• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPATITIS PADA KALONG (Pteropus vampyrus) ASWIN SETYAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPATITIS PADA KALONG (Pteropus vampyrus) ASWIN SETYAWAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPATITIS

PADA KALONG (Pteropus vampyrus)

ASWIN SETYAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTUTUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Hepatitis pada Kalong (Pteropus vampyrus) adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

Aswin Setyawan B04080061

(3)

ii

ABSTRACT

ASWIN SETYAWAN. Histopathological Study of Hepatitis in Large Flying Fox (Pteropus vampyrus). Under direction of EKOWATI HANDHARYANI and AGUS SETIYONO.

The aim of this research was to find out an descrption of hepatitis in the large flying fox (Pteropus vampyrus). This research used seventeen livers

samples of Pteropus vampyrus from Manado(North Sulawesi) and Ciamis (West Java). The necropsy procedure was performed and livers of Pteropus vampyrus were taken, examined for gross findings and histopathology. The results of observations indicated that three of the samples showed hepatitis; characterized by the presence of granulomatous inflammation. Inflammatory in those samples consisted of necrotic area, neutrophils, macrophages, lymphocytes, and fibrous tissue. Periodic Acid Schiff (PAS) staining was done on three samples and the results demonstrated negative to the existence of parasites and fungi. So the cause of granulomatous inflammaton in this study is still not spesific yet.

(4)

iii

RINGKASAN

ASWIN SETYAWAN. Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus

vampyrus). Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan AGUS SETIYONO.

Kelelawar telah diidentifikasi sebagai reservoir host untuk banyak penyakit patogen yang akhir-akhir ini muncul. Penyakit patogen tersebut diantaranya adalah virus Hendra, virus Nipah, virus SARS Corona , virus Ebola, virus Lyssa

Australian Bat, dan virus Menangle. Kelelawar yang dapat berperan sebagai reservoir host salah satunya adalah kelelawar buah (kalong) dari genus Pteropus

yang lebih dikenal dengan nama flying fox. Populasi kalong terutama Pteropus

vampyrus cukup banyak di Indonesia. Bertolak dari hal tersebut penelitian ini

dilakukan untuk mencari tahu tentang kerusakan pada hati dari Pteropus

vampyrus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi

hepatitis pada kalong (Pteropus vampyrus). Selanjutnya, penelitian ini diharapkan bisa menjadi dasar penelitian penyakit zoonosis dari kalong terutama spesies

Pteropus vampyrus berdasarkan lesio-lesio dari hepatitis yang ditemukan.

Pteropus vampyrus dianastesi dengan menggunakan ketamin HCl dengan

dosis 10 mg/kg BB secara intra muskular. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel darah, urine, dan feses sebelum dilakukan eutanasi. Setelah mati, kalong dinekropsi untuk pengambilan organ, organ difiksasi di dalam Buffer Neutral

Formalin (BNF) 10% untuk dibuat preparat histopatologi. Pembuatan preaparat

histopatologi organ hati dilakukan dengan prosedur yang terdiri dari fiksasi, dehidrasi, pencetakan, dan pemotongan. Selanjutnya preparat diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS), kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop. Semua gambaran histopatologi dievaluasi dan disampaikan dalam penjelasan secara deskriptif.

Hasil pengamatan sampel preparat histopatologi hati pada 17 ekor kalong dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya beberapa lesio. Pada sampel nomor 22, 23, 44, B1, B3, B4, B5, C10, dan C14 terdapat bentuk hepatosit yang normal, sedangkan pada sampel nomor 24, 25, 35, 42, 43, 46, C2, dan C5 terdapat lesio pada jaringan hati. Kerusakan hepatosit dikarenakan adanya infiltrasi radang granuloma ditemukan pada sampel 24, 25, dan C2 dan degenerasi hidropis ditemukan pada sampel 35, 42, 43, 46, C2, dan C5.

Adanya kerusakan hepatosit dan ditemukannya sel-sel radang menunjukkan bahwa sampel nomor 24, 25, dan C2 mengalami hepatitis. Hepatitis merupakan peradangan yang terjadi pada hati. Hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu hepatitis akut dan hepatitis kronis. Hepatitis akut merupakan kerusakan hepatosit yang ditandai dengan masih ditemukannya perdarahan. Sel-sel radang pada hepatitis akut lebih dominan pada daerah parenkim daripada daerah porta dan kadang-kadang ditemukan kerusakan pada lumen pembuluh empedu, serta belum terbentuknya jaringan fibrosis sebaliknya hepatitis kronis ditandai dengan terbentuknya jaringan fibrosis.

Sarang radang granuloma ditemukan pada sampel nomor 24, 25, dan C2. Sarang radang granuloma merupakan peradangan dengan sekumpulan makrofag yang disertai limfosit dan sel plasma; kadang-kadang ditemukan netrofil dalam

(5)

iv

jumlah minimal. Penyebab dari radang granuloma sering tidak diketahui dan biasanya merupakan bagian dari infeksi sistemik. Pada sampel 24 dan 25 ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang terdiri dari sel netrofil, makrofag, dan limfosit, sedangkan pada sampel C2 ditemukan limfosit, makrofag, giant cell, serta sedikit netrofil. Pewarnaan PAS yang dilakukan pada sampel 24, 25, dan C2 menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan parasit maupun jamur, yang berarti bahwa penyebab sarang radang granuloma belum diketahui secara pasti.

(6)

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

vi

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPATITIS

PADA KALONG (Pteropus vampyrus)

ASWIN SETYAWAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTUTUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)

vii

Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus

vampyrus)

Nama : Aswin Setyawan NIM : B04080061

Disetujui, Pembimbing I

Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet NIP. 19591217 198601 2 001

Pembimbing II

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004

Diketahui, Wakil dekan

Fakultas Kedokteran Hewan - IPB

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004

(9)

viii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat, izin, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus

vampyrus)" yang merupakan syarat kelulusan Sarjana Kedokteran Hewan, Institut

Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph. D, APVet dan drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet selaku pembimbing atas bimbingan, ilmu, dorongan, motivasi, nasehat, dan waktu yang telah diluangkan selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai laboratorium Patologi yang telah banyak membantu mulai dari awal hingga selesainya penelitian ini dengan lancar. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, teman sepenelitian, teman-teman Avenzoar FKH 45 atas doa, dorongan semangat, dan seluruh bantuannya.

Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan dan penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak termasuk penulis pribadi.

Bogor, Oktober 2012

(10)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus 1990. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Budhi Sukoco dan Asih Daryati.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 1 Wonosobo pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui seleksi USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan dan organisasi. Penulis tercatat pernah menjadi pengurus BEM FKH IPB departemen Pendidikan kabinet Katalis periode tahun 2009-2010, Ketua Seminar One World One Health (OWOH) pada tahun 2009, pengurus Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar FKH IPB divisi Eksternal periode 2009-2010, Ketua Divisi Eksternal Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar periode 2010-2011, dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Wonosobo.

(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ... x DAFTAR GAMBAR ... xi PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2 TINJAUAN PUSTAKA Pteropus vampyrus ... 3 Hati ... 7

BAHAN DAN METODE Bahan dan Peralatan Penelitian ... 11

Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

Pembuatan Preparat Histologi Fiksasi... 11

Dehidrasi ... 11

Pencetakan (Embedding) ... 12

Pemotongan ... 12

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin ... 12

Pewarnaan Periodic Acid Schiff ... 13

Pengamatan ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

SIMPULAN DAN SARAN ... 21

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Pteropus vampyrus ... 3

Gambar 2 Susunan gigi Pteropus vampyrus tampak ventral ... 4

Gambar 3 Penyebaran Pteropus vampyrus di Asia Tenggara ... 5

Gambar 4 Daerah porta hati tikus ... 8

Gambar 5 Vena centralis hati tikus ... 8

Gambar 6 Hati, dilatasi sinusoid dan kongesti pada sampel 42 ... 17

Gambar 7 Sel-sel hati mengalami degenerasi hidropis secara luas pada sampel 35 ... 17

Gambar 8 Hati, infiltrasi radang granuloma pada sampel 25... 19

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelelawar telah diidentifikasi sebagai reservoir host untuk banyak penyakit patogen yang akhir-akhir ini muncul. Penyakit patogen tersebut diantaranya adalah virus Hendra (Halpin et al. 2000), virus Nipah (Johara et al. 2001), virus SARS Corona (Li et al. 2005), virus Ebola (Leroy et al. 2005), virus Lyssa

Australian bat (Fraser et al. 1996), dan virus Menangle (Philbey et al. 2008).

Sejumlah virus patogen tersebut telah menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan ternak. Virus Nipah bahkan telah dilaporkan menular antar manusia di Bangladesh (Field et al. 2007).

Kelelawar yang dapat berperan sebagai reservoir host salah satunya adalah kelelawar buah (kalong) dari genus Pteropus yang lebih dikenal dengan nama

flying fox. Kelelawar ini biasanya bertengger di pohon-pohon besar. Beberapa

spesies memiliki penyebaran yang sangat luas dan hidup nomaden dengan bermigrasi dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari sumber makanan. Pola hidup seperti ini akan mempermudah proses penyebaran penyakit yang dibawa oleh kalong ini (Fleming dan Eby 2003).

Virus Hendra dan virus Nipah (genus Henipavirus, famili Paramyxoviridae) terdapat pada sebagian besar genus Pteropus. Virus Hendra diisolasi dari

Pteropus alecto dan Pteropus poliocephalus di Australia, sedangkan virus Nipah

diisolasi dari Pteropus vampyrus dan Pteropus hypomelanus di Malaysia serta

Pteropus liley di Kamboja (Reynes et al. 2005).

Populasi kalong terutama Pteropus vampyrus cukup banyak di Indonesia. Populasi yang tidak sedikit ini akan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan ternak di negara kita jika tidak dikelola dengan baik. Hutan yang semakin gundul akan semakin mendekatkan habitat kalong kepada manusia dan hewan ternak. Hal ini akan mempermudah penularan virus yang dibawa oleh kalong kepada manusia dan ternak (Kunz dan Jones 2000).

Sebenarnya selain menjadi reservoir host bagi penyakit-penyakit diatas, kalong juga mempunyai peran positif bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Kalong bisa membantu penyerbukan bagi tanaman bunga dan buah, serta

(14)

2

membantu penyebaran biji buah-buahan. Kalong juga diyakini bisa menjadi obat asma karena sifat dagingnya yang bisa menghangatkan tubuh setelah dimakan.

Hati merupakan organ yang berperan penting dalam detoksifikasi racun karena hati menerima 80% suplai darah dari saluran pencernaan melalui vena porta hepatika. Hati juga dapat menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat endogen dan eksogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses biotransformasi ini dapat mengaktifkan beberapa zat menjadi lebih toksik dan menyebabkan terjadinya perlukaan hati. Hal ini menyebabkan hati berpotensi mengalami kerusakan, meskipun sel-sel hati memiliki kemampuan regenerasi yang sangat luar biasa (Guyton dan Hall 2006).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi hepatitis pada kalong (Pteropus vampyrus).

Manfaat

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui gambaran histopatologi hepatitis dari Pteropus vampyrus, sehingga kita mendapatkan pengetahuan tentang lesio-lesio yang disebabkan oleh hepatitis pada kalong ini. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar atau pembanding untuk penelitian selanjutnya, termasuk menyelidiki penyakit-penyakit zoonosa yang dapat ditularkan oleh kalong, terutama spesies Pteropus vampyrus berdasarkan lesio-lesio yang ditemukan pada hepatitis dari penelitian ini.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Pteropus vampyrus

Pteropus vampyrus merupakan kelelawar pemakan buah (kalong) terbesar.

Beratnya dapat mencapai 1 500 gram dan bentangan sayap hingga 1 700 mm (Suyanto 2001). Pteropus vampyrus termasuk ke dalam Famili Pteropdidae yang merupakan satu-satunya famili dari anggota Subordo Megachiroptera. Genus

Pteropus merupakan genus yang paling beragam dari 42 genus kelelawar

pemakan buah lainnya. Pteropus vampyrus memiliki 6 subspesies, yaitu Pteropus

vampyrus vampyrus, Pteropus vampyrus edulis, Pteropus vampyrus lanensis, Pteropus vampyrus natunae, Pteropus vampyrus pluton, dan Pteropus vampyrus sumatrensis (Simmons 2005).

