Kata Pengantar
Perkembangan ekonomi di berbagai daerah pada triwulan II 2010 menguatkan indikasi meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Investasi swasta yang meningkat dan masih tingginya permintaan domestik dan ekspor menjadi sumber meningkatnya kinerja perekonomian daerah.
Meningkatnya investasi swasta ini tidak terlepas dari membaiknya pandangan dunia internasional terhadap iklim investasi di Indonesia. Pengelolaan pola penyerapan fiskal daerah lebih awal di beberapa daerah juga berkontribusi positif dalam memberi stimulus bagi perekonomian nasional. Kondisi ini secara keseluruhan mendorong kinerja perekonomian Jakarta dan wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara untuk dapat tetap tumbuh di
atas 6,0%, sementara Sumatera dan Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Papua (Kali-Sulampua) masing-masing diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,0%. Sementara itu, tekanan inflasi mulai meningkat terutama bersumber dari terjadinya gejolak gangguan pasokan terutama bahan pangan.
Prospek perekonomian domestik yang terus membaik diperkirakan terus berlanjut. Pada triwulan III 2010 pertumbuhan ekonomi daerah masih cenderung meningkat secara moderat. Iklim investasi semakin kondusif perlu tetap dipelihara dan didukung upaya peningkatan ketersediaan infrastruktur daerah yang lebih memadai untuk tetap menjaga daya saing daerah. Tekanan inflasi triwulan mendatang diperkirakan masih mengalami peningkatan terutama bersumber dari volatile food dan dampak dari kenaikan tarif dasar listrik.
Mencermati perkembangan harga di daerah, peran koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang telah terbentuk di 41 kota di Indonesia perlu lebih dikuatkan dalam menjaga kelancaran distribusi dan ketersediaan pasokan barang/komoditas.
Buku Tinjauan Ekonomi Regional ini disusun untuk memberikan gambaran yang lebih
komprehensif terhadap dinamika perkembangan ekonomi daerah. Pemahaman terhadap kondisi perekonomian nasional dalam perspektif regional merupakan bagian penting dalam perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia. Kami berharap, buku ini dapat menjadi salah satu sumber referensi bagi pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, Juli 2010
DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER
DAFTAR ISI
I. KONDISI PEREKONOMIAN REGIONAL
A. Gambaran Umum ... 1
B. Wilayah Sumatera ... 3
C. Wilayah Jakarta ... 8
D. Wilayah Jabalnustra ... 14
E. Wilayah Kali-Sulampua ... 19
II. PROSPEK EKONOMI DAN INFLASI REGIONAL…... 23
III. ISU STRATEGIS A.Dampak ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) terhadap Kinerja Sektor Industri Pengolahan dan Ketenagakerjaan………... 27
B. Perkembangan Pembangunan Infrastruktur di Daerah ……….... 29
IV. TANTANGAN DAN KEBIJAKAN KE DEPAN ... 31
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi : Biro Kebijakan Moneter
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 19 Kompleks Bank Indonesia
I. KONDISI PEREKONOMIAN REGIONAL1
A. Gambaran Umum
Pada triwulan II 2010, meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional tercermin dari perbaikan kinerja perekonomian di berbagai daerah. Pertumbuhan yang lebih
tinggi diperkirakan terjadi di Jakarta, Jawa Bagian Barat, Jawa Bagian Timur, dan Sulampua. Dari sisi pengeluaran, investasi swasta di berbagai daerah diperkirakan
mengalami peningkatan terutama di Jakarta, Jabalnustra dan Sumatera sebagai respons terhadap menguatnya permintaan dan ekspektasi pelaku usaha terhadap
membaiknya kondisi bisnis kedepan. Namun, membaiknya prospek investasi
menghadapi faktor risiko ketersediaan infrastruktur yang belum memadai terutama di luar Jawa. Sementara itu berlanjutnya proses pemulihan ekonomi global
berdampak positif bagi kinerja ekspor daerah. Permintaan produk manufaktur dari negara-negara maju mendorong kinerja ekspor daerah yang merupakan basis
industri manufaktur seperti Jakarta dan Jabalnustra tumbuh meningkat. Kinerja ekspor Sumatera dan Kali-Sulampua yang didominasi oleh komoditas berbasis
sumber daya alam juga diperkirakan tetap tumbuh tinggi. Membaiknya perekonomian daerah juga ditopang oleh menguatnya konsumsi rumah tangga
seiring dengan terjaganya optimisme dan daya beli masyarakat. Pola penyerapan belanja daerah yang lebih awal terutama di Jabalnustra, dan penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terkonsentrasi di triwulan laporan turut mendorong kuatnya konsumsi daerah.
Di sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah terutama didukung
oleh meningkatnya kinerja sektor pertanian dan industri. Konsentrasi produksi
masa panen raya tanaman bahan makanan (tabama) yang mengalami pergeseran ke awal triwulan laporan mendorong sektor pertanian di Jabalnustra dan sebagaian
Sulampua tumbuh meningkat. Sementara itu, produksi beberapa komoditas perkebunan Sumatera relatif stabil ditengah kondisi cuaca dengan curah hujan yang
tinggi menjadi faktor yang kurang mendukung terutama bagi produksi karet mentah. Tingginya curah hujan juga menjadi salah satu hambatan bagi produksi beberapa
komoditas tambang utama di Kalimantan, Sulampua dan Sumatera. Sejalan dengan menguatnya permintaan domestik dan ekspor, kinerja sektor industri pengolahan di
Jakarta dan Jabalnustra meningkat. Tingginya penjualan kendaraan bermotor dan
! "
# $ % & % ' # !& # ' # #
# ( # ( ! ) ( (( ' & * & & ( &
& ( " + ( ( , , "
elektronik serta ekspor berbagai produk manufaktur menjadi insentif bagi pelaku industri untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
Di sisi pembiayaan, pertumbuhan kredit perbankan dan realisasi belanja Pemda
mengalami peningkatan. Peningkatan pertumbuhan kredit perbankan terjadi di
semua wilayah. Dibandingkan periode triwulan I 2010 (11,7%; yoy), posisi kredit
pada triwulan laporan mengalami peningkatan yang lebih tinggi yaitu sebesar 17,4% (yoy), terutama didorong oleh membaiknya penyaluran kredit ke sektor industri.
Sementara realisasi belanja Pemerintah Daerah sampai dengan Triwulan II 2010
diperkirakan lebih tinggi di banding periode yang sama tahun sebelumnya terutama di Jabalnustra, ditengah masih terbatasnya realisasi belanja Kementerian dan
Lembaga (K/L) dari APBN. Perbaikan pola realisasi anggaran Pemda dipengaruhi oleh adanya percepatan pengesahan APBD dan komitmen kepala daerah yang tinggi
untuk pencapaian target realisasi anggaran melalui penerapan mekanisme reward and punishment.
Tekanan inflasi di berbagai daerah mulai mengalami peningkatan terutama
bersumber dari volatile food. Inflasi volatile food mulai menunjukkan pergerakan
yang meningkat di seluruh wilayah. Sementara core inflation cenderung masih stabil. Tekanan inflasi yang lebih tinggi terjadi di Balnustra dan Kalimantan akibat faktor
distribusi karena kondisi cuaca. Kenaikan inflasi volatile food terutama bumbu-bumbuan dan sayuran di daerah karena kendala produksi akibat curah hujan yang
tinggi dan banjir di beberapa sentra produksi, serta berkurangnya pasokan impor. Pasokan yang terbatas tercermin di Pasar Induk Kramat Jati (sentra distribusi antar
wilayah) yang menjadi referensi untuk penetapan harga di daerah. Komoditas bahan makanan yang mengalami lonjakan harga signifikan pada triwulan laporan adalah
cabe merah, bawang merah, dan bawang putih. Tingginya curah hujan di daerah sentra produksi cabe merah dan bawang merah seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur menyebabkan produktivitas panen mengalami penurunan yang
cukup signifikan ditengah permintaan yang relatif stabil. Sementara kenaikan harga bawang putih terutama dipengaruhi oleh terbatasnya pasokan dari China (pemasok
utama bawang putih nasional sekitar 90%). Kenaikan harga bawang putih ini dipengaruhi oleh tingginya permintaan di pasar domestik China ditengah
Prospek perekonomian daerah pada triwulan III 2010 diperkirakan masih tetap
membaik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang moderat dengan disertai
meningkatnya tekanan inflasi. Perekonomian Jakarta, Jabalnustra, dan
Kali-Sulampua diperkirakan tumbuh di atas 6,0%. Hal ini dipengaruhi oleh menguatnya
indikasi akselerasi kinerja investasi, yang ditopang oleh tingginya kinerja konsumsi dan ekspor. Secara sektoral, menguatnya permintaan domestik dan eksternal
mendorong kinerja sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR). Sementara itu, tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan III
2010 diperkirakan meningkat yang bersumber dari kenaikan harga volatile food ditengah faktor musiman terkait perayaan hari raya keagamaan yang mendorong
naiknya permintaan masyarakat. Tekanan administered price diperkirakan turut
mendorong inflasi yang terutama bersumber dari kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan inflasi yang lebih tinggi diperkirakan terjadi di Balnustra, Kalimantan dan Sulampua dipengaruhi oleh faktor distribusi terkait dengan adanya kenaikan biaya
pengiriman barang melalui laut.
Dampak penerapan kerjasama perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN-China
Free Trade Agreement (ACFTA) secara keseluruhan relatif minimal baik terhadap kinerja sektor industri pengolahan dan pengurangan tenaga kerja2. Hasil survei
mengindikasikan bahwa dampak dari penerapan ACFTA menyebabkan omzet sektor usaha mengalami sedikit penurunan. Sisi positif dari penerapan kerjasama
perdagangan bebas telah membuka peluang pasar baru yang lebih besar bagi sektor
usaha, terutama yang berorientasi ekspor. Namun, dilain pihak penurunan omzet yang lebih dalam dialami oleh industri yang lebih berorientasi pasar domestik dan
atau memproduksi barang setengah jadi (hulu). Industri dengan skala usaha yang lebih kecil cenderung mengalami dampak penurunan omzet yang lebih besar. Hal ini
diperkirakan akibat semakin banyaknya barang yang masuk di pasar domestik, baik yang merupakan bahan baku maupun bahan konsumsi, dengan harga yang lebih
kompetitif. Ditengah meningkatnya iklim persaingan, pelaku usaha melakukan berbagai efisiensi yang salah satunya dilakukan dengan mengurangi penggunaan
tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan bahwa pengurangan tenaga kerja di sektor usaha merupakan pilihan terakhir pengusaha dalam melakukan efisiensi, sehingga
dampak penerapan ACFTA pada terjadinya pengurangan tenaga kerja secara umum relatif minimal didukung optimisme terhadap prospek permintaan yang akan terus
membaik
B. Wilayah Sumatera
Pertumbuhan ekonomi Wilayah Sumatera pada triwulan II 2010 mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Meningkatnya kinerja
perekonomian wilayah Sumatera didukung oleh akselerasi pertumbuhan yang
diperkirakan terjadi di zona Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) hingga 5,6% (yoy).
Akselerasi pertumbuhan di zona Sumbagut ini dipengaruhi oleh meningkatnya
kinerja perekonomian Sumatera Utara disertai positifnya laju pertumbuhan ekonomi
Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara itu, kinerja ekonomi di zona Sumatera
Bagian Tengah (Sumbagteng) dan zona Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel)
diperkirakan masih relatif stabil yang masing-masing diperkirakan tumbuh pada
kisaran 4,5% dan 5,2%.
Tabel 1
Pertumbuhan PDRB di Sumatera
2010
2008 1* 2* 3* 4* 2009* 1* 2P
Sumatera 4.9 2.9 2.9 3.6 4.2 3.4 5.0 5.0
Sumatera Bag. Utara 3.3 1.1 1.3 3.5 3.9 2.4 5.0 5.6
1 NAD (5.3) (9.5) (8.5) (1.8) (2.0) (5.6) 0.9 0.6
2 Sumatera Utara 6.4 4.6 4.6 5.1 5.7 5.0 6.2 7.0
Sumatera Bag. Tengah 6.1 4.5 3.1 3.0 3.8 3.6 4.5 4.5
1 Sumatera Barat 6.4 5.8 5.0 5.1 0.9 4.2 3.2 3.5
2 Riau 5.7 5.1 2.1 1.5 3.0 2.9 2.8 3.1
3 Kepulauan Riau 6.6 0.5 2.3 3.5 7.7 3.5 9.3 8.5
4 Jambi 7.2 8.0 6.5 5.5 5.7 6.4 6.2 5.8
Sumatera Bag. Selatan 5.1 2.8 4.5 4.9 5.2 4.4 5.9 5.2
1 Sumatera Selatan 5.0 2.6 4.0 4.4 5.3 4.2 5.6 5.4
2 Bangka Belitung 4.5 (0.5) 2.4 5.3 6.8 3.5 7.2 2.2
3 Lampung 5.3 4.3 6.0 6.0 4.0 5.1 5.6 5.8
4 Bengkulu 5.4 1.5 4.5 2.8 7.5 4.0 7.4 4.3
2009
- !
6
-Dari sisi permintaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera
didorong oleh kegiatan investasi dan ekspor. Perkembangan investasi yang
meningkat diperkirakan menjadi sumber utama membaiknya kinerja perekonomian
Sumatera. Kegiatan investasi ini terutama dalam bentuk investasi bangunan antara lain berlanjutnya proses pembangunan sarana infrastruktur di Sumatera Barat pasca
gempa, pembangunan sarana pendukung dalam rangka persiapan Pekan Olah Raga Nasional ke 18 di Riau, pembangunan Jembatan Batu Rusa II dan III yang telah
tinggi terutama pada komoditas bahan kertas dan karet olahan. Sementara sejalan dengan membaiknya kinerja sektor industri pengolahan mendorong impor juga
tumbuh meningkat. Konsumsi rumah tangga masih memiliki peran yang kuat dalam menopang perekonomian Sumatera didukung oleh meningkatnya penyaluran kredit
konsumsi dan terjaganya Indeks Keyakinan Konsumen tetap berada dalam arah yang positif.
Tabel 2
Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Sumatera
IV I II III IV I II*
Pertanian 1.8% 2.4% 3.5% 4.7% 4.4% 4.3% 5.0% 22.6% 1.1%
Pertambangan dan Penggalian 0.9% -1.6% -5.7% -3.6% -1.8% -0.4% -1.8% 15.4% -0.3%
Industri Pengolahan 2.9% 1.5% 2.5% 2.4% 3.7% 4.6% 5.4% 18.7% 1.0%
Listrik, Gas, dan Air Bersih 5.1% 4.9% 6.7% 6.8% 5.2% 5.7% 7.0% 0.6% 0.0%
Bangunan 7.9% 6.3% 6.7% 7.4% 7.1% 8.2% 5.7% 5.5% 0.3%
Perdagangan, Hotel & Restoran 5.8% 3.9% 5.1% 5.6% 5.1% 6.1% 7.6% 16.1% 1.2%
Pengangkutan dan Komunikasi 8.7% 7.7% 7.9% 8.0% 7.3% 7.6% 8.4% 7.0% 0.6%
Keuangan, Persewaan, dan Jasa 7.1% 7.1% 7.2% 6.9% 12.0% 12.8% 12.5% 4.9% 0.6%
Jasa-jasa 8.0% 7.0% 7.2% 6.8% 5.9% 7.1% 6.1% 9.1% 0.5%
PDRB Sumatera 4.1% 2.9% 2.9% 3.6% 4.2% 5.0% 5.1% 100.0% 5.1%
2010
2008 2009
Share Kontribusi
- !
6
-Dari sisi penawaran, beberapa sektor tradables mulai menunjukkan arah
pertumbuhan yang meningkat. Sektor pertanian Sumatera yang didominasi oleh sub
sektor perkebunan diperkirakan tumbuh 5,0%. Masih tingginya harga komoditas berbasis perkebunan seperti crude palm oil dan karet di pasar internasional turut
menjadi faktor yang menunjang kinerja sektor pertanian di Sumatera. Indikator Nilai Tukar Petani (NTP) secara umum menunjukkan tanaman perkebunan rakyat
meningkat, sedangkan subsektor tanaman bahan pangan, hortikultura dan subsektor lainnya relatif stabil. Selain itu, kinerja subsektor perkebunan terlihat pada tingginya
impor pupuk. Sektor industri pengolahan di Sumatera diperkirakan tumbuh lebih
tinggi (5,4%, yoy) dibanding periode triwulan sebalumnya yang sebesar 4,6% (yoy). Beberapa faktor yang mendorong kinerja sektor industri Sumatera antara lain
peningkatan Indeks Produksi Bulanan industri pengolahan CPO, karet, barang cetakan, barang dari kayu dan semen, batu bata serta industri makanan dan
minuman (Jambi), pemulihan perekonomian Singapura sejak triwulan I 2010 (Kepulauan Riau), dan peningkatan ekspor produk pulp, kertas, dan olahannya
Grafik 1
Penjualan Semen di Sumatera
Grafik 2
Nilai Tukar Petani Beberapa Provinsi di Sumatera
21 2
Perkembangan kegiatan intermediasi perbankan di Sumatera hingga triwulan II 2010 (Mei 2010) menunjukkan peningkatan dan diikuti dengan kualitas kredit
yang membaik. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK) menunjukkan
pertumbuhan yang lebih tinggi, demikian pula pertumbuhan kredit. Penghimpunan DPK tercatat meningkat 5,9% (yoy) menjadi sebesar Rp245,3 triliun dibandingkan
triwulan I 2010 (5,5%; yoy). Peningkatan dialami oleh tabungan, sementara giro dan deposito masih tumbuh terbatas, khususnya giro pemerintah terkait dengan
meningkatnya realisasi belanja daerah dan mulai dipakainya transfer dana perimbangan dari pusat. Penyaluran kredit/pembiayaan sampai bulan Mei 2010
tercatat sebesar Rp206,4 triliun atau mengalami peningkatan pertumbuhan 21,3% (yoy) dibandingkan triwulan I 2009 (18,4%, yoy). Dengan perkembangan tersebut,
Loan to Deposit Ratio (LDR) wilayah Sumatera mengalami peningkatan dari 77,6% di
triwulan I 2010 menjadi 81,4%. Perkembangan tersebut diikuti dengan kualitas kredit
yang masih baik sebagaimana tercermin dari persentase rasio Non Performance Loan
(NPL) di wilayah Sumatera yang relatif rendah (3,3%). -5.00%
Jan Feb Mar Apr Mei
2010
Volume Ekspor g.Volume (rhs)
80.00
Jan Feb Mar Apr Mei Juni
Grafik 5
Perkembangan DPK di Sumatera
Grafik 6
Perkembangan Kredit Perbankan di Sumatera
Realisasi belanja pemerintah daerah wilayah Sumatera diperkirakan masih belum optimal. Indikasi tersebut terlihat pada tingginya peningkatan jumlah simpanan
pemerintah daerah di perbankan pada periode triwulan IV 2009 hingga triwulan II
2010 terutama pada provinsi-provinsi di Zona Sumbagteng maupun Zona Sumbagsel. Realisasi belanja pemerintah daerah secara umum masih banyak berupa
belanja pegawai dan belanja sosial, sedangkan realisasi pada belanja modal masih relatif tertahan.
Inflasi Wilayah Sumatera menunjukkan tren meningkat sejak triwulan I 2010.
Sumber meningkatnya tekanan inflasi di wilayah ini terutama gangguan pasokan
pada beberapa komoditas bahan makanan yang termasuk dalam volatile food seperti bumbu-bumbuan dan sayuran. Kondisi cuaca yang tidak kondusif membuat
produktivitas tanaman pangan di beberapa daerah di wilayah Sumatera (seperti Alahan Panjang (Sumbar) dan Angso Duo (Jambi)) mengalami penurunan. Sementara
itu, pengiriman pasokan dari Jawa juga mengalami kendala karena terbatasnya produksi dari wilayah tersebut. Sejalan dengan perkembangan ini, pada akhir
triwulan II 2010 inflasi wilayah Sumatera tercatat sebesar 5,96% (yoy) atau lebih tinggi dari triwulan I 2010 (3,38%, yoy).
Grafik 7
Perkembangan Inflasi di Sumatera
Grafik 8
Komparasi Inflasi Kota di Sumatera
-
-Posisi (miliar Rp)_RHS Pertumb (% yoy) DPK_Sumatera
Rp Triliun Growth (%, yoy)-rhs
C.Wilayah Jakarta
Perekonomian Jakarta pada triwulan II 2010 diperkirakan masih tumbuh di atas
6,0% (yoy). Meningkatnya kinerja investasi, dan konsumsi rumah tangga yang masih
kuat, serta membaiknya kinerja ekspor menjadi faktor yang mendorong perekonomian Jakarta tetap tumbuh tinggi. Peningkatan kinerja investasi
diindikasikan dari kenaikan volume impor barang modal, meningkatnya konsumsi semen, naiknya pendaftaran alat berat, dan optimisme pelaku bisnis yang semakin
membaik sebagaimana ditunjukkan pada hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha. Investasi swasta dalam merespons meningkatnya permintaan domestik antara lain
terlihat dari meningkatnya pasokan properti untuk residensial dan komersial – ruang kantor, pusat belanja, dan kawasan industri. Beberapa pengembang besar di Jakarta
menyatakan meningkatnya permintaan properti telah mendorong naiknya penjualan
hingga diperkirakan melebihi target yang ditetapkan sebelumnya. Sementara itu, pembangunan infrastuktur yang terus berlanjut antara lain pembangunan/
penambahan infrastruktur transportasi (jalan layang, jembatan, perbaikan jalan, dan penambahan armada bus trans Jakarta), normalisasi saluran air, pembangunan
rumah susun sewa dan pembangunan tempat pembuangan sampah turut berpengaruh positif pada kinerja investasi Jakarta.
Konsumsi rumah tangga diperkirakan masih tetap kuat dan menjadi motor
pertumbuhan ekonomi Jakarta. Menguatnya konsumsi rumah tangga diindikasikan oleh peningkatan penjualan barang tahan lama (durables) terutama mobil/motor yang
meningkat signifikan, dan adanya peningkatan konsumsi energi (listrik rumah tangga). Selain itu, hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia, antara lain Survei
Penjualan Eceran (SPE) dan Survei Konsumen (SK) juga mendukung indikasi menguatnya konsumsi rumah tangga. Indeks penjualan barang eceran hasil SPE
terhadap barang-barang durable (pakaian, alat rumah tangga, dan alat tulis) maupun makanan meningkat, yang didukung oleh keyakinan konsumen bahwa saat ini
merupakan waktu yang tepat untuk pembelian barang tahan lama. Masih kuatnya
konsumsi rumah tangga di wilayah Jakarta ini didukung oleh daya beli yang masyarakat yang meningkat dengan disertai tingkat inflasi yang masih relatif rendah,
serta cukup terjangkaunya suku bunga perbankan untuk pembiayaan konsumsi. Survei yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga riset menunjukkan peningkatan
Peningkatan tren kinerja ekspor diperkirakan masih terjadi, seiring membaiknya
permintaan eksternal. Ekspor ke negara-negara Amerika, Asia, dan Eropa terus
tumbuh membaik sekitar 20% (yoy) terutama pada komoditas suku cadang dan mesin, pakaian jadi, bubur kertas, dan besi/baja. Sementara itu, seiring kuatnya
permintaan ekspor dan untuk memenuhi kebutuhan domestik, impor untuk barang jadi (konsumsi) maupun intermediate (bahan baku dan modal) juga diperkirakan
meningkat.
