• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /enm/images/dokumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /enm/images/dokumen"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAJIAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN KEBIJAKAN INVESTASI RIIL DI INDONESIA: Beberapa Isu Besar dan Arah Kebijakannya

Tulus Tambunan

Pusat Studi Industri dan UKM, Universitas Trisakti I. PENDAHULUAN

Ada tiga kebijakan yang dibahas di tulisan ini, yakni kebijakan perdagangan luar negeri (PLN), kebijakan perdagangan dalam negeri (PDN), dan kebijakan investasi riil (pembentukan modal tetap). Tiga kebijakan ini sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena teori ekonomi konvensional mengajarkan bahwa PLN (ekspor plus impor), pembentukan modal tetap (investasi), dan konsumsi rumah tangga merupakan tiga motor penggerak pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga berkorelasi positif dengan pertumbuhan PDN.

Dalam masing-masing kebijakan tersebut, banyak sekali isu-isu. Misalnya di dalam kebijakan PLN, isu-isu besarnya antara lain komitmen pemerintah Indonesia terhadap World Trade Organisation (WTO), berbagai free

trade areas (FTA) yang telah disepakati antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah-pemerintah dari

sejumlah negara lainnya. Demikian juga, dalam kebijakan PDN, isu bervariasi mulai dari masalah logistik atau infrastruktur hingga berbagai macam distorsi pasar, termasuk perdagangan antar wilayah. Dalam kebijakan investasi, isu mulai dari efektivitas dari Undang-undang Penanaman Modal yang berlaku hingga iklim investasi.

Tujuan utama dari kajian kebijakan ini adalah menjawab dua pertanyaan:

1)isu-isu besar apa saja saat ini yang menjadi tantangan besar ke depan bagi Indonesia yang oleh karena itu sangat mendesak untuk segera direspons oleh pemerintah lewat suatu kebijakan yang tepat?

2)Setelah mengidentifikasi isu-isu besar, bagaimana arah kebijakan yang tepat di masa depan?

Seperti telah dijelaskan di atas, karena setiap dari tiga kebijakan tersebut, banyak sekali isunya, maka di dalam pengkajian ini, untuk setiap dari ketiga kebijakan tersebut, hanya beberapa isu besar saja yang akan dibahas.

II. PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Dalam era perdagangan global, kebijakan perdagangan luar negeri (PLN) menjadi sangat penting. Di dalam menyusun kebijakan PLN, pemerintah Indonesia mempunyai komitmen terhadap sejumlah blok perdagangan, khususnya berikut ini:

(2)

2)APEC. Kebijakan PLN Indonesia harus juga sejalan dengan kesepakatan dalam APEC yang menerapkan perdagangan bebas oleh negara maju (NM) anggota APEC pada tahun 2010 dan diikuti oleh negara-negara berkembang (NSB) anggota APEC pada tahub 2020.

3)ASEAN. Kebijakan PLN negeri Indonesia juga harus sejalan dengan kebijakan AFTA menuju perdagangan bebas yang telah dimulai sejak tahun 2003, termasuk sejumlah ASEAN Plus, seperti FTA ASEAN dengan Korea, China, Jepang, India, New Zealand, Amerika dan Serikat. Juga kebijakan PLN Indonesia harus sejalan dengan kesepakatan untuk mempercepat integrasi Ekonomi ASEAN dari 2020 menjadi 2015.

4) EPA. Indonesia telah menandatangani Economic Partnership Agreement (EPA) dengan Jepang pada awal

tahun 2006. Oleh karena itu, kebijakan PLN Indonesia juga harus disesuaikan dengan kesepakatan tersebut.

5)KEK. Indonesia juga telah membuat kesepakatan untuk membentuk Kawasan Ekonomi Khusus dengan Singapura, dan ini berarti Indonesia punya suatu komitmen yang harus dicerminkan di dalam kebijakan PLN-nya.

Bukan lagi suatu rahasia umum bahwa era perdagangan bebas adalah era persaingan. Oleh sebab itu Indonesia harus meningkatkan efisiensi, produktivitas, kapasitas produksi dan inovasi disetiap sektor untuk secara bersama menunjang peningkatan daya saing produk Indonesia dipasar dunia maupun di pasar domestik dalam menghadapi persaingan dari produk-produk impor. Ini tentu bukan hanya tugas dari Departemen Perdagangan, melainkan juga tanggung jawab dari semua departemen terkait. Oleh karena itu, efektivitas dari kebijakan perdagangan luar negeri, selain ditentukan oleh baik tidaknya kebijakan itu sendiri dan pelaksanaannya, juga ditentukan oleh kebijakan-kebijakan lainnya (Gambar 1).

[image:2.612.47.525.457.661.2]

Gambar 1: Keterkaitan Antara Kebijakan PLN dengan Kebijakan-kebijakan Utama Lainnya

Kebijakan PLN

Kebijakan Industri Kebijakan

infrastruktur Kebijakan

Moneter & Fiskal Kebijakan

Teknologi & pendidikan

Kebijakan perburuan Kebijakan

Investasi Kebijakan

Pertanian Kebijakan

Perbankan

Kebijakan Hukum

Kebijakan Sektor-sektor

Tradable

lainnya

Kebijakan Enerji

(3)

penetration, akses ke pasar dan lain-lain. Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah meningkatkan ekspor dengan

prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah terpenuhi. Sedangkan tujuan utama dari kebijakan impor adalah dua, yakni (1) mengurangi impor dengan prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dengan tingkat efisiensi yang paling tidak sama dengan produk impor, atau (2) menambah impor jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam kata lain, kebijakan PLN harus tetap berlandaskan pemikiran bahwa sebuah negara akan melakukan ekspor jika negara itu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif atas negara lain, dan, mengimpor jika sebaliknya.

Beberapa isu besar terkait dengan kebijakan PLN yang akan dibahas di sini adalah:

1) Kesepakatan perdagangan global dan regional (WTO, FTA (multilateral atau bilateral), EPA, ASEAN-AFTA, termasuk ASEAN “Plus” dan Integrasi Ekonomi ASEAN)

2) Standarisasi

3) Penentuan sektor-sektor unggulan (picking the winners)

4) Kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga komoditas di pasar dunia 5) Anti-dumping

II.1 Kesepakatan Perdagangan Global, Regional dan Bilateral

Indonesia sebenarnya menghadapi dua pilihan, yakni lebih memilih mengikuti WTO atau lebih fokus terhadap kesepakatan-kesepakatan regional dan bilateral dengan sejumlah negara.1Sebagai salah satu negara anggota WTO, jelas Indonesia harus taat WTO, yang artinya kebijakan PLN Indonesia harus sejalan dengan ketentuan-ketentuan di bidang perdagangan internasional yang telah disepakati bersama di dalam WTO yang menuju perdagangan bebas dunia sepenuhnya. Sebenarnya, sesuai dengan arah dari WTO, dapat dikatakan bahwa regim PLN Indonesia termasuk yang paling liberal, terutama di kawasan Asia Tenggara, khususnya setelah krisis ekonomi

1997/98.2

Namun demikian, terbukti bahwa keikut-sertaan Indonesia dalam WTO tidak menjamin daya saing global dari

produk-produk Indonesia karena selama ini kebijakan PLN Indonesia yang cenderung semakin liberal tidak

didukung oleh langkah-langkah konkrit lainnya. Dilihat dari nilai totalnya, berdasarkan data WTO 2007,

Indonesia tidak termasuk 10 besar di dunia (Tabel 1). Sedangkan dilihat dari persentasenya terhadap produk domestik bruto (atau GDP), posisi Indonesia juga relatif kecil jika dibandingkan, misalnya, dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Sementara itu, menurut penelitian dari McKinsey Global Institute (2005), ekspor industri

1

Liberalisasi perdagangan mulai dari era GATT hingga sekarang (WTO) telah mengalami perluasan cakupan, mulai dari Putaran Dillon dan Putaran Kennedy yang hanya mencakup perdagangan barang saja, hingga merambah ke perdagangan dan penanaman modal, dan dalam Konperensi Tingkat Menteri WTO di Singapura telah mengarah ke isu-isu lainnya, seperti tenaga kerja dan lingkungan. Lihat lampiran mengenai tarif yang berlaku sesuai kesepakatan WTO untuk Indonesia.

2

(4)
[image:4.612.84.518.106.578.2]

Indonesia masih terpusatkan di industri-industri yang pertumbuhannya relatif rendah. Misalnya hasil studinya menunjukkan untuk periode 2000-2004 lebih dari 50% dari ekspor produk industri Indonesia adalah di pengolahan makanan, alas kaki, dan tekstil; sedangkan untuk mesin, alat-alat produksi, dan produk-produk dari elektronik hanya sekitar 7%

Tabel 1: Ekspor Barang: Negara-negara Kunci (miliar dollar AS), 2006

Keterangan: a: estimasi sekretariat; d: termasuk ekspor kembali dalam jumlah yang signifikan atau impor untuk diekspor kembali. Sumber: WTO (2007).

Hingga saat ini isu besar WTO adalah perundingan Doha yang telah berjalan 6 tahun sejak, termasuk di

Cancun 2003 yang tidak dapat memenuhi deadline. Maka muncul ide untuk memperkecil perundingan. Semula

G-6 (Australia, Brasilia, UE, India, Jepang, dan AS) menjadi G-4 (AS, UE, Brasilia dan India). Yang dibahas di

(5)

tindakan-tindakan pengamanan darurat (misalnya jika ada indikasi pasar jasa domestik akan dibanjiri oleh produk-produk

jasa dari luar negeri), perlakuan dari pemerintah (misalnya mengenai pemberian akses pasar dan perlakuaan

terhadap investasi asing, dan mengenai transparansi), subsidi, dan peraturan domestik (misalnya mengenai

penentuan mana yang bisa dan mana yang tidak bisa disubsidi, persyaratan dan prosedur mendapatkan lisensi dan

kualifikasi, dan standar teknis), dan (2) akses pasar, yang mana Indonesia mendukung liberalisasi perdagangan

sektor jasa secara bertahap..

