• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK KIMIA DENDENG DAGING SAPI IRIS ATAU GILING YANG DIFERMENTASI OLEH BAKTERI ASAM LAKTAT Lactobacillus plantarum 1B1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK KIMIA DENDENG DAGING SAPI IRIS ATAU GILING YANG DIFERMENTASI OLEH BAKTERI ASAM LAKTAT Lactobacillus plantarum 1B1"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KIMIA DENDENG DAGING SAPI IRIS

ATAU GILING YANG DIFERMENTASI OLEH BAKTERI

ASAM LAKTAT Lactobacillus plantarum 1B1

SKRIPSI ERIK KURNIAWAN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

ERIK KURNIAWAN. D14203055. Karakteristik Kimia Dendeng Daging Sapi Iris atau Giling yang Difermentasi oleh Bakteri Asam Laktat Lactobacillus

plantarum 1B1. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Institut Pertanian

Bogor.

Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA

Daging mudah rusak oleh aktivitas fisik, kimia maupun mikrobiologis, sehingga dibutuhkan suatu proses pengolahan dan pengawetan. Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang telah dikenal lama oleh masyarakat Indonesia. Proses pembuatan dendeng umumnya dilakukan dengan cara daging diiris tipis atau dihancurkan kemudian dicetak. Selain pengirisan dan penggilingan, proses pengolahan yang dilakukan pada penelitian ini adalah fermentasi dan pengasapan. Produk-produk yang mengalami fermentasi maupun pengasapan umumnya memiliki umur simpan yang lebih panjang, cita rasa yang lebih baik serta merupakan cara dalam diversifikasi produk.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan perlakuan pengirisan dan penggilingan pada daging sebagai bahan baku terhadap karakteristik kimia dendeng sapi yang difermentasi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan serta Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli sampai Oktober 2006. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi segar bagian knuckle.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK), dengan dua perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah pengirisan dan penggilingan pada daging sebagai bahan baku pembuatan dendeng. Peubah yang diamati adalah karakteristik kimia dendeng yang meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, serta kadar abu. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan pengirisan dan penggilingan tidak berpengaruh terhadap karakteristik kimia dendeng. Berdasarkan hasil yang diperoleh, kadar air dendeng fermentasi iris dan giling berturut-turut sebesar 54,73 (% bb) dan 63,46 (% bb). Kadar protein dendeng fermentasi iris dan giling berturut-turut sebesar 73,34 (% bk) dan 70,82 (% bk). Kadar lemak dendeng fermentasi iris dan giling berturut-turut sebesar 6,65 (% bk) dan 7,84 (% bk). Kadar abu dendeng fermentasi iris dan giling berturut-turut sebesar 3,80 (% bk) dan 3,75 (% bk). Proses fermentasi daging iris dan giling menggunakan kultur L. plantarum dengan demikian tidak mengubah karakteristik kimia dendeng.

(3)

ABSTRACT

Chemical Characteristics of Beef Sliced or Grinded Dendeng by Fermentation of Lactic Acid Bacteria Lactobacillus plantarum 1B1

Kurniawan, E., I.I. Arief, and R.R.A. Maheswari.

”Dendeng” is a traditional food that has been widely known among Indonesian people. The sliced and grinded beef are used as a raw material for dendeng making. The purpose of this research was to study the effects of slicing and grinding of the beef on the chemical characteristics of fermented dendeng. The fermentation process by lactic acid bacteria L. plantarum as starter culture. Experimental design that used was Randomized Block Design with times collecting of sample as the blocks. The treatments were sliced and grinded of beef with three replication. Parameters observed were chemical characteristics that comprise of water content, protein, fat, and ash of fermented dendeng. Analysis of variance showed that the treatments had no significant effect on water, protein, fat, and ash contain of fermented dendeng. The results showed that water contain of beef slice and grind fermented dendeng are 54,73% (bb) and 63,46% (bb), resfectivelly. The protein contain of beef slice and grind fermented dendeng are 73,34% (bk) and 70,82% (bk), resfectivelly. The fat contain of beef slice and grind fermented dendeng are 6,65% (bk) and 7,84% (bk), resfectivelly. The ash contain of beef slice and grind fermented dendeng are 3,80% (bk) and 3,75% (bk), resfectivelly. Based on this result, it could be concluded that the treathment of slicing and grinding on beef as raw material for dendeng fermented by L. plantarum is not changed the chemical characteristics of product.

(4)

KARAKTERISTIK KIMIA DENDENG DAGING SAPI IRIS

ATAU GILING YANG DIFERMENTASI OLEH BAKTERI

ASAM LAKTAT Lactobacillus plantarum 1B1

ERIK KURNIAWAN D14203055

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

KARAKTERISTIK KIMIA DENDENG DAGING SAPI IRIS

ATAU GILING YANG DIFERMENTASI OLEH BAKTERI

ASAM LAKTAT Lactobacillus plantarum 1B1

 

Oleh : ERIK KURNIAWAN D14203055

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Januari 2008

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. NIP 131 955 531

Pembimbing Utama

Irma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si. NIP 132 243 330

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA NIP 131 671 595

(6)

RIWAYAT HIDUP 

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1985 di Cirebon. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Didi Supriadi dan Ibu Admirah.

Penulis memulai pendidikan di SDN II Susukan Lebak dan pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan di SLTPN I Lemahabang Kabupaten Cirebon. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan di SMUN I Lemahabang Kabupaten Cirebon. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Masuk IPB (USMI) pada tahun 2003.

Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler kampus diantaranya adalah anggota Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC) pada tahun 2003-2005. Anggota Forum Aktifitas Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan (FAMM AL-AN’AAM) pada tahun 2003-2004. Sekretaris Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan (DPM-D) pada tahun 2004-2005. Anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (MPM KM IPB) pada tahun 2004-2005. Staf Departemen Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB) pada tahun 2005-2006. Senior Resident Asrama TPB IPB pada tahun 2006-2008. Manajer Program Pembinaan Akademik dan Multi Budaya (PPAMB) Asrama TPB IPB pada tahun 2007-2008.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan karunia dan rahmatNya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Karakteristik Kimia Dendeng Daging Sapi Iris atau Giling yang Difermentasi oleh Bakteri Asam Laktat Lactobacillus plantarum 1B1.

Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh proses pengirisan dan penggilingan terhadap karakteristik kimia dendeng fermentasi. Penelitian dilaksanakan selama empat bulan, terhitung dari bulan Juli hingga bulan Oktober 2006. Adapun pelaksanaanya dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Bagian Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan serta Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini dapat diselesaikan setelah melalui diskusi antara penulis dengan pembimbing serta dengan berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan orang lain yang membutuhkan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah menyumbangkan ide, saran, bimbingan, tenaga serta materi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan dan pahala yang berlipat ganda.

Bogor, Januari 2008 Penulis

(8)

DAFTAR ISI 

Halaman RINGKASAN...………... i ABSTRACT..……… ii RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... v vi vii ix x xi PENDAHULUAN………... 1 Latar Belakang………... 1 Tujuan……… 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 3

Daging dan Strukturnya... 3

Dendeng... 5

Pengasapan...……….... 7

Fermentasi………..………... 9

Bakteri Asam Laktat………..………... 9

Lactobacillus plantarum... 10 Komposisi Kimia... 12 Air... 12 Protein... 12 Lemak... 14 Abu... 15 METODE ... 16

Lokasi dan Waktu………... Materi………... Prosedur………... Persiapan Starter Fermentasi... 16 16 16 17 Penelitian Utama... Peubah yang Diamati... 18 19 HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

(9)

Penelitian Pendahuluan... Penelitian Utama... Kadar Air... Kadar Protein... Kadar Lemak... Kadar Abu... 22 23 23 25 28 29 KESIMPULAN DAN SARAN... 32

Kesimpulan………... Saran………..

32 32

UCAPAN TERIMA KASIH………. 33

DAFTAR PUSTAKA... 34 LAMPIRAN... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kimia Daging Sapi………... 4

2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng………. 5

3. Komposisi Kimia Dendeng Sapi... 6

4. Rataan Hasil Uji Fisik Dendeng Fementasi……… .. 6

5. Rataan Hasil Uji Mutu Hedonik... 7

6. Jumlah Populasi L. plantarum dalam Berbagai Tingkat pH dan Konsentrasi NaCl... 11

7. Komposisi Asam Amino Hasil Analisis HPLC (% w/w)... 13

8. Komposisi Asam Lemak Beberapa Lemak dan Minyak (% Total Asam Lemak)... 15

9. Perubahan Komposisi Kimia Dendeng Fermentasi Selama Proses Pengolahan ... 23

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Lactobacillus sp. ... 11

2. Diagram Pembiakan Starter Kultur L. plantarum... 17

3. Diagram Proses Pembuatan Dendeng Fermentasi... 18

4. Morfologi L.plantarum 1B1... 22

5. Diagram Perubahan Kadar Air Selama Proses Pengolahan... 24

6. Diagram Perubahan Kadar Protein Selama Proses Pengolahan.. 27

7. Diagram Perubahan Kadar Lemak Selama Proses Pengolahan.. 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Sidik Ragam Kadar Air Dendeng Fermentasi... 38

2. Hasil Sidik Ragam Kadar Protein Dendeng Fermentasi... 38

3. Hasil Sidik Ragam Kadar Lemak Dendeng Fermentasi... 38

4. Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Dendeng Fermentasi... 38

5. Warna Daging Sapi, Dendeng Fermentasi Sebelum dan Sesudah Diasap ... 39

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Daging merupakan salah satu bahan pangan bergizi tinggi yang sangat bermanfaat bagi manusia terutama sebagai sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh tubuh. Kualitas daging secara keseluruhan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pakan saat ternak masih hidup, kondisi kesehatan ternak, perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong dan sesaat setelah dipotong, kualitas mikroorganisme serta nilai palatabilitasnya. Palataibilitas daging sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia yang berada di dalam daging. Daging juga merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme baik patogen maupun non patogen, yang dapat menyebabkan daging mudah rusak atau busuk serta dapat sebagai sumber penularan penyakit.