Menurut Linnaeus (1758) dalam Simmons (2005), klasifikasi Pteropus

vampyrus adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Chiroptera Subordo : Megachiroptera Famili : Pteropodidae Genus : Pteropus

Spesies : Pteropus vampyrus Gambar 1 Pteropus vampyrus (Kunz dan Jones 2000).

Pteropus vampyrus memiliki tubuh yang besar dengan panjang tubuh

rata-rata 34 cm dan panjang lengan 19-21 cm (Corbet dan Hill 1992). Pteropus

vampyrus memiliki muka seperti anjing yang merupakan ciri utama dari kalong. Pteropus vampyrus memiliki kepala yang berwarna hitam kemerahan dengan

telinga yang panjang dan tegak. Bagian dagu ke bawah dari kalong ini berwarna hitam, sedangkan bagian belakang lehernya berwarna coklat kemerahan (Ingle dan Hanley 1992).

(16)

4

Seluruh tubuh Pteropus vampyrus ditutupi oleh rambut. Warna dari rambut ini tergantung dari jenis kelamin dan umur. Pteropus vampyrus yang baru lahir memiliki rambut berwarna hitam dan akan berwarna lebih terang saat dewasa. Rambut Pteropus vampyrus jantan lebih kaku dan tebal daripada Pteropus

vampyrus betina (Godwin 1979).

Pteropus vampyrus memiliki ujung sayap yang pendek dan agak bulat yang

digunakan untuk mengurangi kecepatan saat terbang. Vena sayap pada Pteropus

vampyrus mirip dengan mamalia pada umumnya, hanya saja vena pada Pteropus vampyrus memiliki inervasi khusus pada otot polos dan jaringan endotel di sekitar

sayap yang berfungsi untuk menjaga kelancaran aliran darah saat terbang (Schipp 1978). Spesies ini biasanya terbang 50 km/malam berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya untuk mencari makanan (Mickleburgh et al. 1992).

Pteropus vampyrus memiliki formulasi gigi I 2/2, C 1/1, M 3/3, dan P 2/3.

Gigi Insisivus bagian atas lebih besar daripada yang bawah dan I1 lebih besar daripada I2. Gigi Caninus bagian atas panjang, tajam, dan memiliki alur, sedangkan gigi Caninus bagian bawah tidak memiliki alur. Gigi Premolar dan Molar pada Pteropus vampyrus umumnya kurang berkembang dengan baik (Leekagul dan Mcneely 1977).

Gambar 2 Susunan gigi Pteropus vampyrus tampak ventral (Corbet dan Hill 1992).

(17)

5

Pteropus vampyrus tersebar di sepanjang garis Wallace, tepatnya di

subregio Indo-Malayan. Kalong ini dapat ditemukan di Thailand, Malaysia, Filipina, Timor Leste, dan Indonesia. Di Malaysia dan Borneo (Kalimantan) kalong ini umumnya dapat ditemukan di pesisir pantai di pedalaman hingga ketinggian 1 370 meter (Medway 1969).

Gambar 3 Penyebaran Pteropus Vampyrus di Asia Tenggara (Corbet dan Hill 1992).

Pteropus vampyrus hidup dalam sebuah kelompok besar. Pteropus vampyrus tidur di siang hari dan mencari makan di malam hari. Pteropus vampyrus biasanya tinggal di Hutan Mangrove dan perkebunan coklat. Di

Malaysia, kalong ini sering ditemukan di dataran rendah dibawah 365 meter. Di Kalimantan, kalong ini ditemukan di pesisir pantai di sebuah pulau selama musim panen. Di Pulau Rambut, kalong ini menggantung di Pohon Kepuh, walaupun kadang-kadang dapat ditemukan di Pohon Kedoya (Wiriosoepartha et al. 1986). Di Sumatra, Pteropus vampyrus menggantung di Pohon Kapok. Pteropus

(18)

6

vampyrus biasanya menggantung di ranting-ranting pohon yang tinggi (Godwin

1979).

Usia maksimal Pteropus vampyrus umumnya 15 tahun. Selama hidup

Pteropus vampyrus dapat terserang penyakit. Penyakit ini berasal dari beberapa

parasit, diantaranya Limosa maki yaitu cacing yang tinggal di ruang abdomen

Pteropus vampyrus, ektoparasit dari Laelapidae, Nycteribiidae, dan Spinturnicidae

yang ditemukan di spesimen Pteropus vampyrus di Malaysia. Bakteri juga pernah ditemukan pada rektum Pteropus vampyrus, yaitu bakteri gram positif (Bacillus dan Corynebacterium) dan bakteri gram negatif (Enterococcus, S.aureus,

S.hemolityc, E.coli, dan M.morgani) (Heard et al. 1997).

Musim kawin Pteropus vampyrus tergantung dari musim di daerah tempat tinggalnya. Di Malaysia dan Thailand, kebuntingan maksimal terjadi antara bulan November-Januari dan anaknya akan lahir sekitar bulan Maret atau awal April. Di Filipina, Pteropus vampyrus beranak selama bulan April sampai Mei. Dalam satu siklus kawin, Pteropus vampyrus hanya dapat menghasilkan satu ekor anak dengan masa kebuntingan sekitar 140-150 hari. Setelah lahir, anak Pteropus

vampyrus akan bergelantungan kepada induknya selama 2 bulan (Lekagul dan

Mcneely 1977).

Daging kalong termasuk Pteropus vampyrus merupakan makanan lezat yang mendorong perdagangan secara besar-besaran, sehingga The Convention of

International Trade In Endangered Spesies (CITES) memasukkan semua spesies Pteropus ke dalam appendix 2, yaitu daftar jenis-jenis hewan yang

perdagangannya perlu diawasi secara ketat agar tidak punah. Menurunnya populasi Pteropus vampyrus juga disebabkan oleh petani yang menganggap kelelawar ini sebagai hama kebun yang perlu diberantas. Faktor lain penyebab penurunan populasi kelelawar ini adalah keberadaan predator di alam, seperti burung-burung pemangsa, ular, dan mamalia karnivora (CITES 2012).

(19)

7

Hati

Hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar yang terletak di rongga perut di bawah diafragma. Hati dibungkus oleh jaringan ikat tipis yang disebut kapsula hepatika. Kapsula hepatika akan bercabang membentuk kapsula glisson yang berfungsi membungkus lobulus hati. Kapsula glisson akan menebal di hilum. Penebalan kapsula glisson di hilum ini merupakan tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki hati serta tempat keluarnya pembuluh limfe (Price dan Lorraine 2006).

Vaskularisasi hati berasal dari arteri hepatika dan vena porta. Darah yang masuk ke hati melalui vena porta berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen lain yaitu limpa, pankreas, dan kantung empedu. Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, turut masuk juga berbagai bakteri, sel darah merah yang sudah tua, dan toksin yang harus diolah, dihancurkan, atau disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta, sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25% darah yang kaya akan oksigen. Darah ini selanjutnya akan menuju vena sentralis melalui sinusoid-sinusoid diantara hepatosit. Darah dari vena sentralis akan bermuara ke dalam vena hepatika yang selanjutnya akan dikeluarkan dari hati (Price dan Lorraine 2006).

Secara mikroskopis, setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yaitu lobulus yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati (hepatosit) berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara hepatosit terdapat kapiler-kapiler darah yaitu sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Lumen sinusoid dibatasi oleh kapiler diskontinyu. Pada permukaan hepatosit yang menghadap ke sinusoid terdapat mikrovili yang berfungsi menyerap nutrisi dari sinusoid. Diantara ruang endotel dan hepatosit terdapat ruang Disse yang didalamnya terdapat sel Ito. Sel Ito berfungsi sebagai penyimpan vitamin A dan matriks ekstraselular. Hati juga memiliki sel Kupffer yang merupakan sistem monosit-makrofag yang berfungsi menelan agen infeksius dan bahan asing lain. Sel Kupffer berada di atas sel endotel yang mengarah ke lumen sinusoid (Guyton dan Hall 2006).

(20)

8

Gambar 4 Daerah porta hati tikus; pewarnaan HE, skala Bar 40 μm (Cooper 1998).

Gambar 5 Vena centralis hati tikus; pewarnaan HE, skala bar 50 μm (Cooper 1998).

(21)

9

Lobulus hati berdasarkan jaraknya dengan sumber suplai darah dapat dibagi menjadi 3, yaitu periportal, midzonal, dan centrilobular. Daerah periportal merupakan daerah yang paling dekat dengan suplai darah sehingga mendapatkan oksigen yang kualitasnya baik. Daerah periportal juga akan terpapar oleh zat-zat toksik terlebih dahulu. Oksigenasi semakin berkurang pada hepatosit yang berada semakin dekat dengan vena sentralis (Guyton dan Hall 2006).

Hati adalah lokasi yang paling penting dalam sintesa protein. Hampir semua protein serum disintesa di hati, termasuk protein seperti albumin dan faktor pembeku darah. Fungsi penting hati yang lainnya menurut Guyton dan Hall (2006) adalah:

1. Metabolisme karbohidrat dan lemak 2. Menjalankan fungsi kekebalan

3. Memproduksi getah empedu dan protein plasma 4. Metabolisme bilirubin

5. Metabolisme dan penyimpanan vitamin.

Empedu yang dibentuk di hepatosit akan diekskresikan ke dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang disebut duktus kholedukus. Cabang terkecil dari duktus kholedukus akan membentuk segitiga porta (segitiga Kiernan) bersama dengan cabang terkecil dari arteri hepatika dan vena porta (Price dan Lorraine 2006).

Hepatitis merupakan peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme atau toksin termasuk alkohol (Corwin 2000). Hepatitis dapat terjadi melalui beberapa rute, yaitu sirkulasi darah, sirkulasi cairan empedu, dan penetrasi secara langsung. Rute sirkulasi darah merupakan yang paling sering terjadi karena hati menerima darah dari arteri hepatika dan vena porta sekaligus. Hepatitis dapat dibedakan menjadi hepatitis akut dan hepatitis kronis. Hepatitis akut biasanya ditandai dengan adanya nekrosa, apoptosis sel hepatosit, serta hadirnya sel-sel radang, seperti neutrofil, limfosit, dan sel plasma. Hepatitis akut yang berkelanjutan akan berubah menjadi hepatitis kronis (Vegad dan Swamy 2010). Ciri lain yang bisa membedakan hepatitis kronis dengan hepatitis akut adalah terbentuknya fibrosis. Fibrosis hanya terjadi pada hepatitis

(22)

10

kronis. Fibrosis merupakan proses terbentuknya jaringan parut yang menggantikan hepatosit yang telah rusak. Pada awalnya, hati membentuk jaringan parut untuk melindungi dirinya dari peradangan, namun karena beratnya kerusakan, jaringan parut yang terbentuk semakin banyak, sehingga hati tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, jaringan hati yang sehat tidak cukup untuk melakukan fungsi metabolisme, detoksifikasi, dan fungsi lainnya untuk menjaga agar tubuh tetap sehat (Vegad dan Swamy 2010).

(23)

METODE PENELITIAN

Bahan dan Peralatan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17 ekor kalong jenis

Pteropus vampyrus (9 ekor berasal dari Manado dan 8 ekor asal Ciamis dengan

kisaran berat badan 1 kg), organ hati, Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol 96%, alkohol absolut, xylol, parafin, akuades, kaset jaringan, pewarna Hematoksilin-Eosin (HE), pewarna Periodic Acid Schiff (PAS), larutan sulfit, asam periodat 1%, cairan permounting, dan lithium karbonat. Peralatan yang digunakan antara lain skalpel, pinset, tissue processor, tissue embedding console, mikrotom, gelas objek, kaca penutup, dan mikroskop.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 sampai bulan Januari 2012, dilaksanakan di Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Evaluasi Histopatologi

Pteropus vampyrus dianastesi dengan menggunakan ketamin HCl dengan

dosis 10 mg/kg BB secara intra muskular. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel darah, urine, dan feses sebelum dilakukan eutanasi. Setelah mati dilakukan nekropsi untuk pengambilan organ, difiksasi di dalam BNF 10% untuk dibuat preparat histopatologi. Pembuatan preparat histopatologi yang dilakukan pada organ hati dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

Fiksasi

Sediaan organ hati direndam dalam larutan BNF 10% selama 6 sampai 48 jam, kemudian dipotong menggunakan skalpel dengan ketebalan 3 mm dan potongannya dimasukan ke dalam kaset jaringan.

Dehidrasi

Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukan ke dalam gelas-gelas mesin

(24)

12

menggunakan alkohol yang konsentrasinya berbeda dimulai dari 70%, 80%, 96%, alkohol absolut I, dan alkohol absolut II masing-masing selama 2 jam. Setelah itu, dilakukan proses penjernihan dengan memasukkan sediaan ke dalam xylol I dan II.

Pencetakkan (Embedding)

Paraffin dimasukkan ke dalam cetakan sampai setengah, kemudian potongan jaringan dimasukkan, selanjutnya cetakan ditambah dengan parafin hingga penuh dan diberi label. Proses pencetakan dilakukan dengan tissue

embedding console. Sediaan lalu didinginkan pada suhu 4 °C. Pemotongan

Jaringan dipotong dengan menggunakan rotary microtome dengan ketebalan 4-5 µm dan hasil potongan selanjutnya ditempelkan pada gelas objek, kemudian dikeringkan pada suhu ruang, disimpan dalam inkubator sampai dilakukan pewarnaan.

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)

Pewarnaan HE merupakan pewarnaan umum untuk melihat morfologi jaringan secara umum. Pada pewarnaan ini inti yang bersifat asam diwarnai dengan Hematoksilin (asidofilik), sedangkan sitoplasma diwarnai dengan Eosin (basofilik). Penggunaan pewarnaan ini dapat memvisualisasikan secara kontras bagian inti dan sitoplasma sehingga gambaran sel dan jaringan dapat diamati dengan jelas.

Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinisasi dengan menggunakan

xylol I, II, dan III masing-masing selama 3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan

proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat, dimulai dari alkohol absolut, alkohol 90%, dan alkohol 80% masing-masing selama 3 menit. Sediaan selanjutnya dibilas menggunakan akuades selama 10-15 menit.

Sediaan diwarnai dengan pewarna Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dicuci dengan air selama 30 detik. Setelah itu tetesi lithium karbonat, biarkan selama 15-30 detik. Selanjutnya dicuci dengan air selama 2 menit dan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2-3 menit kemudian dicuci kembali menggunakan air selama 30-60 detik.

(25)

13

Setelah sediaan diwarnai, dilakukan dehidrasi dengan alkohol 95% (10 celupan) dan dilanjutkan dengan alkohol absolut I dan II masing-masing 2 menit. Setelah itu dilakukan proses penjernihan dengan xylol I, II, dan III selama 2 menit, angin-anginkan sebentar, tetesi cairan permounting, dan ditutup dengan gelas penutup.

Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)

Reaksi terhadap pewarnaan PAS menunjukkan adanya glikogen dalam jaringan. Periodic acid akan mengoksidasi residu glukosa dan menghasilkan aldehida yang selanjutnya bereaksi dengan reagen Schiff dan menimbulkan warna magenta-purple. Pewarnaan PAS diberi perona (counterstain) berupa pewarnaan basa (misalnya hematoxylin). Pewarnaan PAS akan menunjukkan keberadaan karbohidrat pada jaringan ikat, mukus, dan membran basal jaringan epitel. Pewarnaan PAS yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan parasit dan jamur. Parasit dan jamur akan terlihat dalam pewarnaan PAS karena unsur pembentuk keduanya adalah karbohidrat.

Pewarnaan ini dimulai dengan melakukan deparafinisasi dan rehidrasi sediaan dalam larutan xylol dan alkohol bertingkat masing-masing selama 3-5 menit, kemudian dilanjutkan dengan pencucian dalam air mengalir selama 10 menit. Setelah itu, sediaan dioksidasi dalam asam periodat 1% selama 5-10 menit dan dicuci dengan akuades 3 kali, masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pewarnaan larutan reagent Schiff selama 15-30 menit dan dicuci dengan air sulfit yang selalu fresh (dibuat baru) selama 3 x 3 menit. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan akuades selama 5 menit sebanyak 3 kali.

Counterstain dengan hematoksilin, cek dengan mikroskop. Pencucian kembali

dengan air mengalir 10-60 menit dan akuades selama 5 menit sebanyak 2 kali. Dehidrasi dan penjernihan dilakukan didalam larutan alkohol dan xylol, diangin-anginkan, ditetesi cairan permounting, dan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop untuk melihat perubahan yang terjadi pada organ hati, yaitu pada lobulus hati atau sel-sel hati, vena sentralis, dan daerah porta dengan perbesaran 10x10 dan 40x10.

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fungsi hati sebagai penawar racun didukung oleh daya regenerasi hepatosit yang luar biasa dan sudah diketahui sejak lama. Pada hati normal diketahui bahwa lobektomi sebanyak 70% pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang sangat cepat, sehingga dalam dua hingga tiga minggu bagian hati yang hilang dapat diganti kembali. Meskipun demikian, kerusakan yang berjalan terus-menerus tetap saja akan menimbulkan kerusakan parah pada hati (Guyton dan Hall 2006).

Hasil pengamatan dari 17 sampel preparat histopatologi hati Pteropus

vampyrus dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya beberapa lesio.

Lesio-lesio tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Sampel nomor 22, 23, 44, B1, B3, B4, B5, C10, dan C14 memiliki bentuk hepatosit yang normal, sedangkan pada sampel nomor 24, 25, 35, 42, 43, 46, C2, dan C5 terdapat lesio pada jaringan hati. Kerusakan hepatosit dikarenakan adanya infiltrasi radang granuloma yang ditemukan pada sampel 24, 25, dan C2 dan degenerasi hidropis yang ditemukan pada sampel 35, 42, 43, 46, C2, dan C5.