Dalam beberapa tahun belakangan ini pemerintah Indonesia juga berupaya membentuk Kawasan Ekonomi

Khusus (KEK) dengan negara-negara yang berbatasan langsung. Yang sudah terbentuk adalah dengan Singapura.

Tujuan dari pembentukan KEK ini adalah untuk meningkatkan perdagangan antara kedua negara, dan sekaligus

juga merealisasikan pertumbuhan KEK di Indonesia, khususnya KEK di Batam, Bintan dan Karimun.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia juga semakin gencar membentuk bilateral FTA atau EPA.

Pemerintah berarguman bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing Indonesia secara global, diupayakan

perwujudan Economic Partnership Agreement (EPA) dengan banyak negara potensial. Misalnya bilateral FTA

dengan Korea Selatan yang telah ditandatangani pada bulan Juni 2006, dan EPA dengan Jepang (IJ-EPA), yang ditandatangani pada tanggal 25 Januari 2006 lalu di Tokyo. Tujuan dari IJ-EPA ini adalah untuk meningkatkan perdagangan antar kedua negara, dan untuk mewujudkannya ada tiga pilar penting, yakni kerja sama peningkatan kapasitas produksi antara kedua pemerintah yang dilakukan melalui pusat pengembangan industri manufaktur yang akan difasilitasi Jepang, fasilitas perdagangan, serta liberalisasi yang menghapus sebagian besar tarif bea masuk ke kedua negara. akan memfokuskan pada peningkatan kapasitas di 13 sektor penunjang investasi Jepang di Indonesia, yaitu pengerjaan logam, percetakan alat mesin, promosi ekspor dan investasi, usaha kecil dan

menegah (UKM), komponen otomotif, elektronik, baja, tekstil, petrokimia/oleokimia, logam non besi, dan

makanan dan minuman. Ke 13 sektor itu masuk program pengembangan kapasitas industri melalui Manufacturing

Industry Development Centre (MIDEC). MIDEC adalah bagian dari pilar pengembangan kapasitas untuk

meningkatkan daya saing produk Indonesia. Kesepakatan ini menyangkut lebih dari 90% dari jumlah pos tarif

yang akan dihapuskan atau dikurangi

(6)

bidang jasa, dimana Jepang masih meminta adanya komitmen tetap di tempat, atau standstill committment, dimana diusahakan agar komitmen yang sudah ada dari kedua pihak tidak dikorbankan setelah adanya EPA; (3) penanaman modal, dimana masih ada beberapa perbedaan pendapat di antara kedua pihak mengenai definisi terminologi ini, yakni apakah penanaman modal akan berbentuk PMA (atau FDI) atau portfolio. Selain itu, saat ini pemerintah Indonesia juga masih menunggu pembahasan rencana undang-undang penanaman modal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum dapat menentukan posisi Indonesia dalam isu penanaman modal dalam JI-EPA; (4) sumber-sumber energi dan mineral (EMR – Energy and Mineral Resources), dimana Jepang menginginkan adanya aspek keamanan penyediaan energi ke negara tersebut.3

Perjanjian IJ-EPA itu sendiri akan berlaku efektif 1 Juli 2008 yang memuat tiga pilar, yaitu liberalisasi

perdagangan dan investasi, fasilitasi perdagangan dan investasi, dan pengembangan kapasitas untuk mengangkat

daya saing. Dalam peningkatan kapasitas produksi, selain elektronika dan otomotif, tekstil dan produk tekstil

(TPT) juga merupakan salah satu industri yang difokuskan dalam kerja sama tersebut. Ini semua tentu diharapkan dapat memberi kesempatan besar bagi pengusaha-pengusaha Indonesia untuk bisa mengekspor atau meningkatkan ekspor produk-produk mereka ke Jepang.4

Namun demikian, menurut Menteri Perdagangan RI, Dr. Mari Elka Pangestu, dalam seminar forum WTO Indonesia, Agustus-2006 di Jakarta, Indonesia perlu lebih serius memanfaatkan BFTA sehingga produk-produk domestik yang diekspor ke luar negeri tidak mengalami diskriminasi (hal ini disebabkan barang-barang dari Indonesia tidak diberikan konsesi khusus di, misalnya, Jepang, selayaknya barang-barang yang masuk dari Singapura di Jepang). Juga apabila Indonesia tidak aktif terlibat dalam BFTA, maka Indonesia akan mengalami dampak diversi perdagangan di negara-negara mitranya.5

Dalam ASEAN, Pemerintah Indonesia juga sangat mendukung percepatan integrasi ekonomi ASEAN dari

2020 menjadi 2015. Hal ini diperkuat oleh paket kebijakan ekonomi pemerintah 2008-2009 yang tertuang dalam

Inpres Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 yang antara lain memuat kebijakan

3

Soemadi Brotodiningrat mengatakan bahwa terdapat beberapa alasan utama kanapa Jepang mau melakukan BFTA dengan Indonesia: (1) Jepang merupakan mitra ekonomi Indonesia sejak lama dengan rekam jejak yang jelas. Oleh sebab itu, Indonesia sudah dapat melihat baik sisi positif maupun negatif keberadaan Jepang di negara ini; (2) Jepang merupakan penanam modal dan pasar ekspor terbesar bagi Indonesia; (3) Jepang merupakan donor terbesar bagi Indonesia; (4) terdapat tingkat komplementaritas ekonomi yang tinggi di antara kedua negara; (5) Jepang bisa dijadikan sumber bagi pengembangan kapasitas Indonesia; (6) kecenderungan menurunnya daya tarik Indonesia secara relatif sebagai mitra dagang dan tujuan PMA Jepang; dan (7) Jepang sendiri sudah merundingkan sejumlah BFTA / EPA dengan negara-negara pesaing Indonesia.

4

Dengan pengesahan EPA ini, selambat-lambatnya Maret 2007, Jepang akan menurunkan bea masuk TPT Indonesia dari rata-rata 6,7% menjadi 0%. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Sutrisno, harga TPT Indonesia dapat berselisih 7% hingga 10% dibandingkan TPT China. Namun agar TPT Indonesia bisa memanfaatkan peluang tersebut, industri TPT Indonesia perlu segera dibenahi dengan antara lain bantuan teknis, pendidikan pertekstilan, dan restrukturisasi mesin tekstil (dikutip dari Kompas, “Siapkah Kita Rebut?”, Teropong Ekonomi, Jumat, 1 Desember 2006: 34)

5

Sebagai ilustrasi, BFTA antara Thailand dan AS. Indonesia merupakan pengekspor besar ke AS, namun karena Thailand memiliki bilateral FTA dengan AS, maka produk-produk Indonesia mengalami diskriminasi. Contoh lainnya adalah di sektor perikanan. Jepang masih mengembargo ikan tuna sirip biru yang ditangkap kapal ikan dari Indonesia karena Indonesia belum menjadi anggota Commission

for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), walau tuna sirip biru hidup di Samudera Hindia dan hanya bertelur di wilayah

(7)

pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi ASEAN.6Selain itu, Indonesia juga aktif dalam dialog FTA ASEAN dengan Korea, China, Jepang, India, Selandia Baru, AS.

Ada sejumlah studi telah dilakukan untuk menganalisis prestasi atau kemampuan Indonesia dalam menghadapi peluang yang muncul dari integrasi ASEAN yang cenderung semakin menguat dalam beberapa tahun belakangan ini. Salah satu studinya adalah dari Bank Indonesia (BI, 2008), yang menemukan bahwa Indonesia tertinggal dibandingkan beberapa negara anggota lainnya, terutama Singapura, Malaysia dan Thailand dalam banyak hal, khususnya kualitas sumber daya manusia (SDM), teknologi dan stok kapital. Kekurangan faktor produksi yang terakhir ini disebabkan terutama oleh buruknya kondisi infrastruktur, kelembagaan dan SDM di Indonesia. Berdasarkan itu semua, studi ini menyimpulkan sebagai berikut: ….. apabila menggunakan patokan kondisi relatif

faktor-faktor produksi, nampaknya manfaat terbesar dari integrasi ASEAN hanya akan dinikmati oleh beberapa negara tertentu, dalam hal ini adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sementara itu, peluang Indonesia untuk turut menikmati kue ekonomi pascaintegrasi tentu saja masih sangat terbuka, yaitu apabila dalam periode 7-8 tahun ini Indonesia mampu melakukan perubahan substansial dalam hal perbaikan SDM maupun fisik (human and physical capital) (halaman 35).

Pertanyaan yang sering muncul salama ini adalah: apakah Indonesia bisa memanfaatkan sepenuhnya kesempatan dari FTA, EPA, KEK atau kesepakatan berbagai ASEAN Plus. Pertanyaan ini muncul karena alasan-alasan klasik: kualitas SDM masih rendah sehingga tidak mampu menyerap transfer teknologi, birokrasi yang tidak efisien, penjabaran kebijakan pemerintah lintas sektoral maupun lintas wilayah (kebijakan perdagangan, kebijakan industri, kebijakan pertanian, kebijakan fiskal, dll) yang tidak seirama, buruknya infrastruktur, prosedur pabean yang kurang terprediksi (dari sudut pandang pengusaha asing), langkah-langkah yang diambil instansi-instansi pemerintah yang kebanyakan bersifat ad hoc yang tidak memberi kepastian jangka menengah (apalagi jangka panjang) kepada pelaku usaha atau calon investor,7implementasi kebijakan di lapangan yang sering tidak

6

Paket kebijakan ekonomi ini memuat berbagai kebijakan ekonomi yang dapat dikelompokkan ke dalam 8 bidang, yakni, selain kebijakan masyarakat ASEAN, kebijakan perbaikan iklim investasi, kebijakan ekonomi makro dan keuangan, kebijakan ketahanan energi, dan kebijakan sumber daya alam, lingkungan dan pertanian. Empat bidang lainnya adalah kebijakan pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), kebijakan menyangkut infrastruktur, dan kebijakan menyangkut ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Paket ini memuat 109 program ekonomi dalam bentuk matriks yang antara lain memuat sasaran, target waktu penyelesaian, dan penanggung jawab pelaksanaan kebijakan. Paket kebijakan itu merupakan kelanjutan dari paket kebijakan ekonomi sebelumnya yaitu Inpres nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Berbagai kebijakan yang termuat di dalamnya merupakan program-program ekonomi prioritas selama 2008-2009 yang memerlukan koordinasi dari berbagai pejabat mulai dari tingkat menteri hingga tingkat bupati/walikota Inpres itu menginstruksikan kepada 29 pejabat mulai dari menteri hingga bupati/walikota untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009.

7

(8)

efektif (tidak ada kepemimpinan yang kuat dan fokus untuk get things done dari pelaksana, misalnya pemerintah daerah atau menteri),8sistem-sistem perburuhan dan perpajakan yang dirasakan merugikan dunia usaha, tidak harmonisnya tariff, ekonomi biaya tinggi yang masih marak (yang membuat profit usaha menurun sehingga terjadi demotivasi dari para pelaku usaha/investor), dan ketidaksanggupan pemerintah mencegah penyelundupan dan pemalsuan sejumlah produk termasuk produk-produk elektronik,9yang semua ini ditambah lagi dengan masalah kepastian hukum dan keamanan, dll.membuat iklim investasi di tanah air tidak kondusif.

Bahkan Hidayati (2008) menegaskan bahwa untuk memanfaatkan peluang EPA, para pelaku industri menilai

sebagian besar pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan merupakan porsi pemerintah. Tanpa strategi pengembangan industri yang jelas, dukungan kebijakan yang konsisten, serta iklim investasi yang ditawarkan, peluang yang ditawarkan EPA pun akan terbuang (halaman 10).

Data dari ASEAN-Japan Center 2005 menunjukkan bahwa dari total ekspor ASEAN ke Jepang, porsi Indonesia untuk hampir semua produk jauh lebih kecil. Bahkan untuk komoditas pertanian, yang mana Indonesia merupakan negara agraris terbesar di ASEAN, ternyata ekspornya seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan lainnya jauh dibawah, misalnya, Thailand. Juga untuk produk-produk manufaktur tertentu, posisi Indonesia paling lemah (Tabel 2).

Tabel 2: Ekspor ASEAN ke Jepang, 2005 (juta yen). Negara anggota Buah-buahan Sayur-sayuran

Sereal Daging Ikan Manufaktur Bahan bakar mineral Mesin non-listrik Mesin listrik Bahan baku Filipina Thailand Vietnam Indonesia Malaysia Singapura Brunei 71.352 10.055 - 1.479 - - - 2.213 13.926 2.752 1.555 - - - - 17.272 4.558 1.084 1.531 2.103 - 574 54.501 - 16 - 18 - - 108.021 85.934 80.760 - - - - 177.854 - 288.208 148.100 - - - - - 1.182.520 537.051 - 252.402 128.689 272.204 - 63.250 126.508 204.410 - 393.187 429.881 - 134.380 459.066 147.031 - 65.692 112.961 - 353.660 91.172 - - Sumber: database ASEAN-Japan Center.

Menanggapi lemahnya ekspor pertanian Indonesia ke Jepang tersebut, Saragih (2007) menegaskan bahwa hal ini terkait erat dengan lemahnya Indonesia dalam kualitas, dan oleh karena itu, salah satu langkah yang harus segera diambil adalah perbaikan sertifikasi produk, selain tentu hal-hal lain seperti peningkatan kualitas SDM dan teknologi merupakan prasyarat yang mutlak.

bebas (KPB) dan pelabuhan bebas (PB). Perpu ini ditetapkan 4 Juni 2007. Ketentuan UU No 36/2000 ini adalah ketetapan bahwa KPB dan PB alias kawasan ekonomi khusus (KEK) dapat dibentuk cukup dengan peraturan pemerintah (PP), bukan dengan UU. Berikutnya, daerah mana yang ditetapkan sebagai KEK akan ditetapkan dengan PP terpisah. Sampai akhir 2007 belum jelas kapan PP penetapan Batam, Bintan dan Karimum akan dirampungkan pemerintah (Kompas, “Kawasan Ekonomi Khusus. Sudah Terlalu Lama Diambangkan”, Bisnis & Keuangan, Jumat, 13 Juli: 21). Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Kadin Batam Nada Faza Soraya, pelaku

usaha tidak minta banyak. Kami butuh kepastian. Jangan satu kebijakan dikeluarkan, nanti diubah lagi (Kompas yang sama, halaman

21). 8

Misalnya, dalam hal ini, Samhadi (2007b) menanyakan: bagaimana investasi dari luar negeri (misalnya Jepang dalam kasus EPA) bisa digenjot kalau pembebasan lahan selalu bermasalah dan pelabuhan Tanjung Priok justru semakin menjadi sarang mafia, kendati sudah dilakukan reformasi kepabeanan.

9

(9)

Sebenarnya, pemerintah Indonesia menyadari bahwa daya saing global Indonesia cenderung melemah, dan

oleh karena itu, dalam rapat kerja Departemen Perdagangan RI pada tanggal 26 – 28 Juli 2006 lalu di Jakarta,

Menteri Perdagangan menjelaskan beberapa hal pokok yang perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan daya

saing Indonesia, yang dijabarkan dalam empat misi utama. Keempat misi tersebut adalah

1) meningkatkan kelancaran distribusi, penggunaan produk dalam negeri, perlindungan konsumen dan

pengamanan perdagangan;

2) memaksimumkan keuntungan daya saing bangsa Indonesia dalam persaingan global;

3) mewujudkan pelayanan publik dan good governance;

4) meningkatkan peran penelitian dan pengembangan, dan proses konsultasi publik dalam pengambilan keputusan

di sektor perdagangan.

Guna mencapai misi tersebut, Departemen Perdagangan menggunakan metode Balanced Score Card sebagai

alat untuk menjembatani rencana strategis dengan operasional agar pencapaiannya dapat terwujud dan terukur,

secara merata di seluruh penjuru Indonesia. Selain hal-hal di atas Departemen Perdagangan juga menyadari

pentingnya arti sinergi antara pusat dan daerah sehingga seluruh kebijakan dan implementasinya dapat

terkordinasikan dan dijalankan dengan baik. Selain itu, pemerintah terus berusaha memperkuat posisinya di dalam

WTO, agar Indonesia bisa lebih diuntungkan oleh kesepakatan-kesepakatan WTO.

Untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri, upaya yang dilakukan Departemen Perdagangan antara

lain menurunkan ekonomi biaya tinggi, memperlancar arus barang dan jasa, serta meningkatkan daya saing

komoditi ekspor. Implementasinya dengan menyederhanakan prosedur perizinan, mengurangi hambatan distribusi

(perda dan retribusi); transparansi kebijakan dan memfasilitasi infrastruktur perdagangan dalam negeri.

Agar keempat misi tersebut dapat dilakukan secara optimal, diperlukan adanya pemahaman bersama dari

semua takeholders dalam mendukung peningkatan daya saing produk Indonesia. Untuk itu, Departemen

Perdagangan telah menyusun road map peningkatan daya saing produk Indonesia dengan target pada tahun 2010

akan tercipta 200 merk yang mempunyai daya saing di pasar domestik dan internasional. Ke-200 merk tersebut

akan menjadi produk-produk dengan disain yang bagus buatan Indonesia dengan dukungan 3 kekuatan (branding,

packaging, product design); yang dilindungi dengan HKI. Sementara itu, peranserta daerah dalam hal ini dapat

diwujudkan melalui pemetaan produk unggulan yang bermerk yang siap bersaing di pasar Internasional.

Juga pemerintah Indonesia telah membentuk National dan ASEAN Single Window; memberdayakan ATDAG

(Atase Perdagangan atau ITPC (seperti misalnya KDEI Taipe); serta menyempurnakan fasilitasi perdagangan

melalui harmonisasi tarif bea masuk dan mempercepat restitusi pajak.

Namun masih banyak hal lain seperti banyak forum, fasilitas atau jalur perdagangan dunia atau regional yang

(10)

kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China, melaksanakan perundingan dengan Jepang guna mendorong terciptanya Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Jepang-Indonesia (JIEPA), dan telah menerima sejumlah tawaran untuk melakukan BFTA dengan beberapa mitra dagang utamanya, termasuk dari Amerika Serikat (AS) dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA – European Free Trade Association).

Dari uraian di atas, sejumlah pertanyaan sekarang adalah:

(1) mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia, khususnya untuk peningkatan ekspor dan daya saing produk-produk Indonesia, dengan kondisi Indonesia saat ini dan ke depan: WTO, ASEAN (AFTA) Plus, BFTA, EPA, atau Kawasan Khusus?10

(2) apapun pilihannya, apa tantangan utama ke depan yang akan dihadapi Indonesia?

(3) bagaiman proses penyesuaian (dalam kebijakan PLN) yang telah dan apa yang masih harus dilakukan oleh Indonesia di masa depan?

(4) bidang-bidang apa saja yang sangat berpengaruh terhadap daya saing produk-produk Indonesia yang perlu segera dibenahi namun tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan PLN karena bukan wilayahnya?

(5) sejauh mana koordinasi antara kebijakan PLN dengan kebijakan-kebijakan (di sektor-sektor) lainnya?

10

Di dalam seminar yang diselenggarakan oleh Institute for Global Justice (IGJ) pada tanggal 24 Agustus 2006, Dr. Mari Elka Pangestu menyebutkan bahwa dengan tujuan untuk dapat memaksimalisasi potensi keuntungan bagi kepentingan nasional, Indonesia harus menjalankan strategi tiga jalur dalam perundingan perdagangan internasional, termasuk di jalur multilateral, regional, dan bilateral. Namun, menurutnya, strategi triple-track ini tetap diperlukan meskipun bagi ekonomi terbuka seperti Indonesia dan sebagai negara yang relatif lemah dalam posisi tawar, sistem perdagangan multilateral tetap yang terbaik. Dr Mari Elka Pengestu juga menambahkan Indonesia membuat kesepakatan BFTA dengan Jepang bukan karena ikut-ikutan, tetap ada beberapa faktor yang melatar-belakangi keputusan ini. Alasan utama adalah adanya pertimbangan bahwa beberapa negara pesaing Indonesia memang sudah mengadopsi pendekatan perdagangan BFTA dengan mitra-mitra dagang utama Indonesia. Indonesia dianggap perlu mengambil langkah serupa sehingga produk-produk domestik yang diekspor ke luar negeri tidak mengalami diskriminasi (hal ini disebabkan barang-barang dari Indonesia tidak diberikan konsesi khusus di, misalnya, Jepang, selayaknya barang-barang yang masuk dari Singapura di Jepang). Salah satu kesimpulan penting dari seminar itu adalah bahwa banyaknya muncul BFTA, seperti kasus Indonesia-Jepang, dikarenakan adanya asimetri dalam perdagangan internasional, yang bergantung pada kekuatan ekonomi dan pembangunan satu negara. Jepang sendiri melihat BFTA semakin penting karena berkembangnya kelompok-kelompok kawasan utama di dunia, seperti UE dan kawasan perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA) yang dapat membuat posisi produk-produk Jepang tergeser di kedua benua tersebut. Selain itu, dalam mendekati ASEAN, Jepang sendiri juga dihadapi persaingan keras dari China. Kesimpulan kedua, BFTA biasanya melibatkan perluasan peraturan HAKI yang sangat ketat bagi negara-negara pesertanya. Perlindungan yang besar terhadap HAKI kerap kali menimbulkan kontroversi besar di negara-negara berkembang. Secara umum, HAKI adalah hak yang diberikan oleh masyarakat kepada individu ataupun organisasi atas karya kreatif seperti karya invensi, sastra dan seni, serta simbol, nama, citra, dan rancangan-rancangan / desain yang digunakan dalam perdagangan. HAKI merupakan alat untuk meningkatkan kreativitas dan penciptaan, karena dianggap penting pada tingkat internasional. Walaupun di WTO sudah adanya kesepakatan yang namanya hal-hal perdagangan yang berhubungan dengan hak kekayaan intelektual (TRIPS – Trade-Related Intellectual Property Rights), banyak BFTA yang menganut pendekatan TRIPS-plus. Kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan bilateral biasanya menghapus fleksibilitas-fleksibilitas yang diberikan kepada negara-negara berkembang di TRIPS, dan tentunya membebani negara-negara berkembang. AS, misalnya, seringkali memaksakan ketentuan-ketentuan TRIPS-plus dalam inisiatif-inisiatif BFTA-nya. BFTA biasanya melemahkan atau menghapus pelaksanaan fleksibilitas, terutama dalam hal: (1) paten dan akses pada obat; (2) perlindungan HAKI atas varietas tanaman dalam hal sistim sui generis, dan hak petani; (3) pilihan untuk melarang paten atas mahluk hidup. Jadi, ketentuan TRIPS-plus dalam BFTA berpotensi memberikan dampak pada pembangunan di negara-negara berkembang dalam hal kesehatan, akses pada pengetahuan, pengelolaan sumberdaya hayati, dan ketahanan pangan. Selain itu, ketentuan HAKI dalam BFTA tidak hanya terletak dalam bab HAKI, tetapi juga dalam banyak bab lainnya yang dirundingkan dalam BFTA (seperti penanaman modal, penyelesaian sengketa, dsb.). Dengan demikian, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan seksama apakah perlu untuk merundingkan HAKI dalam BFTA-BFTA-nya apabila sudah ada berbagai peraturan yang ketat dalam WTO dan Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO – World

Intellectual Property Organisation). Sekalipun pemerintah sepakat untuk memasukkan bab HAKI dalam BFTAnya, maka perlu

(11)

II.2 Standarisasi

Indonesia sudah punya aturan mengenai standarisasi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 102/2000. Di dalam Pasal 3, dinyatakan bahwa standardisasi nasional bertujuan untuk: (1) meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; (2) membantu kelancaran perdagangan; dan (3) mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.

Memang ironis sekali bahwa, di satu sisi, disadari bahwa kualitas sangat penting untuk bisa unggul di pasar dunia, atau, misalnya, dalam hal IJ-EPA, agar produk-produk Indonesia bisa menembus pasar Jepang, sedangkan, di sisi lain, Indonesia sampai saat ini masih punya masalah serius untuk memenuhi standar kualitas. Hingga Agustus 2007, pemerintah Indonesia telah menetapkan 3.200 standar nasional industri (SNI), tetapi baru 215 SNI produk yang diwajibkan. SNI yang diwajibkan itu pun sebagian besar masih berlaku sukarela karena baru 34 SNI produk yang dinotifikasi ke WTO. Tanpa notifikasi tersebut, tidak ada mekanisme pengawasan dan sanksi yang diterapkan.

Di tingkat ASEAN, hingga tahun 2007 sudah 140 jenis standar produk yang diharmonisasi, dan ditargetkan mencapai 189 produk pada tahun 2011. Sementara, Indonesia hingga saat ini baru mengikutkan 19 standar produk dalam harmonisasi ASEAN (Hidayati, 2008). Artinya, walaupun pasar ASEAN semakin terbuka, banyak produk Indonesia yang tidak akan bisa masuk pasar ASEAN karena belum punya standar produknya (Hidayati, 2007).

Hal ini mencerminkan lemahnya pengembangan standar dan lembaga akreditasi di Indonesia; walaupun Indonesia sudah memiliki (PP) No 102/2000. Padahal, penguatan standar, lembaga akreditasi, dan kelengkapan

fasilitas laboratorium penguji tidak bisa diabaikan. Dalam persaingan di pasar global, hambatan nontarif, baik yang bersifat teknis, seperti standar keamanan produk, maupun nonteknis, seperti ketentuan label, menjadi perkara serius (Hidayati, 2008, 10).

Menurut Chief Executive Officer Garudafood (tahun 2006) Sudhamek Agoeng WS,11hambatan utama yang dihadapi pengusaha Indonesia dalam menjalin hubungan perdagangan, terutama dengan Jepang, adalah masalah standar kualitas. Selama ini barang-barang Indonesia tidak mudah masuk ke pasar Jepang karena negara tersebut sangat luar biasa menerapkan standar kualitas. Sedangkan, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (tahun 2006) Achmad Widjaya mengatakan bahwa daya saing industri nasional di pasar global, termasuk di pasar Jepang, masih lemah karena lemahnya SDM dan teknologi dan ini semua disebabkan Indonesia belum memiliki visi industri: mau kemana industri nasional dikembangkan, atau industri apa yang akan dijadikan industri kunci dan bagaimana mengembangkannya.12Sebagai satu contoh. Salah satu produk Indonesia yang hingga saat ini sulit diterima oleh pasar Jepang adalah ekspor komponen otomotif. Sampai saat ini Indonesia

11

Sumber: lihat catatan kaki no.9. 12

(12)

masih belum bisa menembus langsung pasar komponen Jepang karena soal kepercayaan, dan ini menyangkut langsung soal kemampuan Indonesia memenuhi standar kualitas yang diminta Jepang. Selama ini, industri nasional menjalin kerja sama dengan principal Jepang sebagai penjamin produk. Seluruh produk komponen buatan Indonesia dites terlebih dahulu oleh principal sebelum dipasok ke industri otomotif di Jepang. Misalnya, produk klep sepeda motor yang diekspor ke Jepang setelah melalui pengembangan atau dua kali pengawasan mutu.13

Bahkan untuk produk-produk tradisional yang mana sebenarnya Indonesia mempunyai keunggulan komparatif seperti alas kaki dan TPT bukan primadona ekspor Indonesia ke Jepang. Selain karena kalah bersaing dengan produk-produk dari China (hingga saat ini sekitar 81% pasar Jepang untuk TPT dikuasai China) dan Vietnam, juga banyak hambatan nontarif, termasuk masalah standarisasi (Hidayati dan Astono, 2007).14

Sejumlah pertanyaan penting yang berkaitan dengan masalah standarisasi adalah sebagai berikut:

1)Apakah fokus utama dari PP tersebut lebih pada pelancaran dan penciptaan perdagangan yang fair di pasar dalam negeri, yang antara lain SNI tersebut dapat digunakan untuk mencegah barang-barang selundupan atau impor ilegal, atau juga (atau lebih) pada peningkatkan ekspor Indonesia?

2)Jika tujuan utamanya adalah untuk peningkatan ekspor apakah tidak sebaiknya Indonesia mengikuti standar internasional?

3)Upaya apa saja yang telah dilakukan hingga saat ini dan yang masih harus dilakukan segera agar Indonesia tidak ketinggalan dalam harmonisasi standar ASEAN dan global?

4)Bidang-bidang apa saja yang sangat berpengaruh pada pemenuhan standar internasional atau SNI yang perlu segera dibenahi namun tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan PLN karena bukan wilayahnya?

5)Sejauh mana koordinasi antara kebijakan PLN dengan kebijakan-kebijakan (di sektor-sektor) lainnya?

II.3 Penentuan sektor-sektor unggulan (picking the winners)

Selama ini dalam upaya meningkatkan kinerja ekspor atau industri nasional, pemerintah Indonesia menetapkan sektor-sektor atau industri-industri unggulan, atau prioritas atau strategis, yang umum dikenal dengan sebutan strategi picking the winners. Misalnya, dalam visi Indonesia 2030, pemerintah menyiapkan 10 produk nonmigas unggulan Indonesia berdasarkan kriteria potensi ekspor, kandungan impor, dan sumber daya alam (SDA), seperti industri minyak goreng dan minyak kelapa sawit, industri bubuk cokelat, dan industri konsentrat makanan ternak, dan 10 produk nonmigas unggulan Indonesia berdasarkan kriteria potensi ekspor, kandungan impor, dan padat karya seperti industri alat pertanian, alat pertukangan, alat pemotong dan alat dapur lainnya, industri perabot

13

Biasanya suatu produk bisa diterima di pasar Jepang jika industri komponen memiliki sertifikat ISO-TS 16949, tentang pelatihan manajemen dan proses produksi. Sumber: lihat catatan kaki no.12.

14

(13)

rumah tangga, industri lampu dari logam, industri mesin pertanian dan perlengkapannya, dan industri mesin pengolahan.

Namun di lapangan, fakta menunjukkan hal yang berbeda. Seperti yang dinyatakan oleh Samhadi (2007b) berdasarkan pengamatannya selama itu terhadap kebijakan industri nasional sebagai berikut: ….kebijakan industri

sejak tahun 2000 dapat dikatakan hanya tambal sulam. Tidak ada implementasi kebijakan yang fokus dan komprehensif mengenai industri mana yang aka didorong, prasarana dan fasilitas apa yang akan diberikan, keterkaitan industri apa yang akan dibangun atau daerah mana yang akan dijadikan basis industri apa. Kebijakan industri yang ada hanya bersifat responsive. Para menteri hanya membuat kebijakan berdasarkan surat permohonan dari pelaku industri tertentu, sebagaimana halnya dengan insentif perpajakan (halama 33). Ia

berpendapat bahwa dengan kondisi seperti ini, sangat sulit mengharapkan Indonesia bisa diuntungkan dengan perdagangan bebas atau BFTA atau EPA. .

Satu contoh konkrit, industri elektronik Indonesia hingga saat masih sangat tergantung pada impor komponen dan bahan baku utama. Ironisnya, bea masuk (BMM) impor bahan baku dan komponen ke Indonesia selama ini berkisar 5% hingga 20%, sedangkan impor produk jadi elektronik dikenai BMM 0%. Selain itu, industri elektronik nasional juga dihadapi oleh pemberlakuan pajak penjualan atas barang mewah (PPn-BM) untuk sejumlah klasifikasi pendingin udara (AC), televisi, lemari es, dan mesin cuci. Untuk klasifikasi produk yang sama, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand tidak memberlakukan PPnBM.15

Sejumlah pertanyaan penting disini adalah:

1)apakah strategi ini lebih menguntungkan atau lebih memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspor dan daya saing produk-produknya dibandingkan strategi-strategi alternatif lainnya?

2)apakah strategi ini juga fokus pada peningkatan Indonesia di dalam jaringan produksi regional yang dalam 10 tahun belakangan ini tumbuh snagat pesat?

3)apakah pengelompokan tersebut sepenuhnya juga mempertimbangkan keunggulan-keunggulan komparatif yang Indonesia miliki saat ini yang akan berkurang di masa depan dan potensi keunggulan-keunggulan kompetitif yang Indonesia bisa miliki di masa depan?

4)upaya apa saja yang telah dilakukan hingga saat ini dan yang masih harus dilakukan segera agar strategi tersebut bisa diimplementasikan dan mencapai targetnya?

6)bidang-bidang apa saja yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan output dan peningkatan daya saing dari produk-produk pilihan tersebut yang perlu segera dibenahi namun tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan PLN karena bukan wilayahnya?

7)sejauh mana koordinasi antara kebijakan PLN dengan kebijakan-kebijakan (di sektor-sektor) lainnya?

15

(14)

II.4 Kebijakan pemerintah terhadap perubahan harga komoditas di pasar dunia

Perubahan harga dari suatu komoditas di pasar dunia bisa berpengaruh negatif atau positif terhadap Indonesia,

terutama dalam bentuk perubahan biaya produksi atau inflasi. Demi menjaga stabilitas harga di pasar domestik

akibat perubahan harga suatu komoditas di pasar dunia, pemerintah memiliki sejumlah strategi atau instrument

untuk digunakan. Misalnya, dalam kasus minyak goring, sejak 1 Februari 2008, pemerintah menanggung Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen untuk minyak goreng yang dijual di dalam negeri baik curah maupun

kemasan. Kebijakan itu diharapkan dapat menahan laju kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri akibat

kenaikan harga CPO di dunia. Kebijakan ini sudah berjalan cukup baik, yakni berhasil meredam kenaikan harga

minyak goreng karena harga CPO di pasar internasional naik

Pemerintah tidak akan melarang maupun membatasi ekspor CPO. Namun, untuk menjamin pasokan CPO bagi

produsen minyak goreng di dalam negeri, yang berarti menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri,

pemerintah telah menetapkan kebijakan Pungutan Ekspor (PE) progresif. Besaran PE selama Maret 2008

ditetapkan 10 persen, mengingat patokan harga rata-rata CPO di Rotterdam sebesar 1.068 dolar AS per ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 09/PMK.011/2008, besaran PE CPO ditetapkan 10 persen jika

harga referensinya antara 850 –1.100 dolar AS per ton. PE ini akan dinaikkan lagi bila harga internasional naik

lagi.

Sedangkan untuk komoditas-komoditas impor yang merupakan bahan baku utama bagi sejumlah industri

dalam negeri, pemerintah menggunakan tarif bea masuk (BM) sebagai instrumennya. Misalnya, pada bulan

Januari 2008 Departemen PLN R.I menurunkan tarif BM kedelai dari 10% menjadi 0%. Kebijakan ini dilakukan

untuk mengurangi biaya produksi makanan berbasis kedelai (seperti kecap, tauco, susu kedelai, keripik kedelai,

dll. akibat lonjakan harga kedelai di pasar dunia. Kebijakan ini bersifat sementara hingga harga kedelai di pasar

dunia kembali normal

Berkaitan dengan kebijakan PEP tersebut, ada dua pertanyaan penting di sini adalah:

1) apakah kebijakan PEP ini sudah merupakan strategi jangka panjang yang tepat agar Indonesia bisa

meningkatkan ekspor CPO pada saat harga di pasar dunia meningkat, namun pada waktu yang sama, menjamin

kecukupan pasar domestik?

2) apakah kebijakan ini juga diterapkan terhadap komoditas-komoditas lainnya yang mana Indonesia mempunyai

peluang ekspor yang besar namun juga permintaan pasar domestik yang besar?

3) apakah penurunan tarif BM terhadap impor kedelai sudah tepat, dan juga diterapkan terhadap

komoditas-komoditas impor lainnya, mengingat bahwa Indonesia sebagai sebuah negara agraris juga berpotensi sebagai

(15)

II.5 Anti-Dumping

Anti-dumping diatur oleh Artikel VI GATT tahun 1994, yang merupakan salah satu instrument penting bagi pengamanan industri dalam negeri suatu negara anggota WTO dari praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan dalam bentuk tindakan dumping. Tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.16Artikel tersebut mengijinkan otoritas di suatu negara untuk mengenakan bea masuk tambahan dalam bentuk bea anti dumping terhadap produk-produk impor yang diduga dijual di bawah harga normal atau harga lebih murah dari harga di pasar domestik dari negara asal barang. Indonesia sebagai salah satu anggota WTO yang telah meratifikasi seluruh kesepakatan WTO berdasarkan UU No.7 Tahun 1994 telah mengimplementasikan ketentuan Artikel GATT tersebut melalui PP No.34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan (Erlina, 2006). Indonesia sudah sering berurusan dengan masalah anti-dumping. Misalnya dalam kasus sengketa dengan dengan

Korea Selatan untuk produk kertas tertentu dari Indonesia. Indonesia sebagai Penggugat dan Korea Selatan sebagai Tergugat, menggugat Korsel karena menetapkan bea masuk anti dumping (BMAD) terhadap produk kertas asal Indonesia. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd. Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used

for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper. Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas

penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping untuk

Korea-Certain Paper Products. Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah

16

(16)

menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi (Binchoutan, 2008).17

Sering kali kebijakan anti-dumping di negara tujuan terhadap produk dari negara lain (bukan Indonesia) menguntungkan Indonesia. Misalnya kebijakan anti-dumping yang dikenakan oleh UE terhadap sepatu dari China dan Vietnam pada tahun 2005 lalu. Kebijakan ini membuat pesanan sepatu dari kedua negara itu berkurang hingga 20 persen. Hal ini membuat produk sepatu dari negara selain Cina dan Vietnam bisa berpeluang masuk ke

negara-negara Eropa, termasuk Indonesia (Hariyanto, 2005).

Tuduhan dumping dan pemberian subsidi pun kerap menjadi jurus AS untuk menghalang serbuan produk negara lain, termasuk dari Indonesia

Indonesia juga kerap jadi tumbal kebijakan anti-dumping AS. Sedikitnya 20 kebijakan anti-dumping dan antipemberian subsidi yang diterapkan AS terhadap sejumlah produk Indonesia. AS pernah menyerang Indonesia lewat tuduhan dumping kertas. Akibatnya, Indonesia dikenai bea masuk anti-dumping sebesar 8 persen dan bea masuk antisubsidi sebesar 22 persen. Namun, lantaran tuduhan itu tidak terbukti, sanksi yang dijatuhkan harus dicabut.

Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pada saat ekonomi global, khususnya di negara-negara maju seperti AS cenderung mengalami resesi, kebijakan anti-dumping di negara-negara tersebut juga cenderung menguat.

Berkaitan dengan isu anti-dumping yang kemungkinan besar Indonesia akan tambah sering lagi menhadapinya, dua pertanyaan penting adalah:

1)apa kebijakan PLN jangka panjang yang tepat untuk menghadapi tuduhan tersebut? 2)bagaimana respons pemerintah selama ini dalam menghadapi masalah tersebut?

II. 6 Arah Kebijakan PLN

Uraian di atas tersebut menyangkut lima (5) isu besar dalam PLN Indonesia menunjukkan bahwa setiap isu

mempunyai permasalahan berkaitan dengan kebijakan PLN ke depan. Sebagian dari permasalahan dari setiap isu

tersebut telah diuraikan dalam bentuk sejumlah pertanyaan. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka bisa

ditetapkan arah kebijakan PLN ke depan seperti di Tabel 3.

Tabel 3: Kebijakan PLN: Jangka Waktu dan Arah

Jangka Waktu Arah Kebijakan

Jangka Panjang -memilih prioritas: WTO, ASEAN AFTA/ASEAN Plus, BFTA, EPA, atau Kawasan Khusus, dan langkah-langkah penyesuasian untuk mencapai hasil optimal

17

(17)

Jangka Menengah - strategi picking the winner atau broad based , dan cara pelaksanaannya Jangka Pendek - penentuan tariff (harmonisasi)

- penentuan standarisasi: SNI atau standar ASEAN atau EU?

- respons yang tepat untuk menghadapi tuduhan dumping atau anti-dumping -respons yang tepat untuk menghadapi impor ilegal

-respons yang tepat untuk menghadapi kenaikan harga komoditas di pasar dunia

III Perdagangan Dalam Negeri

Perdagangan dalam negeri (PDN) juga mempunyai berbagai isu atau permasalahan, dan di dalam kajian ini hanya beberapa isu besar saja yang dibahas, yakni:

1) infrastruktur dan logistik 2) barang selundupan/impor ilegal 3) persaingan

4) hambatan-hambatan PDN lainnya

III.1 Infrastruktur dan Logistik

[image:17.612.87.511.497.683.2]

Bukan lagi rahasia umum bahwa infrastruktur di dalam negeri sangat buruk, terutama sejak krisis ekonomi 1997/98. Laporan tahunan dari WEF menunjukkan bahwa Indonesia selalu berada di peringkat rendah, bahkan terendah di dalam kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 2, Indonesia berada di posisi 102, satu poin lebih rendah daripada Filipina. Padahal, salah satu penentu utama keberhasilan suatu negara untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas adalah jumlah infrastruktur yang mencukupi dengan kualitas yang baik. Buruknya infrastruktur dengan sendirinya meningkatkan biaya produksi yang pada akhirnya menurunkan daya saing harga dengan konsukwensi ekspor menurun. Konsukwensi lainnya adalah menurunnya niat investor asing, terutama penanaman modal asing, untuk membuka usaha di dalam negeri, dan ini pasti akan berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor di dalam negeri.

Gambar 2: Kualitas Infrastruktur

1 3

18 28

83 90

101 102

0 20 40 60 80 100 120

Swiss Singapura Malaysia Thailand Kambodia Vietnam Filipina Indonesia

(18)

Penemuan tersebut diatas juga didukung dengan hasil studi dari Bank Indonesia (BI, 2008). Dengan menggunakan data dari International Telecommunication Union 2007, studi tersebut menemukan bahwa walaupun Indonesia adalah negara terbesar di kawasan ASEAN, namun dalam hal infrastruktur, khususnya jaringan telepon dan pemakaian listrik yang merupakan dua basis elemen dari infrastruktur untuk pertumbuhan bisnis posisi Indonesia relatif buruk (Tabel 4).

[image:18.612.49.584.261.433.2]

Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini dalam infrastruktur adalah antara lain (a) memperbaiki semua infrastruktur yang rusak, seperti jalan-jalan raya yang belobang dan bergelombang dan yang sebagian hancur karena tanah longsor dalam waktu singkat; (b) membangun jalan tol atau jalan kereta api ke pelabuhan, dan memperluas kapasitas pelabuhan seperti Tanjung Priok dan lainnya yang selama ini menjadi pintu keluar masuk barang dalam beberapa tahun ke depan; (c) meningkatkan akselerasi listrik dalam dua tahun ke depan, dan banyak lagi.

Tabel 4: Kondisi Infrastruktur ASEAN

Sumber: ITU 2007 (diambil dari Tabel 3.13 di BI, 2008).

Logistik merupakan bagian terpenting dari infrastruktur dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi atau urat nadi perdagangan pada khususnya. Terutama dalam hal pusat produksi regional, logistik, seperti pelabuhan dan jalan raya dari pabrik ke pelabuhan atau sebaliknya atau dari pelabuhan ke pusat pemasaran, sangat penting, Tanpa kelancaran logistik, proses produksi dan perdagangan dapat terganggu. Inflasipun akan dapat menjadi lebih tinggi akibat terjadinya ketersendatan di jalan raya dan di pelabuhan. Yang jelas, daya saing juga sangat ditentukan oleh kecepatan barang masuk dan keluar.

(19)

dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian dalam menjalankan usaha logistik. Perlu dipertegas kewenangan instansi untuk menangani sektor logistik yang penting ini, karena selama ini telah terjadi perebutan kewenangan antara departemen perdagangan, departemen perhubungan dan kementerian komunikasi dan informasi.

Sementara, hasil survei dari JETRO mengenai faktor-faktor penghambat pertumbuhan bisnis atau investasi di sejumlah negara di Asia juga menunjukkan bahwa untuk Indonesia (ID) faktor-faktor penghambat terbesar termasuk infrastruktur yang buruk (Tabel 5).

[image:19.612.50.549.417.526.2]

Pengadaan listrik juga merupakan komponen yang sangat krusial dari infrastruktur bagi kelancaran kegiatan bisnis (termasuk perdagangan dan investasi). Belakangan ini kelangkahan energi (gas maupun listrik) atau biayanya yang cenderung meningkat terus (terutama sejak Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) berlakukan tarif nonsubsidi) menjadi kendala dominan bagi para pelaku di industri manufaktur. Industri-industri nasional yang sangat terpukul dengan masalah pasokan energi adalah TPT, sepatu dan makanan; padahal produk-produk ini termasuk yang selama ini diandalkan Indonesia untuk ekspor. Industri TPT, misalnya, jika ingin menjalankan mesin produksi selama 24 jam untuk mencapai skala ekonomi yang tinggi, justru berisiko tinggi. Industri ini bukan mendapatkan dukungan insentif dalam bentuk penurunan biaya energi, tetapi justru dikenai penalti. Bukan hanya industri TPT tetapi banyak industri lainnya yang biasa bekerja sampai 24 jam untuk mencapai skala ekonomis. Selain itu, banyak industri-industri lain yang kelabakan karena tekanan gas yang masuk ke pabrik-pabrik mereka terlalu rendah, berkisar 0,3 sampai 0,7 bar, padahal kebutuhan mereka untuk bisa berproduksi optimal mencapai antara 0,1 bar sampai 1,5 bar, dan pada saat yang sama kondisi pasokan listrik pun mengalami defisit (Astono, 2007).

Tabel 5: Problem Utama dalam Investasi di Indonesia (%)

Sumber: JETRO18

Banyak kasus yang sudah diceritakan di banyak media masa mengenai masalah energi di Indonesia yang merugikan pengusaha. Misalnya yang diceriterakan oleh Astuti dan Astono (2007) di dalam tulisan mereka sebagai berikut ...pelaku usaha di Jawa Timur tak henti-hentinya mengeluhkan tentang tingginya tarif untuk

pemasangan listrik baru dan penambahan daya yang ditetapkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara. ...dampak dari tingginya tarif listrik tidak hanya melemahkan daya saing produk yang dihasilkan, tetapi juga menutup peluang bagi masuknya investor ke Jatim. Calon investor akan semakin enggan masuk ke Jatim karena ....dikenai

18

(20)

beban tarif listrik yang mahal...Di pabriknya, PT Inter World Steel Mills Indonesia, yang merupakan industri baja, dibutuhkan daya listrik 50 kilovolt ampere. Kemudian dilakukan negosiasi dengan PLN untuk pengenaan tarif multiguna. Dengan demikian, biaya beban akan dikenakan pada beban riil yang digunakan industri. Namun, ...kebijakan negosiasi ...ini kemudian dicabut. Alat khusus yang mengatur tarif multiguna itu dilepas dan dikembalikan pada alat meter semula. Pada saat pengembalian itulah perusahaannya dikenai tarif biaya sambung yang nilainya mencapai miliaran rupiah karena daya yang digunakan sangat besar. Padahal, alat yang digunakan adalah meter lama dan bukan sambungan baru (halaman 21).

Bahkan kawasan-kawasan perdagangan bebas, atau umum disebut, Free Trade Zone (FTZ), mengalami krisis listrik. FTZ Batam, Bintan, dan Karimum, misalnya, dalam beberapa bulan terakhir ini mengalami krisis listrik yang dapat menjadi hambatan serius bagi investasi yang selanjutnya bisa mengakibatkan kegagalan pelaksanaan FTZ tersebut. Sejak akhir April 2008, PT PLN Batam mulai melakukan pemadaman listrik bergilir. Alasannya, pasokan gas dari Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) menyusut sampai 50%. Ini membuat hampir 50% daya listrik di Batam yang disuplai PLN anjlok (Santoso, 2008).

Kendala infrastruktur semakin terasa di luar Jawa, sehingga potensi keuntungan dari membubungnya harga-harga komoditas perkebunan dan pertambangan tak sepenuhnya bisa terwujud secara optimal. Padahal, booming komoditas perkebunan dan pertambangan bisa menjadi pengimbang dan sekaligus pengompensasi dari berakhirnya era kejayaan migas. Selain itu, tambahan penerimaan negara dalam bentuk pajak maupun nonpajak bisa disalurkan untuk membantu sektor-sektor maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang tertekan akibat kenaikan tajam harga minyak. Tidak sepatutnya windfall profit dari komoditas digunakan untuk menambal subsidi BBM yang terus menggelembung, karena sama saja artinya kita menoleransikan pemborosan energi yang kian langka.

Dari uraian di atas, pertanyaan-pertanyaan pentingnya adalah:

1) apakah pemerintah bisa meningkatkan efisiensi di pelabuhan-pelabuhan di semua wilayah di Indonesia yang akan diunggulkan dengan cara antara lain membasmi kekuasaan mafia di pelabuhan-pelabuhan tersebut dan menerapkan kebijakan national single window secara optimal?19

2) apakah pemerintah bisa dalam jangka pendek memperbaiki semua infrastruktur yang ada, dan dalam jangka panjang yang tidak terlalu lama membangun infrastruktur yang baru tidak hanya di dalam setiap wilayah tetapi juga yang menghubungkan antar wilayah, termasuk dengan wilayah-wilayah terpencil.

19

(21)

III.2 Barang Selundupan/Impor Ilegal

Dalam beberapa tahun belakangan ini, perdagangan dalam negeri di landa oleh semakin maraknya barang-barang selundupan atau impor ilegal, termasuk dari China. Terutama melemahnya perekonomian global, terutama di AS dan UE, menambah semakin banyaknya produk-produk selundupan/impor ilegal dari China membanjiri pasar dalam negeri. Indonesia memang sangat rawan terhadap penyelundupan atau impor ilegal karena secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak pintu masuk tanpa pengawasan yang ketat.

Penelitian dari Kuntari dkk. (2007) memperkirakan bahwa nilai selundupan/impor ilegal TPT ke pasar domestik sejak era reformasi telah mengalami suatu lonjakan yang sangat signifikan. Dilihat dari nilainya, meningkat dari hanya 1 juta dollar AS tahun 2001 menjadi 454 juta dollar AS tahun 2005 (Tabel 6). Informasi terakhir dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), yang dikutip dari Kompas (28 Mei 2008), produk garmen lokal pada tahun 2007 hanya menguasai 22% dari pasar domestik, merosot dari sekitar 45% pada tahun 2006.

[image:21.612.72.526.354.447.2]

Bukan hanya TPT tetapi juga industri elektronika Indonesia mengalami hal yang sama; padahal industri elektronika seperti halnya industri TPT di Indonesia sangat padat karya dan merupakan dua produk ekspor non-migas (manufaktur) yang sangat diandalkan Indonesia selama ini. Menurut Gabungan Elektronika Indonesia, pada tahun 2007 sekitar 45% dari total produk elektronika yang beredar di pasar domestik adalah produk-produk elektronik selundupan impor ilegal.

Tabel 6: Estimasi Impor Legal dan Ilegal dalam Industri TPT, 2001-2005 Tahun

Uraian

2001 2002 2003 2004 2005

Konsumsi domestik (ribu ton)

Penjualan produk dalam negeri (ribu ton) Impor legal (ribu ton)

Nilai Impor ilegal (juta dollar AS)

888 844 43

1

839 604 41 194

820 557 25 238

882 658 30 195

836 337 45 454 Sumber: Kuntari dkk. (2007).

Pertanyaan penting di sini adalah: cara apa yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini: pengawasan yang ketat di perbatasan, penegakan hukum sepenuhnya terhadap penyelundup atau importir nakal, harmonisasi tarif, atau penerapan SIN?

III.3 Persaingan

Persaingan sehat di Indonesia diatur oleh UU RI No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaiangan tidak sehat, dan pelaksanaan UU tersebut diawasi oleh komisi khusus yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

(22)

dan pelaku usaha kecil; (c) mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan (d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Menurut UU tersebut, perjanjian yang dilarang: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, perjanjian dengan luar negeri yang bisa menciptakan monopoli. Sedangkan kegiatan yang dilarang: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar; dan persekongkolan.

Salah satu ketentuan penting di dalam UU tersebut adalah mengenai penguasaan pasar Di Pasal 19 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: (a) menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; dan (b) atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Untuk menguji efektivitas dari pelaksanaan UU tersebut di lapangan adalah dengan melihat kasus persaingan antara ritel modern dengan ritel tradisional. Alasan memilih kasus ritel, karena potensi persaingan tidak sehat dapat muncul dalam bentuk penyalahgunaan kekuatan pasar, antara lain, dalam bentuk syarat-syarat dagang antara peritel dan pemasok. Kasus-kasus hipermarket asing menjadi bukti yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, pertumbuhan omset dari ritel modern sangat pesat melebihi pertumbuhan omset dari ritel tradisional, khususnya di Jakarta (Gambar 3). Menurut Data Biro Perekonomian DKI Jakarta, pada tahun 1985 terdapat 156 pasar tradisional versus hanya 42 ritel modern; tahun 1995 perbandingannya 159: 249, dan pada tahun 2004 adalah 151:449. Menurut survei AC Nielsen (Hidayat, 2007b), diantara beberapa bentuk ritel modern seperti supermarket, minimarket, pusat grosir, dan hipermarket, pertumbuhan paling cepat dialami oleh hipermarket. Tahun 2003 terdapat 43 hipermarket beroperasi di Indonesia. Tahun 2005, sudah tercatat 83 hipermarket di Indonesia. Sementara supermarket bertambah dari 896 unit pada tahun 2003 menjadi 961 unit pada tahun 2005.20Sedangkan, menurut Asosiasi Pengelola Pasar Tradisional, seperti yang dikutip oleh Kasali (2007), hingga awal tahun 2007 di seluruh Indonesia terdapat 13.400 pasar tradisional dengan 12,6 juta pedagang kecil. Di sisi lain, walaupun jumlahnya kecil, jumlah ritel modern telah meningkat pesat, dari 4.977 tahun 2003 menjadi 7.689 tahun 2005. Menurut pengamatannya, dari jumlah ini, pelaku terbesar bukanlah

hipermarket, melainkan supermarket, sebanyak 1.141 unit. Sedangkan jumlah outlet hipermarket baru mencapai

83 buah. Namun, karena lokasinya strategis sehingga padat pengunjung, hipermarket selalu menjadi sasaran pembatasan. Padahal, menurut Kasali, keramaian di hipermarket tidak hanya mematikan pasar tardisional tetapi

20

(23)

juga mematikan supermarket. Sementara itu, tekanan paling kuat terhadap paritel tradisional datang dari

minimarket (convenience store), yang pada tahun 2003 jumlahnya baru 4.038 buah, tetapi pada tahun 2005 telah

[image:23.612.155.455.95.235.2]

mencapai 6.465 unit.

Gambar 3: Pertumbuhan Ritel Modern dan Tradisional di Jakarta (% dari total omset ritel)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1985 1995 2004

Modern Tradisional

Sumber: Biro Perekonomian DKI Jakarta

Menurut Hidayat (2007b), ketimpangan dalam pertumbuhan antara ritel modern dengan ritel tradisional disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, aturan penentuan lokasi (zonasi) ritel modern dan tradisional yang hingga saat ini masih mandul. Kedua, ketidakadilan antara paritel modern dengan pemasok lokal yang berakar pada lemahnya aturan perdagangan di dalam negeri, seperti yang dijelaskan oleh Hidayati (2007b) sebagai berikut:

pekan lalu, seorang pengusaha pemasok sebuah pasar modern mengaku, pembiayaan yang disyaratkan dalam perjanjian dagang dengan manajemen pasar modern tersebut menelan 66 persen dari omset penjualannya di situ. Sementara pasar modern makin kokoh menjadi barometer penetrasi produk di dalam negeri, pasar tradisional kian tersingkir (halaman 21). Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI),

Susanto, seperti yang dikutip oleh Hidayati, paritel modern kerap memaksakan syarat-syarat perdagangan yang berat pada pemasok. Begitu mudah bagi paritel modern mencari pemasok lain mengisi gerainya, termasuk dengan produk-produk impor. Sebaliknya, pemasok yang tidak punya cukup pilihan jaringan distribusi di dalam negeri terpaksa menyepakati persyaratan tersebut.21

Menurut Kompas 12 Juni 2007,22rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Usaha Pasar Modern dan Usaha Toko Modern23belum juga disahkan meskipun sudah selesai pembahasannya. Pengaturan zonasi pasar modern diserahkan lepada pemerintah daerah, tetapi rencana tata ruang daerah belum efektif mengakomodasi pengaturan tersebut. Dalam PP tentang pasar modern itu, selain zona perdagangan pasar modern,

21

Susanto memberi satu kasus: pada tahun 2004 sebuah hipermarket menerapkan biaya pendaftaran kepada setiap pemasoknya sebesar Rp 1 juta. Sewaktu buka pertama kali saja, hipermarket tersebut sudah memperoleh Rp 40 miliar. Dari total pendapatan itu, pendapatan dari biaya pendaftaran sudah mencapai Rp 25 miliar (Kompas, ”Aturan Pasar Modern Harus Dipercepat”, Bisnis & Keuangan, Senin, 23 April 2007: 17).

22

”Aturan Ritel Masih Rancu, Stop Izin Baru”, Bisnis & Keuangan, Selasa, 12 Juni: 20. 23

(24)

syarat-syarat perdagangan antara paritel dan pemasok juga merupakan isu utama. Dua isu utama lainnya adalah kewenangan perizinan, dan kemitraan antara pasar/toko modern dengan usaha kecil dan menengah (UKM).

Pertanyaan-pertanyaan penting di sini adalah:

1)apakah upaya mengatur persaingan sehat antara ritel modern dengan ritel tradisional cukup hanya dengan PP atau perlu dengan sebuah UU?

2)dalam menanti keluarnya PP atau terbentuknya UU, apakah perlu sementara ini menghentikan izin bagi ritel modern yang baru?

3)apa kendala-kendala serius di lapangan yang menghambat implementasi sepenuhnya dari UU No.5/1999 tersebut.

III.4 Hambatan-hambatan Lainnya

[image:24.612.121.493.396.651.2]

Perdagangan dalam negeri selain dipengaruhi oleh masalah-masalah di atas tersebut, juga dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya yang semuanya membentuk iklim berusaha di dalam negeri. Bank Dunia dalam laporan tahun 2008 mengenai mudah sulitnya melakukan usaha di 178 negara memposisikan Indonesia di peringkat ke 123 dengan peringkat terburuk untuk “memulai usaha”, yakni 168 (Tabel 7).24Peringkat Indonesia yang relatif buruk ini tentu tidak lepas dari berbagai hambatan yang dihadapi pengusaha/pedagangan dalam berusaha, mulai dari masih banyaknya pungutan (termasuk pungutan liar) dan peraturan-peraturan daerah yang membingungkan atau mempersulit kelancaran usaha hingga birokrasi dalam pengurusan izin dsb.nya.

Tabel 7: Melakukan Usaha di Indonesia versi Bank Dunia, 2008.

Sumber: Bank Dunia (2008).

24

(25)
[image:25.612.106.493.153.448.2]

Dalam hal pungutan, menurut berita di Kompas Juni 2008,25besarnya pungutan liar (pungli) yang berhasil dibongkar di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Prior mencapai Rp 500 juta (Tabel 8). Kerugian negara yang terjadi akibat pungli di lingkungan pelabuhan diperkirakan mencapai Rp 3 triliun per tahun. Sementara dari sisi industri, misalnya, industri elektronik, kerugian dalam bentuk kehilangan pangsa pasar diperkirakan mencapai Rp 12 triliun per tahun. Hal ini dihitung dari nilai pasar elektronik Rp 27,7 triliun, sedangkan kontribusi industri nasional hanya Rp 15 triliun.

Tabel 8: Jenis Pungutan di Pelabuhan Tanjung Priok*

Jenis Pungutan Nilai (Rp)

Petugas perbendaharaan Petugas manifes

Petugas pengawas penyelundupan Petugas hanggar

Pemeriksa dokumen Petugas segel peti kemas Petugas pintu keluar

Petugas pembebasan dokumen

Petugas pemeriksa dan input data dokumen Petugas terminal

Petugas pengesahan dokumen Pengawas top loader

Operator top loader

Petugas forklift Petugas timbangan

Petugas pengairan dan penyelundupan Petugas pos masuk

Petugas administrasi pelabuhan Kepala pos jaga

Petugas penggeser kontainer Keamanan pelabuhan

Fotokopi dan administrasi dokumen Petugas penertiban 10.000 5.000 10.000 10.000 5.000 20.000 10.000 36.000 10.000 10.000 5.000 10.000 7.000 1.000 2.000 3.000 5.000 5.000 5.000 2.000 3.000 7.000 2.000 Keterangan: * Pungutan ini dikeluarkan untuk biaya setiap kontainer.

Sumber: Kompas (lihat cacatan kaki 22)( data dari informasi Kadin Indonesia).

Pertanyaan-pertanyaan penting disini adalah:

1) dari sekian banyak permasalahan yang membuat posisi Indonesia rendah sebagai daya tarik untuk melakukan usaha, permasalahan apa yang paling penting untuk segera diatasi?

2) sejauh mana efektivitas dari kebijakan PDN dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut?

3) bidang-bidang apa saja yang sangat berpengaruh terhadap daya saing produk-produk Indonesia yang perlu segera dibenahi namun tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan PDN karena bukan wilayahnya?

4) sejauh mana koordinasi antara kebijakan PDN dengan kebijakan-kebijakan (di sektor-sektor) lainnya?

25

(26)

III. 5 Arah Kebijakan PDN

Uraian di atas tersebut menyangkut empat (4) isu besar dalam PDN Indonesia menunjukkan bahwa setiap isu

mempunyai permasalahan berkaitan dengan kebijakan PDN ke depan. Sebagian dari permasalahan dari setiap isu

tersebut telah diuraikan dalam bentuk sejumlah pertanyaan. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka bisa

[image:26.612.25.574.145.259.2]

ditetapkan arah kebijakan PDN ke depan seperti di Tabel 9.

Tabel 9: Kebijakan PDN: Jangka Waktu dan Arah

Jangka Waktu Arah Kebijakan

Jangka Panjang -meningkatkan pertumbuhan perdagangan antar wilayah, termasuk wilayah terpencil -liberalisasi perdagangan dalam negeri di semua bidang dan di semua daerah

Jangka Menengah -menghilangkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi dalam distribusi/pemasaran di dalam negeri -harmonisasi kebijakan PDN dengan perda-perda (kaitan dengan Inpres No.3/2006)*

Jangka Pendek -penerapan SNI lebih ketat (kaitan dengan Inpres No 3/2006)* -mengeluarkan UU Ritel

-menghentikan sementara izin baru bagi ritel moden Keterangan: * lihat pembahasan mengenai Inpres ini di bagian IV.1.

IV. Investasi Riil

Perkembangan jumlah proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan jumlah proyek penanaman modal asing (PMA), atau FDI (foreign direct investment), yang terrealisasi dapat dilihat di Tabel 10. Berdasarkan jumlah proyek, setelah tahun 2005, PMA cenderung menurun. Ini menandakan bahwa Indonesia cenderung semakin tidak menarik bagi PMA. Berdasarkan kombinasi antara indeks kinerja PMA (IKPMA) dan indeks potensi arus masuk PMA (IPAMPMA), laporan UNCTAD (2007c) menunjukkan bahwa hingga tahun 2005, Indonesia bukan negara yang paling diminati oleh PMA.26

Tabel 10: Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN di Indonesia 1990 – 30 September 2007

PMDN PMA

Tahun Proyek Nilai (Rp. Miiar) Proyek Nilai (juta dollar AS)

1990 253 2.398,6 100 706,0 1991 265 3.666,1 149 1.059,7 1992 225 5.067,4 155 1.940,9 1993 304 8.286,0 183 5.653,1 1994 582 12.786,9 392 3.771,2

26

[image:26.612.102.523.444.584.2]
(27)

1995 375 11.312,5 287 6.698,4 1996 450 18.609,7 357 4.628,2 1997 345 18.628,8 331 3.473,4 1998 296 16.512,5 412 4.865,7 1999 248 16.286,7 504 8.229,9 2000 300 22.038,0 638 9.877,4 2001 160 9.890,8 454 3.509,4 2002 108 12.500,0 444 3.091,2 2003 120 12.247,0 571 5.450,6 2004 130 15.409,4 546 4.602,3 2005 214 30.665,0 909 8.914,6 2006 164 20.788,4 867 5.977,0 2007 124 32.875,7 775 8.544,4

Sumber: BKPM

Dalam kawasan ASEAN, Indonesia pun masih tertinggal dengan dengan negara-negara utama ASEAN lainnya seperti Malayssia, Thailand dan Singapura, khususnya dalam menarik PMA dari luar ASEAN (ASEAN-ekstra). Bahkan menurut database dari Sekretariat ASEAN, untuk periode 2005-2006, persentase pertumbuhan arus masuk neto PMA ke Indonesia negatif dibandingkan negara-negara anggota lainnya, terkecuali Myanmar.

Ini merupakan suatu masalah serius bagi Indonesia, karena dalam penerapan AFTA, Indonesia juga sekarang ini menghadapi tantangan sebagai negara tujuan investasi ASEAN. Dengan pasar tunggal ASEAN, maka produsen-produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk dapat mensuplai produknya ke negara-negara ASEAN. Mereka dapat memilih satu negara di kawasan ini untuk dijadikan basis produksinya. Tentunya negara yang dipilih sebagai negara basis produknya adalah negara yang dianggap paling menguntungkan dalam arti produksinya paling efisien. Sayangnya, Indonesia tampaknya masih tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat produksi. Satu contoh konkrit adalah pusat produksi mobil penumpang segala kelas (HS 8702), yang berhasil direbut oleh Thailand. Negara ini menjadi pusat pembuatan mobil penumpang di ASEAN, dimana semua produsen-produsen mobil dunia mempunyai pabrik di negara tersebut dan dari sana mensuplai mobil ke negara-negara ASEAN lainnya, termasuk Indonesia. Hasil studi dari Sadewa (2006) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 nilai ekspor Thailand ke Indonesia untuk produk dalam kategori ini hanya mencapai 4 juta dollar AS. Namun, sejak AFTA diimplementasikan, nilai ekspor Thailand ke Indonesia untuk produk ini mengalami kenaikan yang amat signifikan. Pada tahun 2005 ekspor mobil dari Thailand ke Indonesia sudah mencapai 416 juta dollar AS. Sebaliknya, ekspor mobil dari Indonesia ke Thailand tidak mengalami kenaikan setinggi yang dialami oleh Thailand tersebut.

Dalam kajian kebijakan investasi riil ini, dibahas empat (4) isu besar, yakni: 1) Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi dan UU Penanaman Modal No.25/2007 2) Daftar negatif

(28)

4) Kawasan Perdagangan Bebas (KPB) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

IV.1 Kebijakan Perba

Gambar

Gambar 1: Keterkaitan Antara Kebijakan PLN dengan Kebijakan-kebijakan Utama Lainnya
Tabel 1: Ekspor Barang: Negara-negara Kunci (miliar dollar AS), 2006
Gambar 2: Kualitas Infrastruktur
Tabel 4: Kondisi Infrastruktur ASEAN
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuan komunikasi yang terdapat di dalam perancangan identitas dari Situs Taman Purbakala Cipari ini adalah menciptakan suatu identitas berupa logo yang memiliki ciri khas dan

berdasarkan hasil uji ANOVA dengan signifikansi 0.000 (p<0.01); (2) pembelajaran menggunakan model Problem-Based Learning berpengaruh terhadap penguasaan konsep

Sasaran yang dituju dalam proses komunikasi massa adalah khalayak atau masyarakat luas yang terpencar satu sama lain tidak saling mengenal, karena masing – masing berbeda

Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.Urtikaria atau

tersebut, karena merupakan pesan atau solusi yang diperpendek menjadi sebuah kata-kata yang mudah dimengerti, serta dapat memotivasi pendengar, penyiar berusaha

Terapi obat dan tindakan pembedahan dapat digunakan untuk mengecilkan atau menghilangkan miom jika menyebabkan rasa tidak nyaman atau gejala-gejala yang bermasalah..

sanggahan selama 3 (1iga) hari kerja dari langgal 16 Sid 18 Juni 2015, yang dilujukan kepada Uni1. Layanan Pengadaan Kementerian