Cara yang dilakukan agar daging lebih tahan terhadap kerusakan, mampu mempertahankan kualitas nutrisi serta memiliki penampilan yang lebih menarik adalah dengan membuat suatu produk olahannya. Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, dapat terbuat dari daging sapi, ayam, babi, kambing maupun itik. Proses pembuatan dendeng umumnya dilakukan dengan cara daging diiris tipis atau dihancurkan kasar kemudian dicetak. Proses penggilingan mampu meningkatkan flavor dan tekstur dendeng yang dihasilkan karena bumbu yang ditambahkan akan meresap lebih merata ke seluruh permukaan dendeng. Proses penggilingan juga akan meningkatkan kecernaan protein dendeng melalui pemotongan serat-serat otot sehingga mudah terdegradasi oleh aktivitas proteolitik mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih sederhana yakni asam amino. Menurunnya kadar air juga dapat menyebabkan berkurangnya kandungan beberapa zat gizi seperti karbohidrat dan vitamin-vitamin larut air.

Pada proses pembuatan dendeng sapi secara tradisional, secara umum daging akan mengalami proses fermentasi spontan. Kondisi lingkungan di dalam dendeng yang mendukung menyebabkan beberapa mikroorganisme yang tidak diinginkan seperti bakteri dan kapang akan dengan mudah tumbuh dan melakukan aktivitas fermentasi. Masalah utama yang terjadi pada proses fermentasi spontan adalah proses fermentasi berjalan tidak terkontrol sehingga mengakibatkan kualitas dendeng yang

(14)

bervariasi. Penambahan starter bakteri fermentasi ke dalam dendeng diharapkan mampu mengontrol proses fermentasi sehingga perubahan-perubahan yang diinginkan dapat dicapai. Beberapa penelitian menunjukan bahwa proses fermentasi mampu meningkatkan kualitas fisik dan kimia dendeng, juga dapat meningkatkan keamanan serta umur simpannya. Fermentasi pada dendeng dilakukan dengan penambahan bakteri asam laktat, salah satunya adalah L. plantarum.

L. plantarum akan mampu memproduksi asam laktat selama proses fermentasi sehingga dapat menurunkan pH dendeng. Penurunan pH akan mengakibatkan penurunan daya mengikat air sehingga kandungan air dendeng akan menurun. Penurunan kandungan air ini akan mengakibatkan persentase kadar protein, lemak dan abu dendeng meningkat. Selain dari penurunan kadar air, peningkatan persentase kadar protein juga berasal dari sel-sel starter kultur bakteri fermentasi yang berada di dalam dendeng. Kajian mengenai proses pembuatan dendeng serta kemampuan L. plantarum dalam mengubah komposisi kimia dendeng merupakan objek yang menarik untuk dipelajari, atas dasar itulah maka penelitian ini dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan perlakuan mekanis berupa pengirisan dan penggilingan pada daging yang akan dijadikan sebagai bahan baku terhadap karakteristik kimia (kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar air) dendeng sapi yang dihasilkan melalui proses fermentasi oleh bakteri asam laktat L. plantarum.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Daging dan Strukturnya

Menurut Lawrie (1995), daging diartikan sebagai semua jaringan tubuh hewan dan produk olahannya yang baik untuk dimakan dan tidak mengganggu kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Organ-organ yang masuk ke dalam definisi ini diantaranya hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, pankreas, limfa, dan jaringan otot. Definisi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Soeparno (1994) yang mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan semua hasil produk pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.

Selanjutnya Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging yang biasanya dikonsumsi dapat berasal dari hewan ternak yang berbeda dan dari berbagai jenis hewan liar atau aneka ternak dan ikan. Salah satu daging ternak yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah daging sapi. Jenis sapi lokal di Indonesia antara lain sapi Ongole, sapi Bali, sapi Madura dan sapi Grati yang semuanya merupakan sapi potong kecuali sapi Grati yang merupakan sapi dwiguna (Buckle et al. 1987).

Daging segar, menurut Natasasmita et al. (1987) adalah daging yang telah mengalami perubahan fisik dan kimia setelah proses pemotongan tetapi belum mengalami pengolahan lebih lanjut seperti pembekuan, penggaraman (curing), pengasapan (smoking) dan sebagainya. Soeparno (1994) mengelompokkan daging berdasarkan keadaan fisik, umur, jenis kelamin dan kondisi seksualnya. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging terdiri atas: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan lalu didinginkan, (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan lalu dibekukan, (4) daging masak, (5) daging asap dan (6) daging olahan.

Kandungan gizi dalam daging dapat berbeda, tergantung pada jenis ternak, umur, jenis kelamin, pakan serta letak dan fungsi bagian daging tersebut dalam tubuh. Secara umum, kandungan gizi daging terdiri dari protein, air, lemak, karbohidrat dan mineral. Komposisi kimia daging tersebut sangat bergantung pada spesies, aktivitas tubuh, tingkat pemberian pakan, dan keragaman pada ternak (Lawrie, 1995). Komposisi kimia daging dapat dilihat pada Tabel 1.

(16)

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Sapi

Komponen Jumlah (%)

Air 75,0 Protein 18,5

Lemak 3,0

Bahan Nitrogen Bukan Protein (kreatin, fosfat, ADP, dan ATP) 1,5

Karbohidrat 1,0

Unsur-unsur Anorganik 1,0

Sumber : Buckle et al., 1987

Jaringan tubuh hewan terdiri atas komponen-komponen fisik seperti kulit, jaringan lemak, jaringan otot, jaringan ikat, tulang, jaringan pembuluh darah, dan jaringan syaraf. Jaringan otot merupakan komponen terbanyak dalam karkas, yaitu 35-65 persen dari berat karkas atau 35-40 persen dari berat hewan hidup. Otot ini melekat pada rangka, tetapi ada yang langsung melekat pada ligamen, tulang rawan, dan kulit. Jaringan otot terdiri atas jaringan otot bergaris melintang, jaringan otot licin, dan jaringan otot spasial. Jaringan otot melintang adalah jaringan otot yang langsung menempel pada tulang, sedangkan jaringan otot licin adalah jaringan otot yang menempel pada dinding alat jeroan. Jaringan otot spasial yaitu jaringan bergaris melintang yang khusus terdapat pada dinding jantung (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Otot atau urat daging disusun oleh banyak ikatan otot. Ikatan otot berisi serat otot atau muscle fiber yang berbentuk benang panjang, tidak bercabang dan sedikit meruncing pada kedua ujungnya. Serat otot bersisi serat kecil atau myofibril, sedangkan myofibril terdiri dari beberapa sarkomer. Sarkomer terdiri atas beberapa myofilamen aktin dan myosin. Pada penampang membujur dapat dilihat myofilamen aktin dan myosin tertata satu sama lain serta tumpang tindih pada daerah tertentu sepanjang sumbu membujurnya dan merupakan unit dasar terjadinya kontraksi dan relaksasi, sehingga panjang sarkomer tidak tetap dan dimensinya tergantung pada status kontraksi saat otot tersebut diamati (Aberle et al., 2001).

Serat otot dibungkus oleh suatu selubung yang disebut sarkolema. Sarkolema meliputi suatu substansi koloidal intra seluler, tempat terdapatnya semua organel. Gabungan dari beberapa serat otot dibungkus oleh lapisan endomisium, kemudian

(17)

bergabung menjadi satu tenunan yang disebut perimisium, sedangkan pembungkus paling luar disebut epimisium (Aberle et al., 2001).

Dendeng

Menurut Badan Standardisasi Nasional (1992) dalam SNI 01-2908-1992, dendeng berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging segar yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Proses pembuatan dendeng sapi dengan cara digiling pada dasarnya sama dengan proses pembuatan dendeng sapi dengan cara diiris. Dendeng dengan cara digiling lebih meresap karena bumbu dicampur rata bersama daging dan serat pada daging giling tidak terlihat jelas sehingga tekstur lebih halus (Irene, 1994).

Dendeng yang bermutu baik harus memenuhi spesifikasi persyaratan mutu seperti pada dendeng sapi, sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima di pasaran dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Spesifikasi persyaratan mutu dendeng dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng

No Jenis Persyaratan

Mutu I Mutu II

1. Warna dan aroma Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi

2. Kadar air (b/b) Maks. 12 % Maks. 12 %

3. Kadar protein (b/bk) Min. 30 % Min. 25 %

4. Abu (b/bk) Maks. 1 % Maks. 1 %

5. Benda asing (b/bk) Maks. 1 % Maks. 1 %

6. Kapang dan serangga Tidak nampak Tidak nampak Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992)

Pengolahan daging sapi segar menjadi dendeng sapi akan meningkatkan nilai kalori per satuan berat bahan, yakni dari 270 kalori/100 gram bahan menjadi 433 kalori/100 gram bahan. Kadar protein dan karbohidrat juga meningkat sejalan dengan penurunan kadar air dendeng sapi. Kandungan mineral seprti kalsium, fosfor, dan zat besi lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi segar, tetapi vitamin A rusak

(18)

selama pengolahan (Nuraini, 1996). Tabel 3 memperlihatkan komposisi kimia yang terkandung dalam dendeng sapi.

Tabel 3. Komposisi Kimia Dendeng Sapi

Komposisi (per 100 gram bahan basah) Dendeng Sapi

Kalori (kal) 433,00 Protein (g) 55,00 Lemak (g) 9,00 Karbohidrat (g) 10,50 Kadar Air (%) 25,00 Kalsium (mg) 30,00 Fosfor (mg) 370,00 Zat Besi (mg) 5,10 Vitamin A (IU) 0,00 Vitamin B (mg) 0,10 Vitamin C (mg) 0,00

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)

Selain kandungan nutrisi, kualitas dendeng juga dipengaruhi oleh sifat fisik serta mutu hedoniknya (Sumarta, 2007). Beberapa sifat fisik seperti daya iris, aw serta pH memiliki hubungan yang erat dengan kualitas dendeng secara keseluruhan.

Tabel 4. Rataan Hasil Uji Fisik Dendeng Sapi Fermentasi

Peubah Daging Segar Dendeng fermentasi (produk jadi) Daging Iris Daya iris (kg/cm2) 8,09 ± 1,36a 14,30 ± 1,35b aw 0,943 ± 0,006 0,930 ± 0,009 pH 5,883 ± 0,176a 5,177 ± 0,240 b Daging Giling*) aw 0,944 ± 0,003a 0,931 ± 0,003b pH 5,833 ± 0,058a 4,867 ± 0,404b

Keterangan : Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukan beda nyata (p>0,05)

*) Tidak dilakukan pengukuran daya iris karena tidak dapat diukur

(19)

Mutu hedonik suatu bahan pangan sangat penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap bahan pangan tersebut. Perubahan mutu hedonik dendeng fermentasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Hasil Uji Mutu Hedonik

Parameter Dendeng Iris Dendeng Giling

Tekstur 3,464 ± 0,785a 2,161 ± 0,733b

Warna 2,164 ± 0,856a 3,036 ± 0,808b

Aroma 1,691 ± 0,814a 2,536 ± 1,159b

Kekerasan 3,232 ± 1,095a 1,768 ± 0,632b

Keterangan : Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukan beda nyata (p>0,05) Sumber : Sumarta (2007)

Pengasapan

Pengasapan adalah proses tertariknya air dan meningkatnya kadar asam serta pengendapan senyawa kimia dari asap kayu. Tujuan dari pengasapan adalah untuk mematangkan daging, meningkatkan cita rasa dan penampakan, antioksidan serta antimikroba. Selain itu, proses pengasapan juga mampu menghambat oksidasi lemak (Rogers et al., 2001).

Pengasapan merupakan salah satu cara pengawetan pangan yang sudah lama dipraktekan, misalnya dalam pengasapan daging. Proses pengawetan yang diakibatkan pengasapan terjadi karena kombinasi beberapa faktor. Asap sebagai hasil pembakaran kayu mengandung sejumlah kecil formaldehida dan senyawa lainnya yang bersifat sebagai pengawet. Disamping itu, dalam pengasapan ada faktor panas yang diberikan yang berfungsi membunuh mikroba (Lawrie, 1995).

Senyawa kimia utama yang terdapat dalam asap, antara lain adalah asam formiat, asetat, butirat, kaprilat, vanilat, dan asam siringat, dimetoksifenol, metil glioksal, furfural, metanol, etanol, oktanal, asetaldehid, diasetil, aseton, dan 3,4 benzpiren. Alkohol dan asam-asam tersebut berasal dari dekomposisi selulosa dan hemiselulosa pada temperatur yang lebih rendah daripada lignin. Dekomposisi lignin terjadi pada temperatur di atas 3100 C dan menghasilkan substansi fenolik dan tar (Lawrie, 1995).

(20)

Rozum (1998), membagi komponen asap menjadi kelas-kelas utama yang masing-masing kelas memiliki fungsi yang berbeda pada proses pengasapan makanan. Senyawa asam yang membantu pada pembentukan flavor dan pembentukan tekstur, senyawa phenolik yang memberikan flavor dan mengawetkan produk dan karbonil yang bereaksi dengan protein dan sumber nitrogen lain memberikan warna pada produk yang diasap.

Menurut Harris dan Karmas (1989), komponen kimia asap dapat dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap zat gizi produk yang diasap, yaitu : (1) zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan menghambat perubahan kimiawi dan biologis yang merugikan, (2) komponen yang tidak menunjukan aktivitas dari segi nilai gizi, (3) senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan menurunkan nilai gizi produk, dan (4) komponen beracun. Salah satu komponen beracun yang paling utama dari proses pengasapan adalah ditemukannya senyawa karsinogen nitrosamin yang berasal dari kayu yang digunakan. Jumlah senyawa karsinogen dalam daging asap tergantung pada suhu pembentukan asap dan lignin. Senyawa 3,4-benzopiren dan 1,2,5,6-fenantrasen bersifat karsinogen telah ditemukan dari pembakaran lignin pada suhu di atas 350 0C (Lawrie, 1995).

Perubahan nilai gizi protein bahan berdaging selama pengasapan akibat panas, sebanding dengan perubahan akibat panas dalam proses lainnya. Setiap perubahan nilai gizi yang dapat terjadi akibat dehidrasi biasa, diduga berlangsung dibawah kondisi pengasapan. Lebih lanjut, susutnya air menyebabkan peningkatan konsentrasi garam, bahan curing lainnya dan komponen asap. Gejala ini khas untuk pengasapan dan mungkin sekali menghasilkan perubahan tambahan dalam nilai gizi produk yang diasap (Harris dan Karmas, 1989).

Pengasapan menyebabkan bahan pangan yang diasap menjadi kering karena menguapnya air dari bahan pangan yang juga memberikan pengaruh pengawetan. Selain itu, pengasapan bertujuan untuk memberikan cita rasa asap yang khas pada bahan pangan. Jika pemberian cita rasa lebih diutamakan, sering pengasapan ini dikombinasikan dengan metode pengawetan lainnya, misalnya dengan pengalengan, pendinginan atau pembekuan (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1998).

(21)

Fermentasi

Fermentasi telah dikenal sejak lama dalam proses pengawetan bahan pangan. Fermentasi merupakan suatu proses oksidasi dan reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi dan menggunakan donor dan akseptor berupa senyawa organik (Winarno dan Fardiaz, 1990). Proses fermentasi sangat bergantung pada jenis mikroorganisme starter yang digunakan serta tipe produk yang diinginkan. Semua proses fermentasi berada di bawah kondisi anaerob obligat (Steiner et al., 1983). Kelompok mikroorganisme yang berperan dalam keadaan seperti itu adalah anaerob obligat dan anaerob fakultatif yang mampu tumbuh dengan baik dengan atau tanpa udara.

Beberapa faktor yang mempengaruhi waktu fermentasi dan pH akhir dari produk daging fermentasi adalah kondisi fermentasi bahan, proses yang spesifik, tipe dan aktivitas kultur yang digunakan. Sebagai contoh, kultur starter L. plantarum atau P. acidilactii digunakan dalam proses fermentasi pada suhu diatas 45 0C. Produk akhir yang dihasilkan mengandung asam laktat dengan konsentrasi tinggi dan pH rendah hingga mencapai 4,6-5,0 (Rogers et al., 2001).

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram negatif, non-spora, berbentuk batang atau kokus, serta dapat menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar. Sifat yang paling penting dari bakteri asam laktat adalah kemampuanya dalam memfermentasi gula menjadi asam laktat. Sifat ini penting dalam pembuatan produk-produk fermentasi. Bakteri asam laktat mampu menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan melalui kemampuannya dalam memproduksi asam yang sangat cepat (Fardiaz, 1992).