Tabel 3
Perkembangan PDRB Sisi Permintaan di Jakarta (%, yoy)
I II III* IV* I* Proyeksi Tw
* angka sementara BPS DKI Jakarta
2010
DKI
2008* 2009*2009
Pertumbuhan Triwulan II 2010 merupakan angka perkiraan Bank Indonesia
Grafik 9
Konsumsi Listrik Rumah Tangga di Jakarta
Grafik 10
Pendaftaran Mobil Baru di Jakarta
-$ ! # ! - - 4 !& #
Grafik 11 Survei Penjualan Eceran
Grafik 12
Perkembangan Kredit Non Bank
0
Kons Listrik RT g.Kons Listrik RT (rhs) Sumber : PLN, diolah
%, yoy Survei Penjualan Eceran
g.Indeks Alat RT g.Peralatan Tulis g.Pakaian g.Makanan
-20
g.kredit kons riil (rhs) g.Leasing (yoy) (rhs)
-100
g.Pendaftaran Mobil Baru g.Pendaftaran Motor Baru
Grafik 13 Impor Barang Modal
Grafik 14
Survei Kegiatan Dunia Usaha
-Di sisi penawaran, kinerja sektor keuangan, perdagangan, dan industri
diperkirakan dalam arah yang membaik. Sektor keuangan yang meningkat ditandai
dengan meningkatnya pertumbuhan pembiayaan bank (kredit bank) dan non bank. Kredit bank telah tumbuh 13,8% (yoy) per Mei 2010, meningkat dibandingkan akhir
triwulan I 2010 (6,0%; yoy) terutama pada pembiayaan sektor pengangkutan, bangunan, dan jasa dunia usaha.
Seiring peningkatan aktivitas kegiatan ekspor dan impor, sektor perdagangan masih tumbuh positif. Indikasi perkembangan sektor ini terlihat dari meningkatnya
arus pengiriman barang melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan tingkat kunjungan
wisatawan ke Jakarta. Sektor industri aktivitasnya tetap membaik, sejalan dengan permintaan dalam negeri maupun luar negeri yang menguat. Beberapa industri
menunjukkan kapasitas terpakainya pada triwulan ini mengalami peningkatan, antara lain industri kertas, pakaian jadi, besi/baja, dan alat angkut.
Sektor bangunan diperkirakan tumbuh meningkat sejalan dengan meningkatnya
investasi. Pembangunan properti untuk hunian (residensial) terus menunjukkan perkembangan yang meningkat seiring naiknya permintaan yang didukung
pembiayaan yang cukup terjangkau. Stok properti komersial diperkirakan bertambah dengan selesainya proyek pembangunan retail, kantor dan apartemen. Hasil survei
Lembaga Riset Properti Colliers Internasional, memperkirakan di tahun 2010 akan
ada penambahan ruang kantor dengan selesainya dua gedung kantor - Menara Bidakara 2 dan Graha 18 - sehingga menambah jumlah ruang kantor dari 64,000 m2
menjadi 210,800 m2. Hal yang sama juga diperkirakan pada pasokan apartemen
yang akan bertambah 25.000 unit baru. Selain itu, pembangunan sarana infrastruktur
yang dibangun oleh Pemda antara lain normalisasi saluran air, perbaikan ruas jalan, dan jembatan Kalibata turut menunjang kinerja sektor bangunan. Beberapa rencana
pembangunan yang akan dilakukan oleh Pemda lainnya bekerjasama dengan swasta -100
-50 0 50 100 150
I II III IV I II III IV I II III IV I II*
2007 2008 2009 2010
%, yoy
g.Volum Impor Brg Modal g.Pick Up,Truk,Alat Berat,Truk Tanki[baru]
-15 -10 -5 0 5 10 15 20 25 30 35
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1-p
2007 2008 2009 2010
Indeks SBT
Ekspektasi Situasi Bisnis Ekspektasi Kegiatan Dunia Usaha
antara lain pembangunan jalan susun Antasari dan Casablanca, 10 tower rusunawa, dan tempat pembuangan sampah Ciangir dan Marunda.
Tabel 4
Perkembangan PDRB Sisi Penawaran di Jakarta (%, yoy)
Pertumbuhan Triwulan II 2010 merupakan angka perkiraan Bank Indonesia
-20
g.kredit (yoy) g.Leasing (yoy) (rhs)
Grafik 15
Perkembangan Pembiayaan Bank dan Nonbank
-30
%, yoy Arus Bongkar - Muat Pelabuhan Tj. Priok
arus muat Tj. Priok arus bongkar Tj. Priok
Sumber : BPS
Total Sektor Total Industri Pengolahan
Sumb
Industrial Production Index (IPI) g.Industrial Production Index(rhs)
Grafik 18 Indeks Produksi Industri
I* Proyeksi Tw II
Pertanian 0.8 0.8 -0.8 0.7 0.7 0.3 0.5 (0.3) - 0.2
Pertambangan 0.3 -2.5 -9.9 -2.4 -2.6 -4.3 -0.9 (1.0)-(0.5)
Industri 3.9 1.6 0.1 -0.3 -0.8 0.1 3.0 2.8-3.2
Listrik 6.3 6.1 4.7 4.9 2.7 4.6 4.1 4.9-5.3
Bangunan 7.7 6.3 6.5 6.1 5.9 6.2 6.9 6.4-6.9
Perdagangan 6.7 3.3 3.4 4.4 4.8 4.0 6.8 6.8-7.2
Pengangkutan 14.8 15.7 15.3 15.4 16.2 15.6 14.9 14.9-15.2
Keuangan 4.2 4.5 4.2 3.8 3.4 4.0 4.0 4.0-4.4
Jasa-jasa 6.0 5.8 6.2 6.5 7.4 6.5 6.7 6.6-6.9
PDRB 6.2 5.2 4.9 5.0 5.0 5.0 6.2 6.2 - 6.6
* angka sementara BPS DKI Jakarta
Penyaluran kredit perbankan di wilayah Jakarta hingga triwulan II 2010 (posisi
Mei 2010) tumbuh meningkat. Kredit lokasi bank di Jakarta tumbuh sebesar 13,8%
(yoy) menjadi sekitar Rp749,39 triliun. Sebagian besar kredit perbankan di wilayah Jakarta diserap oleh sektor industri pengolahan, jasa dunia usaha, dan perdagangan
dengan pangsa masing-masing sebesar 18,75%; 14,62%; dan 13,23%. Peran bank sebagai sumber pembiayaan cukup besar dalam perekonomian, yaitu sekitar 30%.
Perkembangan kredit yang disalurkan ke tiga sektor utama tersebut menunjukkan perbaikan, sehingga mendorong kredit Jakarta secara keseluruhan meningkat.
Kualitas kredit yang disalurkan masih terjaga sebagaimana tercermin dari rasio kredit bermasalah terhadap total kredit yang masih rendah yaitu sebesar 3,3%.
Demikian pula, Dana Pihak Ketiga yang dihimpun oleh pihak perbankan hingga Mei
2010 juga tercatat mengalami peningkatan pertumbuhan. Pada triwulan laporan, DPK tercatat tumbuh meningkat 15,1% dibandingkan triwulan I 2010 (12,9%). Sehingga dengan perkembangan tersebut, intermediasi perbankan sedikit meningkat
menjadi 74,0% dari periode sebelumnya (70,9%).
Tabel 5
Perkembangan Perbankan di Jakarta
Realisasi belanja pemerintah daerah DKI Jakarta hingga akhir triwulan I 2010
mencapai 22%. Pencapaian realisasi belanja daerah tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan target yang ditetapkan yaitu sebesar 27% yang antara lain dipengaruhi oleh proses tender proyek pembangunan infrastruktur yang masih
berada dalam tahap penyelesaian, dan adanya penyesuaian belanja pegawai dan telepon, air, dan listrik, serta adanya rencana proyek yang dibatalkan karena kendala
pembebasan lahan seperti pada rencana pembangunan terminal bus Pulogebang yang semula dianggarkan secara multiyears dalam dua tahun ke depan. Namun,
penyerapan belanja yang lebih tinggi diperkirakan mulai terjadi pada periode Agustus-September 2010 seiring dengan selesainya proses tender dan pencairan
proyek. Hingga akhir tahun 2010, Pemda DKI memperkirakan realisasi belanja
daerah mencapai 90%. Komitmen Kepala Daerah yang terhadap pencapaian target realisasi anggaran melalui penerapan mekanisme reward and punishment kepada pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah diperkirakan menjadi faktor kunci yang
dapat mendorong perbaikan pola realisasi anggaran belanja daerah.
Laju inflasi di wilayah Jakarta pada akhir triwulan II 2010 mulai mengalami peningkatan meskipun dengan intensitas yang relatif masih terkendali. Inflasi
pada akhir triwulan laporan tercatat sebesar 4,5% (yoy), meningkat dibanding
triwulan I 2010 yang sebesar 3,4% (yoy). Tekanan inflasi berasal dari perkembangan harga beberapa volatile foods seperti sayuran dan bumbu-bumbuan yang meningkat
signifikan. Berdasarkan pemantauan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Jakarta, harga yang terjadi di pasar Jakarta yang relatif meningkat karena pasokan untuk
komoditas sayur dan bumbu mengalami penurunan, terutama untuk komoditas cabe merah, bawang merah, dan bawang putih. Hal ini tercermin dari perkembangan
pasokan komoditas bumbu-bumbuan dan sayuran di Pasar Induk Kramat Jati – juga merupakan sentra distribusi komoditas antar daerah - yang berada dalam tren yang
terus menurun, sehingga mendorong peningkatan harga beberapa komoditas
tersebut. Terbatasnya pasokan dari sentra produksi dari Jawa Barat dan Jawa Tengah selain karena terjadinya penurunan produksi akibat tingginya curah hujan, juga
adanya pembelian langsung oleh para pedagang dari daerah luar Jawa terutama Sumatera. Sementara itu, pasokan beras sepanjang triwulan laporan di Pasar Induk
Beras Cipinang (PIBC) dalam kondisi yang memadai sehingga tidak terlalu memicu kenaikan harga beras secara berlebihan. Di sisi lain, faktor fundamental yang
internasional, serta tren penguatan nilai tukar rupiah merupakan faktor yang menyebabkan inflasi inti relatif stabil.
Grafik 21
Perkembangan Inflasi di Jakarta
-D. Wilayah Jabalnustra
Perekonomian di wilayah Jabalnustra pada triwulan II 2010 tetap tumbuh tinggi
pada kisaran 6,0% (yoy). Relatif tingginya pertumbuhan Jabalnustra ini dipengaruhi
oleh membaiknya permintaan eksternal terhadap barang manufaktur. Sementara itu,
konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami peningkatan didukung oleh
optimisme dan daya beli masyarakat yang tetap terjaga. Respons dari membaiknya
permintaan ekspor dan menguatnya permintaan domestik mendorong kinerja
investasi swasta terutama untuk meningkatkan kapasitas produksi. Minimalnya
pengaruh penerapan ACFTA terhadap kinerja industri secara keseluruhan dan
membaiknya prospek investasi mendorong berbagai rencana relokasi pabrik dari
China dan beberapa negara kawasan Asia lainnya ke beberapa daerah di Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Namun, membaiknya prospek investasi ini juga masih terhambat
oleh ketersedian dukungan infrastruktur jalan dan jaminan ketersediaan listrik yang
masih belum cukup memadai. Akses menuju pelabuhan yang menyatu dengan
kepadatan lalulintas kendaraan penumpang umum lainnya menjadi kendala untuk
investasi yang berorientasi pada ekspor. Beberapa hal lain yang masih menjadi
0
%, m-t-m Inflasi Jakarta %, y-o-y
MTM harga BBM bersubsidi rata2 meningkat 28,7%
dampak 2nd round kenaikan harga BBM
Des : 1st round effect Jan&Feb:1st+2nd round effect penurunan BBM
sorotan investor antara lain masalah perizinan yang dinilai masih rumit dan
memakan waktu serta belum maksimalnya pelayanan satu pintu di beberapa daerah.
Tabel 6
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Jabalnustra
2010
2008 1* 2* 3* 4* 2009* 1* 2P
JABALNUSTRA 5.7 4.3 4.4 4.8 5.6 4.8 6.1 6.0
Jawa Bag. Barat 5.8 3.4 3.6 4.5 5.9 4.4 6.4 6.5
Bali-Nusa Tenggara 4.6 6.6 6.1 5.1 7.3 6.3 8.0 5.4
1 Bali 6.0 7.8 5.9 4.4 3.5 5.3 4.5 4.9
2 Nusa Tenggara Barat 2.6 4.4 8.2 7.8 14.9 9.0 16.1 6.8
3 Nusa Tenggara Timur 4.8 7.2 3.3 2.6 4.1 4.2 4.4 4.3
%, yoy Perkembangan Survei Penjualan Eceran
Grafik 22
Survei Penjualan Eceran di Jabalnustra
0
Rp triliun Pertumbuhan Riil Kredit Konsumsi
Wilayah (triliun Rp) growth riil (%,yoy) - rhs
Grafik 23
Kredit Konsumsi di Jabalnustra
0.00
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Grafik 24
Indeks Keyakinan Konsumen di Jabalnustra
0
Rp tiliun Pertumbuhan Kredit Riil Investasi
Wilayah (triliun Rp) growth riil (%,yoy)-rhs
Grafik 25
-40.00
Impor Barang Modal di Jabalnustra
-20
Konsumsi Semen g Konsumsi Semen
Ton % yoy
Grafik 27
Konsumsi Semen di Jabalnustra
Dari sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi Jabalnustra yang masih tinggi ditopang
oleh kinerja sektor PHR, sektor industri pengolahan, dan sektor pertanian. Kinerja sektor PHR yang meningkat terutama didorong oleh transaksi perdagangan dalam
wilayah Jabalnustra maupun dengan wilayah lainnya sejalan dengan permintaan domestik yang menguat dan membaiknya kinerja ekspor. Selain itu, masuknya masa
liburan dan meningkatnya kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) berdampak positif bagi kinerja sektor PHR ini terutama di daerah tujuan
wisata seperti Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Membaiknya permintaan juga berpengaruh positif bagi meningkatnya sektor industri pengolahan di wilayah
Jabalnustra. Hal ini juga sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian negara mitra dagang utama seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di kawasan
ASEAN. Penerapan kerjasama perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA
berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia secara umum memiliki dampak yang minimal bagi kinerja sektor industri pengolahan. Namun, dampak
negatif dari meningkatnya persaingan usaha ini yang lebih dirasakan oleh industri hulu yang berorientasi pasar domestik perlu tetap menjadi perhatian. Langkah
pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap impor dan penerapan standarisasi nasional merupakan langkah yang cukup efektif dalam melindungi
produksi nasional. Ke depan, upaya untuk lebih meningkatkan daya saing industri dan sinergi kebijakan pemberdayaan industri yang berskala mikro, kecil dan
Tabel 7
Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Wilayah Jabalnustra
Provinsi 2008 Total
1. PERTANIAN 11.01 -1.34 2.56 0.92 3.44 7.89 5.61 6.10 4.35 5.64 1.03 3.19
2. PERTAMBANGAN -29.89 -31.98 -29.11 -25.39 -29.07 7.40 10.39 9.62 15.89 10.98 16.11 4.94
3. INDUSTRI 6.40 8.05 8.45 5.24 7.02 -0.01 0.44 0.15 1.40 0.73 3.76 3.28
4. LISTRIK 3.71 3.57 2.61 3.07 3.23 2.83 6.81 10.92 12.91 8.39 11.49 3.81
5. BANGUNAN 4.23 4.58 8.24 9.44 6.72 6.10 6.71 4.19 7.16 6.03 10.14 8.97
6. PHR 4.67 6.10 5.62 5.14 5.39 5.61 6.01 8.11 8.26 7.04 10.52 11.02
7. PENGANGKUTAN 5.68 5.83 7.81 6.01 6.34 6.57 8.74 9.79 10.18 9.22 9.16 6.08
8. KEUANGAN 6.76 8.47 8.93 7.70 7.99 6.12 6.10 6.20 7.82 6.57 9.62 8.48
9. JASA – JASA 5.26 5.02 6.34 5.72 5.60 5.99 6.24 5.28 6.67 6.03 4.97 4.54
TOTAL PDRB 6.37 5.20 6.32 4.98 5.71 4.28 4.38 4.81 5.55 4.78 6.12 5.97
Grafik 28
Perkembangan Luas Panen Tabama di Jawa Timur
Grafik 29
Tingkat Hunian Hotel Kunjungan Wisman di Bali
- # (
-Kegiatan intermediasi perbankan Jabalnusra pada triwulan II 2010 semakin baik.
Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan DPK
mampu mendorong perbaikan LDR perbankan dari 74,7% pada triwulan I 2010 menjadi 75,7% (Mei 2010). Kredit perbankan di wilayah Jabalnusra berdasarkan data
bulan Mei 2010 tercatat sebesar Rp 426,7 triliun, atau tumbuh 19,9% (yoy). Ekpansi kredit lebih banyak dialokasikan untuk sektor-sektor produktif dibandingkan dengan
sektor konsumtif, dengan pertumbuhan terbesar pada kredit investasi sebesar 27,1% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan DPK sebesar 13,1% (yoy) tercatat lebih tinggi bila
dibandingkan periode triwulan I 2010 (10,3%, yoy). Perkembangan tersebut diikuti dengan risiko kredit perbankan di wilayah Jabalnustra pada triwulan II 2010 yang
relatif terjaga sebagaimana tercermin dari cukup rendahnya rasio Non Performing
Loans (NPL) (<5%).
