• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

Tegangan pengenal saluran transmisi tegangan tinggi atau ekstra tinggi berbeda-beda menurut negara atau perusahaan listrik di negara tersebut, tergantung pada kemajuan teknis masing-masing. Proses penyaluran energi listrik dari pusat tenaga ke pusat beban dilakukan melalui saluran transmisi tegangan tinggi 150 kV atau 500 kV, setelah itu tegangan pada gardu induk diturunkan menjadi tegangan distribusi primer sebesar 20 kV. Saluran transmisi merupakan suatu media yang digunakan untuk menyalurkan energi listrik dari stasiun pembangkit/pembangkit tenaga listrik ke stasiun distribusi hingga sampai ke konsumen listrik.

Saluran transmisi menyalurkan tenaga listrik dari pusat pembangkitan ke pusat beban melalui saluran tegangan tinggi 150 kV atau melalui saluran transmisi tegangan ekstra tinggi 500 kV. Saluran transmisi pendek adalah jenis saluran transmisi yang mempunyai panjang saluran kurang dari 50 mil atau kurang dari 80 km. Saluran transmisi sedang merupakan jenis saluran transmisi yang mempunyai panjang saluran antara 50 mil sampai 150 mil atau 80 km sampai 240 km.

Saluran transmisi sedang merupakan jenis saluran transmisi yang mempunyai panjang saluran antara 150 mil sampai dengan 150 mil atau lebih dari 240 km. Parameter yang mempengaruhi sistem kerja suatu saluran adalah hambatan, kapasitansi, induktansi dan konduktansi yang terdapat pada saluran transmisi. Hambatan penghantar saluran transmisi merupakan penyebab utama hilangnya daya pada saluran transmisi.

Kapasitansi suatu saluran transmisi merupakan akibat dari beda potensial antar penghantar, Kapasitansi menyebabkan penghantar tersebut bermuatan, seperti yang terjadi pada pelat kapasitor apabila terdapat beda potensial diantara keduanya.

Gambar 2.1.  Diagram Sistem Tenaga Listrik  (Lawrance, 1965)
Gambar 2.1. Diagram Sistem Tenaga Listrik (Lawrance, 1965)

Transformator

Konstruksi Transformator

Kurva Histerisis

Kurva magnetisasi menggambarkan karakteristik suatu transformator yang menunjukkan hubungan antara kerapatan magnet yang disimbolkan B dan intensitas medan magnet yang disimbolkan H. Untuk memaksa fluks mencapai nilai nol diperlukan sejumlah gaya gerak magnet tertentu yang disebut gaya gerak magnet koersif. Ketika intensitas medan magnet telah mencapai nol, maka kerapatan fluks tidak mencapai nol karena adanya fluks sisa.

Lebih baik jenis bahan teras transformer yang digunakan, lebih nipis keluk histeresis akan atau cenderung menjadi linear dan sebaliknya jika bahan teras transformer yang digunakan lemah, keluk histeresis akan cenderung lebih luas.

Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT)

  • Tower Saluran Transmisi Listrik 150 kV
  • Konduktor Pada Saluran Transmisi
  • Isolator Saluran Transmisi Listrik
  • Surja Hubung

Saluran transmisi akan mengalami kehilangan energi, sehingga untuk mengatasi hal tersebut daya yang akan dikirim dari pusat pembangkit ke pusat beban harus disalurkan dengan tegangan tinggi atau tegangan ekstra tinggi (Extra High Voltase). Jalur transmisi yang menyalurkan listrik melalui kabel bergantung pada isolator antara menara atau tiang transmisi. Jenis kawat konduktor yang digunakan adalah 100% tembaga konduktif, 97,5% tembaga konduktif, atau 61% aluminium konduktif.

Kawat konduktor alumunium terdiri dari : AAC (All-Aluminum Conductor) yaitu kawat konduktor yang seluruhnya terbuat dari alumunium. Listrik yang disalurkan melalui sistem transmisi biasanya menggunakan kabel telanjang sehingga mengandalkan udara sebagai media isolasi antara kabel penghantar dengan benda disekitarnya. Tower adalah suatu struktur bangunan stabil yang fungsinya untuk menopang/meregangkan kabel penghantar pada ketinggian dan jarak yang cukup sehingga aman bagi manusia dan lingkungan sekitar.

Pada saluran transmisi yang perlu ditingkatkan kapasitas distribusinya, namun SUTT terletak pada daerah rawan longsor, dipasang konduktor jenis TACSR (Thermal Aluminium Conductor Steel Reinforced) yang mempunyai kapasitas besar namun berat kawatnya banyak berubah. . Selain pada proses switching, gangguan yang terjadi pada jalur transmisi dan distribusi juga disebabkan oleh sambaran petir yang terjadi pada sistem tenaga listrik. Sambaran petir yang terjadi pada gardu induk akan menyebabkan peningkatan tegangan lebih yang besar pada peralatan di gardu induk.

Tegangan lebih ini dapat merusak isolasi peralatan apabila melebihi batas isolasi peralatan yang diijinkan (BIL), sehingga diperlukan proteksi peralatan. Tegangan lebih suatu rangkaian dapat dijelaskan sebagai transien tegangan lebih yang disebabkan oleh tegangan lebih pada suatu rangkaian di sepanjang saluran transmisi yang mempunyai amplitudo lebih besar dari nilai nominal tegangan puncak, atau sebagai transien yang disebabkan oleh masukan energi (suplai), gangguan. energi ( de-energiisasi). ) dan gangguan yang disertai dengan masuknya kembali energi (re-energization) dari rangkaian listrik. Kenaikan tegangan akibat tegangan lebih pada rangkaian harus diperhitungkan agar tidak merusak koordinasi isolasi peralatan pada sistem.

Waktu kembali T2, adalah waktu antara mulainya tegangan impuls dan 50% nilai tegangan pada kembalinya impuls. Masalah penentuan nilai puncak seperti pada tegangan surja tidak ditemui karena proses osilasi sudah hilang ketika mencapai nilai puncak. Besaran lain yang biasanya melengkapi tegangan impuls kontak adalah waktu puncak (Td) yang didefinisikan sebagai durasi dimana nilai tegangan lebih besar dari 90%.

Tegangan lebih transien yang disebabkan oleh sambaran petir disebut lonjakan petir, sedangkan tegangan lebih transien yang disebabkan oleh operasi pensaklaran disebut lonjakan rangkaian. Salah satu penyebab terjadinya lonjakan rangkaian adalah proses penyediaan arus (eksitasi), yaitu proses pemberian energi suatu saluran transmisi dalam keadaan tidak dibebani dengan sumber tegangan, dengan cara menutup saklar.

Gambar 2.8.  Menara Saluran Transmisi Tipe Lattice  (Lukmantono, 2006)
Gambar 2.8. Menara Saluran Transmisi Tipe Lattice (Lukmantono, 2006)

Feroresonansi

  • Resonansi
  • Perbedaan Feroresonansi dan Resonansi
  • Munculnya Gejala Feroresonansi
  • Karakteristik Feroresonansi
  • Tegangan Sinusoida

Resonansi seri terdapat pada rangkaian listrik yang kapasitor (C) dan induktornya dihubungkan secara seri, sedangkan resonansi paralel terdapat pada rangkaian listrik yang kapasitor (C) dan induktor (I) dihubungkan secara paralel (Kiramindyo, 2017). Respon resonansi berupa tegangan lebih dan arus lebih terjadi dalam keadaan tunak. Pada rangkaian resonansi seri, penggunaan induktor diganti dengan induktor non linier sebagai model inti transformator sehingga rangkaian berubah dari rangkaian resonansi seri menjadi rangkaian feroresonan.

Fenomena yang terjadi pada rangkaian feroresonan sama dengan pada rangkaian resonansi seri, yaitu menyebabkan kenaikan arus yang sangat besar karena impedansi rangkaian yang kecil sehingga menimbulkan nilai reaktansi. Dengan meningkatnya arus maka kerapatan fluks juga akan meningkat hingga mencapai titik jenuh dan tidak lagi linier. Ketika nilai arus pada inti transformator feromagnetik meningkat melebihi titik jenuh maka induktansi akan berubah dengan sangat cepat, sehingga interaksi antara kapasitor dan inti besi induktor akan menimbulkan tegangan dan arus yang tidak biasa.

Munculnya lebih dari satu respon keadaan tunak pada parameter jaringan yang sama merupakan penyebab utama terjadinya feroresonansi. Reaksi tersebut dengan cepat berubah dari reaksi keadaan tunak normal menjadi reaksi keadaan tunak ferroresonansi yang dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan listrik (Kiramindyo, 2017). Tegangan lebih yang muncul pada rangkaian pemodelan disebabkan oleh adanya sambungan rangkaian feroresonan paralel dalam gradasi kapasitansi dengan induktansi nonlinier.

Apabila terjadi gangguan feroresonansi maka rangkaian feroresonansi sama dengan rangkaian resonansi seri, hal ini menyebabkan kenaikan arus yang sangat besar akibat kecilnya resistansi rangkaian sehingga mengakibatkan nilai reaktansi pada kapasitor sama dengan nilai reaktansi pada kapasitor. yang non-linier. induktor. Responsnya dengan cepat berubah dari respons kondisi tunak normal menjadi respons kondisi tunak ferroresonansi yang dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan listrik. Hasil simulasi pemodelan rangkaian ferroresonance akan menunjukkan karakteristik ferroresonance (Price, 2013) Ada empat karakteristik ferroresonance.

Respons tegangan dan arus dari karakteristik ini memiliki nilai periodik yang sama dengan nilai sistem. Berdasarkan Gambar 2.20, bentuk gelombang yang muncul pada saat terjadinya feroresonansi berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing respon feroresonansi. Dalam penelitian ini penulis mencoba menjelaskan bentuk gelombang sinusoidal dengan parameter tegangan dan.

Vmax merupakan tegangan puncak pada saat gelombang sinusoidal berada pada posisi positif dan juga untuk -Vmax merupakan tegangan puncak pada saat gelombang sinusoidal pada posisi negatif. Istilah tegangan efektif atau tegangan RMS terjadi karena tegangan dan arus rata-rata tidak banyak membantu dalam menghitung daya dan energi AC.

Gambar 2.16. Rangkaian Feroresonansi Sederhana  (Bunyagul, 2016)
Gambar 2.16. Rangkaian Feroresonansi Sederhana (Bunyagul, 2016)

ATPDraw

Tegangan maksimum atau tegangan puncak sangat berpengaruh dalam menentukan tegangan efektif dari suatu sumber tegangan AC. Seperti yang telah dibahas pada materi sebelumnya tentang perhitungan nilai rata-rata, ternyata nilai rata-rata fungsi sinusoidal adalah nol. Hal ini tentu saja tidak banyak membantu kita dalam menghitung besarnya daya yang terpakai dalam kurun waktu tertentu.

Gambar 2.22. Tampilan Layar pada Aplikasi ATPDraw
Gambar 2.22. Tampilan Layar pada Aplikasi ATPDraw

Gambar

Gambar 2.1.  Diagram Sistem Tenaga Listrik  (Lawrance, 1965)
Gambar 2.2.  Rangkaia Ekivalen Saluran Transmisi Pendek  (Novendro, 2016)
Gambar 2.3.  Rangkaian Ekivalen Saluran Tranmisi Menengah  (Novendro, 2016)
Gambar 2.4.  Rangkaian Ekivalen Saluran Transmisi Panjang  (Novendro, 2016)
+7

Referensi