Kongesti terjadi hampir pada semua sampel, kecuali sampel 43, B1, B3, C5, C10, dan C14. Kongesti merupakan akumulasi eritrosit pada pembuluh vena. Kongesti pada hati bisa disebabkan oleh kegagalan jantung kanan (Vegad dan Swamy 2010). Kegagalan jantung kanan akan membuat sirkulasi darah dari jantung ke hati mengalami gangguan. Hal ini dapat menyebabkan akumulasi eritrosit pada vena-vena di hati. Akumulasi eritrosit juga terjadi pada sinusoid-sinusoid hati yang selanjutnya akan menyebabkan dilatasi pada sinusoid-sinusoid-sinusoid-sinusoid tersebut. Dilatasi dan akumulasi eritrosit juga terjadi pada vena sentralis. Akumulasi eritrosit dan dilatasi pada vena-vena hati ini akan menyebabkan terganggunya suplai oksigen dan nutrisi kepada hepatosit. Daerah yang akan mengalami kerusakan pertama kali dari kejadian ini adalah zona sentrilobular (Suriawinata dan Thung 2011). Zona sentrilobular merupakan daerah di sekitar vena sentralis yang merupakan daerah paling jauh dari sumber oksigen dan nutrisi. Zona sentrilobuler akan mengalami hipoksia karena kekurangan oksigen dan nutrisi. Menurut Vegad dan Swamy (2011) hipoksia yang berkelanjutan akan

(27)

15

menyebabkan atrofi hepatosit, nekrosis, dan degenerasi pada zona sentrilobuler. Kerusakan yang berkelanjutan akan menyebabkan hal yang sama pada hepatosit zona midzonal dan periportal. Jaringan hati yang mengalami nekrosis akan digantikan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis (Price dan Lorraine 2006).

Tabel 1 Lesio pada hati Pteropus vampyrus dengan pewarnaan HE

No sampel

Asal sampel

Lesio yang ditemukan

Daerah segitiga porta Daerah diluar segitiga porta 22 Manado Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Kongesti 23 Manado Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Kongesti 24 Manado Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima) dan fibrosis

Sarang radang granuloma, multifokus, kongesti, dan nekrosis hepatosit 25 Manado Sarang radang granuloma

multifokus, terdapat vakuola lemak pada dinding arteri (tunika intima), dan fibrosis

Sarang radang granuloma multifokus, fibrosis, nekrosis sentrilobuler, dilatasi sinusoid, kongesti, dan atrofi hepatosit 35 Manado Tidak ditemukan perubahan Degenerasi hidropis, dilatasi

sinusoid, dan kongesti 42 Manado Tidak ditemukan perubahan Degenerasi hidropis, dilatasi

sinusoid, dan kongesti 43 Manado Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Degenerasi hidropis 44 Manado Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Kongesti 46 Manado Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Degenerasi hidropis, dilatasi sinusoid, dan kongesti B1 Ciamis Terdapat vakuola lemak di

lumen arteri (tunika intima)

Tidak ditemukan perubahan B3 Ciamis Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Tidak ditemukan perubahan B4 Ciamis Tidak ditemukan perubahan Kongesti

B5 Ciamis Terdapat vakuola lemak pada dinding arteri (tunika intima)

Dilatasi sinusoid dan kongesti C2 Ciamis Tidak ditemukan perubahan Degenerasi hidropis, kongesti, nekrosis hepatosit, dan sarang radang granuloma multifokus C5 Ciamis Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Degenerasi hidropis C10 Ciamis Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

Tidak ditemukan perubahan C14 Ciamis Terdapat vakuola lemak pada

dinding arteri (tunika intima)

(28)

16

Degenerasi hidropis merupakan salah satu lesio yang terjadi karena kongesti. Price dan Lorraine (2006) menyatakan bahwa degenerasi hidropis merupakan respon awal hepatosit terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik. Degenerasi hidropis adalah perubahan yang bersifat reversible, sehingga apabila paparan toksik dihentikan sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal. Degenerasi yang terus berlanjut akan menyebabkan kematian sel. Kematian sel hati menyebabkan hepatosit tidak dapat kembali ke bentuk normal (irreversible). Degenerasi hidropis merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran sodium keluar dari sel, sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan ke dalam sel. Degenerasi hidropis bisa disebabkan karena kurangnya oksigen, defisiensi kalsium, shok berat, dan diabetes mellitus (Rusmiati dan Lestari 2004).

Vakuola-vakuola ditemukan pada dinding arteri bagian dalam (tunika intima) pada sampel 22, 23, 24, 25, 43, 44, 46, B1, B3, B5, C5, C10, dan C14. Gambaran seperti ini juga ditemukan pada awal kejadian aterosklerosis pada primata yang mengalami obesitas (Finn et al. 2010). Perubahan yang lain adalah pembentukan jaringan fibrosis merupakan jaringan yang terbentuk untuk menggantikan jaringan yang mati. Fibrosis terjadi karena adanya peningkatan jumlah matriks ekstraseluler, perubahan dari tipe kolagen, dan perubahan lokasi deposisi kolagen. Sel Ito berperan penting dalam proses kejadian fibrosis, sel ini akan berubah fungsi dari sel tempat menyimpan vitamin A menjadi sel tipe myofibroblast. Fibrosis yang sering ditemukan adalah fibrosis sentrilobuler yang terjadi karena hepatitis toksik yang kronis. Fibrosis yang parah dapat menyebabkan sirosis hati (Vegad dan Swamy 2010).

(29)

17

Gambar 6 Hati, dilatasi sinusoid (D) dan kongesti (K), sampel nomor 42. Pewarnaan HE, skala Bar 40 μm.

Gambar 7 Sel-sel hati mengalami degenerasi hidropis secara luas ditemukan pada sampel 35. Pewarnaan HE, skala Bar 40 μm.

K

D

(30)

18

Adanya kerusakan hepatosit dan ditemukannya sel-sel radang menunjukkan bahwa sampel nomor 24, 25, dan C2 mengalami hepatitis. Hepatitis merupakan peradangan yang terjadi pada hati (Corwin 2000). Menurut Vegad dan Swamy (2010) hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu hepatitis akut dan hepatitis kronis. Menurut Suriawinata dan Thung (2011) hepatitis akut merupakan kerusakan hepatosit yang ditandai dengan lebih dominannya sel-sel radang pada daerah parenkim daripada daerah porta. Hepatitis akut ditandai dengan masih ditemukan perdarahan dan belum terbentuk jaringan fibrosis dan kadang-kadang ditemukan kerusakan pada lumen pembuluh empedu, sedangkan hepatitis kronis disebabkan oleh stimulasi agen yang berkelanjutan dan ditandai dengan terbentuknya jaringan fibrosis. Hepatitis kronis terdiri atas hepatitis granulomatosa dan hepatitis kronik supuratif. Hepatitis granulomatosa ditandai dengan terbentuknya sarang radang granuloma akibat infeksi agen yang sulit difagosit, sedangkan hepatitis kronik supuratif dicirikan dengan adanya abses. Ketiga sampel hati pada penelitian ini termasuk dalam hepatitis kronis karena ditandai dengan terbentuknya sarang radang granuloma (Ferrell dan Kakar 2011). Sarang radang granuloma ditemukan pada sampel 24, 25, dan C2. Menurut Suriawinata dan Thung (2011) sarang radang granuloma merupakan peradangan dengan sekumpulan makrofag yang disertai limfosit dan sel plasma; kadang-kadang ditemukan juga netrofil dalam jumlah minimal. Penyebab dari radang granuloma sering tidak diketahui dan biasanya merupakan bagian dari infeksi sistemik. Pada sampel 24 dan 25 ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang terdiri dari sel netrofil, makrofag, dan limfosit, sedangkan pada sampel C2 ditemukan limfosit, makrofag, giant cell, serta sedikit netrofil. Pewarnaan PAS yang dilakukan pada sampel 24, 25, dan C2 menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan parasit maupun jamur. Hal ini menunjukan bahwa hepatitis disebabkan oleh agen yang non-spesifik.

(31)

19

Gambar 8 Hati, ditemukan granuloma pada sampel 25, ditunjukkan dengan infiltrasi neutrofil (N), mafrofag (M) dan limfosit (L). Pewarnaan HE, skala Bar 40 μm.

Gambar 9 Hati, radang granuloma pada sampel C2, dikelilingi oleh sel-sel hati yang mengalami degenerasi hidropis (H). Pewarnaan HE, skala Bar 40 μm.

H

N

L

(32)

20

Hepatitis yang terjadi pada hati bisa disebabkan oleh beberapa penyebab. Hepatitis yang disebabkan oleh bakteri secara mikroskopis dapat ditandai dengan adanya infiltrasi sel netrofil dan limfosit pada lobulus hati dan terbentuk abses. Selain itu, dilatasi dan proliferasi pembuluh empedu juga dapat ditemukan (Vegad dan Swamy 2010). Sebagai perbandingan, hepatitis pada penyakit Q fever yang menginfeksi manusia secara mikroskopik menunjukkan infiltrasi radang granuloma yang terdiri dari limfosit, giant cell, dan kadang-kadang ditemukan eosinofil dan netrofil. Radang granuloma yang terbentuk biasanya dikelilingi oleh jaringan fibrin sehingga sering disebut fibrin ring granulomas (Ferrell dan Kakar 2011).

Hepatitis akut yang disebabkan oleh virus secara mikroskopis ditandai dengan adanya infiltrasi sel limfosit di daerah porta, nekrosis hepatosit, dan degenerasi hidropis yang pada awal infeksi dapat ditemukan pada zona sentrilobuler, hiperplasia sel Kupffer, dan terbentuk jaringan fibrosis jika terjadi infeksi kronis. Selain itu, jika dilakukan pewarnaan PAS akan menunjukkan adanya peningkatan aktivitas lisosom pada daerah yang mengalami nekrosis (Vegad dan Swamy 2010).

Hepatitis karena infeksi histoplasma sp ditandai dengan terbentuknya sarang radang granuloma yang terdiri dari giant cell dan limfosit. Selain itu, sering juga ditemukan intracytoplasmic encapsulated yeast diantara sel-sel radang. Pewarnaan PAS akan menunjukkan adanya bentukan oval yang tipis di sekitar peradangan (Vegad dan Swamy 2010). Sedangkan pada White Nose Syndrome (WNS) yang menginfeksi spesies Myotis lucifugus di Eropa, kerusakan ditemukan pada daerah sayap serta kulit, tidak ditemukan lesio pada hati. WNS menyerang kelelawar pada saat hibernasi dan diduga disebabkan oleh jamur yang menyerang permukaan kulit dan rambut serta Geomyces sp. Agen akan masuk kedalam tubuh, selanjutnya akan masuk ke dalam kulit dan otot. Masuknya agen ini tidak menimbulkan respon peradangan pada kelelawar yang sedang hibernasi, tetapi akan menyebabkan suhu tubuh turun, metabolisme menurun, serta penurunan sistem imun (Uphoff et al. 2009).

(33)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pemeriksaan 17 ekor kalong Pteropus vampyrus dari lapang diperoleh gambaran histopatologi dari organ hati bahwa tiga ekor menunjukkan hepatitis kronis multifokus (sampel 24, 25, dan C2). Perubahan hati ditandai oleh radang granuloma dengan penyebab non-spesifik. Enam ekor mengalami degenerasi hidropis pada hati dan sisanya memiliki gambaran hati normal.

Saran

Metode identifikasi yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab hepatitis. Pemerintah perlu mengidentifikasi keberadaan penyakit pada kelelawar secara rutin mengingat kebanyakan penyakit yang berasal dari kelelawar bersifat zoonosis. Masyarakat dapat ikut serta mencegah penularan penyakit yang berasal dari kelelawar dengan cara menghentikan penebangan liar.

(34)

DAFTAR PUSTAKA

[CITES] Convention of International Trade In Endangered Spesies. 2012. CITES Spesies Database [terhubung berkala]. http://www.cites.org /eng/resources /species.html [11 Juli 2012].

Cooper D. 1998. Glands Associated with The Digestive Tract: Liver, Pancreas, and Salivary Glands [terhubung berkala]. http://www.sacs.ucsf.edu/.../GI-Glands/lvrpancsaliv.html [10 Juli 2012].

Corbet GB, JE Hill. 1992. Mammals of The Indomalayan Region: A Systematic

Review. New York: Oxford University Press.

Corwin EJ. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Ferrell LD, S Kakar. 2011. Liver Pathology. New York: demosMedical.

Field HE, AC Breed, J Shield, RM Hedlefs, K Pittard, B Pott. 2007. Epidemiological perspectives on Hendra virus infection in horses and flying foxes. Aust Vet J 85: 268–270.

Finn AF, M Nakana, J Narula, FD Kolodge, R Virmani. 2010. Concept of Vulnerable/Unstale Plaque. Arterioscler Thromb Vasc Biol 30: 1282-1292. Fleming TH, P Eby. 2003. Ecology of bat migration. In: Bat Ecology, Kunz TH,

Fenton MB (editors). Chicago: The University of Chicago Press.

Fraser GC, PT Hooper, RA Lunt, AR Gould, LJ Gleeson, AD Hyatt. 1996. Encephalitis caused by a Lyssavirus in fruit bats in Australia. Emer Inf Dis 2:327–331.

Goodwin RE. 1979. The bats of Timor. Bulletin of the American Museum of Natural History, 163:75–122.

Guyton AC, JE Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC.

Halpin K, P Young, H Field, J Mackenzie. 2000. Isolation of Hendra virus from pteropid bats: a natural reservoir of Hendra virus. J of Gene Vir 81:1927– 1932.

Heard DJ, JL De Young, B Goodyear, GA Ellis. 1997. Comparative rectal flora of four species of flying fox (Pteropus sp.). Jour of Zoo and Wildlife Med, 28:471–475.

Ingle NR, LR Hanley. 1992. A key to the bats of the Philippine Islands. Fieldiana: Zoology, New Series.

(35)

23

Johara M, H Field, A Rashdi, C Morrissy, HB Vander, P Rota. 2001. Serological evidence of infection with Nipah virus in bats (order Chiroptera) in Peninsular Malaysia. Emer Inf Dis 7:439–441.

Kunz KH, DP Jones. 2000. Pteropus Vampyrus. American Society of

Mammalogist, New York.

Lekagul B, JA Mcneely. 1977. Mammals of Thailand. Association for the Conservation of Wildlife, Bangkok, Thailand.

Leroy EM, B Kumulungui, X Pourrut, P Rouquet, A Hassanin, P Yaba. 2005. Fruit bats as reservoirs of Ebola virus. Nat 438:575–576.

Li W, Z Shi, M Yu, W Ren, C Smith, JH Epstein. 2005. Bats are natural reservoirs of SARS-like coronaviruses. Sci 310:676–679.

Medway L. 1969. Wild mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and

Singapore., Kuala Lumpur. New York: Oxford University Press.

Mickleburgh SP, AM Hutson, PA Racey. 1992. Old World Fruit Bats: An Action

Plan for their Conservation, Gland: Internation Union for the Conservation

of Nature and Natural Resources (IUCN).

Philbey AW, PD Kirkland, AD Ross, HE Field, M Srivastava, RJ Davis. 2008. Infection with Menangle virus in flying foxes (Pteropus sp.) in Australia.

Aust Vet J 86:449–454.

Price SA, MW Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Terjemahan dari: Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. Jakarta: EGC

Reynes JM, D Counor, S Ong, C Faure, V Seng, S Molia. 2005. Nipah virus in Lyle’s flying foxes, Cambodia. Emer Inf Dis 11:1042–1046.

Rusmiati, A Lestari. 2004. Struktur histologis organ hepar dan ren mencit (Mus

Musculus L) jantan setelah perlakuan dengan ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L). Vol 1. No 1. Hlm 23-30.

Schipp R. 1978. Morphological specializations: ultrastructural. Experientia, 34:1410–1413.

Simmons NB. 2005. Order Chiroptera. In: Mammal Spesies of The World: A

Taxonomic and Geographic Reference, Wilson DE dan DM Reeder

(editors). Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Suriawinata AA, SN Thung. 2011. Liver Patology An Atlas and Concise Guide. New York: demosMedical.

(36)

24

Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Puslitbang Biologi – LIPI. Hal: 7. Uphoff MC, L Elizabeth, Buckles, SB David, CH Alan, GD Earl, SB Valerie, JT

Nancy, G Andrea, JB Melissa. 2009. Histopathologic criteria to confirm white-nose syndrome in bats. J Vet Diagn Invest 21:411–414 (2009).

Vegad JL, M Swamy. 2010. Veterinary Systemic Pathology. Edisi ke-2. India: ibdc publishers.

Wiriosoepartha AS, AS Mukhtar, M Bismark. 1986. Habitat and population study

of flying foxes Pteropus vampyrus in relation with coastal birds conservation in Pulau Rambut Nature Reserve. Buletin Penelitan Hutan,

Referensi

Dokumen terkait

Pada residu umur 14 hari tampak aktivitas residu insektisida alami dan sintetik turun mencolok, sedangkan aktivitas residu kedua perlakuan formulasi ekstrak

Proses kegiatan pengabdian yang dilakasanakan oleh tim pengabdian adalah berupa pelatihan dengan memberikan pengetahuan kepada ibu PKK dalam memanfaatkan limbah kain

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual dari skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Fraksi Klorofil Spirulina sp terhadap Sifat Listrik dengan Struktur Dye

Hasil uji distribusi kekerasan (Gambar 5) menunjukkan bahwa pada specimen sebelum proses karburisasi dan setelah karburisasi pada temperatur 850 o C dan 900 o C tidak ada

JALAN RAYA DESA PRINGGOBOYO RT.003 RW.001 KECAMATAN MADURAN KABUPATEN LAMONGAN..

Penulisan instrumen penilaian memuat kisi-kisi, master soal, dan kunci jawaban menggunakan format yang dikeluarkan oleh Pengurus KKG dan/atau Tim Editor.. Penulisan

telah memutuskan nilai-nilai dan tujuan gereja yang hendak dihidupi dan dicapai bersama, maka permasalahan ini dapat dibaca dengan mempertanyakan: Bagaimana cara majelis

GH manusia, hormon yang hanya efektif pada manusia, dihasilkan dari tehnik rekombinasi asam deoksiribonukleat(DNA), dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan