• Tidak ada hasil yang ditemukan

Empati pada Budaya Lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Empati pada Budaya Lokal"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Empati pada Budaya Lokal

IJTIHAD budaya yang dilakukan para wali di Jawa, tempo dulu, berhasil mendakwahkan agama Islam (sebagai bagian dari strategi Islamisasi) sampai ke dua jantung masyarakat sekaligus (kraton dan rakyat di pelosok desa). Nilai-nilai Islam dalam lapis-lapis budaya masyarakat, menurut sejarawan Taufik Abdullah, masih terasa ada sampai hari ini. Demikian pula jejak budaya Islam, sebagaimana dicatat Denys Lombart, memang diakui adanya. Melalui jalur akulturasi budaya, menurut Ahmad Tohari, para wali menyebarkan agama Islam di Indonesia. Mereka

mencerahkan atau “meng-Islamkan” dengan menciptakan semacam pengisian-pengisian baru dalam seni budaya lokal yang sudah ada.

Sunan Gunungjati, misalnya, menggunakan media wayang. Sunan Bonang menggunakan media sastra, dsb. Kenapa mereka mampu melakukan itu? Mengapa pendakwah-pendakwah model sekarang malah tidak berani? Menurut perkiraan novelis dan budayawan asal Banyumas itu, para wali agaknya sudah sadar bahwa agama Islam diturunkan pada manusia yang menyejarah. Manusia yang terniscayakan dan terwarnai hukum ruang dan waktu. “Karena sudah tersejarahkan itu manusia tidak mungkin atau sangat sulit tercerabut dari akar seni budayanya,” tegas Tohari.

Tentu saja prestasi ijtihad budaya itu tidak hanya tampak di Jawa. Di seluruh kepulauan Nusantara, para wali atau penyebar agama Islam dulu, dengan strategi menjadikan Islam sebagai isi dan budaya lokal sebagai wadah berhasil melakukan Islamisasi. Dari sisi fisik dapat dilihat bagaimana suku-suku atau etnik yang telah mengalami dan menerima Islamisasi, para wanitanya, memakai busana adat yang menutup aurat. Berbeda dengan suku atau etnik yang belum menerima Islamisasi secara suntuk.

Namun sayang, ijtihad budaya para wali dan penyebar agama itu sepertinya tidak dilanjutkan. Justru yang terjadi kemudian adalah purifikasi ajaran agama, terjadi “pembersihan” besar-besaran terhadap gejala budaya, terutama budaya lokal.

Kelompok Muhammadiyah melakukan purifikasi kemudian menggantinya dengan hal-hal yang berbau modern, meski tidak selalu berhasil. Sementara itu kelompok NU juga melakukan purifikasi dengan memilah dan memilih kecenderungan budaya yang mereka nilai lebih Islami karena menggunakan nada dan teks berbahasa Arab. Budaya etnik, misalnya, menjadi terabaikan.

Sekarang zaman sudah berubah. Nasib budaya lokal belum lagi jelas, sudah muncul budaya global yang didukung industri komunikasi membuldozer budaya lokal atau budaya “nasional” yang ada di seluruh pelosok bumi. Hal ini “diperparah” dengan menjadikan budaya lokal sebagai santapan lezat atau dijual ke manca negara sebagai komoditi pariwisata. Menurut pengamatan Drs. Kamaruddin Moha, M.Pd, PR III Unismuh Makassar, secara materi memang sangat menguntungkan sebagai

alternatif pendapatan negara, tetapi dari sisi moral, sesungguhnya, hal itu tidak mencerminkan kualitas bangsa. Justru memberikan penghinaan terhadap kondisi kehidupan bangsa.

Ijtihad dan Jihad Budaya

MENGHADAPI situasi seperti itu, agaknya diperlukan kembali ijtihad budaya yang baru. Bahkan juga jihad budaya. Hanya saja, menurut Dr. Abdul Hadi WM, seorang budayawan, pemahaman terhadap ijtihad budaya dan tajdid sering

(2)

Ekspresi-ekspresi budaya tradisional cenderung ditolak atau dicemooh karena dicurigai sebagai sumber takhayul, bid’ah, dan khurafat. Sedang ekspresi-ekspresi budaya modern ditonton saja tanpa respon kreatif, padahal tidak sedikit dari ekspresi budaya modern ini merupakan perwujudan lain dari bid’ah dan khurafat serta merupakan lambang-lambang dekadensi dan hedonisme.

Pembela tradisionalisme dalam Islam, menurutnya, juga hanya mampu sebatas memelihara ekspresi budaya tradisional Islam tanpa mampu mentransformasikannya menjadi bentuk-bentuk baru yang bermakna dan bermutu tinggi. Tipisnya kesadaran sejarah bahwa Islam sebagai peradaban besar berikut tradisi intelektual dan khazanah budayanya yang kaya, tiadanya keinginan menggali khazanah budaya Islam baik yang pernah berkembang di negerinya maupun di negeri Islam yang lain menyebabkan umat Islam sering asing terhadap cita-cita peradaban dan kebudayaan Islam. Dengan demikian ia tidak dapat mengenal hakikat dan potensi dirinya sebagai umat penutup yang diberi amanah menyebarkan rahmat ke seluruh dunia.

Menurut saya, kata Abdul Hadi WM, umat Islam Indonesia belum mampu mentransformasikan ajaran agama dan khazanah budayanya yang kaya di masa modern ini dan akibatnya tidak mampu pula mengembangkan tiga budaya penting dan strategis, yaitu budaya intelektual dan keilmuan, budaya dagang dan kewirausahaan, serta budaya seni dan kreativitas. Yang pertama berkenaan dengan belum kuatnya tradisi baca-tulis. Yang kedua berkenaan dengan tiadanya etos kerja yang baik. Yang ketika disebabkan karena perhatian masyarakat kita lebih banyak tertumpu pada masalah praktis dan pragmatis. Apalagi untuk berijtihad budaya, tentu akan mengalami banyak kendala karena budaya yang tidak mendukung ini.

Untuk melakukan ijtihad budaya yang handal, yang dipresentasikan Dr. Mujiono Abdullah MA, Ketua Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syaria’ah IAIN Walisongo Semarang, terlebih dahulu harus dirumuskan fiqih budaya. Perumusan ini merupakan salah satu upaya penciptaan budaya Islam secara sistematis. Yang disebut sebagai kultursigrafi fiqih budaya. Jika upaya kultursigrafi terfokus pada budaya Millenium III, maka akan tergambar kanvas fiqih budaya Millenium.

Kerja metodologis yang dilakukan dalam upaya kultursigrafi, lanjutnya, mengacu pada teori Dialektika Antropologis Hukum Islam. Oleh karena itu, pada tahap pertama yakni internalisasi dilakukan identitas ayat, hadits, dan ijtihad budaya terkait. Kemudian melakukan tafsir fiqih budaya dan akhirnya merumuskan

konseptualisasi budaya cetakan.

Pada tahap kedua, objektivikasi, adalah mengekspresikan hasil konseptualisasi budaya cetakan tersebut dalam bentuk visualisasi atau audienisasi sesuai dengan medianya dengan mengacu pada asas kemajuan, keindahan, ilmiah, dan ilahiah. Sedangkan pada tahan ketiga, eksternalisasi, adalah melakukan kultursigrafi berdasarkan pada hasil rumusan pada tahap pertama dan kedua. Dengan demikian, akan tampak dengan jelas paduan dalam merekacipta fiqih budaya yang dicitakan. Karenanya, akan dengan mudah pula ijtihad budaya dilakukan.

Dalam berijtihad, pesan Dr. Budhy Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina Jakarta, jangan melupakan kaidah fiqiyah “Dalam hal ibadah mahdhah tidak boleh ada kreativitas selain yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tetapi dalam hal lain pada dasarnya boleh kecuali yang jelas

(3)

Dalam hal ibadah murni itu tidak boleh ada kreativitas. Kebetulan kata “kreatif” di dalam bahasa Arab disebut bid’ah. Dan salah satu sifat Allah SwT adalah Maha Kreatif atau al-Badi’u. Dalam al-Qur’an ada kalimat “badi’ul samawati wal ardhi”. Kemudian ada hadits mengatakan, “Tirulah Akhlak Tuhan”. Karena itu ada anjuran untuk kreatif seperti Tuhan. Tetapi kreativitas ini tidak bisa diterapkan kepada ibadah mahdhah. Misalnya shalat Subuh yang dua rakaat tidak bisa ditambah menjadi tiga rakaat. Inilah yang disebut bid’ah, yaitu kreativitas yang haram.

Sedangkan di luar ibadah murni, kreativitas justru dianjurkan. Karena itu kaidahnya, “pada prinsipnya ibadah itu haram, kecuali ada dalil yang

memerintahkannya, sebaliknya pada prinsipnya hal-hal yang di luar ibadah murni itu dibolehkan kecuali ada petunjuk lain.”

Tegasnya, menurut Tohari, umat Islam harus bersikap menerima semua kesenian atau seni budaya itu sambil melakukan pemilihan-pemilihan. Ada sub seni budaya lokal yang memperkaya jiwa manusia, artinya mencerahkan jiwa manusia, tetapi harus diingat ada juga seni budaya lokal yang akan melunturkan budaya keperadaban manusia, atau bersifat dekaden. Strateginya, ambil semua lalu pilihlah. Eklektif.

Rambu-rambu untuk memilih itu, setidaknya menurut Drs. Damamy Zein, M.Ag, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Suka Jogjakarta, adalah tauhid. Ada tiga kriteria tauhid yang harus dipenuhi agar sebuah budaya lokal menjadi sah untuk dilakukan. Pertama, tidak menduakan Tuhan. Kedua, tidak menjadikan suatu

makhkluk apa pun memiliki kekuasaan mutlak seperti Tuhan. Ketiga, tidak berpaham bahwa Tuhan itu tidak ada atau atheis. Jika ketiganya tidak ada yang dilanggar, maka budaya lokal apa pun bentuknya bisa dijalankan.

Selain itu ada rambu yang sangat akrab dengan Muhammadiyah, yakni bebas TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat). Jika suatu budaya lokal bebas dari ketiga rambu ini, maka silakan jalan terus. Cuma sayangnya, ukuran TBC ini belum dirinci secara detil, sehingga yang terjadi adalah kelonggaran ukuran hingga mudah sekali dijadikan alasan untuk menggebuk sebuah budaya lokal. Akibatnya hubungan Muhammadiyah dengan budaya lokal menjadi minim sekali.

Ditambah, sebagaimana ditengarai Drs. Jabrohim, dosen Fakultas Sastra UAD Jogjakarta, selama ini lembaga keagamaan Islam, termasuk Muhammadiyah, kurang menaruh minat kepada kesenian. Padahal kreativitas kaum Muslimin atau orang-orang Islam tidak pernah berhenti. Ia sebutkan Dr. Kuntowijoyo, seorang sastrawan yang produktif dan cukup punya nama, begitu pula Taufiq Ismail, Ebiet G. Ade di bidang musik, Chaerul Umam dan Arifin C. Noer di bidang film, Amri Yahya di sisi lukis, Ikranagara di dunia teater, dsb, adalah orang-orang Islam yang kreatif.

Lalu harus bagaimana? Menurut Damamy, lembaga-lembaga Islam, termasuk Muhammadiyah, harus bisa mengaplikasikan konsep jihad budayanya ke dalam kehidupan nyata. Terhadap budaya lokal harus mau mempelajari dan mengerti dengan lebih baik. Tidak buru-buru mengecam. Setelah tahu ada unsur TBC di dalamnya, tidak serta-merta digusur, tetapi diperbaiki. Diambil unsur-unsur yang baik, non TBC, lalu dikreasikan menjadi bentuk yang lebih kreatif. Inilah yang bisa dilakukan dalam melakukan jihad budaya.

Barangkali, harapan Damamy itu persis sebagaimana yang terjadi di Surakarta. Di kota ini, menurut Drs. Basuki Haryono, Wakil Ketua Majelis

(4)

kesenian, seperti Nasyid, band, tari, dance, gamelan, paduan suara, dsb yang dimiliki sekolah-sekolah Muhammadiyah Surakarta cukup membanggakan. Setiap penampilan mereka di panggung senantiasa memakai busana Muslim dengan berbagai variasi dan modifikasi, sehingga tidak ada unsur jorok di pentas-pentas mereka.

Saat ini, menurut Basuki, PDM Majelis Dikdasmen Surakarta dan

Karanganyar bekerjasama dengan Pusat Studi Budaya UMS dan STSI Surakarta, UPI Bandung dan Ford Foundation mengadakan Program Pendidikan Apresiasi Seni (PAS). Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kemampuan apresiasi siswa yang meliputi persepsi, pengetahuan, analisis, keterlibatan dan penghargaan pada seni. Mengembangkan potensi kreatif siswa dalam berkesenian tanpa harus dibebani oleh pola-pola konvensional. Menumbuhkan kesadaran jatidiri siswa akan seni budaya yang menjadi identitas bangsanya. Jenis kesenian yang dipilih adalah kesenian tradisional nusantara, karena seni tradisional ini memiliki pesan-pesan spiritual.

Sebagai ujicoba PAS ini adalah SD Muhammadiyah I Surakarta, SD Muhammadiyah Karanganyar, dan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah

Karanganyar. Setelah uji coba untuk SD berhasil dilanjutkan ke tingkat SLTP dan SLTA Muhammadiyah. Dengan program ini diharapkan bisa mengisi berbagai kekosongan aspek estetika yang tak banyak tergarap melalui pendidikan kesenian selama ini. Jadi para siswa dengan program ini dapat menumbuhkan budi pekerti luhur, penghayatan dan penghargaan pada keanekaragaman budaya dan kesenian, serta mendorong potensi kreatif siswa.

Ahmad Tohari, walau tidak secara langsung melihat perkembangan yang terjadi di Surakarta itu, ia setuju dengan perubahan yang terjadi di Muhammadiyah, yang mulai memperhatikan dan menghargai karya budaya, termasuk karya budaya lokal. Hal ini, menurutnya, merupakan perubahan yang siginifikan bagi

Muhammadiyah di masa depan. Nantinya kehidupan beragama masyarakat memang akan makin dipengaruhi oleh pluralitas dan gejala multikultur. Dalam kondisi yang demikian, maka kearifan, toleransi, dan kemampuan untuk mengembangkan empati betul-betul dibutuhkan.

Dalam konteks zaman yang seperti ini, maka kehadiran Muhammadiyah akan terasa menyejukkan karena dialog-dialog dengan pihak lain pun menjadi mudah dilakukan. Dengan demikian upaya menuju kepada kedewasaan beragama juga menjadi mudah dilakukan. Dakwah pun menjadi sesuatu yang indah dan mulus sebagaimana dilakukan oleh para wali dulu. au (tof, naf, eff, ton, hus)

Referensi

Dokumen terkait

Pertama-tama, orang harus mengeluarkan uang yang banyak, termasuk pajak yang tinggi, untuk membeli mobil, memiliki surat ijin, membayar bensin, oli dan biaya perawatan pun

Contoh dengan menggunakan operasional LinkList java kita bisa memasukkan data pada indeks yang terkecil dengan menggunakan operasi addFirst ataupun pula pada

Informan masih kanak - kanak ketika ayah intorman melakukan poligami dan kemudian ayah jarang pulang ke rumah, sedangkan pada usia informan sangat dibutuhkan

Setiap siswa yang tidak mamatuhi aturan / tata tertib sekolah : Diberi ganjaran/hukuman.. yang sesuai dengan aturan apa yang

Dengan adanya penerapan sistem informasi penggunaan dana kas kecil yang sudah terkomputerisasi, diharapkan pembuatan laporan kas kecil menjadi akurat, tepat dan cepat

Evaluasi Kualitas Lingkungan Permukiman di Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.. DAFT AR

Ni Ketut Karlina Prastuti dan I Gusti Ayu Nyoman Budiasih (2015) Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ni Ketut Karlina Prastuti dan I Gusti Ayu Nyoman Budiasih

Memetakan kondisi bangunan Puri dalam sebuah peta digital, yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk melakukan kajian lanjut tentang kesesuaian posisi bangunan