.

Campanella, F., Crescentini, C., Urgesi, C., & Frabbo, F. (2014). Mindfulness-oriented meditation improves self-related character scales in healthy individuals. Comprehensive Psychiatry , 1269-1278.

Chan, D. W. (2013). Subjective well-being of Hong Kong Chinese teachers: The contribution of gratitude, forgiveness, and the orientations to happiness.

(20)

18

Clark, C. (1986). Advances of Research on Teacher Thinking . Lisse: Swets&Zeitlinger.

Diener, E. (2000). Culture and Subjective Wellbeing. MIT Press.

Diener, E. (1984). Subjective Well-Being. Psychological Bulletin , 95 (3), 542-575.

Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. (2002). Subjective Wellbeing: The science of happiness and life satisfaction. In C. Snyder, & S. Lopez, Handbook of

positive psychology (pp. 63-73). Oxford, UK: Oxford University Press.

Feirman, N. (1983). Learning to Teach. In S. &. Shykes, Handbook of Teaching

and Policy (pp. 150-170). New York: Longman.

Firman, J., & Gila, A. (2002). A Psychology of The Spirit. USA: State University of New York Press.

Firman, J., & Gila, A. (2007). Assagioli's Seven Core Concepts for

Psychosynthesis Training. California: Psychosynthesis Palo Alto.

Firman, J., & Gila, A. (2010). Psychotherapy of Love. USA: State University of New York Press.

Hadi, S. (2004). Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hidayati, F. (2013). Self Compassion (welas asih): sebuah alternatif konsep transpersonal tentang sehat spiritual menuju diri yang utuh. spiritualitas

dan psikologi kesehatan (pp. 48-65). Semarang: Unika Soegijapranata.

Indonesia, L. N. (2003, Juli 8). uusisdiknas2003. Retrieved January 30, 2014, from hukumonline: www.hukumonline.com

Irenewaty, T. (2007). Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di SMA

Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Yogyakarta.

Irenewaty, T. (2008). Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di SMA

Muhammadiyah 4 Yogyakarta. Retrieved February 12, 2014, from

Yogyakarta State University: http://www.staff.uny.ac.id

Ishartiwi. (2010). Implementasi Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan dalam Sistem Persekolahan Nasional. Jurnal JPK , 6.

(21)

19

Korthagen, F. A. (2004). In Search of the essence of a good teacher: towards a more holistic approach in teacher education. teaching and teacher

education , 77-97.

Korthagen, F. A. (2004). In Search of the Essence of A Good Teacher: Towards A More Holistic in Teacher Education. Teaching and Teacher Education 20 , 77-79.

Kota, Y. D. (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kota

Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta.

lowyck, j. (1978). procesanalyse can het onderwijsgedrag [process analysis of

teaching behavior]. Leuven: Universiteit Leuven.

Lowyck, J. (1978). Process Analysis of Teaching Behavior. Leuven: Universiteit Leuven.

Lowyck, J. (1978). Process Analysis of Teaching Behavior. Leuven: Universiteit Leuven.

MacFarlane, K., & Woolfson, L. M. (2013). Teacher attitudes and behavior toward the inclusion of children with social,emotional and behavioral difficulties in mainstream schools: An application of the theory of planned behavior. Teaching and Teacher Education , 46-52.

Maslow, A. (1968). Toward a psychology of being (2nd ed). Princenton, NJ: Van Nostrand.

Mayor, F. (1994). The Salamnca Statement and Framework for Action on Special

Needs Education. Salamanca Spain: Unesco and Ministry of Education

and Science Spain.

Namrata. (2011). Teachers’ beliefs and expectations towards marginalized children in classroom setting: a qualitative analysis. Procedia Social and

Behavioral Sciences , 850-853.

Parwoto. (2007). Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Prabowo, H. (2007). Mengembangkan Model Psikoterapi Transpersonal. PESAT

(Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) (pp. 859-864). Jakarta:

Universitas Gunadharma.

(22)

20

Prabowo, H. (2998). Tema-tema Subkepribadian dalam Psikologi Transpersonal.

Jurnal Psikologi (2) , 84-90.

Rosada, A., & Oktafiana, S. (2013). Celebrating Diversity, Embracing Culture: a Study to Evaluate How Inclusive School Community Conducts Inclusive Education in Promoting Inclusive Values. Biennial Conference of Asian

Association of Social Psychology (p. 157). Yogyakarta: Gadjah Mada

University.

Rueffler, M. (1995). Para pemain dalam diri kita: sebuah pendekatan

transpersonal dalam terapi. Jakarta: Batavia Press.

Rueffler, M. (1995). Para pemain dalam diri kita: sebuah pendekatan

transpersonal dalam terapi. Jakarta: Batavia Press.

Rueffler, M. (1995). Para pemain dalam diri kita: sebuah pendekatan

transpersonal dalam terapi. Jakarta: Batavia Press.

Sarjilah. (2013). Makna Pengembangan Manusia Pada Pelatihan Guru. Yogyakarta: Widyaiswara LPMP.

SekNeg, R. I. (2003). Undang-undang Negara Republik Indonesia No 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sekertaris Negara

Republik Indonesia.

Shadish, W. C. (2002). Experimental and Quasi-Experimental Designs for

Generalized Causal Inference. New York: Houghton Mifflin.

Sudibyo, B. (2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No 70

Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif. Jakarta: Kementrian Republik

Indonesia.

Susanto, R. (2013, Januari 10). UNY. Retrieved February 3, 2014, from Universitas Negeri Yogyakarta: http://www.eprints.uny.ac.id/9416/

UN, G. A. (2009). Convention on the Rights of the Child. New York: United Nations Treaty Series.

UNESCO. (1994). The Salamanca statement and framework for action on special

needs education. New York: UNESCO.

Utami, M. S. (2009). Religiosity, Religious Coping, dan Subjective Well Being

(23)

21

Widhiarso, W. (2014, November 11). Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar. Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.

Widiasti, D. I. (2013). Tingkat kesiapan sekolah dalam implementasi pendidikan

anak berkebutuhan khusus. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Semarang.

Widodo, A. (2012, September 12). Jogja Inclusive City. Retrieved February 3, 2013, from Dinas Pendidikan Kota Jogja: www.jogjakota.go.id

Woolfson, L., & Brady, K. (2009). An investigation of factors impacting on mainstream teachers’ beliefs about teaching students with learning difficulties. Educational Psychology , 221-238.

Yogyakarta, P. K. (2008). Peraturan Walikota Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Kota Yogyakarta.

Yogyakarta., P. K. (2008). Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 47 Tahun 2008

tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Yogyakarta: Sekertaris

Gambar

Grafik 1: Manipulation Check_Model 1_15 aspek

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara self esteem dengan orientasi masa depan pada siswa SMA kelas XI di SMA Negeri

Atas dasar itu diperlukan suatu cara yang tepat untuk mengatasi kesulitan siswa yaitu dengan mengembangkan LKS dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Penggunaan hutang yang berlebih akan berdampak buruk bagi perusahaan, seperti terjadinya biaya kebangkrutan (financial distress). Ukuran perusahaan dengan indikator ln

Hasil pengujian dengan SPSS untuk variabel Tngibel (X1) terhadap Kepuasan pelanggan (Y) diperoleh nilai t hitung = 2.412 dengan tingkat signifikansi 1,98609 .Berdasarkan

Pengawasan ini dilakukan berdasrkan ketentuan undaang- undang yang berlaku di Indonesia yaitu yang tertuang dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 tahun

didik atau mahasiswa, tenaga kependidikan atau Guru, kurikulum, strategi pembelajaran, media pengajaran dan evaluasi pengajaran (Hamalik, 2008, hlm. Seiring dengan semakin

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana / S1 pada Departemen / Program Studi

Karantina Ikan Yang Baik dengan kriteria C kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil