• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Seiring berjalannya waktu, Kota Semarang yang juga sebagai ibukota Propinsi Jawa Tengah terus mengalami perkembangan fisik kekotaan. Dengan fokus pengembangannya dalam perindustrian dan perdagangan semakin menambah pesat perkembangan kota ini. Namun pada kenyataannya kota ini masih tergolong jenis over bounded city, yang menurut Yunus (2005) sebagian besar kenampakan fisik kekotaan berada dalam batas administrasi kota. Yakni masih terdapat banyak daerah pada beberapa kecamatan yang kenampakan fisiknya tergolong belum mencerminkan sebuah kondisi kekotaan. Beberapa kecamatan-kecamatan tersebut salah satunya adalah Kecamatan Gunung Pati, Mijen, dan Ngaliyan.

Dikarenakan aspek demografis dan aktivitas manusia yang semakin meningkat, kota ini semakin melebarkan kenampakan fisik kekotaannya dengan terurbanisasinya daerah-daerah yang belum terjamah oleh pembangunan. Daerah pusat kota sudah padat dengan bermacam bangunan dengan fungsi dan kegiatannya, dimana terdapat pusat pemerintahan, baik itu dari Kota Semarang maupun Propinsi Jawa Tengah, kemudian terdapat CBD, permukiman padat, dan pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar di sana. Oleh karena itu dalam ekspansi kekotaannya dalam rangka memenuhi kebutuhan lahan yang semakin meningkat, cenderung mengarah ke daerah-daerah perbatasan kota yang masih minim lahan terbangunnya.

Kota Semarang mempunyai dua sebutan yang terkesan memisahkan Kota Semarang itu sendiri menjadi dua bagian. Yakni kota atas dan kota bawah. Sebenarnya sebutan itu tidaklah resmi ada, namun masyarakat setempat sangat lazim menyebutnya demikian. Hal tersebut dikarenakan dari segi fisik geomorfologisnya, Kota Semarang ini menempati dua bagian bentuklahan yang jauh berbeda ketinggiannya, dipisahkan oleh sebuah bukit yang relatif terjal. Di daerah bawah terdapat kumpulan Central Bussiness District (CBD)

(2)

dan pusat pemerintahan, yang lazim disebut sebagai kota bawah. Kemudian pada daerah atas, yang diantaranya adalah kecamatan Banyumanik dan Tembalang sudah lazim disebut sebagai kota atas.

Kota atas ini adalah secara historis adalah sebuah bentuk dari ekspansi kekotaan dari pusat kota yang ada di Semarang bagian bawah. Hal ini bermula di awal tahun 1980-an dimana pada Kecamatan Banyumanik dibangun sebuah perumahan rakyat, yakni Perumnas Banyumanik yang tentunya di dalam perumahan tersebut juga diberikan berbagai fasilitas penunjangnya. Ditambah lagi pada awal 1990-an di kecamatan Tembalang ditempatkan gedung baru kampus Universitas Diponegoro. Hal tersebut menjadikan daerah kota atas yang hanya dalam waktu yang singkat saja sudah mengalami perkembangan fisik kekotaan yang amat pesat. Terdapat pembangunan yang sangat cepat, terutama dari masyarakat dan pengusaha setempat dalam mengembangkan kegiatannya. Sampai-sampai sekarang ini pada Kecamatan Banyumanik memiliki dua buah mal yang terbangun di sana. Aktivitas dan kegiatannya yang ramai membuat daerah ini sudah layak untuk dapat dikatakan sebagai sebuah pusat pertumbuhan baru.

Bentuk ekspansi kekotaan ini disebut urban sprawl, seperti yang disebutkan oleh Yunus (2006) bahwa urban sprawl merupakan suatu proses perembetan kenampakan fisikal kekotaan, yang pada umumnya nampak bergerak ke arah luar dari kenampakan kekotaan terbangun. Kemudian menurut Pitzl, (2004) dalam Encyclopedia of Human Geography menyatakan hal yang sama namun lebih menekankan mengenai perembetan kota yang tidak terencana, kutipannya adalah sebagai berikut:

Urban sprawl is the unplanned expansion of urban and suburban development (structures and activities) onto adjacent rural land. The expansion may be in the form of residential developments, office complexes, business parks, or industrial centers.

Dimana urban sprawl merupakan sebuah ekspansi pembangunan kota dan pinggirannya baik itu struktur dan aktivitasnya secara tidak terencana dari sebuah lahan yang masih bersifat perdesaan.

(3)

Namun dalam mencari daerah-daerah yang mengalami urban sprawl, pada penelitian ini tidak hanya dilakukan pada kecamatan-kecamatan yang diindikasikan mengalami urban sprawl saja, melainkan keseluruhan Kota Semarang. Dimana akan dicari kelurahan-kelurahan mana saja yang mengalami urban sprawl intensif. Dan juga akan digunakan peta penggunaan lahan eksisting dari interpretasi citra penginderaan jauh sebagai penguat asumsi, yang juga dipakai sebagai alat untuk melihat tipe urban sprawl yang terjadi, dengan begitu maka dapat dipahami karakteristik dari urban sprawl yang terjadi. Di daerah yang terindikasi urban sprawl itu akan dicari tahu mengenai kesesuaiannya terhadap peruntukan ruang wilayah yang ada.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Perkembangan kota tentunya akan membawa sebuah pembangunan fisik kekotaan yang di satu sisi dapat memajukan peradaban manusia, namun pada sisi lainnya juga dapat menimbulkan berbagai dampak yang merugikan lingkungan dan manusia yang menempatinya. Kecenderungan perembetan kota yang tidak terencana akan menimbulkan suatu pembangunan kota yang tidak terkontrol dan berujung pada ketidaksesuaiannya dengan arahan peruntukan ruang wilayah yang telah direncanakan sebelumnya. Oleh sebab itu dimungkinkan akan muncul dampak-dampak lain yang terkait dengan aspek fisik, sosial dan ekonomi pada daerah yang mengalami proses perembetan tersebut. Yang dikarenakan perkembangan suatu kota tidak hanya mengenai perkembangan fisiknya saja namun juga mengenai aktivitas dan kegiatan manusia yang ada di sana.

Proses perembetan kota tentunya sebagian besar akan terjadi pada daerah-daerah pinggiran kota yang umumnya masih dominan akan lahan pertanian serta lahan kosong yang minim bangunan, daerah tersebut disebut sebagai urban fringe. Karena daerah urban fringe berada di antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan maka konsekuensi spasial yang muncul selalu terkait dengan kepentingan kekotaan dan kepentingan kedesaan (Yunus, 2006).

(4)

Oleh karena itu permasalahan mengenai urban sprawl ini jika tidak terkelola dengan baik ternyata tidak hanya akan menimbulkan masalah bagi daerah urban fringe dan daerah perdesaan disekitarnya saja, namun juga dapat menimbulkan masalah bagi pusat kota itu sendiri. Yakni pada daerah urban fringe dan daerah perdesaan disekitarnya akan mengalami penurunan kualitas lingkungan, penurunan produktivitas pertanian, fragmentasi lahan yang semakin tinggi, begitu pula dengan maraknya spekulasi lahan. Sedangkan pada daerah pusat kota dan perkotaan dampaknya adalah mengenai proses perencanaan pembangunan yang semakin susah untuk diimplemetasikan, menipisnya energi listrik dengan konsumen yang semakin bertambah, tempat publik dan green space yang semakin berkurang, serta munculnya slum akibat semakin susahnya mencari lahan untuk bertempat tinggal. Sisi negatif yang dihindari dari sebuah pembangunan kota ialah suatu pembangunan yang tidak bersifat sustainable, yakni yang tidak sesuai dengan aturan pembangunan kota yang baik dan berkelanjutan.

Pemerintah membuat suatu rancangan tata ruang kota untuk jangka waktu dua puluh tahun melalui berbagai kriteria dan alasan tertentu. Oleh sebab itu setidaknya dalam jangka waktu itu tata ruang kota harus dipertahankan sesuai apa yang ada dalam RDTRK. Kesesuaian antara penggunaan lahan yang terjadi dengan RDTRK harus diakui memang adalah sebuah tantangan besar bagi para perencana kota, dan para pemerhati kota. Namun kesesuaian tersebut tetap harus dipatuhi untuk menciptakan sebuah perkembangan kota yang teratur, terencana, dan berkelanjutan baik itu dari segi fisik maupun sosial.

Urban sprawl merupakan hal tidak dapat terelakkan yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan budaya konsumerisme perkotaan. Begitu pula permasalahan lingkungan yang terjadi olehnya. Penting untuk dapat memahami sifat sebuah kota dan kehidupan yang berada di dalamnya melalui pemahaman baru untuk mencapai penghidupan yang lebih baik dan menjaga keindahan lingkungan yang ada (Ingersoll, 2006). Namun pada akhirnya ekspansi kekotaan tidak selalu berdampak negatif. Dimana menurut Herbert dan Thomas (1982) perkembangan fisik kota apabila terlalu dibatasi juga dapat

(5)

menimbulkan berbagai masalah baru seperti kepadatan yang memacetkan, kriminalitas yang semakin tinggi, serta polusi yang semakin menyesakkan dikarenakan besarnya konsentrasi dari sebuah populasi manusia di suatu tempat.

Di sinilah letak kearifan yang harus dilakukan oleh para pemerhati kekotaan dimana perkembangan kota tidak mungkin dihentikan. Karena menghentikan perkembangan kota berarti menghentikan perkembangan peradaban itu sendiri dan hal ini adalah suatu kemustahilan (Yunus, 2006). Perkembangan suatu kota harus dapat dikelola dengan baik dan seksama, untuk menciptakan sebuah kota yang berkembang secara sustainable demi kelangsungan perkembangan kota itu sendiri serta tanpa mengganggu kelangsungan perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya.

Dari permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian untuk mencapai tujuan peneliian sebagai berikut:

1. Seperti apakah arah urban sprawl Kota Semarang secara umum? 2. Seperti apakah karakteristik urban sprawl yang terjadi pada Kota

Semarang? Yang meliputi variasi tingkat, kecenderungan arah dan tipe urban sprawl?

3. Bagaimanakah perubahan karakteristik kekotaan pada wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat urban sprawl tinggi dan bagaimana pula pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai tingkat kesesuaian terhadap RDTRK yang rendah?

4. Seperti apakah penyimpangan penggunaan lahan eksisting dari RDTRK yang ada? Pada wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat urban sprawl tinggi dan bagaimana pula dengan wilayah-wilayah yang memiliki nilai tingkat kesesuaian terhadap RDTRK yang rendah?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengidentifikasi urban srpawl Kota Semarang secara umum pada tahun 1992-2000

(6)

2. Mengidentifikasi karakteristik urban sprawl, yang meliputi tingkat, arah, dan tipe urban sprawl yang terjadi pada Kota Semarang 2000-2009

3. Mengkaji perkembangan perubahan karakteristik kekotaan pada wilayah yang memiliki tingkat urban sprawl tinggi dan juga pada wilayah yang memiliki tingkat kesesuaian terhadap RDTRK yang rendah di Kota Semarang 2000-2009

4. Mengevaluasi penyimpangan penggunaan lahan antara perkembangan fisik kekotaan dengan rencana tata ruang kota. Pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat urban sprawl tinggi dan juga pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kesesuaian terhadap RDTRK rendah di Kota Semarang.

1.4. KEGUNAAN PENELITIAN

1. Dapat memberikan pemahaman mengenai dampak-dampak dari sebuah perkembangan kota, baik itu dari segi positif maupun negatif

2. Dapat dijadikan sebuah rekomendasi dalam perencanaan pembangunan wilayah terutama mengenai wilayah-wilayah mana sajakah yang riskan dan tidak sesuai dengan RDTRK apabila terdapat urban sprawl di sana 3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan referensi bagi

penelitian selanjutnya yang sejenis, sehingga kajian akan tema ini semakin bertambah kaya dan komprehensif.

1.5. TINJAUAN PUSTAKA 1.5.1. Kota

Kota memiliki beberapa pengertian dan definisi menurut dari segi apa kota itu ditinjau. Bintarto (1977) mendefinisikan kota dalam tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, dengan corak kehidupan yang heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya. Tinjauan tersebut merupakan batasan kota dari segi sosial. Yunus (2005) menggunakan 6 perspektif untuk memahami pengertian kota, yaitu matra yuridis administratif, fisik morfologis, jumlah

(7)

penduduk, kepadatan penduduk, fungsi dalam wilayah organik, dan sosial-ekonomi.

Kota ditinjau dari segi yuridis administratif, yakni mengenai batasan kekotaan berdasarkan undang-undang yang diatur oleh keputusan negara. Batasan dari segi administratif ini tidak selalu mencerminkan kondisi kekotaan itu sendiri, karena batas tersebut tidaklah jelas dan tidak terlihat dan tidak begitu berperan dalam membatasi suatu perkembangan kota.

Kemudian segi selanjutnya ialah dilihat dari segi fisik morfologisnya, yakni mengenai kenampakan fisik kekotaannya, dimana lahan terbangunnya lebih banyak dibandingkan lahan pertanian dan lahan terbuka yang ada. Kepadatan bangunan khususnya perumahan yang tinggi, pola jaringan jalan yang kompleks, dalam satuan permukiman yang kompak (contigous) dan relatif besar dari satuan permukiman kedesaan di sekitarnya.

Perspektif kota ditinjau dari jumlah penduduknya didefinisikan sebagai daerah tertentu dalam wilayah negara yang mempunyai aglomerasi jumlah penduduk minimal yang telah ditentukan dan bertempat tinggal pada satuan permukiman yang kompak. Pengertian kota dari perspektif kepadatan penduduk melihat kota sebagai suatu daerah dalam wilayah negara yang ditandai oleh sejumlah kepadatan penduduk minimal tertentu yang tercatat dan teridentifikasi pada satuan pemrukiman yang kompak.

Perspektif selanjutnya yaitu kota ditinjau dari fungsinya dalam suatu wilayah organik dimana wilayah organik adalah suatu bagian tertentu dari permukaan bumi yang dicirikhasi oleh satu kesatuan sistem kegiatan dan kegiatan mana yang mempunyai keterkaitan fungsional satu sama lain yang terjalin sedemikian rupa serta mempunyai satu atau lebih simpul kegiatan.

Pengertian kota menurut Dickinson (dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Suatu kota umumnya selalu mempunyai rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh keadaan fisik sosial.

(8)

1.5.2. Urbanisasi

Urbanisasi, terdapat berbagai argumen yang menyatakan makna yang berbeda-beda dari urbanisasi. Hauser dan Schnore (1967) menyatakan bahwa urbanisasi adalah suatu proses yang bersifat demografis dalam artian proses pengkotaannya adalah kepada manusia itu sendiri. Namun terdapat pula berbagai kalangan yang berpendapat bahwa arti dari urbanisasi itu adalah berkaitan dengan unsur spasial, dimana yang mengalami proses pengkotaan adalah sebuah wilayah. Yang berarti urbanisasi adalah proses pengkotaan dari sebuah wilayah.

1.5.3. Perkembangan Kota

Menurut Ilhami (1988) sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa yang mengalami perkembangan yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa menjadi kota adalah karena desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api, terminal bus dan sebagainya.

Secara morfologi perkembangan kota didasarkan pada areal fisiknya. Percepatan perkembangan fisik kota tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya, hal ini terkait dengan batas administrasi kota dengan batas fisik kotanya. Yunus (2005) mengungkapkan kemungkinan bentukan pola fisik yang terjadi akibat eksistensi hubungan tersebut antara lain:

a. Under Bounded City

Pengertiannya adalah sebagian fisik kekotaan berada jauh diluar batas administrasi kota. Hal ini dapat menyebabkan permasalahan terhadap pengaturan wilayah.

b. Over Bounded City

Kota memiliki kenampakan fisik yang lebih kecil dari batas administrasinya. Masih terdapat area-area yang kurang memiliki kekhasan kenampakan suatu kota. Menurut Yunus (2000) perencanaan tata ruang kota dan kemungkinan perluasannya masih dalam wewenang

(9)

pemerintah kota. Hal yang perlu untuk diperhatikan ialah mengenai konservasi dari lahan-lahan terbuka dan lahan-lahan pertanian yang tersisa di kota tersebut menjadi lahan terbangun. Karena belum tentu dengan mengubahnya menjadi lahan terbangun akan meningkatkan kualitas kota itu sendiri dengan bertambah luasnya kenampakan fisik kekotaanya.

c. True Bounded City

Batas kota koinsiden dengan batas administrasi kota. Dalam hal perencanaan kota, kategori perkembangan fisik ini sangat baik karena keterkaitan penataan ruang yang baik menyebabkan sinkronisasi perencanaan tata ruang kota yang rapi dan tertata.

Peninjauan sejarah perkembangan dan pertumbuhan suatu kota secara spesifik akan menggambarkan proses perkembangan dan pertumbuhan kota, faktor-faktor penggerak perkembangan dan pertumbuhan kota, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat digunakan dalam usaha pengarahan dan penyusunan arah dan besarnya perkembangan dan pertumbuhan kota. Studi sejarah perkembangan dan pertumbuhan kota yang spesifik merupakan bagian penting dalam penentuan kebijaksanaan dan pertimbangan perencanaan untuk perkembangan kota tersebut di masa mendatang. Dari sejarah mengenai perkembangan dan pertumbuhan kota dapat dianalisa apakah pola kecenderungan perkembangan dan pertumbuhan yang berlaku saat ini mempunyai nilai yang negatif ataukah positif untuk perkembangan kota selanjutnya. Apabila sifat dari pola dan kecenderungan perkembangan dan pertumbuhan kota itu negatif maka didalam kebijaksanaan perencanaannya perlu pengarahan kearah lain sedemikian rupa sehingga perkembangan dan pertumbuhannya dapat diarahkan kepada usaha-usaha perbaikan.

Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi oleh stuasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara komprehensif. Namun beberapa unsur

(10)

eksternal yang menonjol juga dapat mempengaruhi perkembangan kota. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi perkembangan kota adalah : a. Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota

yang berfungsi sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul jalur transportasi, dipertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut. Kota pantai, misalnya akan cenederung berbentuk setengah lingkaran, dengan pusat lingkaran adalah pelabuhan laut.

b. Tapak (site) merupakan faktor-faktor ke dua yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi. Kota yang berlokasi didataran yang rata akan mudah berkembang kesemua arah, sedangkan yang berlokasi dipegunungan biasanya mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh perkembangan kota.

c. Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan, kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi lainnya;

d. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karekteristik fisik dan sifat masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat tertentu yang karena kepercayaan dihindari untuk perkembangan tertentu.

Unsur-unsur umum seperti misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota kearah tertentu.

(11)

1.5.4. Urban Fringe

Daerah pinggiran kota tersebut dinamakan urban fringe dimana pada daerah tersebut terdapat beberapa masalahnya tersendiri, seperti contohnya yang disebutkan oleh Yunus (2006) bahwa hilangnya lahan pertanian subur produktif dan beririgasi teknis kebanyakan terjadi di daerah urban fringe. Spekulasi dan desakan dari pengembang membuat pemilik lahan di daerah urban fringe sering tidak bisa menolak apa yang diminta. Sehingga kenampakan fisik kekotaan semakin melebar, meluas, seiring dengan bertambahnya kebutuhan, aktivitas dan kegiatan manusia di pusat kota.

Sedangkan pengertian urban fringe ini sedikit berbeda pengertiannya dengan desakota yang menurut Koestoer (1997) desakota adalah dimana wilayahnya tidak dapat digolongkan sebagai kota atau desa. Wilayah desakota pada dasarnya merupakan daerah pinggiran kota. Yang umumnya terletak sepanjang koridor antara pusat kota besar.

1.5.5. Urban sprawl

Urban sprawl adalah suatu proses perembetan kenampakan kekotaan yang merupakan hasil dari perkembangan sebuah kota. Yang dalam prosesnya tersebut mencakup berubahnya lahan terbuka menjadi lahan terbangun.

Menurut Northam dalam Yunus (2000), urban sprawl adalah area hasil perluasan dari konsentrasi kota melampaui keadaan yang ada sebelumnya. Begitu pula menurut Domouchel dalam Yunus (2000) menyatakan hal yang sama, namun dengan penekanan terjadinya urban sprawl berada pada daerah urban fringe.

Secara bijak, makna kata urban sprawl tidak dapat dipaksakan sebagai arti yang harus bermakna perembetan kenampakan kekotaan secara fisikal. Seperti yang diutarakan oleh Yunus (2000), bahwa secara harfiah urban sprawl berarti perembetan (sprawl) kekotaan (urban), namun demikian harus dipahami secara lebih hati-hati bahwa kata kekotaan sebagai kata sifat,

(12)

mempunyai makna yang sangat luas. Pengertian kekotaan dapat bermakna sebagai sesuatu yang bersifat non-fisikal juga dapat bermakna fisikal. Sebagai contoh pengertian kata kekotaan dalam artian non fisikal adalah pengertiannya dalam arti sosial, ekonomi dan budaya. Dan begitu pula makna dari urban sprawl tidak berarti harus merupakan perembetan kenampakan fisik kekotaan saja, namun bisa juga berbagai aspek lain yang biasanya menyertai kenampakan fisik kekotaan itu.

1.5.6. Teori Perkembangan Kota

Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :

a. Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development).

Gambar 1.1 Model Penjalaran Fisik Kota Secara Konsentris Sumber: Northam dalam Yunus (1994)

b. Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).

Gambar 1.2. Model Penjalaran Fisik Kota Secara Memanjang/Linier Sumber: Northam dalam Yunus (1994)

Inti kota

Perkembangan lahan perkotaan yang baru

Inti kota

Perkembangan lahan perkotaan yang baru

(13)

c. Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board development).

Gambar 1.3. Model Penjalaran Fisik Kota Secara Meloncat Sumber: Northam dalam Yunus (1994)

Teori perkembangan kota lainnya yaitu Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994). Teori tersebut menjelaskan bahwa daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi. Teori ini sama dengan teori yang dikemukakan oleh Northam untuk jenis perkembangan kota dengan penjalaran fisik memanjang/linier.

Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut : a. Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain

perluasannya akan mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan berbentuk bintang (star shape).

b. Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar. c. Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar

kota inti atau disebut dengan konurbasi.

Inti kota

Perkembangan lahan perkotaan yang baru

(14)

1.5.7. Perubahan Penggunaan Lahan

Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan penggunaan penggunaan lahan.

Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Kecenderungan perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu. Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah, baik pada penutup lahan maupun lokasinya (Murcharke, 1990).

Perubahan penggunaan lahan di daerah perkotaan cenderung berubah dalam rangka memenuhi kebutuhan sektor jasa dan komersial. Menurut Cullingswoth (1997), perubahan penggunaan lahan yang cepat di perkotaan dipengaruhi oleh empat faktor, yakni: (a) adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya; (b) aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota; (c) jaringan jalan dan sarana transportasi, dan; (d) orbitasi, yakni jarak yang menghubungkan suatu wilayah dengan pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.

(15)

1.5.8. Tata Ruang

Ruang secara umum didefinisikan sebagai tempat manusia dan makhluk hidup lainnya untuk melaksanakan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Kebutuhan ruang ini semakin lama semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun peningkatan kebutuhan ruang tersebut dihadapkan juga pada permasalahan ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu upaya penataan ruang dalam rangka menyelaraskan kegiatan pemanfaatan lahan dengan perkembangan tingkat kebutuhan akan lahan tersebut. Upaya penataan ruang juga dimaksudkan untuk menjaga sustainabilitas atau keberlanjutan lingkungan dan meminimalkan terjadinya degradasi lahan.

Berdasarkan pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menjelaskan definisi penataan ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini menjelaskan bahwa dalam kegiatan penataan ruang mencakup 3 (tiga) hal utama yaitu:

1. Penyusunan Rencana Tata Ruang

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

2. Pelaksanaan Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Izin Pemanfaatan Ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(16)

Upaya pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan tertib tata ruang.

Dalam upaya penataan ruang terdapat perwujudan struktur dan pola ruang suatu wilayah. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

Luthfi Muta’ali dalam bukunya Penataan Ruang Wilayah dan Kota (Tinjauan Normatif - Teknis) menjelaskan bahwa rangkaian kegiatan penataan ruang pada akhirnya akan diwujudkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang yang harus dilakukan secara terpadu sejak direncanakan, pelaksanaan sampai pada pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini dilakukan agar kegiatan pemanfaatan ruang dapat memberikan hasil yang optimal sekaligus meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik dalam kegiatan pemanfaatan lahan tersebut.

1.5.9. Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)

Dalam rangka mengantisipasi terjadinya kompetisi keruangan, pertumbuhan dan perkembangan ruang di perkotaan maka aspek pengkajian terhadap perencanaan perkotaan mutlak diperlukan. Hal tersebut sesuai dengan amanah dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, di mana setiap provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan perlu menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) merupakan penjabaran dari Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten / Kota ke dalam rencana distribusi pemanfaatan ruang dan bangunan serta bukan bangunan pada kawasan kota. Rencana Detail Tata Ruang berfungsi untuk mengatur dan menata kegiatan fungsional yang direncanakan oleh perencanaan ruang di

(17)

atasnya, dalam upaya mewujudkan ruang yang serasi, seimbang, aman, nyaman dan produktif.

Definisi RDTR sendiri sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007 adalah adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten / kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten / kota. RDTR ini memuat mengenai pembagian zona-zona pemanfaatan ruang, baik itu yang termasuk dalam zona kawasan lindung maupun kawasan budidaya.

Peraturan zonasi didefinisikan dengan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok / peruntukan yang penetapan zonanya terdapat dalam rencana detail tata ruang. Peraturan zonasi termasuk dalam pengendalian pemanfaatan ruang dalam bentuk pelaksanaan penyelenggaraan penataan ruang. Peraturan zonasi disusun sebagai bagian pengendalian pemanfaatan ruang melalui mekanisme insentif dan disinsentif, mekanisme perijinan, pengawasan dan penertiban (Muta’ali, 2013).

1.6. PENELITIAN SEBELUMNYA

Penelitian dengan tema Urban sprawl atau perkembangan fisik perkotaan memang banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Akan tetapi penelitian dengan judul “Urban sprawl di Kota Semarang: Karakteristik dan Evaluasinya terhadap Rencana Detail Tata Ruang Kota” belum pernah dilakukan. Ada tiga (3) judul penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan tema, kajian, objek, maupun metode, akan tetapi secara keseluruhan terdapat perbedaan yang nyata dengan penelitian ini. Sri Rum Giyarsih melakukan penelitian dengan judul “Gejala Urban sprawl Sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta” pada tahun 2008 Tujuan penelitian tersebut adalah untuk (a) mengetahui gejala urban sprawl di daerah pinggiran Kota Yogyakarta; (b) mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat

(18)

membatasi proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Data primer maupun data sekunder dianalisis menggunakan SIG dan analisis deskriptif untuk menjawab tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan gejala urban sprawl di pinggiran Kota Yogyakata mengakibatkan terjadinya densifikasi atau pemadatan permukiman. Hal tersebut berdampak pada kondisi sosial ekonomi, kultural serta lingkungan fisik sehingga perlu tindakan preventif maupun kuratif untuk membatasi bertambah padatnya permukiman di pinggiran kota. Kemiripan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Sri Rum Giyarsih dengan yang dilakukan peneliti hanya pada tema, yakni urban sprawl. Namun, secara jelas perbedaan nyata antara penelitian yang dilakukan keduanya adalah terkait lokasi penelitian, tujuan penelitian, dan metode analisis data.

Penelitian dengan tema urban sprawl juga pernah dilakukan oleh Leon Kolankiewicz dan Roy Beck dengan judul penelitian “Weighing Sprawl Factors in Large U.S. Cities”. Penelitian ini memiliki tujuan (a) mengetahui dua faktor pemicu urban sprawl di Amerika Serikat (AS); (b) mengidentifikasi dan membandingkan fenomena urban sprawl di Detroit dan Los Angles; (c) mengetahui kontribusi masing-masing faktor terhadap keseluruhan sprawl yang terjadi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kota besar di AS menuju tahapan penggunaan lahan perkotaan berlebihan dan berakibat pada urban sprawl yang tak terkendali. Sebanyak 11 kota di AS memiliki pertumbuhan penduduk rendah namun penggunaan lahan perkapita tinggi, 18 kota memiliki pertumbuhan penduduk tinggi namun penggunaan lahan perkapitanya rendah, dan 71 kota memiliki pertumbuhan penduduk dan penggunaan lahan perkapita yang sama-sama tinggi. Akibatnya muncul permasalahan terkait habitat alam, lahan pertanian dan ruang terbuka hijau yang terdesak oleh perkembangan kota. Upaya yang dapat dilakukan yakni dengan penataan penggunaan lahan dan pengaturan kebijakan kependudukan. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan yang dilakukan oleh peneliti cukup jelas, yakni

(19)

terkait lokasi penelitian, tujuan, dan metode analisis data. Kemiripan antara keduanya hanya terletak pada tema penelitian yakni urban sprawl dan penggunaan data sekunder sebagai sumber data utama penelitian. Hal tersebut secara jelas menunjukkan penelitian keduanya berbeda dengan nyata.

Aristiyono Devri Nuryanto pada tahun 2008 melakukan penelitian bertema perkotaan dengan judul “Identifikasi Urban Compactness di Wilayah Metropolitan Semarang”. Tujuan penelitian ini adalah (a) mengidentifikasi indicator compact city berdasarkan konsep dan prinsip keberlanjutan kota di negara berkembang; (b) mengidentifikasi pola dan struktur ruang, densifikasi, persebaran prasarana, guna lahan, dan intensifikasi di Wilayah Metropolitan Semarang; (c) mengklasifiksikan tipologi kecamatan di Wilayah Metropolitan Semarang berdasarkan indikator compact city yang digunakan; (4) mengidentifikasi keterkaitan transportasi terhadap struktur ruang dan tipologi kecamatan Wilayah Metropolitan Semarang berdasarkan indikator compact city. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif-eksplanatori dengan menggunakan data sekunder dan peta sebagai sumber data utama. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis cluster, dan analisis peta menggunakan overlay. Hasil penelitian menunjukkan Wilayah Metropolitan Semarang menunjukkan kekompakan terutama dalam hal kepadatan penduduk dengan intensifikasi yang cukup besar. Akan tetapi proses densifikasi tidak diimbangi dengan ketersediaan fasilitas pelayanan terutama pendidikan dan kesehatan. Gejala urban sprawl dan kekompakan kota yang membentuk klaster di Wilayah Metropolitan Semarang dipengaruhi keberadaan jalan terutama arteri primer. Penelitian yang dilakukan Aristiyono memiliki kemiripan dengan yang dilakukan oleh peneliti, terutama pada tema yakni kajian perkotaan, lokasi penelitian dan analisis peta sebagai salah satu metode analisis. Akan tetapi fokus dan tujuan penelitian keduanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Penelitian yang dilakukan Aristiyono lebih fokus pada identifikasi urban compactness di Wilayah Metropolitan Semarang sedangkan peneliti memfokuskan kajian pada karakteristik urban sprawl dan evaluasinya berdasarkan RDTR Kota Semarang. Analisi peta dalam penelitian Aristiyono hanya digunakan untuk menjawab tujuan

(20)

ke-empat, sedangkan peneliti menggunakan analisis peta sebagai metode analisis utama. Untuk lebih ringkasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

(21)

No Judul Nama Penulis Tujuan Metode Hasil Penelitian 1 Gejala Urban sprawl Sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta.

Sri Rum Giyarsih

a) Mengetahui gejala urban sprawl di daerah pinggiran kota Yogyakarta

b) Mengidentifikasi dampak yang terjadi akibat densifikasi permukiman di pinggiran kota

c) Memberikan arahan kebijakan untuk membatasi proses densifikasi

permukiman di daerah pinggiran kota.

Metode penelitian menggunakan analisis SIG untuk menjawab tujuan pertama, metode wawancara dengan kuesioner untuk menjawab tujuan kedua serta analisis deskriptif untuk menjawab tujuan ketiga.

Gejala urban sprawl di daerah pinggiran kota (urban fringe area) telah mengakibatkan terjadinya proses konversi lahan pertanian ke non pertanian yang mengakibatkan terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota sehingga berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi, kultural serta lingkungan fisik. Untuk mengatasi permasalahan dampak negatif dari proses densifikasi permukiman tersebut perlu segera dilakukan tindakan baik preventif maupun kuratif untuk membatasi proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota

2 Weighing Sprawl

Factors in Large U.S. Cities

Leon

Kolankiewicz dan Roy Beck

a) Mengidentifikasi dua faktor pemicu urban sprawl di AS yakni faktor pertumbuhan penduduk dan faktor pertumbuhan penggunaan lahan perkotaan per kapita b) Mengidentifikasi dan

membandingkan fenomena urban sprawl di Detroit dan Los Angeles

c) Mengetahui kontribusi masing-masing faktor terhadap keseluruhan sprawl yang terjadi

Metode penelitian menggunakan analisis data sekunder yang dikeluarkan oleh instansi terkait. Analisis yang digunakan adalah deksriptif kuantitatif dengan menggunakan diagram dan table.

Rata-rata semua kota besar di AS menuju pada tahapan penggunaan lahan perkotaan secara berlebihan sehingga memacu urban sprawl yang tak terkendali. Terdapat 11 kota dengan tipologi tidak terjadi pertumbuhan penduduk namun penggunaan lahan perkapita tinggi, 18 kota dengan tipologi rendahnya penggunaan lahan perkapita namun pertumbuhan penduduk tinggi dan 71 kota dengan tipologi

pertumbuhan penduduk dan penggunaan lahan perkapita yang tinggi. Akibatnya muncul berbagai persoalan/ bencana yang

(22)

mengancam habitat alam, lahan pertanian, dan ruang terbuka tidak akan dapat dihentikan kecuali melalui upaya-upaya anti-sprawl melalui penataan penggunaan lahan dan pertumbuhan penduduk

3 Identifikasi Urban Compactness di Wilayah Metropolitan Semarang (2008) Aristiyono Devri Nuryanto 1) Mengidentifikasi indikator compact city berdasarkan konsep dan prinsip

keberlanjutan kota di negara berkembang.

2) Mengidentifikasi pola dan struktur ruang densifikasi, persebaran prasarana, guna lahan, dan intensifikasi di Wilayah Metropolitan Semarang dengan menggunakan indikator-indikator compact city. 3) Mengklasifikasikan tipologi

kecamatan di Wilayah Metropolitan Semarang berdasarkan indikator-indikator compact city yang digunakan.

4) Mengidentifikasi keterkaitan transportasi terhadap struktur ruang dan tipologi kecamatan Wilayah Metropolitan Semarang berdasarkan indikator-indikator compact city.

Penelitian ini menggunakan aspek kepadatan, fungsi campuran, dan intensifikasi, kemudian melihat

keterkaitannya dengan transportasi. Studi ini pada dasarnya merupakan penelitian yang bersifat deskriptif-eksplanatori. Pemaparan dilakukan dengan

menggambarkan dan menjelaskan pola spasial urban compactness di Wilayah Metropolitan Semarang untuk menjawab tujuan pertama dan kedua. Klasifikasi tipologi kecamatan menggunakan teknik cluster untuk menjawab tujuan ketiga. Keterkaitannya struktur ruang dan tipologi kecamatan terhadap transportasi dilakukan dengan teknik overlay peta serta akan dijelaskan secara deskriptif untuk menjawab tujuan keempat

Berdasarkan indikator-indikator compact city yang telah ditetapkan dan kemudian dijadikan dasar dalam mengidentifikasi pola spasial urban compactness di Wilayah Metropolitan Semarang, terlihat bahwa secara umum kota inti Wilayah Metropolitan Semarang telah menunjukkan kekompakan terutama dalam hal kepadatan penduduk dengan tingkat

intensifikasi yang cukup besar jika dilihat dari perubahan

kepadatannya. Tetapi proses pemadatan (densifikasi) ini tidak diimbangi dengan pelayanan dan ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik. Bila dilihat dari keterkaitan dengan transportasi, gejala urban sprawl yang terjadi dan kekompakan kota yang membentuk cluster di Wilayah Metropolitan Semarang sangat dipengaruhi oleh keberadaan jalan raya, terutama jalan arteri primer.

(23)

4 Urban sprawl di Kota Semarang: Karakteristik dan Evaluasinya terhadap Rencana Detail Tata Ruang Kota (2013)

Marhensa Aditya Hadi

1) Mengidentifikasi arah perkembangan Kota Semarang secara umum 2) Mengidentifikasi

karakteristik urban sprawl, yang meliputi tingkat, arah, dan tipe urban sprawl yang terjadi pada Kota Semarang 3) Mengkaji perkembangan

perubahan karakteristik kekotaan pada wilayah yang memiliki tingkat urban sprawl tinggi dan juga pada wilayah yang memiliki tingkat kesesuaian terhadap RDTRK yang rendah di Kota Semarang 4) Mengevaluasi

penyimpangan penggunaan lahan antara perkembangan fisik kekotaan dengan rencana tata ruang kota. Pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat urban sprawl tinggi dan juga pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kesesuaian terhadap RDTRK rendah di Kota Semarang.

Analisis kuantitatif pengolahan data sekunder.

Rumusan NDBI-NDVI untuk mendapatkan lahan terbangun Windrose untuk menentukan arah perkembangan kota

Interpretasi citra satelit untuk mendapat kan lahan terbangun secara detail dan penggunaan lahan.

Teknik tumpangsusun peta.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan Kota Semarang secara makro dari tahun 1992 ke 2000 dan tahun 2000 ke 2009 mengarah ke barat dan selatan. Dimana dari 177 kelurahan yang ada terdapat 51 kelurahan dengan nilai urban sprawl yang tinggi dengan sebaran yang merata mengelilingi pusat kota.

Penambahan luas lahan terbangun terbesar terjadi pada zona 10-15 Km dari titik pusat kota. Perubahan terbanyak yakni dari lahan non terbangun menjadi permukiman dan industri, permukiman cenderung mengarah ke timur (Pedurungan) dan selatan (Banyumanik dan Tembalang) dan industri ke arah barat dan utara (Ngaliyan, Tugu dan Mijen). Berdasarkan analisis data yang dilakukan, tingkat kesesuaian antara penggunaan lahan eksisting dengan RDTRK yakni hanya sebesar 22,98 % yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

(24)

1.7. KERANGKA PENELITIAN

Kota Semarang merupakan kota yang dalam perkembangannya dapat dikatakan relatif cepat dan terus mengalami perkembangan, dimana perkembangan fisik kekotaannya lama kelamaan akan terus mengarah pada konversi lahan yang intensif.

Penelitian dimulai dengan melakukan analisis perkembangan Kota Semarang secara umum / makro pada tahun 1992-2000 guna memberi gambaran lebih dalam mengenai perkembangan kota secara makro pada dekade sebelumnya. Dengan didapatkannya gambaran perkembangan kota secara makro di tahun-tahun sebelum tahun 2000, diharapkan dapat mempertajam analisis mengenai karakteristik perkembangan Kota Semarang dari dekade sebelumnya menuju masa sekarang. Semisal apakah arah dan tipe perkembangannya masih dengan tren yang sama pada penelitian detail yang akan berfokus pada tahun 2000 – 2009 yang dilakukan pada tahapan selanjutnya.

Pada penelitian dalam rentang waktu tahun 2000 – 2009, yakni dengan jarak waktu sembilan tahun lamanya. Rentang waktu sembilan tahun dirasa cukup untuk melihat perkembangan Ibukota Jawa Tengah yang terus berkembang ini. Selain itu penelitian pada tahapan ini akan menggunakan unit analisis kelurahan, dimana dengan begitu tingkat kedetailan perkembangannya relatif lebih baik untuk dianalisis walaupun dengan rentang waktu sedemikian. Pada tahun 2000 – 2009 tersebut akan dicari seperti apakah karakteristik urban sprawl yang terjadi.

Pada kajian detail tahun 2000 - 2009 akan diteliti mengenai karakteristik urban sprawl, yang meliputi tingkatan, arah, dan tipe urban sprawl. Dengan dibuat kelas tingkatannya dengan metode standar deviasi, lalu disajikan dalam bentuk spasial berupa peta tingkatan urban sprawl, maka akan terlihat mengenai variasi spasial tingkatan urban sprawl di Kota Semarang. Dari sebarannya yang memiliki nilai sprawl tinggi maka dapat

(25)

ditarik kesimpulan mengenai ke mana arah urban sprawl-nya berlangsung. Lalu jika sebarannya tersebut disandingkan dengan peta penggunaan lahan maka dapat terlihat tipe dari urban sprawl tersebut, apakah itu ribbon, consentric, leapfrog atau gabungan dari ketiganya.

Selanjutnya setelah mengetahui karakteristik dari urban sprawl, akan diteliti mengenai bagaimana dampak urban sprawl yang terjadi itu terhadap rencana tata ruang yang telah direncanakan oleh pemerintah kota. Yaitu dengan melakukan evaluasi seperti apa bentuk ketidaksesuaian perencanaan ruang dalam RDRTK terhadap penggunaan lahan eksisting yang ada. Dilakukan evaluasi pada kelurahan-kelurahan yang menarik untuk dikaji (dipilih dengan analsis tipologi; hanya pada kelurahan-kelurahan dengan nilai urban sprawl tinggi atau kelurahan-kelurahan dengan nilai kesesuaian RDTRK yang rendah) lalu mencoba meneliti perubahan penggunaan lahannya dari tahun 2000 sampai 2009 pada kelurahan-kelurahan tersebut.

Dengan begitu dapat dilihat mengenai seperti apakah bentuk perubahan perkembangan karakteristik kekotaan yang terjadi dikarenakan urban sprawl, dan seesuaikah perubahan karakteristik kekotaan yang telah terjadi di kelurahan-kelurahan dengan tipologi tertentu tersebut terhadap rancangan tata ruang yang ada.

Diharapkan dengan demikian maka akan memudahkan untuk mengkaji mengenai evaluasinya serta saran masukan kebijakan bagi pemerintah dalam mengelola urban sprawl yang dimana tentunya urban sprawl tidak selalu bermakna buruk jika dapat terkelola dengan baik.

(26)

Gambar 1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

Untuk gambaran lebih detailnya dapat dilihat pada Gambar 2.5. yang ada pada Bab II mengenai Kerangka Teknis Alur Penelitian.

1.8. BATASAN OPERASIONAL

1. Urban sprawl merupakan suatu proses perembetan kenampakan fisikal kekotaan, yang pada umumnya nampak bergerak ke arah luar dari kenampakan kekotaan terbangun. Pada penelitian ini tidak ditegaskan bahwa apakah urban sprawl tersebut terencana atau bukan

2. Yang dimaksud karakteristik urban sprawl dalam penelitian ini adalah mengenai tingkatan, arah dan tipe urban sprawl

3. Evaluasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah membandingkan penggunaan lahan eksisting dengan zonasi rencana detail tata ruang

Pemanfaatan Ruang

Ketidaksesuaian Penataan Ruang Dampak Negatif

Perkembangan Fisik Kota

Dampak Negatif

Perkembangan Kota yang Tidak Terkontrol

Perubahan Lahan Produktif menjadi Lahan

Terbangun

Tingkat, Arah dan Tipe Urban sprawl

Instrumen Penataan Ruang

Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)

Semarang

TIPOLOGI: Urban sprawl Tinggi dan

Kesesuaian Rendah

Evaluasi Ketidaksesuaian Perkembangan Kota terhadap

RDTRK pada Tipologi Kajian Perubahan Karakteristik Kekotaan Pada Tipologi. Perkembangan dan Perencanaan Kota

(27)

4. RDTRK yang dibahas dalam penelitian ini berupa pola ruang zonasi yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan / peruntukan ruang dan ketentuan pengendaliannya disusun untuk setiap BWK dan blok yang penetapan zonanya terdapat dalam rencana detail tata ruang

5. Tiap wilayah dalam menyusun RDTRK memiliki matrix yang berbeda mengenai ketentuan ijin kegiatan pemanfaatan ruang dalam zonasi rencana detail tata ruang yang dituangkan dalam laporan dan perda seperti; diijinkan (I), terbatas (T), bersyarat (B) dan tidak diijinkan (X), penelitian ini dalam melakukan evaluasi penggunaan lahan terhadap zonasi rencana detail tata ruang tidak mempertimbangkan matrix tersebut.

Gambar

Gambar 1.3. Model Penjalaran Fisik Kota Secara Meloncat  Sumber: Northam dalam Yunus (1994)
Gambar 1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

37 Tingginya persentase serangan di dataran rendah maupun tinggi diduga karena letak galur G4 di dataran rendah dan G7 di dataran tinggi berada di bagian tepi pada

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Badan, dan Pajak Pertambahan Nilai

Pantai Pulau Bengkalis bagian Barat yang mengalami laju abrasi dan akresi paling tinggi pada kurun waktu tahun 1988 – 2014 .... Laju perubahan garis pantai Pulau Bengkalis bagian

Dari hasil analisa statistik dengan laji Spearman rank menunjukkan bahwa Ho ditolak yang artinya ada hubungan antara kinerja dengan kepuasan kerja perawat di ruang

Kunci pas berfungsi untuk membuka/memasang baut/mur yang tidak terlalu kuat momen pengencangannya dan juga untuk melepas baut yang sudah dikendorkan dengan kunci

i. Wajibnya mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah. Allah Ta’ala disifati dengan kehidupan yang sempurna yang tidak didahului ketiadaan dan tidak diakhiri

4.1 Unit Hydrograf Observasi dan SCS Pada penelitian ini dihasilkan unit hydrograf observasi dari 9 buah DAS di Propinsi Jawa Barat yang merupakan sub DAS dari

Laporan Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya pada jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Mesin Universitas