• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN UTANG-PIUTANG EMAS DALAM HUKUM ISLAM (STUDI PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN MILA KABUPATEN PIDIE PROVINSI ACEH) CUT DINDA MUSTIKA ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERJANJIAN UTANG-PIUTANG EMAS DALAM HUKUM ISLAM (STUDI PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN MILA KABUPATEN PIDIE PROVINSI ACEH) CUT DINDA MUSTIKA ABSTRACT"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN UTANG-PIUTANG EMAS DALAM HUKUM ISLAM (STUDI PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN MILA KABUPATEN

PIDIE PROVINSI ACEH) CUT DINDA MUSTIKA

ABSTRACT

The research results show that Paying off the debt with the same amount of gold borrowed and some adjustment to the gold price when borrowed is permitted, because it is in line with the Islamic Sharia. Observed from the pillars and terms of the debt and credit agreement using gold, the debt and credit are eligible because shighat agreement has been made; capable of taking legal action; the object is in the form of property possessed by an individual and it has value according to the Sharia. Meanwhile, as to the murtahin who makes profit from the collateral possessed by the rahin, it is not in accordance with the Islamic Law. The use of the marhun (collateral) remains the right of the rahin because principally the position of collateral in debt and credit agreement is as the trust guarantee for the debt, not to gain some profit.

Keywords: Agreement of Debt and Credit Using Gold, Mortgage, Islamic Law

I. Pendahuluan

Agama Islam mengajarkan manusia hidup dengan saling tolong-menolong serta saling bantu-membantu dalam lapangan kebajikan. Orang kaya menolong yang miskin, yang mampu menolong yang kurang mampu. Ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan perintah tolong-menolong dalam hal kebajikan dan takwa yaitu ayat yang terdapat dalam Surah Al-Ma’idah (5) Ayat (2), Allah SWT berfirman yang artinya :

“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya”.1 Tolong-menolong dilakukan tidak hanya semata-mata dalam bentuk pertolongan fisik saja, akan tetapi dapat juga menyangkut dengan harta kekayaan, khususnya di bidang muamalah yang biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad). Salah satu bentuk tolong-menolong ini berupa pemberian secara

1Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,

(2)

sukarela maupun dalam bentuk pemberian pinjaman atau utang-piutang yang didahului dengan perjanjian (akad).

Istilah utang-piutang dalam Islam disebut dengan al-Qardh.2 Utang-piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian orang yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang dipinjam. Dalam Islam adanya utang-piutang ini diperbolehkan sepanjang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang dibenarkan oleh syara’.3

Pelaksanaan perjanjian utang-piutang banyak terjadi di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Praktek perjanjian utang-piutang ini, bukanlah dalam bentuk uang yang biasa dilakukan dalam praktek perjanjian utang-piutang pada umumnya, akan tetapi diberikan dalam bentuk emas. Dalam hal pengembalian utang, harus dikembalikan juga dalam bentuk emas dalam jumlah yang sama sewaktu peminjaman utang.

Emas murni di Aceh dikenal dengan istilah meuh 99 atau meuh London yang ditimbang dengan istilah mayam. Satu mayam setara dengan 3,3 gram.4 Harga emas selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar.

Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat mengadakan praktek perjanjian utang-piutang tersebut. Hal itu dilakukan semata-mata karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan memerlukan dana secepatnya. Dengan waktu pengembalian utang tidak ditentukan bahkan mencapai puluhan tahun.

Berikut adalah daftar jumlah pihak berutang dan pemberi utang dalam perjanjian utang-piutang emas di 5 (lima) gampong di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh :

2

H.E.Hasan Saleh, dkk, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hal. 389.

3Ibid, Hal. 126.

4Essi Hermaliza dan Soraya Devy, Jeunamee: Konsep dan Makna Mahar dalam Masyarakat Aceh, (Banda Aceh : Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, 2013), Hal. 6.

(3)

Sumber : Keuchik Gampong Blang Cut, Kumbang, Mesjid Ilot, Dayah Sinthop dan Dayah Andeue.

Seorang warga asal Gampong Dayah Andeue, berinisial Tuan R, berutang kepada Nyonya CA, warga Gampong Dayah Sinthop sebesar 47 mayam emas, pada kurang lebih sekitar 35 tahun yang lalu. Berdasarkan penuturannya, emas ketika itu jika dikonversikan ke mata uang rupiah permayamnya kurang lebih sekitar Rp. 400.000,- (empat ratus ribu rupiah). Sehingga 47 mayam emasnya setara dengan uang sekitar Rp. 18.800.000,- (delapan belas juta delapan ratus ribu rupiah). Ketika perjanjian utang-piutang telah berjalan selama 25 tahun, Tuan R mengembalikan utangnya dalam bentuk emas pula dan menyesuaikan dengan harga emas pada saat itu yang melonjak cukup tinggi. Sehingga ketika pengembalian utang emas, 47 mayam emas setara dengan uang kurang lebih sekitar Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah).5

Permasalahan yang muncul seperti yang terlihat pada kasus di atas adalah ketika pihak berutang hendak mengembalikan utangnya kepada pemberi utang, biasanya yang merasa paling dirugikan adalah pihak berutang karena akan mengembalikan utang lebih besar dari pinjaman yang awalnya diterima jika dikonversikan ke mata uang rupiah. Hal itu disebabkan karena harga emas pada saat peminjaman tidak sama dengan pada waktu pengembalian dikarenakan harga emas cenderung naik.

Untuk adanya kepastian dalam pengembalian utang tersebut, pihak berutang menyerahkan barang jaminan kepada pemberi utang dengan

5Wawancara dengan Tuan R, Pihak Berutang, Gampong Dayah Andeue, Tanggal 26

Februari 2017.

No. Nama Gampong Pihak Berutang Pihak Pemberi Utang

1. Blang Cut 20 orang 5 orang

2. Kumbang 14 orang 4 orang

3. Mesjid Ilot 13 orang 7 orang 4. Dayah Sinthop 17 orang 8 orang 5. Dayah Andeue 18 orang 6 orang

(4)

menggadaikan tanah sawah. Konsep tersebut dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.6 Rahn adalah bentuk transaksi yang menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang. Dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang, pemilik uang dibenarkan meminta jaminan kepada peminjam uang dalam bentuk barang berharga.7

Praktek utang-piutang yang terjadi ini di mana rahin selain harus mengembalikan utangnya, tanah sawah yang digadaikan sebagai pengikat utang dikuasai oleh murtahin dan dinikmati hasilnya. Dengan penjelasan bahwa selain

murtahin menerima pengembalian utang, murtahin juga mendapatkan hasil dari

pengolahan tanah sawah selama utang belum dikembalikan atau dilunasi oleh

rahin, dengan kenyataan terkadang tanah sawah yang dikuasai oleh murtahin

tersebut merupakan satu-satunya mata pencaharian rahin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Persoalan ini perlu penyelesaian agar kedua belah pihak baik

rahin maupun murtahin tidak ada yang dirugikan dan dirasa adil bagi kedua belah

pihak.

6Muhammad Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2003), Hal.

1-3.

7

(5)

Perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perjanjian utang-piutang dalam bentuk emas ?

2. Bagaimana pelaksanaan perjanjian utang-piutang emas di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh Menurut Hukum Islam?

3. Bagaimana kewenangan pemegang barang jaminan (murtahin) dalam perjanjian utang-piutang emas di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh Menurut Hukum Islam?

Sesuai dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah :

1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap perjanjian utang-piutang dalam bentuk emas.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian utang-piutang emas di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh Menurut Hukum Islam. 3. Untuk mengetahui kewenangan pemegang barang jaminan (murtahin)

dalam perjanjian utang-piutang emas di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh Menurut Hukum Islam.

II. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah :

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. b. Data sekunder yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma’ Ulama, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 3 Tahun 2016 tentang Gadai dalam Pandangan Fiqh Islam.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil

(6)

penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum, jurnal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa dan ensiklopedia.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan : metode penelitian kepustakaan (library research) dan Penelitian Lapangan (Field Research). Berdasarkan metode yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan melalui kuesioner dan pedoman wawancara.

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan dalam bentuk wawancara kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan, serta disusun secara berurutan dan sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analitis. sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan kerangka berfikir deduktif.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Apabila berutang sesuatu barang yang ditakar, ditimbang atau emas perak yang dicetak kemudian harganya mengalami penurunan atau kenaikan, maka wajib mengembalikan utangnya sama seperti yang dipinjam dulu. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian utang (qard) pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenis.8 Itu artinya, utang emas dibayar emas pada dasarnya sah-sah saja apabila nominalnya sama, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda, artinya sebagai berikut:9

“Emas dengan emas, perak dengan perak, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama jenis dengan sama jenis, diserahkan langsung dari tangan ke tangan. Siapa yang membayar lebih atau meminta (mengambil) lebih maka dia telah terlibat dengan riba. Orang yang mengambil dan yang membayar adalah sama.”

8Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2006), Hal. 156. 9 Zamakhsyari Hasballah, Panduan Bisnis Muslim., (Medan: Pesantren Al-Manar, 2011),

(7)

Untuk penetapan syarat dalam pengembalian utang menggunakan emas dengan nilai yang sama dan menyesuaikan dengan harga pada saat pengembalian diperbolehkan, karena sesuai dengan syariat Islam, berdasarkan hadist yang telah disebutkan di atas. Penetapan syarat tersebut dilakukan pada saat awal akad (perjanjian). Pinjaman yang diterima harus dikembalikan dengan jumlah yang sama, tidak perlu memperhatikan nilai naik turunnya harga.

Dalam segi akad pelaksanaan perjanjian utang-piutang emas yang terjadi di kelima gampong di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie menurut hukum Islam bahwa perjanjian diawali dengan adanya kesepakatan yang terjadi antara pihak pemberi utang dengan pihak berutang diwujudkan dalam shighat yaitu ijab dan kabul, yang merupakan unsur yang harus ada dalam sebuah akad. Pada prinsipnya makna akad adalah kesepakatan dua kehendak. Adapun ijab adalah pernyataan pertama yang dinyatakan oleh salah satu dari para pihak yang mencerminkan kesungguhan kehendak untuk mengadakan perikatan. Pernyataan ini dinyatakan oleh pihak berutang, seperti yang diucapkan oleh Tuan MK, warga Gampong Blang Cut dalam bahasa aceh, yang terjemahannya sebagai berikut: “saya akan meminjam emas kepada saudara untuk biaya pengobatan anak saya, luas tanah sawah yang saya miliki 1 (satu) naleh bibit tabur”.10

Kabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang mencerminkan persetujuan atau persepakatan terhadap akad. Pernyataan ini dinyatakan oleh pihak pemberi utang, seperti yang diutarakan oleh Nyonya I, warga gampong Mesjid Ilot dalam bahasa Aceh yang terjemahannya sebagai berikut: “iya, saya berikan 16 (enam belas) mayam emas”11

Demikianlah shighat ijab dan kabul yang diucapkan antara kedua belah pihak, di mana para pihak harus mematuhinya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah Ayat (1), yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang

10Wawancara dengan Tuan MK, Pihak Berutang, Gampong Blang Cut, Tanggal 22

Februari 2017.

11Wawancara dengan Nyonya I, Pihak Pemberi Utang, Gampong Mesjid Ilot, Tanggal 24

(8)

mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.12

Sedangkan mengenai ‘Aqidainnya, dalam transaksi utang-piutang ini telah sesuai dengan rukun dan syarat akadnya. Pihak-pihak yang melakukan utang-piutang telah memenuhi syarat yang telah dijelaskan. Para pihak yang melakukan akad merupakan orang-orang yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat dan cakap dalam melakukan tindakan hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa rukun dan syarat akad utang-piutang dalam hal ‘Aqidainnya telah terpenuhi.

Selain itu objek dalam utang-piutang juga telah memenuhi syarat sebagaimana sahnya akad utang-piutang tersebut diadakan, yaitu objek akad yang diakui oleh syara’ berupa objek berbentuk harta yang dimiliki oleh seseorang dan bernilai harta menurut syara’, yaitu emas. Seperti halnya Abdul Azis Dahlan dalam Ensikopledi Hukum Islam : Untuk objek akad yang diakui oleh syara’ disyaratkan:13

a. Berbentuk harta;

b. Dimiliki oleh seseorang; dan c. Bernilai harta menurut syara’.

Oleh sebab itu jika objek akad itu sesuatu yang tidak bernilai harta dalam Islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamar. Di samping itu, jumhur ulama fikih selain ulama Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa barang najis seperti anjing, babi, bangkai dan darah tidak dapat dijadikan objek akad, karena barang najis tidak bernilai dalam syara’.

Berdasarkan syarat objek yang diakui syara’ di atas, emas merupakan objek utang-piutang yang bernilai harta menurut syara’, dan bukan merupakan salah satu barang najis seperti yang disebutkan di atas, karena barang najis tidak bernilai dalam syara’ dan tidak dapat dijadikan objek akad.

Sehingga adanya shighat akad, para pihak yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat dan cakap dalam melakukan tindakan hukum, objek berbentuk harta yang dimiliki oleh seseorang dan bernilai harta menurut syara’, dengan demikian rukun maupun syarat akad utang-piutang tersebut telah terpenuhi.

12Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. J-ART, 2005),

Hal.156.

13 Abdul Azis Dahlan, Ensikopledi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta : Ichtiar Baru van

(9)

Dalam praktek perjanjian utang-piutang emas yang terjadi di 5 (lima) gampong di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, manakala pihak berutang telah menyerahkan tanah sawah sebagai jaminan utangnya maka tanah sawah tersebut dikelola secara penuh oleh pihak pemberi utang atau dengan sistem bagi hasil. Pemanfaatan yang berlarut-larut oleh penerima gadai (murtahin) mengakibatkan pihak berutang merasa dirugikan. Hal inilah menjadi kebiasaan yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat di 5 (lima) gampong di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh.

Dalam hal pengambilan manfaat terhadap barang jaminan (marhun), Ulama Syafi’iyyah secara garis besar berpendapat sepeti Ulama Malikiyyah, yaitu penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai karena termasuk kategori pinjaman utang yang menarik kemanfaatan. Setiap piutang yang mendatangkan manfaat adalah riba. Begitupun menurut Ulama Hanafiyyah, penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin penggadai, karena penerima gadai hanya memiliki hak al-habsu saja bukan memanfaatkan. Apabila penggadai memberi izin kepada penerima gadai, sebagian Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara mutlak. Sebagian lagi melarangnya secara mutlak, karena hal itu sama dengan riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang mengandung syubhat riba. Sedangkan Ulama Hanabilah menyatakan untuk barang gadai selain hewan dan sesuatu yang tidak butuh pembiayaan untuk memberi makan, maka penerima gadai sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin penggadai, karena barang gadai, kemanfaatan-kemanfaatannya dan apa yang dihasilkannya adalah milik penggadai.

Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh dalam Fatwanya Nomor 3 Tahun 2016 tentang Gadai dalam Pandangan Fiqh Islam menyebutkan bahwa Penggadai tidak boleh mengambil manfaat harta benda gadaian kecuali dengan izin pemiliknya, melalui akad Ibahah, Ijarah, Isti’arah dan lain-lain. Begitupun dengan Pasal 357 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang menyebutkan bahwa penerima gadai tidak boleh menggunakan harta gadai tanpa seizin pemberi gadai.

(10)

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh, Bapak Teungku Faisal Ali mengatakan bahwa dalam kasus utang-piutang yang ada borg (jaminan) maka pemanfaatan borg (jaminan) itu tetap berada di tangan pemilik harta/pihak berutang. Jika pemanfaatan barang jaminan itu dialihkan kepada pemberi utang dengan penuh keikhlasan dari si berutang maka akad tersebut sah. Ikhlas yang dimaksud adalah ikhlas yang tidak hanya sekedar ucapan saja, maka sahlah borg (jaminan) yang dinikmati oleh si pemberi utang tersebut. Apabila terdapat unsur keterpaksaan demi kepentingan si pemberi utang maka tidaklah sah

borg (jaminan) tersebut dinikmati oleh si pemberi utang. Karena pada prinsipnya

memberikan utang itu adalah tolong-menolong (ta’awun) dan konsep borg (jaminan) diluar ta’awun ini tidaklah baik.14

Kendatipun demikian jika pemberi utang diberikan hak memanfaatkan (borg) jaminan yang dalam kasus ini menggarap tanah sawah milik pihak berutang, maka hasil garapan itu haruslah untuk menutupi utang si berutang. Apabila utang telah lunas maka tanah sawah harus dikembalikan kepada si berutang. Perbuatan ini mencerminkan konsep ta’awun sesungguhnya. Namun, pada kenyataannya konsep ini tidak terjadi di tengah-tengah masyarakat Aceh, khususnya yang melakukan perjanjian utang-piutang dengan pemberian borg (jaminan) tersebut. Tanah sawah digarap oleh pihak pemberi utang dan pihak berutang harus membayar lagi utangnya diluar hasil garapan tanah sawah yang telah dimanfaatkan oleh pemberi utang itu.15

Para ulama fiqh sepakat menyatakan, bahwa ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang di-rahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang pemberi utang.16

14Wawancara dengan Bapak Teungku Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan

Ulama Provinsi Aceh,Banda Aceh, Tanggal 28 Februari 2017.

15Wawancara dengan Bapak Teungku Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan

Ulama Provinsi Aceh,Banda Aceh, Tanggal 28 Februari 2017.

16Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media,

(11)

Oleh karenanya, menurut Bapak Teungku Faisal Ali, jaminan dalam perjanjian utang-piutang hanya berkedudukan sebagai kepercayaan atas utang bukan untuk memperoleh laba atau keuntungan.17 Sehingga kewenangan murtahin hanya sebatas menahan marhun untuk memastikan bahwa pihak berutang akan melunasi utangnya. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 343 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyebutkan bahwa penerima gadai (kreditur) mempunyai hak menahan harta gadai sampai utang pemberi gadai (debitur) dibayar lunas. Sedangkan pemanfaatan marhun tetap berada di tangan rahin.

Apabila utang tidak dapat dilunasi maka marhun dapat dijual. Murtahin dapat mengambil hak pelunasan utang rahin, bila ada kelebihan dari hasil penjualan marhun maka akan dikembalikan kepada rahin.18

IV. Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan

1. Perjanjian utang-piutang dalam bentuk emas menurut pandangan hukum Islam diperbolehkan. Pengembalian utang menggunakan emas dengan jumlah yang sama ketika peminjaman dan menyesuaikan dengan harga pada saat pengembalian diperbolehkan karena sesuai dengan syariat Islam, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda, artinya sebagai berikut : “Emas dengan emas, perak dengan perak, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama jenis dengan sama jenis, diserahkan langsung dari tangan ke tangan. Siapa yang membayar lebih atau meminta (mengambil) lebih maka dia telah terlibat dengan riba. Orang yang mengambil dan yang membayar adalah sama”. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian utang (qard) pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenis. Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai yang sama dengan yang diterima dari pemiliknya, tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu menjadikan transaksi ini menjadi riba yang diharamkan.

17Wawancara dengan Bapak Teungku Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan

Ulama Provinsi Aceh, Banda Aceh, Tanggal 28 Februari 2017.

18Wawancara dengan Bapak Teungku Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan

(12)

2. Pelaksanaan perjanjian yang terjadi berupa pemberian utang dalam bentuk emas disertai dengan pemberian barang jaminan dengan menggadaikan tanah sawah oleh pihak berutang yang diberikan kepada pemberi utang. Tata cara perjanjian yang sering dilakukan para pihak ini tidak merujuk pada aturan tertentu, baik itu undang-undang ataupun fiqih Islam. Tata cara yang dipelihara adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat sejak lama dilaksanakan secara turun-temurun. Dalam hal pelaksanaan perjanjian jika dilihat dari segi rukun maupun syarat akad utang-piutang emas di 5 (lima) gampong di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie yaitu adanya shighat akad, para pihak yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat dan cakap dalam melakukan tindakan hukum, objek berbentuk harta yang dimiliki oleh seseorang dan bernilai harta menurut syara’, maka dengan demikian rukun maupun syarat sah akad utang-piutang tersebut sudah terpenuhi. Sedangkan mengenai pengembalian utang, tidak dibatasi oleh jangka waktu, artinya dapat dikembalikan oleh pihak berutang apabila ada kemudahan atau rezeki, yang biasanya setelah panen. Begitu halnya menurut hukum Islam, penagihan utang haruslah melihat atau mengerti keadaan orang yang berutang sampai pihak berutang mampu melunasi utangnya dengan memberikan penangguhan.

3. Berdasarkan Hadist Nabi Muhammad SAW, pendapat para ulama dan dikuatkan dengan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh Nomor 3 Tahun 2016 tentang Gadai dalam Pandangan Fiqh Islam bahwasanya pemanfaatan marhun seharusnya tetap berada di tangan rahin karena pada dasarnya jaminan dalam perjanjian utang-piutang hanya berkedudukan sebagai jaminan kepercayaan atas utang bukan untuk memperoleh laba atau keuntungan. Sehingga kewenangan murtahin terhadap barang jaminan hanya sebatas menahan marhun untuk memastikan bahwa pihak berutang akan melunasi utangnya. Maka, para murtahin yang memanfaatkan dan menikmati barang jaminan berupa tanah sawah pada perjanjian utang-piutang emas di 5 (lima) gampong di Kecamatan Mila Kabupaten Pidie Provinsi Aceh adalah tidak sesuai dengan syariat Islam.

(13)

B. Saran

1. Dalam pembuatan surat perjanjian utang-piutang emas oleh para pihak yang bersangkutan, ada baiknya dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, salah satunya diperuntukkan sebagai pertinggal untuk arsip/dokumen yang dipegang oleh Keuchik gampong. Hal ini dimaksudkan sebagai cadangan jika surat perjanjian utang-piutang yang dipegang oleh pemberi utang hilang/musnah sehingga masih ada pertinggal sebagai alat bukti manakala terjadi cidera janji atau wanprestasi.

2. Sebaiknya perangkat gampong mengarahkan para pihak yang akan dan sedang melakukan perjanjian utang-piutang emas dengan pemberian barang jaminan agar cukup menahan surat kepemilikan jaminan atau sertipikat yang memiliki legalitas formal yang dipegang pemberi utang/murtahin bukan justru pemberi utang/murtahin menikmati manfaat yang melekat pada barang jaminan tersebut dan kepada seluruh masyarakat Kecamatan Mila Kabupaten Pidie khususnya untuk masyarakat di 5 (lima) Gampong yaitu Gampong Blang Cut, Kumbang, Mesjid Ilot, Dayah Sinthop dan Dayah Andeue, agar lebih memperhatikan dan memahami benar-benar esensi gadai dari awal, sehingga tidak ada keinginan untuk mendapatkan keuntungan material yang menjurus ke riba karena tujuan utama memberikan utang adalah atas dasar ta’awun (tolong-menolong).

3. Disarankan kepada pemerintah untuk segera membuat Qanun yang berkaitan dengan kewenangan pemanfaatan barang jaminan (gadai) untuk menguatkan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 3 Tahun 2016 tentang Gadai dalam Pandangan Fiqh Islam agar pelaksanaannya segera terealisasi dengan baik sebagaimana perintah Qanun dan sesuai dengan syariat Islam. V. Daftar Pustaka

Anshori, Abdul Ghofur, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media : Yogyakarta, 2006.

Dahlan, Abdul Azis, Ensikopledi Hukum Islam, Jilid 5, Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta, 1996.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. J-ART: Bandung, 2005.

(14)

Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media: Jakarta, 2005.

Hadi, Muhammad Solikhul, Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah : Jakarta, 2003. Saleh, H.E.Hasan, dkk., Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, PT.Raja

Grafindo Persada: Jakarta, 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur Kegiatan PPL Penulis pada saat melaksanakan Program Pengalaman Lapangan di Kantor Pelayanan Pajak Pratam Lubuk Pakam adalah membantu pegawai-pegawai Kantor

(iv) Problems with delegation can be overcome by careful selection and training, an open communication system, the establishment of an appropriate control system and a system

Mengingat pelajaran bahasa Inggris mempunyai posisi atau status sebagai bahasa international, maka pemerintah Kota Denpasar dengan mengacu pada Standar Kompetensi

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui toksisitas fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat dari ekstrak limbah kulit kayu bakau R.apiculata terhadap serangan

Hardness Rockwell C Test (HRC) : pengujian untuk mendapatkan nilai kekerasan material. Material outer link Chain Beumer BZK1200 dilakukan pengujian hardness

Dalam jurnal ini , penulis membuat sistem pengenalan wajah dengan membandingkan tingkat akurasi antara metode LNMF dan NMFsc.Dimana sistem ini dapat melakukan

Maka credit union merupakan kumpulan orang-orang yang saling percaya dan dipererat dalam sebuah ikatan kata sepakat untuk menabung uang secara teratur dan secara terus

Dengan kondisi seperti ini, penulis memberikan saran untuk perlunya perusahaan melakukan kegiatan yang spesifik, meliputi: (1) memastikan kesetimbangan portofolio