• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bahasan mengenai degradasi dan resiliensi (resilience) merupakan hal penting, karena terkait dengan sistim penggunaan lahan secara lestari. Bahasan tersebut merupakan salah satu kesimpulan dari AGENDA 21, bahwa resiliensi sumberdaya alam merupakan landasan untuk restorasi ekosistem. Agenda 21 adalah program kerja yang dihasilkan pada KTT Bumi di Brasilia pada tahun 1992.

Pengertian Degradasi Tanah

Degradasi tanah umumnya menyebabkan memburuknya sifat-sifat tanah antara lain: memicu memburuknya sifat fisik dan kimia tanah (Armanto 2001; Driessen et al. 1976; Handayani 1999; Tian 1998), juga memacu hilangnya keragaman hayati tanah (Elliot dan Lynch 1994; Lavelle et al. 1994; Tian 1998) dan menyebabkan penurunan produksi tanaman (McAlister et al. 1998; Eswaran et al. 2001).

Degradasi tanah adalah suatu proses penurunan kemampuan potensial tanah saat ini untuk menghasilkan barang dan jasa (FAO 1977). Sedangkan pengertian degradasi lahan menurut Wood (1983 dalam FAO 1992) adalah suatu proses yang mengakibatkan pemburukan (deterioration) melalui penurunan ketebalan atau kualitas tanah sebagai akibat aksi air, angin, gravitasi, dan suhu yang ditunjukkan melalui penurunan produktivitas vegetasi sebagai pendukung lahan baik secara kualitas dan kuantitas pada masa sekarang atau akan datang.

Penelitian-penelitian yang dilakukan umumnya menunjukkan bahwa pembukaan lahan hutan untuk berbagai penggunaan pertanian maupun non

(2)

pertanian akan menurunkan sifat-sifat tanah, baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah (Islam dan Weil 2000; Lal 1997; McAlister et al. 1998; Tian et al. 2001).

Klasifikasi degradasi lahan yang digunakan Lanya (1996) juga menekankan kepada faktor eksternal yaitu pengelolaan lahan secara terus menerus pada wilayah transmigrasi, semakin lama lahan diusahakan maka tingkatan degradasi akan semakin besar. Hal ini juga dipengaruhi oleh pola pengelolaan di wilayah transmigrasi yang umumnya teknologi rendah dan tanpa input.

Faktor eksternal penyebab degradasi tanah umumnya terdiri dari lima faktor yaitu: deforestasi dan kehilangan vegetasi alami, penggembalaan berlebihan, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan terhadap vegetasi untuk keperluan rumah tangga, dan aktivitas industri (Dent 1993; Lal 1986; Lynden dan Oldeman 1997; Oldeman 1994a,b).

Menurut Suwardjo dan Neneng (1994), lokasi degradasi lahan di Indonesia kebanyakan terdapat di areal pertanian lahan kering, dengan alasan utama erosi tanah dan pengelolaan lahan yang tidak tepat. Lahan terdegradasi di Indonesia dikenal juga sebagai lahan kritis, beberapa ciri-ciri yang mudah dilihat antara lain: lahan berlereng curam (> 45%), vegetasi belukar, rumput, alang-alang hingga bongkor, terjadinya erosi dalam berbagai tingkatan.

Lahan pertanian kritis Kalimantan Tengah berdasarkan data Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (1993 dalam Puslittanak1997) luas keseluruhan mencapai 233.700 ha yang seluruhnya termasuk tingkat kritis. Selain itu data dari BPS (1992 dalam Puslittanak 1997) menyebutkan lahan kritis di dalam kawasan hutan di Kalimantan Tengah mencapai 82.200 ha.

(3)

Tingkatan lahan kritis yang seperti dijumpai di Kalimantan Tengah memiliki ciri-ciri: 1) lahan mengalami erosi berat, di mana tingkat erosi umumnya erosi parit (gully erosion), 2) kedalaman tanah sedang sampai dangkal (kurang dari 60 cm), dengan ketebalan horison A umumnya kurang dari 5 cm, 3) persentase tutupan lahan (vegetasi permanen) antara 25-50 persen, 4) kemiringan lereng antara 15 – 30 persen, 5) kesuburan tanah rendah (Puslittanak, 1997).

Tudingan penyebab degradasi di Kalimantan Tengah umumnya diarahkan kepada pembukaan lahan dengan pembakaran, terutama pada aktivitas pembukaan lahan untuk perladangan. Namun saat ini tuduhan pembakaran lahan juga diarahkan kepada perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.

Pembakaran lahan untuk perladangan berpindah pada dasarnya merupakan pertanian yang berwawasan ekologis, apabila masa bera untuk pemulihan cukup lama sehingga lahan yang telah dibuka dapat kembali lagi menjadi lahan hutan. Namun karena siklus bera makin pendek maka degradasi lahan tidak dapat dihindari. Degradasi pada lahan tersebut akan mencapai puncaknya saat tiba musim hujan. Hujan yang turun pada lahan yang habis terbakar mampu menimbulkan erosi cukup besar.

Penelitian Garcia et al. (2000) menunjukkan bahwa kebakaran lahan intensif menyebabkan erosi sebanyak 4.077 kg ha-1, kebakaran sedang sebesar 3.280 kg ha-1 dan lahan tidak terbakar hanya 73 kg ha-1. Bahan organik dan unsur hara yang hilang sebanding dengan tingkat intensitas kebakaran. Meskipun demikian, kehilangan terbanyak adalah N-NH4+ dan N-NO3- melalui erosi pada

(4)

Pengertian Resiliensi Tanah

Resiliensi secara umum diartikan sebagai kemampuan lahan untuk toleran terhadap agen-agen cekaman (stress) atau perubahan yang menyebabkan memburuknya sifat-sifat tanah ataupun lahan. Agen-agen cekaman yang menurunkan atau menyebabkan memburuknya sifat-sifat tanah dikenal sebagai proses degradasi tanah.

Resiliensi juga diartikan sebagai kemampuan tanah untuk menuju pemulihan kembali baik secara struktural maupun fungsional tanah setelah mengalami perubahan yang bersifat buruk (Lal 1995; Eswaran 1994; Lal 1997). Selain itu menurut Seybold et al. (1999) konsep resiliensi tanah berhubungan dengan kualitas tanah (soil quality) yang merupakan kunci unsur kelestarian.

Resiliensi berasal dari literatur ekologi yang diadopsi di ilmu tanah pada tahun 1990-an, bertujuan untuk keberlanjutan sumberdaya tanah dan melawan degradasi tanah. Resiliensi seringkali diartikan sebagai laju pemulihan kembali (recovery) dan kadang-kadang digunakan juga sebagai petunjuk seberapa banyak waktu yang diperlukan suatu sistem dapat pulih setelah mengalami gangguan atau dikenal juga sebagai elastisitas (elasticity) (Westman 1985 dalam Barrow 1991).

Pemulihan tanah terdegradasi umumnya dilakukan melalui upaya rehabilitasi, dengan demikian pengetahuan tentang sensitivitas, resistensi dan resiliensi tanah merupakan faktor penting bagi restorasi tanah terdegradasi. Lal (2000) menyatakan bahwa dengan mengetahui sifat-sifat resiliensi tanah, maka restorasi tanah terdegradasi dapat dilakukan dengan baik.

Daya resiliensi tanah setelah mengalami cekaman tentunya berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan faktor-faktor internal maupun eksternal. Menurut

(5)

Lal (1994) faktor internal atau endogenous factors berhubungan erat dengan sifat-sifat yang melekat pada tanah tersebut, sedangkan faktor eksternal yang disebut exogenous factors berhubungan dengan faktor di luar sifat tanah yang melekat tersebut.

Beberapa faktor internal di antaranya: kedalaman tanah, rejim kelembaban, tekstur tanah, iklim mikro dan iklim meso, bahan induk, keragaman biota tanah, sedangkan faktor eksternal yaitu: sistem pertanian dan penggunaan lahan, penerapan teknologi, input, dan manajemen.

Klasifikasi resiliensi tanah ternyata tidak jauh berbeda dengan klasifikasi degradasi tanah, yaitu dari persoalan siapa yang mengeluarkan klasifikasi tersebut, kriteria yang digunakan, dan tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian klasifikasi resiliensi lahan wajar apabila banyak ragamnya.

Rozanov (1994 dalam Seybold et al. 1999) mendasarkan resiliensi kepada penggunaan tanah secara kontinyu. Klasifikasi resiliensi tanah tersebut dibagi menjadi dua golongan besar yaitu resiliensi secara umum dan resiliensi khusus. Resiliensi umum tersebut berhubungan dengan penggunaan tanah secara kontinyu pada suatu tanah, sedangkan resiliensi khusus menekankan kepada proses-proses tertentu yang terjadi pada tanah. Kelas resiliensi umum terbagi empat kelas, yaitu: 1) tanpa resiliensi, yaitu tanah yang terpengaruh sangat berat setelah penggunaan kontinyu; 2) resiliensi ringan, yaitu tanah yang terpengaruh berat setelah penggunaan kontinyu; 3) resiliensi sedang, yaitu tanah yang dipengaruhi secara sedang setelah penggunaan lahan secara kontinyu; 4) resiliensi tinggi, yaitu tanah yang tidak atau sedikit terpengaruh oleh penggunaan kontinyu. Klasifikasi resiliensi khusus yang umumnya didasarkan aspek kimia tanah disebutkan ada

(6)

tiga jenis, yaitu: 1) resiliensi tanah terhadap salinisasi, 2) resiliensi tanah terhadap sodifikasi, 3) resiliensi tanah terhadap asidifikasi. Masing-masing jenis resiliensi khusus tersebut terbagi ke dalam empat kelas seperti halnya klasifikasi resiliensi tanah umum, yaitu: tanpa resiliensi, resiliensi ringan, resiliensi sedang, dan resiliensi tinggi.

Blaikie dan Brookfield (1987 dalam Barrow 1991) mengklasifikasikan tanah secara sederhana berdasarkan sensitivitas dan resiliensi. Klasifikasi resiliensi tersebut dibagi ke dalam empat kelas, yaitu: 1) Tanah dengan sensitivitas rendah/resiliensi tinggi. Tanah ini hanya terdegradasi di bawah kondisi pengelolaan sangat buruk, umumnya baik untuk produksi tanaman pangan atau tanaman lainnya; 2) Tanah dengan sensitivitas tinggi/resiliensi tinggi. Degradasi Tanah akan terjadi dengan mudah, namun responnya sangat baik terhadap pengelolaan yang tepat/upaya rehabilitasi; 3) Tanah dengan sensitivitas rendah/resiliensi rendah. Tanah mula-mula tahan terhadap degradasi, namun sekali terdegradasi maka akan sulit untuk upaya pengelolaan guna merestorasi kembali; dan 4) Tanah dengan sensitivitas tinggi/resiliensi rendah. Tanah mudah terdegradasi dan tidak respon terhadap pengelolaan/upaya rehabilitasi. Umumnya terdapat pada tanah tropika dan subtropika akibat perubahan radikal seperti konversi hutan menjadi lahan padi, dibandingkan konversi hutan untuk tanaman perkebunan. Setiap jenis tanah memiliki tingkatan resistensi dan resiliensi yang berbeda-beda, tergantung kepada sifat tanah dan juga faktor lingkungan.

Berdasarkan pengertian sensitivitas di atas, maka dapat dihubungkan dengan pengertian resistensi yang umum digunakan ekologis. Resistensi dapat digolongkan dalam berbagai tingkatan sensitivitas. Resistensi tinggi setara

(7)

dengan sensitivitas rendah, begitu pula sebaliknya pada resistensi rendah setara dengan sensitivitas tinggi.

Eswaran (1994) menyusun suatu konsep resiliensi tanah berdasarkan perkembangan profil dan penampakannya, dari empat jenis tanah yang digunakan ternyata Mollisol lebih tinggi resiliensinya, diikuti Vertisol, Alfisol dan terendah Oxisol. Waktu yang dibutuhkan Oxisol untuk mencapai resiliensi dibandingkan Mollisol adalah tiga kali lebih lama. Seperti halnya resiliensi berdasarkan ordo tanah, maka klasifikasi resiliensi tanah hingga saat ini juga masih berupa konsep atau hipotesis.

Pendekatan nyata dari resiliensi tanah dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap waktu pemberaan tanah (revegetasi alami) yang telah mengalami degradasi. Di lingkungan tropika basah, waktu pemberaan pada siklus ladang berpindah merupakan upaya pemulihan daya dukung tanah atau meningkatkan produktivitas tanah. Praktek pemberaan ladang berpindah di Kalimantan Timur dicirikan dengan revegetasi lahan yang telah digunakan untuk padi ladang hingga ditumbuhi pohon berdiameter rata-rata 10,2 cm dengan tinggi 13 m. Pemulihan vegetasi tersebut merupakan ciri bahwa tanah telah pulih kembali. Pada tanah subur kondisi revegetasi tersebut dicapai pada kurun waktu 4 tahun, sedangkan pada tanah tidak subur dicapai dalam jangka waktu lebih lama yaitu 8 tahun (Lahjie 1989). Umumnya periode kultivasi sebelum masa pemberaan pada ladang berpindah adalah 2 – 3 tahun (Brady 1994). Di Kalimantan Tengah, umumnya satu musim tanam padi diikuti oleh palawija ketika gulma dan hama tidak dapat ditolerir maka pindah dengan membuka lahan hutan yang baru.

(8)

Hasil penelitian masa bera berdasarkan diameter dan tinggi pohon di Kalimantan Timur tersebut ternyata sesuai dengan masa bera yang dibutuhkan agar pengelolaan ladang berpindah dapat berkelanjutan. Uexkull (1996) menyatakan bahwa periode pemberaan lahan kering terdegradasi akibat perladangan berpindah agar dapat berkelanjutan adalah 10 hingga 15 tahun. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sanchez (1976) bahwa akumulasi unsur hara akibat pemberaan menjadi hutan (forest fallow) umumnya tidak lebih dari 8 hingga 10 tahun yang diperlukan untuk serapan unsur hara menjadi meningkat hingga tingkatan maksimum. Hasil penelitian Islam dan Weil (2000) menyatakan bahwa reforestasi atau periode bera dapat memperbaiki kualitas tanah dan memulihkan tanah terdegradasi; sedangkan Elliot dan Lynch (1994) secara tegas menyatakan bahwa penggunaan hutan untuk meningkatkan bahan organik tanah merupakan salah satu metode resiliensi tanah.

Evaluasi Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan

Penelitian terhadap evaluasi lahan pada umumnya menggunakan karakteristik lahan dibandingkan kualitas lahan. Hal tersebut dikarenakan penggunaan karakteristik lahan lebih mudah dan cukup hanya menggunakan data sifat-sifat tanah dari hasil survai tanah. Sebaliknya, penggunaan kualitas lahan dalam kegiatan evaluasi lahan umumnya terkendala kompleknya perhitungan karena menggunakan satu atau lebih karakteristik lahan sehingga diperlukan pengolahan kembali data-data yang diperoleh dari survai tanah.

Ditinjau dari ketepatannya, penggunaan kualitas lahan dalam kegiatan evaluasi lahan jelas lebih baik, karena kualitas lahan merupakan atribut lahan yang berpengaruh langsung terhadap jenis penggunaan lahan tertentu. Menurut

(9)

FAO (1976) penggunaan karakteristik lahan untuk kegiatan evaluasi lahan akan menimbulkan masalah yaitu meningkatnya interaksi di antara karakteristik lahan yang digunakan, sehingga FAO merekomendasikan penggunaan kualitas lahan (LQ) untuk kegiatan evaluasi lahan sejak tahun 1976.

Sys (1978) membagi kualitas lahan ke dalam dua golongan. Pertama adalah kualitas lahan internal, yaitu kualitas lahan yang terutama terkait terhadap karakteristik lahan bawah tanah termasuk kelengasan tanah dipengaruhi oleh curah hujan dan evapotranspirasi. Terdapat empat kualitas lahan internal yaitu: ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan tempat akar berjangkar, dan ketersediaan hara. Kedua adalah kualitas lahan eksternal, yaitu kualitas lahan yang hanya berhubungan terhadap kondisi lingkungan pada permukaan tanah. Termasuk kualitas lahan ini antara lain: rejim temperatur terkoreksi, ketahanan tanah melawan erosi, kemampuan untuk lay out perencanaan pertanian, dan kemudahan kerja.

Khusus aspek hidrologi yaitu ketersediaan air bagi tanaman merupakan aspek penting, sebab kondisi ketersediaan air yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman akan mengakibatkan gagal panen. Dengan demikian memperhitungkan neraca air pada bidang evaluasi lahan adalah penting dan tidak hanya menggunakan sifat-sifat tanah secara umum. Menurut Suharsono (1989) neraca air sangat penting dan dapat diterapkan pada berbagai segi, yaitu: 1) melengkapi gambaran umum suatu daerah, terutama curah hujan, evapotranspirasi potensial, kandungan dan perubahan kelengasan tanah; 2) sebagai model untuk menyelidiki hubungan curah hujan dan limpasan permukaan; 3) menilai kemampuan suatu daerah untuk ditanami melalui analisis musim tanam, dan

(10)

kebutuhan air irigasi; 4) menguji hubungan iklim dengan hasil tanaman; 5) memperkirakan dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan hidrologi.

Referensi

Dokumen terkait

memperbaharui pelan-pelan perancangan semasa dalam jangka masa yang singkat terutamanya yang melibatkan KSAS. Walaupun penentuan KSAS dijalankan, ianya dimasukkan

PROFIL SIKAP ILMIAH SISWA PADA KONSEP TERMOREGULASI DALAM MODEL PEMBELAJARAN GUIDED INQUIRY.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Secara teoritis dapat dijadikan sumbangan informasi dan keilmuan yang yang berarti bagi lembaga yang berkompeten mengenai pentingnya kondisi fisik atlet, khususnya atlet

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Kemampuan kepala sekolah dalam menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik, sebanyak 88% (58 orang) kepala sekolah dianggap

Setelah itu didapatkan larutan standar 10 ppm, untuk diketahui alat yang kami gunakan yakni pada spektrofotometer uv vis dapat menyerap cahaya apabila senyawa