Berdasarkan hasil fermentasinya, bakteri asam laktat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Kelompok bakteri asam laktat homofermentatif mengubah glukosa menjadi asam laktat sebagai satu-satunya produk. Bakteri yang tergolong homofermentatif misalnya Streptococcus, Pediococcus dan beberapa spesies Lactobacillus. Bakteri yang bersifat heterofermentatif melakukan fermentasi campuran, yakni disamping menghasilkan asam laktat juga menghasilkan etanol, asam asetat, dan CO2. Contoh bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif misalnya Leuconostoc dan beberapa spesies

(22)

Lactobacillus. Bakteri asam laktat mampu memproduksi senyawa-senyawa penghambat pertumbuhan mikroba lain yaitu asam laktat, asam asetat, hidrogen peroksida, diasetil dan bakteriosin. Bakteri asam laktat homofermentatif sering digunakan dalam pengawetan pangan karena menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar di dalam makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri lainnya, khususnya yang termasuk kelompok bakteri pembusuk makanan (Fardiaz, 1992).

Varnam dan Sutherland (1995) menegaskan, bahwa bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter kultur harus memenuhi berbagi kriteria, diantaranya (1) mampu bersaing dengan mikroorganisme lain, (2) memproduksi asam laktat secara cepat, (3) mampu tumbuh pada konsentrasi garam kurang dari 6%, (4) mampu bereaksi dengan NaNO2 dengan konsentrasi kurang dari 100 mg/kg, (5) mampu tumbuh pada suhu 15-40 0C, (6) termasuk golongan homofermentatif, (7) bersifat proteolitik, (8) tidak menghasilkan peroksida dalam jumlah besar, (9) dapat mereduksi nitrat dan nitrit, (10) dapat meningkatkan produk akhir, (11) tidak memproduksi senyawa amonia, (12) dapat membunuh bakteri pembusuk dan patogen, serta (13) bersifat sinergis dengan starter lain.

Lactobacillus plantarum

L. plantarum bersifat anaerob fakultatif dan tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit. Pertumbuhan optimalnya yaitu pada suhu 30-35 0C. L. plantarum merupakan bakteri penghasil hidrogen peroksida tertinggi bila dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya, serta menghasilkan bakteriosin yang merupakan polipeptida atau protein yang bersifat bakterisidal. L. plantarum mampu memproduksi hidrogen peroksida ketika tumbuh dalam daging yang mengandung myoglobin. Aktivitas katalase ini bersifat menghambat oksidasi dan menyebabkan daging kehilangan pigmen warna merah dari myoglobin pada akhir proses fermentasi (Bucus, 1984). L. plantarum merupakan bakteri berbentuk batang, umumnya berukuran 0,7–1,0 sampai 3,0–8,0 mikron, tunggal atau dalam rantai-rantai pendek, dengan ujung yang melingkar. Pada kondisi pertumbuhan yang sesuai, organisme ini cenderung berbentuk batang pendek dan akan cenderung lebih panjang di bawah kondisi yang tidak menguntungkan. Bakteri ini termasuk homofermentatif dengan suhu pertumbuhan minimum 10 oC, maksimum 40 oC dan optimum 30 0C.

(23)

Gambar 1. Lactobacillus sp.

Sumber : (http://biology.kenyon.edu, 2005). !

L. plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam, sehingga populasi umumnya lebih banyak terdapat pada tahapan akhir dari fermentasi. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran dan daging khususnya sosis. L. plantarum tampaknya yang paling banyak digunakan dalam proses fermentasi, karena kemampuannya beradaptasi pada suhu fermentasi yang lebih tinggi dibanding dengan bakteri fermentasi lainnya. Selain itu, fermentasi dari L. plantarum merupakan homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987). Hasil penelitian Hidayati (2006) menunjukkan bahwa isolat L. plantarum 1B1 mampu hidup dengan baik pada pH 5 sampai 6,5 dan konsentrasi NaCl 1,5% sampai 2% dengan waktu generasi 1 jam 5 menit pada media MRS-B. Tabel 6 memperlihatkan jumlah populasi L. plantarum pada berbagai tingkat pH dan konsentrasi NaCl.

Tabel 6. Jumlah populasi L. plantarum Kondisi pertumbuhan Waktu

generasi

Permulaan fase log

Populasi (cfu/ml) Kontrol (pH 5,6) 1 jam 5 menit jam ke-2 menit 40 4,0 x 109 Media (pH 6.5, NaCl 2%) 52 menit jam ke-2 3,3 x 109 Media (pH 6.0, NaCl 2%) 55 menit jam ke-2 5,2 x 109 Media (pH 5.0, NaCl 2%) 2 jam 7 menit jam ke-4 menit 40 3,8 x 109 Media (pH 6.5, NaCl 1,5%) 46 menit jam ke-2 5,8 x 109 Media (pH 6.0, NaCl 1,5%) 49 menit jam ke-2 5,2 x 109 Media (pH 5.0, NaCl 1,5%) 2 jam jam ke-3 menit 20 3,7 x 109 Keterangan : cfu = colony forming unit

(24)

Komposisi Kimia Daging

Komposisi kimia daging sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak pada saat pemotongan. Ternak yang dipotong dalam keadaan stress akan memiliki komposisi kimia daging yang lebih rendah. Selain itu, dipengaruhi juga oleh interaksi antara bangsa dan pakan (Suparno, 1994). Komposisi kimia daging yang berkaitan erat dengan nilai gizi adalah kadar air, protein, lemak, dan mineral.

Kadar Air

Menurut Winarno (1997) kandungan air dalam daging segar sekitar 66% dari total masa daging. Air sangat penting dalam reaksi-reaksi biologis yang terjadi di dalam tubuh serta berperan sebagai media pelarut senyawa-senyawa kimia tubuh. Selain itu, air sangat berpengaruh terhadap penampakan, tekstur, cita rasa, daya terima, kesegaran serta daya tahan bahan pangan.

Berdasarkan derajat keterikatannya, air dalam bahan pangan dibagi menjadi empat tipe. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Air tipe ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya. Air tipe II yaitu molekul-molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain. Bila sebagian air tipe II dikurangi, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak akan dikurangi. Tipe III, yaitu air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Apabila air tipe ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25% tergantung dari jenis bahan dan suhu. Tipe IV, yaitu air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh (Winarno, 1997).

Protein

Protein merupakan komponen kimia terbesar dalam daging yang mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan perawatan sel serta sebagai sumber energi. Protein merupakan polimer dari ikatan beberapa asam amino yang dihubungkan oleh peptida dan mempunyai berat molekul yang besar. Penyusun utama struktur protein adalah C, H, O, N dan terkadang mengandung unsur S, P, Fe, dan Cu yang membentuk senyawa kompleks. Diperkirakan sekitar 50% dari berat kering sel dalam jaringan seperti hati dan daging terdiri atas protein. Molekul protein sendiri merupakan rantai panjang asam-asam amino. Terdapat 24 jenis rantai cabang (R)

(25)

yang berbeda ukuran, bentuk, muatan, dan reaktivitasnya. Rantai cabang (R) dapat berupa H pada glisin, metil pada alanin, atau berupa gugus yang lainnya, baik gugus alifatik, hidroksil, maupun aromatik. Nilai mutu protein tergantung pada asam amino yang dikandungnya, yang merupakan bagian terkecil dari zat protein. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karbonil (-COOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terbentuk pada atom C tepat di sebelah gugus karbonil (Fardiaz, 1992). Tabel 7 memperlihatkan kandungan asam amino produk olahan daging yakni dendeng fermentasi setelah dilakukan pengolahan.

Tabel 7. Komposisi Asam Amino Hasil Analisis HPLC (% w/w)

Deskripsi

Kadar Asam Amino (%) Persentase Peningkatan Kadar

Asam Amino (%) Daging

Sapi Fermentasi Iris Dendeng

Dendeng Fermentasi

Giling

Dendeng

Fermentasi Iris Fermentasi Dendeng Giling Aspartat 1,66 2,93 2,56 76,50 54,22 Glutamat 3,42 5,64 4,79 64,91 40,06 Serina 0,79 1,31 1,09 65,82 37,97 Histidina 0,70 1,02 0,91 45,71 30,00 Glisina 0,97 1,47 1,41 51,55 45,36 Threonina 0,98 1,58 1,27 61,22 29,59 Arginina 1,57 2,18 1,98 38,85 26,11 Alanina 1,08 1,79 1,60 65,74 48,15 Tirosina 0,67 0,99 0,79 47,46 17,91 Metionina 0,47 0,72 0,36 53,19 23,40 Valina 0,90 1,46 1,48 62,22 64,44 Fenilalanina 0,73 1,16 1,07 58,90 46,58 I – leusina 0,90 1,50 1,29 66,67 43,33 Leusina 1,48 2,40 2,09 62,16 41,22 Lisina 1,45 1,90 2,08 31,03 43,45 Sumber : Kurniawati (2007)

Sebagian besar protein terdenaturasi pada suhu yang relatif rendah (< 60 0C) dan juga rusak oleh kondisi asam. Denaturasi menyebabkan protein kehilangan daya larutnya pada larutan encer dan juga kehilangan sifat enzimatik, immunologi serta hormonalnya. Denaturasi protein sebagai komponen terbesar daging akan

(26)

menyebabkan perubahan pada daya larut, sifat fungsional, struktur, karakteristik, penampilan serta kemampuan daya mengikat air daging (Warris, 2000).

Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein merupakan komponen terbesar setelah air. Diperkirakan separuh atau 50% dari berat kering sel dalam jaringan seperti misalnya hati dan daging terdiri dari protein dan dalam tenunan segar sekitar 20% (Winarno, 1992). Sel serat otot mengandung dua macam protein terlarut, aktin dan myosin yang berperan dalam kontraksi otot. Dua macam protein tak larut, kolagen dan elastin, terdapat dalam jaringan ikat. Selama pemasakan kolagen akan berubah secara perlahan menjadi gelatin. Elastin merupakan protein yang elastik dan liat serta tidak terpengaruh oleh panas (Gaman dan Sherington, 1992).

Lemak

Lipid secara kimia terdiri atas berbagai macam substansi yang umumnya tidak larut dalam air, namun sangat larut dalam pelarut organik seperti etil eter dan kloroform. Secara prinsip struktur lipid terdiri atas karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O). Secara garis besar lipid terbagi dalam 2 bentuk yakni lemak dan minyak (Warris, 2000). Komposisi lemak secara individual terdiri atas asam-asam lemak yang terbagi menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya ikatan ganda (C=C) diantara rantai atom karbonnya. Komponen pembentuk lemak pada umumnya terdiri atas satu molekul gliserol yang berikatan dengan tiga molekul asam lemak, dan sering disebut sebagi trigliserida (Fardiaz et al., 1992).

Trigliserida berbentuk padat pada kondisi suhu ruang (25 0C). Komposisi trigliserida dalam lemak hewan sangat menentukan kehalusan atau kekerasan lemak hewan tersebut. Lemak yang dimaksud adalah lemak intramuskuler yang umumnya terdiri atas lemak sejati dan mengandung phospholipid dan fraksi-fraksi yang tidak tersabun, seperti kolesterol (Lawrie, 1995). Perbedaan proporsi asam lemak jenuh dengan asam lemak tidak jenuh menggambarkan tingkat kepentingannya di dalam mempengaruhi kekerasan dan kelembutan lemak. Kadar lemak mempengaruhi hubungan yang negatif dengan kadar air. Jika kadar lemak tubuh meningkat maka kadar airnya berkurang (Warris, 2000).

(27)

Tabel 8. Komposisi Asam Lemak dari Beberapa Lemak dan Minyak (% total asam lemak)

Domba Sapi Babi Ayam Salmon Minyak

Jagung

Asam lemak jenuh 53 45 40 35 21 13

Asam lemak tak jenuh 47 55 60 65 79 87

Rasio (jenuh/tak jenuh) 1,1 0,8 0,7 0,6 0,3 0,2 Kekerasan lemak Keras Lembut Sumber : Pearson, 1981

Pada tubuh hewan ternak, lemak disimpan di bawah kulit dan di sekitar organ tertentu misalnya ginjal. Kadar lemak berkisar antara 10%-50%, tergantung jenis hewan dan dari bagian hewan mana daging tersebut berasal. Sampai batas tertentu adanya lemak daging dikehendaki karena ia membuat daging menjadi lembab selama pemasakan (Gaman dan Sherington, 1992). Barowicz dan Bretza (2000) menyatakan, bahwa kadar lemak di dalam daging masak maksimal 1,5 – 4% (bk). Trela et al., (2002) mendapatkan rataan nilai kadar lemak daging masak sebesar 2,23% (bk) dari rentang nilai kadar lemak yang diperoleh sebesar 0,45-7,41% (bk).

Abu (Mineral)

Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri atas bahan organik dan air, sedangkan sisanya terdiri atas unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Proses pembakaran pada suhu 400 hingga 600 0C, bahan-bahan organik akan terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 1997). Komposisi abu tergantung pada macam bahan dan cara pembakaran (Fardiaz et al., 1992).

Komponen-komponen mineral dalam tubuh ternak terdiri atas komponen makro dan komponen mikro yang jumlahnya kurang dari 1% (Gaman dan Sherington, 1992). Unsur-unsur seperti natrium, klor, kalsium, fosfor, magnesium, dan belerang terdapat dalam jumlah yang besar sehingga disebut unsur makro. Unsur mineral lain seperti besi, iodin, mangan, tembaga, zink, cobalt, dan fluor hanya terdapat dalam jumlah yang kecil saja, karena itu disebut elemen mikro (Winarno, 1997).

(28)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan dari bulan Juli sampai Oktober 2006. Pelaksanaannya dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan dan Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

Materi

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi yang berasal dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) IPB dalam kondisi dibekukan. Starter yang digunakan adalah kultur murni bakteri L. plantarum hasil isolasi dari daging yang merupakan koleksi Bagian Teknologi Hasil Ternak. Materi yang dibutuhkan untuk proses pembiakan adalah deMan Rogosa Sharp-Broth (MRS-B), atau Agar (MRS-A), Nutrient Agar (NA), Potato Dextrose Agar (PDA), Eosin Methilen Blue Agar (EMBA), susu skim bubuk, Buffer Pepton Water (BPW), dan aquades. Bahan-bahan analisa yang digunakan terdiri atas NaOH, alkohol, indikator fenolftalein, folin, H2SO4, larutan tirosin, kasein dan aquades.

Peralatan yang digunakan untuk pembuatan daging fermentasi adalah smoker, oven, desikator, neraca elektrik, inkubator, pisau, telenan, termometer dan pH-meter sedangkan alat-alat untuk analisis kimia antara lain cawan Petri, labu Erlenmeyer, pinset, autoklaf, gelas piala, labu Kjeldahl, labu lemak, blender, sentrifuse, dan alat-alat titrasi.

Metode

Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan berupa persiapan dan perbanyakan kultur starter L. plantarum dan tahap penelitian utama yang terdiri atas pembuatan daging fermentasi dan analisis kualitas kimia pada daging fermentasi. Pengambilan sampel dilakukan tiga kali yakni pada saat daging masih segar, setelah fermentasi atau sebelum dilakukan pengasapan serta setelah daging menjadi produk dendeng.

(29)

Persiapan Starter Fermentasi L. plantarum

Persiapan dan perbanyakan starter kultur L. plantarum ditampilkan pada Gambar 2. Starter yang digunakan dengan populasi mencapai ≥ 107 CFU/ml (Varnam dan Sutherland, 1995). Starter dengan jumlah populasi yang demikian siap digunakan untuk fermentasi substrat dengan baik.

Kultur murni L. plantarum

Penyegaran pada media deMan Rogosa Sharp Broth (MRS-B) Inokulasi sebanyak 2% ke dalam larutan skim steril

Inkubasi pada suhu 37 0C selama 48 jam

(hasilnya disebut kultur induk lalu disimpan pada suhu 4-7 0C) Inokulasi lagi ke dalam susu skim steril sebanyak 2%

(hasilnya disebut kultur antara) Inokulasi lagi ke dalam susu skim steril (hasilnya disebut kultur kerja atau bulk culture)

Pemupukan pada media MRS-Agar Penghitungan populasi

Populasi > 1 x 107 cfu/ml Populasi < 1 x 107 cfu/ml

Gambar 2. Diagram Pembiakan Starter Kultur L. plantarum Starter kultur daging

(30)

Penelitian Utama

Penelitian utama adalah pembuatan dendeng fermentasi yang meliputi teknologi fermentasi dan pengasapan. Metode pembuatan dendeng fermentasi memiliki prinsip yang sama dengan metode pembuatan sosis tradisional Bali atau Urutan. Metode pembuatan dendeng pada penelitian ini merupakan hasil modifikasi pembuatan dendeng yang dilakukan oleh Arief dkk. (2003). Adapun cara pembuatan dendeng fermentasi disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Proses Pembuatan Dendeng Fermentasi Inokulasi dengan starter L. plantarum (10% b/b)

Diinkubasi dalam inkubator steril selama 24 jam dengan suhu 37 0C Diiris atau slicis dengan

ketebalan 3 mm

Diasap dengan suhu 35-40 0C selama 9 jam Digiling

Daging iris yang telah diinokulasi starter ditata di dalam loyang yang telah dilapisi aluminium foil kemudian

ditutup dengan menggunakan plastik

Daging giling yang telah diinokulasi starter dimasukan ke dalam plastik, dipipihkan dengan ketebalan 3 mm kemudian ditata di dalam loyang Daging sapi

Thawing

Ditimbang berat awal

(31)

Peubah yang Diamati

Kadar Air (Analysis of Official Analytical Chemistry/AOAC, 1984). Contoh daging sebanyak 1 gram ditimbang dalam wadah yang berat kering total wadah sudah diketahui sebelumnya. Wadah beserta isinya dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 0C sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung dengan rumus :

Berat contoh yang telah diuapkan (g)

Kadar air = x 100%

Berat awal contoh (g)

Kadar Protein (AOAC, 1984). Kadar protein ditetapkan dengan metode mikro Kjeldahl yang merupakan analisis kadar total N. Sampel daging 0,25 gram (X) dimasukan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan katalis secukupnya dan 25 ml H2SO4 pekat, campuran dipanaskan dalam pembakar Bunsen. Sampel didestruksi hingga jernih dan berwarna hijau kekuningan. Labu destruksi didinginkan dan larutan dimasukan ke dalam labu penyuling serta diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N, kemudian ditambahkan dengan batu didih.

Larutan dijadikan basa dengan menambahkan NaOH 33%. Labu penyuling dipasang dengan cepat diatas alat penyuling hingga 2/3 cairan dalam labu penyuling menguap dan ditangkap oleh larutan H2SO4 berindikator dalam labu Erlenmeyer. Kelebihan H2SO4 dalam labu Erlenmeyer dititer dengan larutan NaOH 0,3 N (Z ml) sampai perubahan warna menjadi biru kehijauan lalu dibandingkan dengan titar blanko (Y ml). Kadar protein dihitung dengan rumus :

(Y-Z) x 0,014 x titar NaOH x 6,25

Kadar protein kasar = x 100%

X

Kadar Lemak (AOAC, 1984). Kadar lemak ditentukan dengan metode ekstraksi Soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Contoh daging sebanyak 1 gram dibungkus dengan kartas saring dan dimasukan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Alat kondenser diletakan dibawah alat ekstraksi. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya.

(32)

Pelarut dalam lemak didestilasi dan ditampung kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C hingga berat tetap dicapai, kemudian didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemak di dalamnya kemudian ditimbang dan berat dapat diketahui dengan rumus :

Berat lemak (g)

Kadar lemak = x 100% Berat contoh (g)

Kadar Abu (AOAC, 1984). Contoh daging sebanyak 1 gram ditempatkan pada cawan porselin yang telah diketahui beratnya, kemudian diangkat dan dipijarkan pada suhu 600 0C hingga berat tetap. Kadar abu dapat diketahui dengan rumus :

Berat abu (g)

Kadar abu = x 100% Berat contoh (g)

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Pengelompokkan dilakukan berdasarkan periode pembuatan dendeng yang berbeda. Perlakuan yang digunakan adalah pengirisan dan penggilingan pada daging sebagai bahan baku dendeng fermentasi. Pengulangan dilakukan sebanyak empat kali untuk setiap kali perlakuan. Model matematika yang digunakan untuk mempelajari pengaruh perlakuan pengirisan dan penggilingan pada bahan baku dendeng fermentasi terhadap karakteristik kimia (kadar air, kadar protein, kadar lemak serta kadar abu) mengacu kepada Steel dan Torrie (1995) sebagai berikut:

.

Yij = μ + γi + βj + εij

Keterangan : Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j

μ = nilai tengah populasi

γi = pengaruh aditif dari perlakuan ke-i

βj = pengaruh aditif dari kelompok ke-j

(33)

Rumus hipotesis : H0 = γi = (i = 1,2,….t); yang berarti pengaruh perlakuan terhadap

respon adalah nol

H1 = minimal ada satu (γi ≠ 0 ) untuk i = 1,2,….t; yang berarti ada

pengaruh perlakuan terhadap respon

Data hasil pengujian yang diperoleh selanjutnya diolah dengan sidik ragam dan apabila didapatkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie, 1995).

Data tentang perubahan komposisi kimia dari daging segar dan setelah proses fermentasi atau sebelum pengasapan untuk daging yang menggunakan perlakuan pengirisan dan penggilingan diinterpretasikan secara deskriptif.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan meliputi penyegaran kultur starter fermentasi. Tujuan dari penelitian pendahuluan adalah untuk memperoleh kultur yang sesuai dengen kebutuhan proses fermentasi baik dari kualitas maupun kuantitasnya serta menentukan optimasi pembuatan dendeng fermentasi.

Penyegaran kultur starter bertujuan untuk (a) memeriksa kemurnian kultur (b) memperbanyak jumlah kultur dan (c) mengkondisikan kultur sesuai dengan kebutuhan. Kultur starter yang digunakan dalam proses pembuatan dendeng fermentasi ini adalah kultur murni bakteri asam laktat L. plantarum hasil isolasi dari daging sapi segar koleksi Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Pemeriksaan kondisi starter dilakukan untuk mengetahui jumlah kultur yang tumbuh setelah dipupukkan dalam media MRS-A. Penghitungan penting dilakukan untuk memperoleh kesesuaian antara kultur yang tumbuh dengan jumlah optimal kultur yang dibutuhkan dalam proses fermentasi. Hasil penghitungan pertumbuhan bakteri L. plantarum setelah dilakukan penyegaran diperoleh jumlah populasi sebesar 4,4 x 108 cfu/ml. Hasil tersebut menunjukan, bahwa populasi starter yang akan digunakan dalam proses pembuatan dendeng fermentasi pada penelitian utama sudah berada dalam kisaran yang optimal. Hal ini sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Varnam dan Sutherland (1995) yakni sebesar ≥ 1 x 107 cfu/ml. Morfologi L. plantarum 1B1 dapat dilihat pada Gambar 4.

(35)

Penelitian Utama

Sifat kimia yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak dan kadar abu. Komposisi kimia serta perubahan kimia selama proses fermentasi dan pengasapan berturut-turut ditampilkan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Perubahan Komposisi Kimia Dendeng Fermentasi Komposisi

Kimia

Daging Segar*)

Sebelum Diasap*) Setelah Diasap

Iris Giling Iris Giling

Air (% bb) 75,72 75,97 75,67 54,73 ± 3,76 63,46 ± 5,09 Protein kasar (% bk) 73,72 81,77 72,13 73,34 ± 2,46 70,82 ± 2,84 Lemak kasar (% bk) 6,05 6,03 7,83 6,65 ± 1,11 7,84 ± 2,62 Abu (% bk) 3,75 4,12 3,78 3,80 ± 0,26 3,75 ± 0,25 Keterangan : bb = berat basah bk = berat kering *) data dikompositkan (tidak dianalisis statistik)

Kadar Air

Air merupakan komponen terbesar dari daging segar serta sangat berperan dalam menentukan kualitas dendeng. Beberapa parameter kualitas dendeng sangat dipengaruhi oleh kandungan air di dalamnya, antara lain penampakan, cita rasa, tekstur, daya terima produk, kesegaran dan daya tahan dendeng (Winarno, 1992).

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan pengirisan dan penggilingan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kadar air dendeng fermentasi. Tabel 9 memperlihatkan nilai rataan kadar air dendeng setelah pengasapan menjadi 54,73% (bb) untuk dendeng fermentasi iris dan 63,46% (bb) untuk dendeng fermentasi giling. Proses pengasapan setelah fermentasi mampu menghilangkan kadar air dalam dendeng iris dan dendeng giling masing-masing sebesar 21,24% (bb) dan 12,21% (bb) dari total kadar air bahan segar sebesar 75,72% (bb). Penelitian yang dilakukan oleh Mukherjee et al., terhadap sosis fermentasi (penggunaan kultur starter kombinasi L. casei, L. plantarum dan P. pentosaceus) yang diasap menggunakan bahan pengasap cair mendapatkan kadar air sebesar 61,2% (bb). Kadar air yang diperoleh tersebut mengalami penurunan sebesar 34,9-37,8% (bb). Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Lisdiawati (2004) terhadap dendeng sapi (non fermentasi) dengan cara diasap menggunakan tempurung kelapa dan sabut kelapa mendapatkan penurunan kadar air hingga 56,06% (bb) untuk dendeng yang diasap menggunakan tempurung kelapa dan 52,11% (bb) untuk dendeng yang diasap menggunakan sabut

(36)

kelapa. Proses pengovenan pada suhu 70 0C hingga menyisakan kadar air dendeng maksimum 12% (bb) merupakan faktor dominan yang menyebabkan kadar air dendeng yang diasap menggunakan tempurung dan sabut kelapa lebih banyak hilang. Penurunan kadar air pada penelitian ini masih tergolong rendah. Penurunan kadar air ini disebabkan adanya dehidrasi melalui penguapan air saat proses pengasapan berlangsung. Sesuai dengan pernyataan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (1998) bahwa proses pengasapan dapat menyebabkan bahan pangan yang diasap menjadi kering karena menguapnya air dari bahan pangan. Pada dasarnya, pengasapan adalah proses penguapan air sebagai akibat perbedaan kandungan uap air antara udara dan produk yang diasap. Semakin tinggi suhu udara semakin banyak uap air yang dapat ditampung sebelum terjadinya kejenuhan. Udara yang bergerak pada proses pengasapan memungkinkan pengambilan serta penghilangan uap air dari permukaan dendeng berjalan lebih efektif.

Kadar air pada produk akhir merupakan kadar air total dendeng setelah dilakukan pengolahan. Kondisi kadar air ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain tipe pengolahan yang dilakukan, kandungan air bahan serta air yang ditambahkan ke dalam produk. Perubahan kadar air dendeng fermentasi selama proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Perubahan Kadar Air Selama Proses Pengolahan

Kadar air daging segar yang digunakan pada penelitian ini sebesar 75,72% (bb). Gambar 5 memperlihatkan kadar air dendeng iris dan dendeng giling setelah fermentasi atau sebelum pengasapan cenderung masih tinggi. Kadar air dendeng

(37)

fermentasi iris menjadi 75,97% (bb), sedangkan kadar air dendeng fermentasi giling menjadi 75,67% (bb) tidak berbeda jauh dibandingkan dengan daging segar. Kondisi ini disebabkan adanya metabolisme aerobik mikroorganisme yang terjadi selama proses fermentasi. Proses metabolisme ini akan menghasilkan CO2 dan H2O (Rahman, 1989). Pembentukkan H2O tersebut mengakibatkan kadar air dendeng fermentasi tetap tinggi.

Badan Standardisasi Nasional (1992) dalam SNI 01-2908-1992 tentang dendeng sapi, menyebutkan bahwa kadar air maksimal dendeng sapi untuk kualitas I dan II adalah 12% (bb). Hasil analisis proksimat menunjukan bahwa kadar air dendeng fermentasi yang diperoleh masih lebih tinggi sehingga belum memenuhi persyaratan BSN (1992).

Kadar Protein

Menurut Fardiaz (1992), protein merupakan komponen kimia terbesar dalam daging yang mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan, perawatan sel serta sebagai sumber kalori. Hal yang sama dikemukakan oleh Winarno (1997), yang menyatakan bahwa protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, karena berfungsi sebagai sumber energi, zat pembangun dan pengatur dalam tubuh.

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan pengirisan dan penggilingan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kadar protein dendeng fermentasi. Tabel 9 memperlihatkan rendahnya penurunan kadar protein baik pada dendeng fermentasi iris maupun giling. Kadar protein dendeng fermentasi iris menjadi 73,34% (bk), sedangkan dendeng fermentasi giling menjadi 70,82% (bk). Faktor yang menyebab-kan kondisi tersebut adalah rendahnya aktivitas proteolitik L. plantarum saat proses fermentasi berlangsung (Kurniawati, 2007). Nilai rataan kadar protein kedua jenis dendeng ini lebih tinggi dari nilai kadar protein pada penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah (2005) terhadap sosis fermentasi yang difermentasi oleh L. plantarum dan P. chrysogenum, yakni kadar protein pada P1 (penggunaan kultur starter tunggal) sebesar 36,30% (bk) tidak jauh berbeda dengan kadar protein pada P2 (penggunaan kultur starter kombinasi L. plantarum dan P. chrysogenum) sebesar 37,54% (bk).

Kadar protein dendeng fermentasi secara statistik tidak mengalami perubahan. Meski demikian, hasil analisis HPLC (High Performance Liquid Chromatography) menunjukan adanya peningkatan jumlah asam amino setelah

(38)

dilakukan fermentasi. Peningkatan ini disebabkan adanya aktivitas enzim proteolitik L. plantarum setelah fermentasi dilakukan. Kondisi aw daging yang masih cukup tinggi ( 0,916 untuk dendeng fermentasi iris dan 0,810 untuk dendeng fermentasi giling) menyebabkan bakteri masih dapat hidup untuk kemudian melakukan aktivitas proteolitik. Fontana (1998) menyatakan bahwa kelompok bakteri Lactobacillus dapat tumbuh optimum pada aw 0,91-0,95.

Protein merupakan polimer dari ikatan beberapa asam amino yang dihubungkan oleh peptida dan mempunyai berat molekul yang besar. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karbonil (-COOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terbentuk pada atom C tepat di sebelah gugus karbonil (Fardiaz, 1992). Kadar protein kasar merupakan jumlah total N yang terhitung dari sampel yang diukur. Peningkatan asam amino dendeng fermentasi iris dan giling tidak dipengaruhi oleh jumlah total N protein yang dikandungnya. Hal ini terjadi karena beberapa asam amino dapat berubah struktur kimianya melalui proses deaminisasi menjadi asam amino bentuk lain. Lebih lanjut, dikatakan bahwa komposisi asam amino daging dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan (misalnya pemanasan dan iradiasi ionisasi) yang dapat menyebabkan perubahan struktur kimianya (Soeparno, 1992). Sebagai contoh, perubahan asam amino glutamin menjadi glutamat dan asam amino asparagin menjadi aspartat setelah dilakukan pemanasan.

Adanya proses pengasapan pada pembuatan dendeng fermentasi turut mempengaruhi kondisi protein dendeng. Nilai gizi protein dapat berubah akibat bereaksi dengan komponen kimia asap. Senyawa fenol pada asap akan bereaksi dengan gugus sulfidril daging sedangkan karbonil bereaksi dengan gugus amino (Daun, 1989). Reaksi antara fenol dengan gugus sulfidril akan membentuk suatu lapisan damar pada bagian permukaan makanan yang diasap, sehingga tampak mengkilap. Selain itu, fenol adalah penyebab utama aroma yang khas pada makanan yang diasap (Wibowo, 1996). Reaksi antara karbonil dengan gugus amino akan menyebabkan reaksi Maillard. Reaksi tersebut menghasilkan warna cokelat pada permukaan bahan makanan yang diasap.

Kadar protein pada produk akhir merupakan kadar protein total dendeng setelah dilakukan pengolahan. Kondisi kadar protein ini dipengaruhi oleh beberapa

(39)

hal antara lain tipe pengolahan yang dilakukan, kandungan protein bahan serta sumber protein yang ditambahkan ke dalam produk. Perubahan kadar protein kasar dendeng fermentasi selama proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram Perubahan Kadar Protein Selama Proses Pengolahan Kadar protein daging segar yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 73,72% (bk). Gambar 6 memperlihatkan perubahan kadar protein dendeng iris dan giling setelah dilakukan fermentasi atau sebelum dilakukan pengasapan. Kadar protein dendeng fermentasi iris memiliki kecenderungan meningkat menjadi 81,77% (bk), sedangkan kadar protein dendeng fermentasi giling cenderung tetap yakni sebesar 72,13% (bk). Proses pengirisan tidak menyebabkan air dalam daging banyak keluar, sehingga hampir seluruh protein dapat dipertahankan. Ketersediaan air yang cukup juga merangsang sel-sel kultur starter bakteri dapat tetap hidup bahkan mungkin berkembang biak sehingga akan memberikan sumbangan kandungan protein pada dendeng iris fermentasi. Keberadaan mikroba di dalam dendeng iris ini menyebabkan peningkatan kadar proteinnya. Wardoyo (2008) menyatakan, bahwa total mikroba yang ada di dalam dendeng fermentasi iris lebih besar dari kandungan total mikroba yang ada di dalam dendeng fermentasi giling, sebesar 3,5 x 1013 cfu/g pada dendeng fermentasi iris dan 5,3 x 1012 cfu/g pada dendeng fermentasi giling.

Badan Standardisasi Nasional (1992) dalam SNI 01-2908-1992 tentang dendeng sapi, menetapkan bahwa kadar protein minimal dendeng sapi untuk kualitas I dan II berturut-turut adalah 30% dan 25% (bk). Hasil analisis proksimat

(40)

menunjukan bahwa kadar protein dendeng fermentasi iris dan dendeng fermentasi giling telah memenuhi standar BSN pada kualitas I.

Kadar Lemak

Menurut Warris (2000), lemak sangat berperan dalam menentukan kehalusan dan kelembutan suatu bahan pangan. Hal yang sama dikemukakan oleh Ketaren (1986) yang menyatakan, bahwa lemak dalam bahan pangan berfungsi untuk memperbaiki penampilan dan struktur fisik bahan pangan, meningkatkan nilai gizi dan kalori serta memberikan cita rasa yang gurih pada bahan pangan.

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan pengirisan dan penggilingan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kadar lemak dendeng fermentasi. Tabel 9 memperlihatkan kadar lemak dendeng fermentasi iris cenderung mengalami peningkatan yakni menjadi 6,65% (bk), sedangkan kadar lemak dendeng fermentasi giling menjadi 7,84% (bk). Berdasarkan nilai rataan kadar lemak setelah dilakukan pengasapan, hasil tersebut tidak menunjukan perbedaan yang berarti. Adanya senyawa fenol dari bahan pengasap yang merupakan antioksidan bagi lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi, sehingga kadar lemak dendeng dapat dipertahankan (Pearson dan Tauber, 1973).

Faktor lain yang sangat berperan terhadap kandungan lemak dendeng adalah perubahan kadar air. Pengasapan menyebabkan kadar air kedua jenis dendeng mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan kadar lemak dendeng cenderung meningkat. Lemak tidak larut dalam air, sehingga semakin banyak air keluar dari daging akan menyebabkan kecenderungan kadar lemak daging meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Warris (2000) yang menyatakan, bahwa kadar lemak memiliki hubungan yang negatif dengan kadar air, artinya apabila kadar air menurun maka komponen lain misalnya lemak akan meningkat.

Kadar lemak pada produk akhir merupakan kadar lemak total dendeng setelah dilakukan pengolahan. Kondisi kadar lemak ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain tipe pengolahan yang dilakukan serta kandungan lemak bahan yang digunakan. Pada beberapa bahan pangan, kadar lemak juga dipengaruhi oleh bahan-bahan sumber lemak yang ditambahkan ke dalamnya. Perubahan kadar lemak selama proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 7.

(41)

Gambar 7. Diagram Perubahan Kadar Lemak Selama Proses Pengolahan Kadar lemak daging segar yang digunakan pada penelitian ini sebesar 6,05% (bk). Gambar 7 memperlihatkan perubahan kadar lemak setelah proses fermentasi atau sebelum dilakukan pengasapan menjadi 6,03% (bk) untuk dendeng iris, sedangkan kadar lemak dendeng giling menjadi 7,83% (bk). Nilai rataan kadar lemak kedua jenis dendeng selama proses fermentasi tidak menunjukan perbedaan yang berarti, hal ini menunjukan rendahnya aktivitas lipolitik L. plantarum selama proses fermentasi. Bila asam yang dihasilkan oleh kultur starter fermentasi cukup tinggi, maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat (Winarno, 1984). Selain itu, Lactobacillus spp tidak termasuk dalam kelompok mikroba yang memiliki kemampuan tinggi dalam menghasilkan enzim lipase (Ray, 2000).

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) tentang dendeng sapi, menetapkan bahwa kadar lemak dendeng sapi tidak lebih dari 9,00% (bb). Rata-rata kadar lemak dendeng fermentasi iris sebesar 3,03% (bb) dan kadar lemak dendeng fermentasi giling sebesar 2,04% (bb). Kadar lemak dendeng fermentasi hasil penelitian ini telah memenuhi persyaratan.

Kadar Abu

Menurut Winarno (1997), kadar abu atau dikenal juga dengan kadar mineral adalah residu anorganik yang dihasilkan dari pembakaran zat-zat organik pada suhu 400-600 0C. Komponen-komponen mineral dalam tubuh ternak terdiri atas komponen makro (Na, Cl, Ca, P, Mg dan S) dan komponen mikro (Fe, I, Mn, Cu, Zn,

(42)

Co dan F). Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral total dalam dendeng fermentasi.

Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan pengirisan dan penggilingan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kadar abu dendeng fermentasi. Tabel 9 memperlihatkan terdapat kecenderungan penurunan kadar abu setelah dilakukan pengasapan. Kadar abu dendeng fermentasi iris menjadi 3,80% (bk) dari kadar abu dendeng sebelum dilakukan pengasapan sebesar 4,12% (bk), sedangkan kadar abu dendeng fermentasi giling sama dengan kadar abu daging segar menjadi 3,75% (bk) dari kadar abu dendeng sebelum pengasapan sebesar 3,78% (bk). Penurunan kadar abu setelah pengasapan disebabkan adanya penggunaan mineral daging untuk aktivitas hidup mikroorganisme yang hidup di dalam dendeng. Mikroorganisme membutuhkan mineral untuk mempertahankan hidupnya meskipun dalam jumlah sedikit (Fardiaz, 1988). Kadar abu kedua jenis dendeng fermentasi relatif sama dengan kadar abu daging segar, hal ini disebabkan karena tidak adanya penambahan bahan-bahan sumber mineral yang biasa ditambahkan ke dalam bahan pangan sebagai bumbu seperti garam atau gula.

Kadar abu suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kandungan mineral bahan, jenis bahan serta cara pembakaranya. Pada beberapa bahan pangan, kadar abu juga dipengaruhi oleh bahan-bahan sumber mineral yang ditambahkan ke dalamnya. Perubahan kadar abu dendeng fermentasi selama proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 8.

(43)

Kadar abu daging segar yang digunakan pada penelitian ini sebesar 3,75% (bk). Gambar 8 memperlihatkan kecenderungan peningkatan kadar abu setelah dilakukan fermentasi atau sebelum pengasapan. Kadar abu dendeng fermentasi iris menjadi 4,12% (bk), sedangkan kadar abu dendeng fermentasi giling menjadi 3,78% (bk). Peningkatan kadar abu selama fermentasi disebabkan adanya dekomposisi mikrobial terhadap komponen-komponen organik yang mengikat komponen mineral (Sanni et al., 1999). Meningkatnya jumlah mikroorganisme juga dapat menjadi penyebab meningkatnya kadar abu karena adanya mineral yang terdapat pada komponen sel mikroba. Wardoyo (2008) menyatakan, bahwa terjadi peningkatan populasi bakteri asam laktat sebesar 4 log10 cfu/ml setelah fermentasi.

Badan Standardisasi Nasional (1992) dalam SNI 01-2908-1992 tentang dendeng sapi, menetapkan bahwa kadar abu dendeng sapi maksimal untuk kualitas I dan II adalah 1 % (bk). Hasil analisis proksimat menunjukan bahwa kadar abu dendeng fermentasi yang diperoleh masih lebih tinggi sehingga belum memenuhi persyaratan BSN (1992).

(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perlakuan pengirisan dan penggilingan pada daging sebagai bahan baku pembuatan dendeng tidak mempengaruhi karakteristik kimia produk, diantaranya kadar air, kadar protein, kadar lemak dan kadar abu. Berdasarkan nilai rataan yang diperoleh, dendeng fermentasi iris dan giling memiliki kadar protein yang tinggi sehingga dapat memenuhi ketentuan BSN (1992) pada mutu I. Kadar lemak dendeng fermentasi iris maupun giling memiliki nilai yang lebih rendah dari ketentuan kadar lemak maksimal yang disyaratkan, sehingga telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981).

Saran

Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui kecernaan, penggunaan kultur campuran, teknologi pemanasan yang paling efektif untuk menurunkan kadar air, daya tahan, bentuk serta jenis kemasan, kondisi penyimpanan yang paling cocok serta teknik pemasaran dendeng fermentasi ini.

(45)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah atas karunia dan nikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penyusunan skripsi ini. Sholawat teriring salam senantisa tercurah kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan umatnya hingga akhir jaman.

Bakti dan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah membimbing, memberikan, kasih sayang, perhatian, serta dorongan baik moral maupun materil. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada Irma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si. selaku pembimbing utama dan kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku pembimbing anggota skripsi yang telah mencurahkan segenap perhatian, bimbingan, waktu, motivasi dan kesabarannya kepada penulis selama penelitian hingga skripsi ini selesai disusun. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Ahmad Darobin, M.Sc. selaku penguji serta Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. selaku penguji sekaligus pembimbing akademik yang telah memberikan waktu, bimbingan, masukan dan dorongan moral selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada program Hibah Bersaing Perguruan Tinggi yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dana penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Teknisi Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan IPB dan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati IPB yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung. Terima kasih tidak lupa kepada seluruh teman-teman THT 40 terutama kepada Tim Dendeng Fermentasi (Yogo, Marta, Niken dan Rien) serta teman-teman Senior Resident yang telah memberikan begitu banyak bantuan, semangat dan masukan yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dengan balasan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda. Amin. Akhir kata, mudah-mudahan skripsi ini dapat membawa manfaat terutama bagi diri penulis pada khususnya dan pihak lain yang membutuhkan pada umumnya.

Bogor, Januari 2008 Penulis

Gambar

Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng
Tabel 3. Komposisi Kimia Dendeng Sapi
Tabel 5. Rataan Hasil Uji Mutu Hedonik
Tabel 6. Jumlah populasi L. plantarum        Kondisi pertumbuhan  Waktu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain tengkleng, kami juga memiliki masakan seperti sate, gulai, dan tongseng yang sudah tidak asing lagi dengan selera lidah warga Semarang.. Syar'i, karena kami lebih

Berdasarkan hasil pengumpulan data, terdapat masalah yaitu kurangnya pemahaman siswa terhadap materi fisika padahal siswa tidak bermasalah dengan pembelajaran yang guru

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manakah yang lebih baik, kemampuan berpikir kritis yang diajar menggunakan model TP3S atau model

Telah dilakukan penelitian tentang Studi Penentuan Titik Fokus Pada Uji Akurasi Tegangan Tabung dalam Proses Kalibrasi Pesawat sinar-X menggunakan Multimeter Piranha dengan

Secara empiris studi ini menunjukkan bahwa internal branding yang meliputi brand orientataion, brand knowledge dan brand involvement berhubungan terhadap brand komitment,

Dampingan dilaksanakan pada 16 keluarga miskin yang terdapat di 13 lingkungan di

Menimbang bahwa majelis dipersidangan telah mengingatkan jaksa penuntut umum tentang belum cukupnya bukti untuk menuntut terdakwa di persidangan dengan memerintahkan agar

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Jhingan (2008) bahwa investasi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran melalui penambahan persediaan atau