Page 1
UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014):
Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat
Oleh
Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS
Permasalahan
Diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada tanggal 15 januari 2014, sepintas tampaknya membawa berkah bagi keberadaan Desa Adat di Bali. Betapa tidak, karena dalam undang-undang sendiri dengan jelas disebutkan kata-kata atau istilah Desa Adat. Kalau tidak dicermati secara mendalam dan dikaji secara kritis, maka secara tidak sadar kita (masyarakat Bali) berbangga karena untuk pertama kali Desa Adat diatur secara nasional dalam suatu undang-undang. Tidaklah salah kalau hal tersebut dilihat secara politis terutama kepentingan politis seseorang/sekelompok orang yang tentunya telah berhasil memperjuangkan Desa Adat sampai dicantumkan istilahnya dalam sebuah undang-undang. Tidaklah salah juga apabila kebanggaan ini dilihat dari kepentingan terhadap bantuan yang akan dialokasikan cukup besar terhadap desa. Kalau benar hal tersebut membawa berkah bagi Desa Adat dan masyarakat Bali berbangga dengan hal tersebut tentunya masyarakat Bali tidak kebingungan sehingga harus mengadakan seminar dan pertemuan berkali-kali di berbagai tempat untuk mendapat jawaban tentang bagaimana sebenarnya nasib Desa Adat dengan keluarnya Undang-Undang Desa tersebut. Dengan adanya perdebatan-perdebatan dalam berkali-kali pertemuan selama ini menandakan bahwa kehadiran Undang Undang Desa tersebut membawa masalah bagi Desa Adat. Mengapa? Untuk menjawabnya, perlu dilakukan kajian secara kritis
Pembahasan
Selama ini di Bali dikenal adanya 2 jenis desa, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat merupakan masyarakat hukum adat yang telah ada sejak dahulu sebelum jaman kerajaan, yang
Page 2 disebut dengan berbagai istilah antara lain “desa” (dalam bahasa Bali) Istilah desa adat sendiri baru muncul kemudian setelah pemerintah Belanda dalam pemerintahannya mengintrodusir (memperkenalkan) istilah “desa” yang coraknya berbeda dengan masyarakat hukum asli tersebut. Supaya tidak kabur antara keduanya, khusus untuk di Bali desa produk pemerintah Belanda itu disebut “desa dinas” yang mengurusi administrasi, sedangkan desa yang telah ada sebelumnya sebagai masyarakat hukum di Bali disebut “desa adat” (yang kemudian diubah lagi dengan istilah “desa pakraman”. Diketahui kedua jenis desa tersebut selama ini tetap eksis di Bali dan hidup berdampingan secara harmonis saling isi mengisi dan bantu membantu.
Dengan keluarnya Undang-undang No.6 tahun 2014, kendatipun istilah desa adat diangkat dalam undang-undang tersebut, akan tetapi karena pembuat undang-undang tidak konsisten dalam penggunaan istilah, dan adanya perumusan yang tidak jelas dalam beberapa pasalnya, menyebabkan timbulnya penafsiran yang berbeda-beda sehingga menjadi bahan perdebatan. Salah satu pasal yang paling krusial adalah pasal 6 yang menyebutkan sbb:
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat
Ayat 1 yang menyebutkan Desa dan Desa Adat menunjukkan bahwa undang-undang ini mengakui kedua model desa, baik desa (di Bali Desa Dinas) maupun Desa Adat. Rumusan ayat 2 ternyata tidak konsisten, karena dalam ayat 2 menggunakan kata Desa atau Desa Adat, yang berarti salah satu dari kedua desa tersebut. Rumusan ayat 2 inilah yang rupanya dipakai dalam penjelasan sehingga dalam penjelasan pasal 6 mengacu pada keharusan memilih di antara salah satu desa tersebut, apakah itu desa (desa dinas) ataukah desa adat. Penjelasan inilah yang menimbulkan kebingungan dan kegusaran pada masyarakat Bali. Dengan memilih salah satu dari kedua desa, maka berarti akan meniadakan desa yang lainnya. Tentu saja hal ini menjadi masalah untuk Bali, karena di Bali nyatanya memang ada kedua desa tersebut. Bukankah hal ini merupakan suatu masalah???
Page 3 Bagaimana memecahkan masalah itu?
Memperhatikan ketentuan pasal 6 dan penjelasannya ternyata tidak bersesuaian satu dengan yang lain. Kalau demikian halnya, maka penjelasan dapat diabaikan karena penjelasan tidak bersifat mengikat sebagai aturan hukum. Kalau penjelasan dapat diabaikan karena tidak sesuai dengan makna pasalnya, maka bukankah masyarakat Bali bebas dari persoalan harus memilih salah satu dari dua jenis desa yang ada? Mengapa demikian? Jawabannya adalah bahwa Penjelasan pasal 6 menyebutkan sbb:
“Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan Desa Adat dalam satu wilayah maka dalam satu wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat”
Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam satu wilayah harus dipilih salah satu jenis desa sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Kalau penjelasan pasal 6 tersebut dicermati secara saksama dan dikaitkan dengan keberadaan dua jenis desa di Bali, maka masyarakat Bali sebenarnya tidak perlu bingung karena kedua jenis desa yang ada tidak ada tumpang tindih kewenangan, maupun duplikasi kelembagaan karena kewenangan kedua jenis desa di Bali sudah jelas berbeda. Lagi pula fakta memperlihatkan bahwa selama ini kedua jenis desa tidak mengalami konflik wilayah, kendatipun ada kalanya tumpang tindih wilayah namun karena kewenangan masing-masing jelas berbeda maka justru keduanya dapat saling melengkapi satu dengan yang lain. Jadi kata “mencegah” pada penjelasan pasal 6 tersebut tidak tepat ditujukan kepada desa di Bali.
Kalimat berikutnya dalam penjelasan pasal 6 justru ditujukan kepada masyarakat yang sudah terjadi tumpang tindih. Kalimat ini lebih-lebih lagi tidak tepat ditujukan kepada masyarakat Bali. Lalu mengapa masyarakat Bali harus memilih?
Apa konsekuensinya kalau harus memilih? Masing-masing pilihan harus dianalisis konsekuensinya.
Page 4 Seperti diketahui desa adat sebagai masyarakat hukum adat selama ini diakui mempunyai otonomi asli dalam mengatur rumahtangganya sendiri, ia mempunyai susunan asli yang berbeda-beda di satu tempat dengan di tempat lain, mempunyai sistem pemerintahan sendiri, membuat hukumnya sendiri (awig-awig/hukum adat) walaupun juga tunduk pada hukum nasional, mempunyai kekayaan sendiri, mempunyai sistem peradilan, dan khusus untuk desa adat di Bali ada kreteraia yang spesifik yaitu “adanya Kahyangan Tiga” yang tidak ada pada masyarakat hukum adat lainnya di Indonesia. Artinya, dengan adanya unsur Kahyangan Tiga itu desa adat di Bali bercorak ke Hinduan. Kalau desa adat akan diatur secara nasional, perlu disadari bahwa “kehinduan” itu akan menjadi “minoritas”. Sebagai minoritas, masyarakat Bali perlu waspada karena cepat atau lambat umumnya “yang minoritas” akan tergusur. Kalau desa adat diatur secara nasional, keanekaragaman akan hilang karena prinsip pengaturan secara nasional adalah penyeragaman (univikasi), artinya masyarakat adat harus senantiasa tunduk pada segala peraturan tingkat nasional. Di samping itu, kalau harus memilih salah satu, dalam hal ini desa adat ataupun desa dinas, itu artinya akan meniadakan desa yang lainnya. Hal ini akan menimbulkan ketidakpuasan yang berpotensi untuk menimbulkan konflik dan pada akhirnya akan menimbulkan perepecahan pada masyarakat Bali. Hal ini penting diwaspadai.
Pengaturan Desa Adat secara khusus dalam Bab XIII undang-undang ini tidak juga menjamin kedudukan Desa Adat menjadi kuat dan aman. Sebagai contoh ketentuan pasal 100. yang menentukan sebagai berikut:
(1) Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan Desa Adat dapat diubah menjadi kelurahan…dst.
(2) Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menajdi kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan berubah menjadi Desa Adat, kekayaan kelurahan beralih menjadi kekayaan Desa Adat, dan kalau desa adat beralih menjadi desa ataupun kelurahan, maka kekayaan desa adat akan beralih menjadi kekayaan Desa ataupun kekayaan kelurahan.
Ketentuan pasal 100 tersebut di atas menimbulkan pertanyaan besar, apakah begitu mudahnya mengalihkan status desa adat menjadi Desa dan Kelurahan dan sebaliknya, dari Desa dan kelurahan menjadi status Desa Adat. Apakah begitu mudahnya mengalihkan kekayaan Desa
Page 5 Adat menjadi kekayaan Desa dan Kelurahan? Bagaimana dengan “Kahyangan Tiga” sebagai corak kehinduan Desa Adat? Apakah pembuat undang-undang dan putra Bali yang merasa berjasa dalam menyukseskan lahirnya undang-undang Desa ini sudah memikirkan hal tersebut secara cerdas? Tentu masih banyak ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang ini yang perlu dipertanyakan karena melemahkan kedudukan Desa Adat.
Bagaimana kalau memilih desa dinas?.
Pengaturan desa (dalam arti desa dinas) secara nasional sudah banyak diterapkan dalam berbagai undang-undang secara berturut-turut dalam :
1) UU No.22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 2) UU No 1 Tahun 1957; tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 3) UU No 18 Tahun 1965: tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 4) UU No 19 Tahun 1965; tentang Desa Praja
5) UU No 5 Tahun 1974; tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah 6) UU No 5 Tahun 1979; tentang Pemerintahan Desa
7) UU No 22Tahun 1999; tentang Pemerintahan Daerah 8) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Dengan diaturnya Desa Dinas secara nasional yang berarti Desa Dinas masuk ke dala struktur Pemerintahan Pusat selama ini tidaklah menimbulkan masalah bagi keberadaan desa adat khususnya di Bali. Akan tetapi kalau undang-undang yang baru ini (UU No 6 Tahun 2014) harus memilih salah satu (misalnya Desa Dinas) itu jelas akan meniadakan Desa Adat dan inipun berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan bagi Bali masyarakat Bali sendiri. Kalau demikian halnya, itu tentunya menyimpang dari jiwa pasal 18 B UUD 1945, karena pasal 18 B UUD 1945 justru dengan sangat jelas dan tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat (termasuk Desa Adat di Bali)
Page 6 Ketentuan pasal 18 B UUD 1945 yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat tetap dijadikan landasan yang kuat bagi keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah tanah air. Yang diperlukan lebih lanjut adalah konsistensi pengakuan itu dalam perundang-undangan berikutnya sampai ketingkatan yang paling bawah. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat memang sudah dicantumkan dalam beberapa undang-undang, antara lain Undang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Lingkungan, akan tetapi yang perlu ditegaskan bahwa pengakuan itu bukanlah sekedar basa-basi politik melainkan perlu komitmen bersama untuk mewujud-nyatakan pengakuan itu dalam bentuk sikap dan tindakan konkret oleh semua pihak.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tidaklah bijaksana kalau masyarakat (Bali) diharuskan untuk memilih salah satu dari kedua desa (Desa Adat dan Desa Dinas) yang ada selama ini karena hal tersebut akan berpotensi konflik.
2. Yang perlu dilakukan adalah memperjuangkan supaya Masyarakat Hukum Adat (di Indonesia) (Desa Adat di Bali) tetap diakui dalam berbagai perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 18 B UUD 1945, kalau perlu melanjutkan perjuangan untuk mendapat otonomi khusus.
3. Sekali lagi yang diperlukan bagi masyarakat Hukum Adat adalah PENGAKUAN secara nasional bukan Pengaturan secara nasional. Pengakuan yang dimaksud bukanlah sekedar BASA-BASI tetapi diwujud-nyatakan dalam sikap dan perilaku konkret. 4. Tentang bagaimana Masyarakat Hukum Adat itu harus diatur biarlah disesuaikan dengan
kekhususan daerah masing-masing dalam bentuk Perda. Dengan demikian, corak kehinduan (Kahyangan Tiga) sebagai ciri Desa Adat di Bali tidak terancam.