BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pompa Sentrifugal
Pompa sentrifugal banyak dipakai dalam industri terutama yang menggunakan tekanan tinggi. Pompa sentrifugal mempunyai sebuah impeller untuk mengangkat fluida dari tempat yang lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi. Daya dari luar diberikan kepada poros pompa untuk memutarkan impeller di dalam fluida. Maka fluida yang ada di dalam impeller, oleh dorongan sudu-sudu ikut berputar. Karena timbul gaya sentrifugal maka fluida mengalir dari tengah impeller ke luar melalui saluran di antara sudu-sudu. Di sisi tekanan di atas pompa menjadi lebih tinggi. Demikian pula kecepatannya bertambah besar karena fluida mengalami percepatan. Fluida yang keluar dari impeller ditampung oleh saluran berbentuk rumah keong dikeliling impeller dan disalurkan ke luar pompa melalui nozzle. Di dalam nozzle ini sebagian kecepatan aliran diubah menjadi tekanan.
Jadi impeller pompa berfungsi memberikan kerja kepada fluida sehingga
energi yang dikandungnya menjadi bertambah besar. Selisih energi persatuan berat atau total ketinggian fluida antara batas saluran isap dan batas saluran keluar pompa disebut tinggi total pompa. Dari uraian di atas jelas bahwa pompa sentrifugal dapat mengubah energi mekanik dalam bentuk kerja poros menjadai energi fluida. Energi inilah yang mengakibatkan pertambahan tinggi tekanan, tinggi kecepatan, dan tinggi potensial pada fluida yang mengalir secara
terus-menerus [4]. Gambar 2.1. menunjukkan bagan alir fluida di dalam pompa sentrifugal.
Gambar 2.1. Bagan Alir Fluida di dalam Pompa Sentrifugal [4]
2.2. Penggunaan Bahan
Penggunaan bahan serta peranannya bervariasi sangat luas dalam berbagai lingkungan dan situasi. Persyaratan keselamatan dan tuntutan keandalan mengharuskan bahan dan komponen-komponennya harus berpenampilan sempurna dalam kondisi lingkungan dan situasi yang dihadapinya tanpa adanya kemungkinan kegagalan dini. Terdapat sejumlah faktor dan proses yang dapat menimbulkan kegagalan pemakaian bahan. Kegagalan dini pada komponen utama dapat menimbulkan kerugian dalam banyak situasi terlepas dari kegagalan yang timbul karena merosotnya produksi dan reputasi yang jelek. Karena itu penting sekali untuk memahami dan mengendalikan penyebab kegagalan dari suatu bahan.
2.2.1. Kegagalan Fungsi
Dalam suatu pemeriksaan dan analisa, perlu dikembangkan suatu konsep yang menganggap bahwa semua bahan ( konstruksi, struktur, dan sejenisnya ) selalu mengandung cacat. Cacat tersebut dapat berupa cacat bawaan yang muncul selama proses fabrikasi, ataupun cacat lain yang tejadi akibat penanganan yang tidak benar dalam penggunaan produk yang bersangkutan. Dan suatu hal yang perlu diingat ialah bahwa semua bentuk cacat tersebut dari manapun asalnya, semuanya berpotensi sebagai sumber kegagalan fungsi dari produk yang bersangkutan.
Secara umum, penyebab kegagalan fungsi suatu bahan dapat dibagi atas 3 ( tiga ) kategori yaitu sebagai berikut [2]:
1. Desain yang kurang sempurna
Yaitu antara lain bentuk tepi yang tajam atau sudut-sudut yang runcing, pemilihan bahan dan metoda pengerjaan panas yang tidak tepat.
2. Proses dan fabrikasi
Yang termasuk di dalam kategori ini antara lain ialah retak karena pengerjaan panas atau penggerindaan, cacat proses, cacat fabrikasi dan cacat las.
3. Kondisi operasi dan lingkungannya
Antara lain pengoperasian dengan beban berlebihan, umur pemakaian, korosi tegangan, retak karena getas dan kelelahan atau akibat sistem perawatan yang tidak benar.
Dalam kaitannya dengan analisa kegagalan fungsi bahan , ketiga kategori penyebab di atas perlu diperhitungkan. Bahwa setiap kali suatau proses dikenakan
kepada suatu bahan, pada bahan tersebut dapat terjadi timbulnya tegangan sisa, perubahan sifat mekanik atau efek lokal lainnya seperti porositas, inklusi, retak dan lain-lain yang dapat dikategorikan sebagai cacat atau menimbulkan ketaksempurnaan bahan [3].
2.2.2. Cacat pada Bahan
Bahwa setiap tahapan proses baik itu mekanikal atau termal akan mengakibatkan terjadinya perubahan atau penyimpangan baik secara menyeluruh atau secara lokal pada bahan. Penyimpangan dapat berupa cacat pada bahan yang dikenai proses tersebut.
Berdasarkam pada lokasinya, dikenal 2 ( dua ) jenis cacat bahan yaitu : 1. Cacat pada permukaan bahan
2. Cacat di dalam bahan
Kedua jenis cacat tersebut dapat dijumpai pada hampir semua bahan hasil proses seperti antara lain pada proses pengecoran logam, penempaan, pengelasan dan lain-lain proses pengerjaan logam.
2.3. Cast Stainless Steel
Cast stainless steel adalah baja paduan besi yang mempunyai ketahanan terhadap lingkungan korosif dan tahan terhadap temperatur yang tinggi serta tahan terhadap gesekan oleh cairan, gas dan bahan kimia. Pembagian cast stainless steel terdiri dari [3]:
2.3.1. Cast Stainless Steel Terhadap Lingkungan Korosi
Cast stainless steel ini hampir serupa dengan produk wrought (mill). Terutama digunakan untuk ketahanan terhadap lingkungan korosi pada temperatur di bawah 650 °C. Komposisi dasar dari jenis baja ini adalah : 11 %~30% Cr, 0%~31% Ni, 50%~88% Fe dan unsur-unsur seperti : karbon (C), silikon (Si), mangan (Mn), sulfur (S) dan fastor (P), serta beberapa unsur-unsur lainnya seperti : molibden (Mo), niobium (Nb), tembaga (Cu) atau selen (Se).
2.3.2. Cast Stainless Steel Terhadap Temperatur Tinggi
Cast stainless steel ini merupakan hasil modifikasi untuk meningkatkan kekuatan pada temperatur tinggi, digunakan untuk komponen struktur sampai dengan suhu 1205 °C. Komposisi dasar dari jenis baja ini adalah : 8%~32% Cr, 0%~68% Ni, 13%~90% Fe, unsur-unsur lain seperti : karbon (C), silikon (Si), mangan (Mn), sulfur (S) dan fastor (P), kobal (Co), niobium (Nb), molibden (Mo), wolfram (W), dan zirkon (Zr).
Ada 3 ( tiga ) klasifikasi dari Cast stainless steel berdasarkan komposisi antara lain :
1. Baja – Krom ( Fe-Cr )
Baja ini dengan kandungan 8% ~ 30% krom, dengan sedikit atau tanpa Nikel. Jenis ini memiliki kekuatan rendah pada temperatur tinggi, tetapi memiliki ketahanan oksidasi yang sangat baik, dan cocok digunakan pada lingkungan dengan kondisi oksidasi dan pemanasan yang merata pada beban statis yang sangat rendah.
2. Baja – Krom – Nikel ( Fe-Cr-Ni)
Jenis dengan kandungan krom di atas 19% dan kandungan nikel di atas 9%, dengan kadar krom lebih tinggi dari kadar nikel. Jenis ini biasanya digunakan pada lingkungan oksidasi untuk menahan perubahan temperatur yang cukup besar dan dapat menahan beban yang lebih besar.
3. Baja – Nikel – Krom ( Fe-Ni-Cr)
Jenis dengan kandungan krom di atas 10% dan kandungan nikel di atas 23%, dengan kadar nikel lebih tinggi dari krom, maka dapat digunakan pada lingkungan dengan kondisi reduksi maupun oksidasi untuk menahan suhu yang lebih besar.
2.3.3. Duplex Stainless Steel ( Feritik – Austenitik )
Baja tahan karat duplex pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan sifat kandungan ferit yang dialaminya :
1. Duplex austino – ferritic, yaitu mengandung sekitar 20% ~ 40% ferit ( predominan austenitik )
2. Duplex ferro – austenitic, yaitu mengandung agregat ferit labih dari 40% ( predominan ferit ).
Diagram fasa gambar 2.2 pada halaman berikut digunakan untuk menentukan apakah ferrit ataukan austenit yang dominan, sesuai dengan rasio kandungan Cr/Ni.
Baja tahan karat duplex ini memiliki struktur yang terdiri dari agregat ferit dan austenit sehingga memiliki sifat-sifat tertentu dari baja-baja tahan karat
austenitik dan feritik, yaitu sifat kekenyalan ( austenitik ) dan kekuatan mekanik ( feritik ). Unsur paduannya memiliki sifat penstabil ferit dan austenit yaitu :
1. Unsur penstabil ferit : krom (Cr), molibden (Mo), silicon (Si), titan (Ti), aluminium (Al), wolfram (W), dan niobium (Nb).
Gambar 2.2. Diagram fasa Dulpex Stainless Steel[20]
2. Unsur penstabil austenit : nikel (Ni), kobal (Co), tembaga (Cu), perak (Ag), emas (Au), timbal (Pb), mangan (Mn), dan interstisi karbon (C) dan nitrogen (N).
Ketahanan korosi baja tahan karat duplex ini sangat berhubungan dengan lapisan permukaan pasif, yang sifat-sifatnya bergantung pada komposisi logam-logam dasarnya dan ukuran bergantung pada strukturnya. Tetapi harus diingat
bahwa kompisisi lapisan pasifnya sangat berbeda dari komposisi paduannya, dikarenakan adanya bermacam-macam proses pengkayaan seperti krom (Cr), nikel (Ni), molibden (Mo), dan silicon (Si), atau pelarut khusus besi (Fe) yang terjadi dalam lingkungan agresif. Dengan demikian, komposisi dan sifat-sifat lapisan pasif ini dapat berubah terhadap lingkungan dan kemampuan memproteksinya.
2.4. Korosi
Korosi merupakan gejala menurunnya kualitas atau degredasi suatu material atau juga boleh dikatakan sebagai kerusakan material akibat berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini akan mengakibatkan fatal terhadap material yang dikenainya, akan tetapi lambat atau cepatnya laju korosi terhadap suatu material tergantung unsur yang dimilikinya.
Mekanisme reaksi kimia yang terjadi selama proses korosi adalah reaksi redoks
[5,6].
Fe → Fe2+ + 2e
(2.1)
Reaksi di atas merupakan reaksi oksidasi besi (Fe) kemudian dibarengi adanya reaksi reduksi O2 dan H2O sebagai berikut :
O2 + 2H2O + 4e → 4OH
(2.2)
Sehingga reaksi keseluruhan dari korosi adalah reaksi redoks antara lain persamaan (2.1) dan (2.2) yaitu :
2Fe + O2 + 2H2O → 2Fe2+ + 4OH
(2.3)
2Fe2+ + 4OH = 2Fe(OH)2 ( besi hidroksida)
Kemudian besi hidroksida terpresipitasi dari larutan dan reaksinya adalah sebagai berikut :
2Fe(OH)2 + H2O + ½ O2 → 2Fe(OH)3
(2.4)
Produk akhir dari presipitasi ini adalah berupa karat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi selama korosi adalah sebagai berikut : 1. Faktor yang berhubungan dengan logam
a. Potensial elektroda logam pada larutan
b. Homogenitas dari permukaan logam baik secara kimia dan fisik c. Kemampuan terbentuknya lapisan film pelindung terhadap korosi 2. Faktor lingkungan
a. Keasaman larutan ( pH )
b. Besarnya laju kontak larutan dengan permukaan logam c. Temperatur
d. Tegangan statis
e. Kemampuan lingkungan untuk membentuk deposit perlindungan
2.5. Peretakan Terimbas Lingkungan (Environmentally Induced Cracking) Environmentally Induced Cracking (EIC) adalah teminologi umum untuk kegagalan mechanical bersifat getas yang dihasilkan dari synergy antara tegangan
dan lingkungan korosif. Laju korosi biasanya lambat dan tegangan yang dibutuhkan lebih sering terjadi jauh dibawah tegangan mulurnya [4].
Yang akan dibahas pada penulisan selanjutnya adalah :
a. Peretakan korosi tegangan (Stres Corrosion Cracking - SCC) b. Peretakan korosi fatik (Corrosion Fatique Craking - SFC)
2.5.1. Peretakan Korosi Tegangan (Stress Corrision Cracking)
Peretakan korosi tegangan dapat dikatakan sebagai kegagalan spontan suatu logam atau paduan oleh retakan sebagai akibat dari pengaruh gabungan antara tegangan yang tinggi dengan media korosi.
Faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya peretakan korosi tegangan adalah :
1. Lingkungan yang korosif
2. Kerentanan dari material atau logam paduan 3. Terjadinya tegangan tarik pada material atau logam
Hubungan ketiga kondisi ini satu sama lain dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Tidak semua kombinasi logam dan lingkungan rentan terhadap peretakan. Contohnya adalah kuningan dan baja tahan karat. Baja tahan karat akan mengalami peretakan dalam lingkungan khlorida tapi tidak dalam lingkungan ammonia. Sebaliknya kuningan akan terkena retakan dalam lingkungan ammonia tidak dalam lingkungan khlorida. Variasi lingkungan yang menyebabkan terjadinya retakan umumnya sedikit. Tabel 2.1 menunjukkan kombinasi logam
dan lingkungan yang dapat menimbulkan peretakan korosi tegangan [6].
Tabel 2.1. Kombinasi Lingkungan yang Menyebabkan Peretakan Korosi Tegangan[6]
Paduan Lingkungan Temperatur
Baja Tahan Karat Austenitik Baja Tahan Karat Feritik Baja Tahan Karat Duplex Baja Tahan Karat Martensitik
Larutan asam khlorida seperti MgCl2 dan BaCl2 , NaCl-H2O2 , helida-helida netral : Br- , I- , F- ,
Alkalin CaCl2 , Air laut Steam kondensat dari air yang mengandung klorida NaOH-H2S Untuk paduan sensitif : Asam Polythionic (H2SnO6) Asam sulfur
H2S, NH4Cl, NH4NO3, hipoklorit.
Peka terhadap lingkungan yang sama tetapi baja tahan karat austenit ketahannya lebih tinggi
(kebal terhadap intergranular SCC dalam asam polythionic. Juga
ketahanannya lebih tinggi dibandingkan dengan baja tahan karat feritik dari bentuk korosi yang lain)
Larutan Caustic NaOH. ( Tahan terhadap SCC di dalam klorida panas. Peka terhadap Hydrogen embrittlement).
60 °C – 200 °C > 120 °C
RT 300 °C
Polythionic acid (H2SnO6; n = 2 sampai 5) dan sulfurous acid dimana asam sulfur
hadir pada kondisi dimana oksidasi berkurang, dapat menyebabkan peretakan korosi tegangan antar batas butir (Intergranular SCC) pada austenitic stainless steel 6,19.
Selain faktor-faktor di atas, beberapa variabel yang dapat menyebabkan peretakan korosi tegangan adalah sebagai berikut [5,6] :
1. Temperatur 2. Komposisi larutan
3. Komposisi logam atau material 4. Struktur logam
5. Tegangan
Jika tegangan semakin besar maka waktu yang diperlukan agar retakan terjadi makin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.4. Diperkirakan bahwa ada suatu harga minimum dari tegangan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya retakan. Besarnya tegangan minimum ini tergantung pada temperatur, komposisi logam paduan dan komposisi lingkungan. Pada beberapa kondisi , retak tidak terjadi di bawah 70% dari tegangan luluh. Akan tetapi dilain kondisi retakan terjadi di bawah 10% tegangan luluh. Jadi ada suatu batas tegangan minimum untuk suatu macam logam paduan tertentu.
Gambar 2.4. Ketahanan Peretakan Korosi Tegangan dari Beberapa Jenis Stainless Steel [6]
Peretakan korosi tegangan terbentuk transgranular atau lintas butir dan
intergranular atau antar butir tetapi retakannya mengikuti alur-alur makroskopik yang umum. Retakan transgranular ataupun intergranular dapat terjadi pada satu macam paduan yang sama. Retakan biasanya terjadi pada arah tegak lurus , akan tetapi terdapat pula tersebar secara acak dengan atau tanpa cabang.
Efek dari struktur mikro dan kimia bahan terhadap peretakan korosi tegangan secara umum dibagi dalam dua kategory : presipitasi di batas butir (grain-boundary precipitation) dan pemisahan batas butir (grain-boundary
segregation)[21]. Yang termasuk kedalam presipitasi di batas butir adalah presipitasi carbida pada stainless steel jenis austenitic dan paduan berbasis nikel, yang menyebabkan pengurangan kandungan kromium di sekitar batas butir. Sedangkan yang termasuk kedalam pemisahan batas butir adalah adanya unsur pengotor posfor, sulfur, carbon dan silicon. Unsur pengotor ini akan mempengaruhi sifat antikorosi dan sifat mekanis yang bisa menimbulkan retakan
yang menyebabkan anodic dissolution atau bahkan kerusakan mekanis (mechanical facture). Gambar 2.5. dan gambar 2.6 menunjukan permukaan retakan antar butir dengan permukaan butir yang terlihat tersapu (wash away), sebagai ciri khas bentuk permukaan retakan karena peretakan korosi tegangan[14].
Gambar 2.5. Bentuk khas permukaa retakan karena peretakan korosi tegangan. Permukaan butir terlihat tersapu (wash away)[14]
Gambar 2.6. Bentuk khas permukaa retakan karena peretakan korosi tegangan. Permukaan butir terlihat tersapu (wash away)[14]
Mekanisme terjadinya peretakan korosi tegangan terjadi dalam 2 ( dua ) tahap yaitu :
1. Tahapan pemicuan ( initiation )
Tahapan pemicuan adalah tahapan terjadinya retakan yang terjadi pada bagian-bagian permukaan logam yang bersifat aktif sehingga terbentuk sumuran atau lubang, tegangan yang melebihi tegangan luluh sehingga bahan akan mengalami deformasi plastis yaitu ikatan-ikatan pada struktur kristalnya putus sehingga bahan berubah secara permanen.
Tahapan ini adalah tahap menyebarnya retakan yang terbentuk pada tahap pemicuan yang akhirnya menyebabkan kegagalan atau terjadinya peretakan korosi tegangan pada material atau logam.
2.5.2. Peretakan Korosi Fatik (Corrsion Fatique Cracking)
Corrosion Fatique Cracking (SFC) adalah kegagalan getas pada suatu
paduan yang disebabkan oleh tegangan yang berubah pada lingkungan korosif [6].
Beberapa hal yang mempercepat timbulnya peretakan karena corrosion fatique
cracking adalah frekuensi dari perubahan tegangan (cyclic stress). Makin rendah frekuesi, akan mempercepat keretakan. Besarnya perbedaan tegangan minimum dan maksimum akan menurunkan ketahan material terhadap korosi fatik. Hal lain yang mempengaruhi kerentanan material terhadap corrosion fatique cracking adalah adanya penguat tegangan (stress raiser) seperti caruk (notches) dan kekasaran permukaan. Seperti halnya SCC, SFC menimbulkan keretakan yang merambat tegak lurus dengan arah tegangan. Keretakan pada stress fatique
corrosion biasanya terbentuk lebih lambat dari SCC. Produk korosi kemungkinan besar akan ditemukan pada retakan.
Tabel 2.2. Sifat dari Environmentally Induced Cracking[6]
Sifat Stress Corrosion Cracking Corrosion Fatique Cracking Tegangan Lingkungan Korosif Kenaikan suhu Metal murni Bentuk retakan Produk korosi di retakan Tampilan permukaan retakan Statis Tarik
Tergantung dari jenis padual Mempercepat
Lebih tahan
Trans atau Intergranular, bercabang , ujung tajam (biasanya) tidak ditemukan
Terbelah
Siklik dengan tarik
Apa saja Mempercepat Rentan
Transgranular, tidak bercabang dengan ujung tumpul
ditemukan
Tanda pantai atau goresan
2.6. Langkah-Langkah Analisa Kerusakan
Pertimbangan yang utama untuk melaksanakan suatu analisa kerusakan yang berhubungan dengan metalurgi adalah untuk menentukan dan menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan dari suatu material atau
konstruksi.Sehingga dari analisa kerusakan ini diharapkan mendapatkan tindakan
yang tepat untuk mencegah terjadinya kerusakan yang sama pada material tersebut. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menganalisa kerusakan pada material, referensi pertama yang ditemukan adalah berupa langkah-langkah sebagai berikut [16] :
1. Pengumpulan data latar belakang, kondisi operasi atau sejarah dari benda yang mengalami kegagalan.
2. Dokumentasi foto kondisi saat diterima beserta pelabelan dan ukuran. 3. Menentukan tipe pengujian atau analisa yang akan dilakukan.
4. Pemeriksaan awal dengan pengujian tidak merusak seperti liquid penetrant 5. Pemeriksaan secara visual dan microscopic dari benda yang mengalami
kegagalan seperti permukaan retakan dll.
6. Pemeriksaan metalurgi optik (optical metalurgy). 7. Analisa kimia untuk verifikasi material.
8. Pengujian mekanis untuk mendapatkan sifat mekanis.
9. Pengujian kekerasan mikro(microhardness testing) untuk mendaptkan kekerasan secara umum, sifat permukaan dan efek permukaan karena penggunaan dan perlakuan panas.
10. Pemeriksaan permukan retakan menggunakan Scanning Electro Microscope (SEM). Pengujian ini bisa termasuk pengujian Energy Dispersive X-Ray (EDX).
11. Analisa dari mekanisme retakan. 12. Pengujian benda uji.
13. Analisa teknis dan penulisan laporan termasuk diskusi dari model kegagalan, kesimpulan dan rekomendasi untuk tindakan pencegahan dan perbaikan kualitas produk.
Referensi yang lain[15] memberikan prosedur untuk melakukan investigasi
1. Observasi awal, termasuk pemeriksaan visual terhadap komponen yang rusak, pengambilan gambar and pengartikan tanda-tanda deformasi, bentuk patahan, kontaminasi dan faktor-faktor lain.
2. Data latar belakang, seperti spesifiasi, gambar, data pemeliharaan dan lain-lain.
3. Mempelajari bukti-bukti dan fakta yang kemudian dikombinasikan dengan analisa teori, akan menghasilkan kesimpulan.
Dari dua referensi tersebut diputuskan dipilih metode pertama untuk diterapkan pada Bab. III Metode Penelitian untuk melakukan analisa kerusakan pada impeller ini.
2.7. Pengujian Tidak Merusak
Untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan spesifikasi desain, diperlukan suatu cara untuk memonitor kualitas dari produk pada setiap tingkat dari pembuat dan selama penggunaan dari produk. Pengujian tidak merusak bertujuan untuk mendeteksi cacat-cacat dari suatu bahan tanpa merusak. Ada 5 (lima) metoda dasar pengujian tidak merusak yang secara luas digunakan dalam industri, yaitu [7] :
1. Metoda Penetrant
2. Metoda Magnetic Particle 3. Metoda Eddy Current
4. Metoda Ultrasonic 5. Metoda Radiography Test
Dalam penelitian ini, yang dibahas hanya metoda penetrant karena yang digunakan dalam analisa kerusakan impeller cast stainless steel untuk tahap awal adalah metoda penetrant. Metoda penetrant ini cukup mewakili dalam pemeriksaan keretakan pada permukaan suatu material secara visual dan mudah dalam penggunaan di lapangan khususnya pemeriksaan pada impeller pompa cast
stainless steel.
2.7.1. Metoda Penetrant
Metoda penetrant ini dapat digunakan untuk mendeteksi cacat yang terbuka atau di permukaan dari beberapa produk industri yang terbuat dari bahan logam atau non logam. Pada metoda ini, cairan penetrant disemprotkan pada permukaan bahan yang diuji dalam waktu tertentu, setelah itu penetrant yang tersisa pada permukaan bahan uji dihilangkan atau dibersihkan. Penetrant yang tertinggal atau masuk ke dalam cacat atau retak, akan diserap oleh developer untuk menunjukkan lokasi ukuran dan bentuk cacat yang terdapat pada bahan tersebut. Gambar 2.7. menunjukkan empat tahap dari proses cairan penetrant [7].
Gambar 2.7. Empat Tahap dari Proses Penetrant [7] Keterangan :
a. Penggunaan cairan Penetrant dan masuknya penetrant ke dalam cacat
b. Menghilangkan sisa-sisa penetrant c. Penggunaan Developer
d. Inspeksi terhadap cacat yang muncul
2.7.2. Keuntungan Metoda Penetrant
Metoda Penetrant untuk memeriksa semua jenis dari bahan-bahan seperti logam dan bukan logam, plastik, keramik dan kaca. Penggunaan banyak pada pemeriksan coran, tempaan, dan lasan. Mudah dalam pengerjaan bisa berpindah-pindah.
2.7.3. Keterbatasan Metoda Penetrant
Dalam pemakaian ini, cacat-cacat yang terdapat di dekat permukaan dari bahan tidak dapat dideteksi dengan pengujian ini. Permukaan bahan yang sangat kasar maka cacat tidak nampak jelas hal ini disebabkan oleh celah-celah yang kecil pada permukaan yang susah untuk dibersihkan.
2.8. Pengujian dengan Cara Merusak
Produk industri dirancang dapat berguna untuk beberapa periode pemakaian dengan memuaskan si pemakainya. Beberapa kegagalan dini dari produk yang dapat terjadi pada pekerjaan adalah yang tidak diinginkan. Kekuatan mekanik dari produk adalah suatu faktor yang sangat penting yang mana mempengaruhi kerugian dan dapat menyebabkan kegagalan dini akibat munculnya cacat pada struktur dari produk. Untuk mengetahui kekuatan mekanik dari bahan atau produk, maka dilakukan pengujian dengan cara merusak. Pada
umumnya ada beberapa pengujian dengan cara merusak yang sering dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Uji Tarik 2. Uji Kekerasan
3. Uji Impak
4. Uji Puntir
2.8.1. Pengujian Struktur Metalografi
Pemeriksaan metalografi ini bertujuan untuk mengamati struktur makro dan struktur mikro dari bahan impeller yang dianalisa setelah mengalami kerusakan yaitu retak. Beberapa bagian yang retak dibuka untuk melihat atau mengetahui jenis retak pada permukaan yaitu dengan cara pengujian makroskopik yang menggunakan stereomikroskop. Sebelum dilakukan etsa ketiga bahan uji tersebut harus disiapkan dengan cara : digerinda, poles untuk menghasilkan data atau permukaan yang baik dan dilakukan etsa secara makro. Dari etsa ini maka akan kelihatan struktur makro pada permukaan yang retak. Permukaan benda uji bagian yang rusak selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan meggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM). Dalam pengujian struktur ini bertujuan untuk melihat kadar dari kerak yang mungkin melekat atau menempel pada bahan.
2.8.2. Pengujian Structur Metalografi pada Stainless Steel Casting Alloy
2.8.2.1. Persiapan benda kerja
Persiapan benda kerja sebelum penelitian structur metalografi adalah dengan penggerindaan, pemolesan dan etsa untuk mengungkap struktur micro. Penggerindaan diawali dengan menggunakan kertas gerinda ukuran 80, 100 dan 120 grit, kemudian diteruskan dengan kertas gerinda yang lebih halus dengan ukuran 240, 320, 400 dan 600 grit, dilakukan sampai permukaan bebas dari goresan.
Setelah permukaan bebas dari goresan, proses selanjutnya adalah pemolesan yang dilakukan secara bertahap dengan menggunakan piring berputar yang ditutupi
kain yang mengandung debu permata atau bubur alumina (Al2O3) dengan ukuran
partikel 3 – 9 µm, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kain yang
mengandung bubur (Al2O3)dengan ukuran partikel 0.3 – 0.05 µm untuk
mendapatkan permukaan dengan kualitas kaca (mirror finish).
Daftar bahan etsa (etchants) yang digunakan untuk mengungkap struktur micro dari stainless steel casting terdapat pada tabel 2.3. Tabel ini juga menunjukan jenis bahan etsa yang dapat digunakan untuk mengungkap suatu structure pada suatu paduan tertentu.
Tabel 2.3. Komposisi dan aplikasi etchans untuk stainless steel casting[21]
2.8.2.2. Stuktur Mikro Cast Stainless Steel
Struktur mikro dari stainless steel casting tergantung dari komposisi
kimia dan perlakuan panas yang diberikan kepadanya[21]. Alloy Casting Institute
(ACI) mengerluarkan daftar komposisi dari paduan stainless steel casting seperti yang terlihat pada lampiran F.
Menurut komposisi kimianya, bahan yang sedang diuji pada tulisan ini adalah CD-4MCu dengan kandungan Chrom berkisar 24.5 – 26.6% dan Nikel sebesar 4.75 – 60%. Gambar 2.8 menunjukan struktur mikro cast stainless steel CD-4MCu.
Gambar 2.8. Struktur micro CD-4MCu, memiliki struktur yang berupa kolam bergerigi austenit di
dalam ferit. Bercak hitam adalah inklusi non metalik [21]
2.8.3. Pengujian Kekerasan
Kekerasan logam adalah kemampuan untuk menahan perubahan bentuk yang permanen. Pengujian kekerasan Brinell sebagian besar menggunakan tipe “Hardness Tester” untuk keperluan industri ataupun metalurgi. Uji kekerasan
Brinell dilakukan dengan memberi gaya pada bola baja dengan diameter 10 mm dan diberi beban 3000 kg. Untuk logam lunak, beban dikurangi hingga tinggal 500 kg, untuk menghindarkan jejak yang dalam, dan untuk bahan yang yang sangat keras, digunakan paduan karbida tungsten, untuk memperkecil terjadinya
distorsi inditor. Permukaan di mana lekukan akan dibuat harus relatif halus, bebas dari debu atau kerak.
Angka kekerasan Brinell dinyatakan sebagai P dibagi luas permukaan lekukan. Rumus untuk angka kekerasan tersebut adalah [8].
Dt P d D D D P BHN ) )( 2 ( 2 2 (2.1)
di mana BHN = angka kekerasan brinell, kg/mm2
P = beban yang diterapkan, kg
D = diameter bola, mm
d = diameter lekukan, mm
t = kedalaman jejak, mm
Dari Gambar 2.5, dapat dilihat bahwa d = D sin . Dengan dimasukkan
harga ini ke dalam persamaan ( 2.1), akan dihasilkan bentuk persamaan kekerasan
Brinell yang lain, yaitu [8]:
BHN = ) cos 1 ( ) 2 ( 2 D P (2.2)
Untuk mendapatkan angka kekerasan Brinell yang sama dengan beban atau diameter bola yang tidak standar, diperlukan keserupaan lekukan secara
giometris. Keserupaan geometris akan diperoleh, sejauh besar sudut 2 tidak
Brinell tetap konstan, beban dan diameter bola harus divariasikan memenuhi perbandingan [8]. 2 1 1 DP = 22 2 DP = 32 3 DP (2.3)
Gambar 2.9. menunjukkan parameter-parameter dasar pada pengujian Brinell
2.9. Jenis-Jenis Perpatahan pada Logam
Perpatahan adalah pemisahan atau pemecahan suatu benda padat , menjadi 2 (dua) bagian atau lebih diakibatkan adanya tegangan. Proses perpatahan terdiri atas 2 (dua) tahap yaitu timbulnya retak dan tahap penjalaran.
Logam dapat memperlihatkan beberapa jenis perpatahan yang berbeda-beda, tergantung pada temperatur, keadaan tegangan dan laju pembebanan. Gambar 2.10. adalah bentuk permukaan patah getas dan patah ulet.
Gambar 2.10. Bentuk Permukaan Patah Getas dan Patah Ulet [8,13]
Kategori umum yang selalu dipergunakan ada 2 (dua) perpatahan yaitu patah getas dan patah ulet [1,8] :
2.9.1. Patah Getas
Patah getas pada logam , ditandai oleh adanya kecepatan penjalaran retak yang tinggi tanpa terjadi deformasi kasar, dan juga adanya pemisahan berarah tegak lurus terhadap tegangan tariknya. Kecenderungan terjadinya patah getas
akan bertambah besar, bila temperatur turun, laju regangan bertambah, dan tegangan yang bekerja adalah tegangan tiga sumbu ( biasanya dihasilkan oleh adanya takik ). Bagaimanapun juga retak getas harus dihindarkan, karena terjadi tanpa tanda-tanda pendahuluan dan biasanya menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya.
Gambar 2.11. menunjukkan jenis permukaan patah getas pada logam.
Gambar 2.11. Jenis Permukaan Patah Getas pada Logam [8]
Patah getas adalah jenis perpatahan rapuh yang terjadi sepanjang bidang kristalografi. Gambar 2.12 merupakan perpatahan getas yang menampilkan faset datar atau ciri sungai yang disebabkan oleh perambatan retak melalui kristal sepanjang sejumlah bidang datar sejajar yang membentuk lembah dan tepi tajam. Arah pola sungai mewakili arah perambatan retak.
Gambar 2.12. Perpatahan Getas yang Menampilkan Faset Datar [8]
Ciri dan karakteristik patah getas adalah sebagai berikut [1,8] : 1. Tidak terjadi deformasi plastik
2. Tidak terjadi penyempitan ( necking )
3. Terjadi patahan dengan mendadak atau tiba-tiba
4. Permukaan patahan belah yang datar dan memperlihatkan daya pantul cahaya yang tinggi serta penampilan yang berkilat.
2.9.2. Patah Ulet
Patah ulet ditandai oleh deformasi plastik yang cukup besar, sebelum dan selama proses penjalaran retak. Pada permukaan patahan, biasanya nampak adanya deformasi yang cukup besar. Patah ulet akibat beban tarik biasanya didahului oleh penurunan secara lokal diameter bahan yang dinamakan penyempitan. Gambar 2.13. menunjukkan jenis permukaan patah ulet pada logam.
Gambar 2.13. Jenis Permukaan Patah Ulet pada Logam [8]
Perpatahan ulet atau dimpel ditandai oleh adanya cekungan-cekungan yang berbentuk sama sumbu, parabola atau seperti elips tergantung pada keadaan beban. Perpatahan jenis ini adalah perpatahan ulet. Gambar 2.14. menunjukkan jenis perpatahan dimpel.
Ciri dan karakteristik patah ulet pada logam adalah sebagai berikut [1,8] : 1. Terjadi deformasi plastik
1. Terjadi penyempitan pada permukaan patahan 2. Patahan terjadi secara perlahan-lahan
3. Permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel menyerap cahaya serta penampilan yang buram
2.10. Metode Pengujian Ketahanan Material Terhadap Peretakan Korosi
Teganan (Stress Corossion Cracking) – Pengujian Deformasi Tetap
(Constant Deformation Test
Pengujian Deformasi Tetap (Constant Deformation Test) adalah salah satu metode yang digunakan untuk menguji ketahanan material terhadap Peretakan
Korosi Tegangan (Stress Corrosion Cracking)[6]. Gambar 2.15 menunjukan
Gambar 2.15. Benda uji dan metode pembebanan Pengujian Deformasi Tetap (Constant Deformation Test) untuk mengetahui ketahanan material terhadap peretakan korosi tegangan (Stress Corrosion Cracking) : (a) U-bend; (b) C-Ring;
(c) bent beam; (d) tensile[6]
Pada pengujian ”U-bend”, benda uji adalah plat yang dibengkokan 180o dan
ditahan dengan menggunakan baut. Untuk metode ini, distribusi tegangan pada benda uji tidak diketahui. Pada metode ”C-ring”, benda uji berasal dari pipa yg dibentuk huruf C ditekan menggunakan baut. Dalam pengujian ini, besaran tegangan yang diberikan bisa dikontrol. Untuk metode ”bent beam”, benda uji berupa lembaran yang dibengkokan, dan diletakan pada penahan yang sudah ditentukan lebarnya untuk dapat menahan pembengkokan plat pada sudut tertentu. Metode ”tensile”, menggunakan benda uji tarik konvensional yang ditarik pada rangka pembebanan. Benda uji pada pengetesan ini, direndam dalam cairan yang
dikendaki, kemudian diangkat secara periodik, dan dilakukan pemeriksaan visual untuk melihat adanya retakan.