• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Berpikir Kritis

Dalam proses mengerjakan latihan-latihan tersebutlah mulai berpikir bagaimana merumuskan masalah, merencanakan penyelesaian, mengkaji langkah-langkah penyelesaian, membuat dugaan bila data yang disajikan kurang lengkap diperlukan sebuah kegiatan berpikir yang disebut berpikir kritis. Apakah sebenarnya berpikir kritis itu? Anak yang mampu berpikir kritis akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat, menjawab pertanyaan secara orisinil, mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan secara efesien dan kreatif. Berpikir kritis sebagai berpikir untuk sampai pada pengetahuan yang tepat, sesuai dan dapat dipercaya mengenai dunia disekitar kita.

Menurut Richard Paul (Kowiyah, 2012:176) memberikan definisi bahwa: berpikir kritis adalah model berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya. Menurut Edward Glaser mendifinisikan bahwa definisi di atas menjelaskan bahwa berpiki rkritis sebagai: (1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan

(2)

penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan simpulan-simpulan lanjutan yang diakibatkannya (Kowiyah, 2012:176-177).

Gambar 2.1 Unsur Kecakapan Berpikir Kritis

Berikut adalah penjelasan skema dari keenam kecakapan berpikir kritis utama: (1) Interpretasi, menginterpretasi adalah memahami dan mengekpresikan makna dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, penilaian prosedur atau kriteria. Interpretasi mencakup sub kecakapan mengkategorikan, menyampaikan signifikasi dan mengklarifikasi makna; (2) Analisis, menganalisis adalah mengidentifikasi hubungan inferensial dan aktual diantara pertanyaan-pertanyaan, konsep-konsep, deskripsi untuk mengekpresikan kepercayaan, penilaian dan pengalaman, alasan, informasi dan opini. Analisis meliputi pengujian data, pendeteksian argumen, menganalisis argumen sebagai sub kecapakan dari analisis; (3) Evaluasi, berarti menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi yang merupakan laporan atau deskripsi dari persepsi, pengalaman dan menaksir

Enam Unsur Kecakapan Berpikir Kritis (1) Interpretasi (2) Analisis (3)Evaluasi (4) Simpulan (5) Penjelasan (6)Pengaturan Diri Berpikir Kritis

(3)

kekuatan logis dari hubungan inferensial, deskripsi atau bentuk representasi lainnya. Contoh evaluasi adalah membandingkan kekuatan dan kelemahan dari interpretasi alternatif; (4) Simpulan, berarti mengidentifikasi dan memperoleh unsur yang diperlukan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang masuk akal, membuat dugaan dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang relevan dan menyimpulkan konsekuensi dari data; (5) Penjelasan, berarti mampu menyatakan hasil-hasil dari penalaran seseorang, menjustifikasi penalaran tersebut dari sisi konseptual, metodologis dan konstektual; (6) Pengaturan Diri, berarti secara sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam hasil yang diperoleh, terutama dengan menerapkan kecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penilaiannya sendiri.

Tahapan-tahapan berpikir kritis menurut Achmad (Uzwah, 2009) adalah:

1. Keterampilan menganalisis

Keterampilan menganalisis merupakan keterampilan menguraikan sebuah struktur kedalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut.

2. Keterampilan mensintesis

Keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan keterampilan menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut siswa untuk

(4)

menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaanya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit didalam bacaannya.

3. Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah

Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut siswa untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Keterampilan ini bertujuan agar siswa

mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam

permasalahan atau ruang lingkup baru. 4. Keterampilan menyimpulkan

Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian atau pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian atau pengetahuan (kebenaran) yang baru yang lain. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini menuntut siswa agar mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap, sampai kepada suatu struktur baru yaitu sebuah kesimpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara yaitu deduksi dan veluksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru.

(5)

5. Keterampilan mengevaluasi atau menilai

Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai mengharapkan siswa agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu. Dalam taksonomi belajar, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi.

B. Pembelajaran Sejarah

Usman berpendapat bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik, yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mncapai tujuan tertentu (Hamid, 2014: 207). Sudjana 1928 “Proses pembelajaran merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam pembelajaran, yang satu sama lainnya saling berhubungan dalam sebuah rangkaian untuk mencapai tujuan”. Adapun yang termasuk dalam komponen pembelajaran adalah tujuan, bahan, metode, alat, dan penilaian (Hamid, 2014: 207).

Pembelajaran merupakan kombinasi yang tersusun atas unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dapat dilihat dari kebutuhan siswa, mata pelajaran dan guru. Berdasarkan kebutuhan siswa dapat ditetapkan apa yang hendak dicapai, dan dikembangkan dan diapresiasikan. Berdasarkan mata pelajaran yang ada dalam petunjuk

(6)

kurikulum dapat ditentukan hasil-hasil pendidikan yang diinginkan. Guru sendiri adalah sumber utama tujuan bagi para siswa, dan guru harus mampu menulis dan memilih tujuan-tujuan pendidikan yang bermakna, dan dapat terukur (Hamalik, 1999:76).

Pembelajaran sejarah sudah dilakukan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dalam pendidikan dasar dan menengah acuan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum 2013, dimana dalam kurikulum memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan berbagai kemampuan peserta didik, mengembangkan materi sesuai dengan situasi dan kondisi anak sehingga pembelajaran sejarah lebih konstektual dan bermakna. Selain itu juga membuka dominasi kajian pada sejarah lokal sehingga mampu menerobos batas antara teori dan kenyataan, peserta didik langsung mengenal lingkungan masyarakatnya, mengembangkan pembelajaran aktif dan kreatif serta mendorong keterampilan yang bersifat inkuiri (Waryo, 2011: 3).

Robert Douch menyatakan bahwa dalam pembelajaran sejarah, peserta didik dapat melihat langsung kehidupan yang nyata, bukan hanya sekedar mendapatkan materi pembelajaran yang abstrak (Douch, 1967).Untuk mencapai aspirasi ini, pembelajaran sejarah dapat bersumber dari pengalaman kehidupan siswa sehari-hari. Kedekatan emosional siswa dengan lingkungannya merupakan sumber belajar yang berharga bagi terjadinya proses pembelajaran dikelas (Waryo, 2011: 5).

Model pengajaran yang tepat untuk pembelajaran sejarah akan menambah semangat generasi muda untuk menggali segala potensi bangsa

(7)

dan negara sehingga muncul kebanggan terhadap bangsanya sendiri. Belajar sejarah dapat mengkonsepkan kehidupan sesuai dengan perjalanan waktu yang terjadi dengan menempatkan diri kita didalamnya. Menanamkan rasa bangga terhadap pembelajaran sejarah bukanlah hal yang mudah, diperlukan berbagai upaya untuk membuat pembelajaran sejarah disukai oleh generasi muda.

Pembelajaran sejarah seharusnya tidak hanya sebagai wahana pengembangan kemampuan intelektual dan kebanggaan masa lampau saja (Hasan, 1996), tetapi justru kejadian pada masa lampau harus dijadikan sebagai guru yang baik untuk memperbaiki kehidupan dimasa sekarang. Pembelajaran bukan sekedar nama dan tanggal, tetapi menyangkut penilaian, kepedulian dan kewaspadaan. Dengan pembelajarah sejarah kita diperkenalkan kepada hal-hal yang tidak dialami dan dilihat sebelumnya, sehingga diperlukan pendidik/pengajar yang dapat membantu generasi muda melihat masa lalu yang tidak pernah kita alami sebagai kulit luar dari persoalan-persoalan penting yang tetap ada hingga saat ini.

Sebenarnya generasi muda tertarik dengan pembelajaran sejarah apabila pendidikan tersebut dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari sehingga generasi muda mendapatkan gambaran yang utuh terhadap pembelajaran sejarah dan tujuan dari pembelajaran sejarah. Keberhasilan suatu proses pendidikan sebetulnya sangat tergantung dari generasi mudanya itu sendiri. Generasi muda yang memasuki program studi pendidikan sejarah pada umumnya dikarenakan oleh faktor ketertarikan terhadap sejarah karena

(8)

pemilihan jurusan ditentukan sendiri oleh generasi mudanya (Waryo H. S., 2011: 9-10).

C. Cooperative Learning dan Tipe Diskusi Kelompok 1. Cooperative Learning

a. Pengertian Cooperative Learning

Pembelajaran kelompok merupakan model pembelajaran yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan. Slavin mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan ketrampilan. Dari dua alasan tersebut maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan (Sanjaya, 2006:238). Salah satu model dari pembelajaran kelompok adalah pembelajaran kooperatif (cooperative learning).

Pembelajaran kooperatif bukanlah gagasan baru dalam dunia pendidikan, tetapi sebelum masa belakangan ini, model ini hanya digunakan oleh beberapa guru untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti tugas-tugas atau laporan kelompok tertentu. Namun demikian, penelitian selama

(9)

dua puluh tahun terakhir ini telah mengidentifikasikan model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagai macam mata pelajaran. Mulai dari matematika, membaca, menulis sampai pada ilmu pengetahuan ilmiah, mulai dari kemampuan dasar sampai pemecahan masalah-masalah yang kompleks. Lebih daripada itu, pembelajaran kooperatif juga dapat digunakan sebagai cara utama dalam mengatur kelas untuk pengajaran.

Ada banyak alasan yang membuat pembelajaran kooperatif memasuki jalur utama praktik pendidikan. Salah satunya berdasarkan penelitian dasar (yang dirangkum dalam buku Robert E. Slavin, 2005) yang mendukung penggunaan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan pencapaian prestasi para siswa, dan juga akibat-alibat positif lainnya yang dapat mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah dalam bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa para siswa perlu belajar untuk berpikir, menyelesaikan masalah, dan mengintregasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka, dan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang sangat baik untuk mencapai hal-hal semacam itu.

Sebagaimana model pembelajaran lainnya, cooperative learning memiliki tujuan, langkah dan lingkungan belajar dan sistem pengelolaan yang khas. Tujuan cooperative learning adalah untuk meningkatkan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran, memfasilitasi peserta

(10)

didik dengan pengalaman sikap kepemimpinan, membuat keputusan dalam kelompok dan berinteraksi serta belajar bersama-sama dengan peserta didik yang memiliki latar belakang yang berbeda. Ciri-ciri model pembelajaran cooperative learning tampak sebagai berikut: (1). Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu teman dan saling bekerja sama. (2). Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok. (3). Adanya kelompok heterogen. (4). Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergulir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok. (5). Adanya keterampilan sosial yang diberikan ke dalam kelompok, misalkan: kepemimpinan, kemampuan komunikasi, dan mempercayai orang. (6). Guru terus melakukan monitor melalui observasi dan melakukan intervensi jika ada masalah dalam kerja sama antar anggota.

b. Konsep Cooperative Learning

Slavin, Abrani, dan Chambers (Sanjaya, 2006:242) berpendapat bahwa pembelajaran melalui kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi, perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan perspektif elaborasi kognitif. Perspektif motivasi artinya bahwa penghargaan yang diberikan kepada kelompok memungkinkan setiap anggota kelompok akan saling membantu. Dengan demikian, keberhasilan setiap individu pada dasarnya adalah keberhasilan kelompok. Hal semacam ini akan mendorong setiap anggota kelompok untuk memperjuangkan keberhasilan kelompoknya.

(11)

Perpektif sosial artinya bahwa melalui pembelajaran kooperatif setiap siswa akan saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan. Bekerja secara tim dengan mengevaluasi keberhasilan sendiri oleh kelompok, merupakan iklim yang bagus, dimana setiap anggota kelompok menginginkan semuanya memperoleh keberhasilan.

Perspektif perkembangan kognitif artinya bahwa dengan adanya interaksi antara anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi siswa untuk berpikir mengolah berbagai informasi. Elaborasi kognitif, artinya bahwa setiap siswa akan berusaha untuk memahami dan menimba informasi untuk menambah pengetahuan kognitifnya. Karakteristik model pembelajaran kooperatif menurut Sanjaya sebagai berikut:

1) Pembelajaran Secara Tim

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus saling membantu untuk mencapai tujuan pelajaran. Untuk itulah kriteria keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim.

Setiap kelompok bersifat heterogen. Artinya, kelompok terdiri atas anggota yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang sosial yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar setiap

(12)

memberi dan menerima, sehingga diharapkan setiap anggota dapat memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok.

2) Didasarkan pada Manajemen Kooperatif

Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan, dan fungsi kontrol. Demikian juga dalam pembelajaran kooperatif. Fungsi perencanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan secara efektif, misalnya tujuan apa yang harus dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang harus digunakan untuk mnecapai tujuan itu dan lain sebagainya. Fungsi pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, melalui langkah-langkah pembelajaran yang sudah ditentukan termasuk ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati bersama. Fungsi organisasi menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pekerjaan bersama antar setiap anggota kelompok, oleh sebab itu perlu diatur tugas dan tanggung jawab setiap anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui test maupun non-test.

3) Kemauan untuk Bekerja Sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerja sama

(13)

perlu ditekankan dalam proses pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya saling membantu. Misalnya, yang pintar perlu membantu yang kurang pintar. Kemauan untuk bekerja sama itu kemudian dipraktikkan melalui aktivitas dan kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan bekerja sama. Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain. Siswa perlu dibantu mengatasi berbagai hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga setiap siswa dapat menyamaikan ide, mengemukakan pendapat, dan memberikan kontribusi kepada keberhasilan kelompok.

2. Tipe Diskusi Kelompok

Diantara bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif yang paling lama dan paling banyak digunakan adalah diskusi kelompok. Misalnya, kebanyakan guru ilmu pengetahuan ilmiah menggunakan kelompok laboratorium kooperatif, dan banyak guru ilmu sosial dan bahasa inggris yang menggunakan kelompok-kelompok diskusi.

Pekerjaan kelompok dalam mempersiapkan kelompok diskusi adalah memastikan bahwa tiap anggota kelompok berpartisipasi. Apabila ingin agar kelompok membuat laporan tertulis, maka sangat penting juga bagi tiap anggotanya untuk mempunyai bagian tugas yang dibagi dengan baik, supaya semua pekerjaan (dan pembelajaran) ditanggung oleh satu orang anggota saja.

(14)

Adalah penting untuk memilih seorang pemimpin dari kelompok diskusi. Orang ini harus dipilih berdasarkan kemampuan organisasional dan kepemimpinannya, dan bukan hanya berdasarkan pada kinerja akademiknya saja. Pemimpin ini harus memastikan bahwa tiap orang berpartisipasi dan bahwa kelompok tetap mengerjakan tugas (Slavin, 2005:252).

Salah satu cara yang bagus untuk membuat setiap anggota tim berpartisipasi adalah dengan membuat supaya setiap orang menuliskan sebuah opini atau gagasan sebelum mulai diskusi. Anggota kelompok dapat membacakan keuntungan dan kerugian mereka kepada kelompoknya, dan diskusinya dapat berfokus pada daftar tiap anak secara bergantian. Kunci dari prosedur ini adalah bahwa apabila semua siswa menyatakan sebuah pendapat, mereka akan mempunyai komitmen terhadap diskusi kelompok dan jauh lebih besar kemauannya untuk berpartisipasi didalamnya.

Sebagai tambahan untuk partisipasi yang lebih besar, tugas pokok lainnya dalam mempersiapkan sebuah kelompok diskusi adalah fokus. Tak ada yang lebih buruk daripada sebuah diskusi yang tanpa tujuan. Pekerjaan kelompok harus diekspresikan dengan jelas.

Apabila menginginkan kelompok menuliskan laporan, pastikan bahwa tiap siswa berpartisipasi. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan membagi laporan tersebut ke dalam bagian-bagian yang ditulis oleh siswa yang berbeda. Kelompok akan membantu tiap anggotanya

(15)

dengan memberi saran-saran untuk perencanaan, membuat konsep, merevisi, dan meyunting bagian mereka (Slavin, 2005: 252-254).

D. Penelitian Yang Relevan

Dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang telah dilaksanakan oleh Nur Laely Mukarromah tahun 2013, dengan judul Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIIA SMP Ma’Arif NU 3 Purwokerto dalam Pembelajaran Matematika melalui Pembelajaran Kooperatif dapat disimpulkan bahwa:

Pembelajaran matematika melalui pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIIA SMP Ma’Arif NU 3 Purwokerto. Hal ini dibuktikan dengan hasil tes kemampuan berpikir kritis dengan rata-rata nilai seluruh siswa dalam kelas siklus I 54,94, pada siklus II 67,13, dan pada siklus III 75,13.

Dari keterangan tersebut ada kesamaan dari beberapa variabel penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian milik Nur Lerly Mukarromah (2013). Peneliti melakukan jenis penelitian tindakan kelas yang sama, dengan tujuan sama yaitu kemampuan berpikir kritis siswa dengan model kooperatif. Hanya saja peneliti cukup menggunakan 2 siklus, sedangkan Nur Lely menggunakan 3 siklus. Tetapi dari rata-rata nilai pada setiap siklusnya, penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan yang dilakukan oleh Nur Laely sama-sama meningkat pada setiap siklusnya. Hasil tes

(16)

nilai pada siklus I yaitu sebesar 66,25 dan setelah dilakukan tahap sama pada siklus II meningkat menjadi 80,15.

E. Kerangka Pikir

Peningkatan mutu pendidikan di sekolah banyak dipengaruhi dari berbagai faktor yang ada dilingkungan sekolah tersebut. Salah satunya adalah kualitas dari pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. Siswa yang tidak suka dengan pembelajaran sejarah cenderung pasif, dan hasil belajar yang meliputi afektif, kognitif, dan psikomotor yang rendah.

Cooperative learning menekankan siswa untuk terlibat langsung

dalam kegiatan belajar mengajar dimana siswa dibentuk dalam suatu kelompok yang mana anggota kelompok bersama-sama mempelajari dan saling mengungkapkan pendapatnya masing-masing, maka dalam hal ini siswa dituntut untuk dapat berpikir kritis, bahkan sekritis mungkin dalam melaksanakan pembelajaran melalui cooperative learning ini.

Gambar 2.2. Kerangka Berpikir

Apabila diuraikan bagan diatas menjelaskan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan perlakuan atau kelas eksperimen menggunakan model

cooperative learning tipe diskusi kelompok akan menghasilkan produk

belajar siswa yaitu kemampuan berpikir kritis.

Bepikir Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Cooperative Learning tipe Diskusi kelompok Pembelajaran Sejarah

(17)

Pembelajaran sejarah terbiasa dilakukan dengan ceramah yang membuat peserta didik bosan dan kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran. Disini, peserta didik mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif/cooperative learning tipe diskusi kelompok dimana peserta didik dituntut untuk melaksanakan tugas dengan bekerja sama bersama anggota kelompok yang berasal dari teman sekelasnya. Dengan model pembelajaran ini siswa lebih banyak berinteraksi dengan teman anggota kelompoknya, serta saling membantu dan dalam memecahkan masalah atau tugas dikelompoknya. Semua anggota kelompok wajib mengetahui dan paham akan tugas yang diberikan dan dikerjakannya. Dalam melaksanakan pembelajaran sejarah dengan model cooperative

learning tipe diskusi kelompok tersebut, semua anggota kelompok saling

menyumbangkan pemikirannya untuk menjawab/menyelesaikan tugas kelompoknya. Pemikiran yang disumbangkan adalah pemikiran yang kritis. Karena tujuan dari cooperative learning tipe diskusi kelompok disini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Jadi dari pelaksanaan pembelajaran dengan ceramah diganti dengan model pembelajaran kooperatif yang kemudian dapat menciptakan siswa untuk dapat berpikir kritis mengenai tugas yang diberikan bersama teman sekelompoknya.

F. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka pikir diatas, peneliti mempunyai hipotesis tindakan dengan menerapkan model cooperative learning tipe diskusi

(18)

kelompok dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran sejarah di kelas XI teknik pemesinan 3 SMK Negeri 2 Purwokerto.

Gambar

Gambar 2.1 Unsur Kecakapan Berpikir Kritis
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

 Guru memberikan sebuah narasi informasi secara menarik dengan konsep interaktif untuk menghubungkan materi tentang organ gerak pada hewan vertebrata dengan isi

 berasal dari sungai Kali Putih yang mengalir menuju Komponen  bendung krapyak, Inflow pada  bendung krapyak banyak membawa sedimentasi lahar dingin dari Gunung Merapi, hal

Pemetaan lokasi potensi desa wisata di kabupaten Sleman tahun 2015 bertujuan untuk memetakan daerah-daerah wisata dalam hal ini adalah desa wisata yang terletak di

Hasil penelitian dengan analisis regresi berganda menunjukkan bahwa pengaruh secara simultan profitabilitas, likuiditas, leverage, pertumbuhan dan ukuran perusahaan

Insektisida berbahan aktif Cypermethrin 100 g/l pada dosis 100; 150 dan 200 ml/ha dengan pelarut solar yang diaplikasi- kan secara pengasapan ( thermal fogging ), efektif

Dampak tersebut antara lain adalah munculnya organisasi-organisasi sosial yang terbentuk guna menyediakan kebutuhan jasa bagi para wisatawan yang melahirkan organisasi nelayan baru

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

Dari segi peran dosen, keteladanan menjadi komunikasi yang efektif dalam mengembangkan nilai-nilai luhur dalam diri mahasiswa; dosen perlu menekankan daya kritis pada