2007 2008 2009 2010
Luas Panen Padi Luas Tanam Padi
-20.00
Kunjungan Wisman g Wisman (y-o-y)
250
Posisi (miliar Rp)_RHS Pertumb (% yoy) DPK_Jabalnustra
Grafik 30
Perkembangan DPK di Jabalnustra
0
Rp Triliun Growth (%, yoy)-rhs
Grafik 31
Perkembangan Kredit di Jabalnustra
Pada triwulan II 2010, tingkat realisasi anggaran pemerintah mulai meningkat seiring dengan realisasi proyek-proyek pemerintah. Penyerapan realisasi belanja
APBD untuk wilayah Jabalnustra secara umum mengalami peningkatan dan
diperkirakan mencapai 29% dari anggaran yang direncanakan. Pengesahan APBD dan proses lelang proyek pembangunan infrastruktur yang lebih awal, serta
penerapan mekanisme lelang elektronik (e-procurement) seperti yang dilakukan di Jawa Barat menjadi faktor yang mendorong perbaikan pola realisasi anggaran. Selain
itu, adanya komitmen Kepala Daerah di wilayah ini untuk pencapaian target anggaran turut berpengaruh positif pada penyerapan realisasi belanja daerah yang
lebih baik. Meskipun demikian, peningkatan penyerapan anggaran pemerintah daerah yang lebih optimal dapat tercapai apabila hambatan yang bersifat struktural
seperti lamanya proses tender, terbatasnya pegawai yang memiliki sertifikasi
pengadaan, serta adanya keengganan untuk terlibat dalam proses pengadaan barang dapat teratasi.
Inflasi IHK gabungan wilayah Jabalnusra pada triwulan II 2010 meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada akhir triwulan laporan, inflasi Jabalnustra mencapai 4,8% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2010 yang tercatat 3,2%
(yoy). Kondisi ini dipengaruhi oleh peningkatan harga volatile food pada kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau.
Kenaikan harga yang terjadi di wilayah ini bersumber dari terbatasnya pasokan
akibat faktor cuaca buruk yang mengakibatkan perubahan masa panen dan masa tanam, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi padi-padian dan
bumbu-bumbuan. Pasokan cabe dari daerah pemasok seperti Boja, Blora, Grobogan, Rembang, Temanggung, Yogyakarta, dan Wonosobo berkurang karena hasil panen
mengalami masa tanam. Selain itu, tingginya curah hujan menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Jawa Timur seperti kabupaten Trenggalek, Blitar, Ponorogo
menghambat lalulintas distribusi barang kebutuhan pokok.
Grafik 32
Perkembangan Inflasi di Jabalnustra
Grafik 33
Komparasi Inflasi Kota di Jabalnustra
-
-E. Wilayah Kali-Sulampua
Pertumbuhan ekonomi wilayah Kali-Sulampua triwulan II 2010 diperkirakan
masih relatif stabil pada kisaran 5,6% (yoy). Dari sisi permintaan, faktor pendorong
pertumbuhan adalah konsumsi, sementara pertumbuhan yang terbatas terjadi pada
komponen ekspor dan investasi. Konsumsi menjadi penopang pertumbuhan
ekonomi seiring membaiknya harga internasional komoditas perkebunan dan
tambang di awal tahun 2010 serta adanya penyelenggaraan Pilkada di 43 daerah.
Selain itu, pertumbuhan konsumsi juga didorong oleh membaiknya daya beli
masyarakat sebagai implikasi perbaikan harga komoditas perkebunan dan tambang
sejak awal tahun 2010. Kondisi ini dapat dilihat dari pertumbuhan penjualan
kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat di Kalimantan yang
cenderung meningkat sejak awal tahun 2010. Penjualan kendaraan roda empat pada
bulan April dan Mei 2010 meningkat cukup tinggi, masing-masing mencapai 81,35%
dan 87,39% (yoy). Kinerja ekspor di wilayah ini masih tumbuh tinggi meskipun
adanya gangguan produksi yang bersifat teknis maupun cuaca di beberapa site
penambang besar di Sulawesi dan Kalimantan relatif menghambat perkembangan
ekspor komoditas tambang lebih lanjut ditengah tingginya permintaan terhadap
2 4 6 8 10 12 14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6
2008 2009 2010
%,yoy
Jabalnustra NASIONAL 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 SukabumiBandung
SurakartaMalang Bogor PurwokertoSumenep TangerangMadiun Jember TasikmalayaCilegon SemarangSurabaya CirebonSerang YogyakartaKediri Depok ProbolinggoBima DenpasarBekasi Tegal Mataram
MaumereKupang %, yoy
komoditas tambang di pasar internasional maupun untuk memenuhi kebutuhan
domestik – terutama untuk keperluan pembangkit listrik. Sementara itu, kinerja
investasi yang masih tinggi terutama terjadi di zona Kalimantan seiring dengan
prospek sektor pertambangan yang terus membaik. Indikasi ini terlihat dari dari
tingginya volume impor barang modal dan konsumsi semen, serta meningkatnya
pembelian truk dan alat berat. Namun, di zona Sulampua perkembangan kinerja
investasi relatit terbatas terutama dipengaruhi oleh adanya penundaan berbagai
realisasi proyek antara lain disebebakan oleh konsentrasi pemerintah daerah pada
pelaksanaan Pilkada.
Tabel 8
Perkembangan PDRB Wilayah Kali-Sulampua
2010
2008 1* 2* 3* 4* 2009* 1* 2P
Kali-Sulampua 5.6 5.6 5.7 6.2 5.2 5.7 5.6 5.5
Kalimantan 5.3 1.7 1.9 4.5 5.4 3.4 6.1 5.4
1 Kalimantan Selatan 6.2 3.3 3.6 7.9 4.8 5.0 5.4 6.0
2 Kalimantan Barat 5.4 3.0 5.4 5.5 5.1 4.8 4.5 4.8
3 Kalimantan Tengah 6.2 6.0 5.4 5.3 5.2 5.5 6.3 5.6
4 Kalimantan Timur 4.8 0.3 (0.1) 3.1 5.7 2.3 6.7 5.8
5 Sulawesi Tenggara 7.3 7.4 7.5 6.7 8.7 7.6 8.2 8.3
6 Sulawesi Tengah 7.8 17.9 6.7 2.4 5.7 7.7 10.4 10.4
7 Irian Jaya Barat 7.3 7.1 7.6 6.2 4.2 6.3 5.9 6.4
Konsumsi Semen Kali-Sulampua (ribu ton)
Growth Kons Semen Kali-Sulampua (y-o-y)
Grafik 34
Realisasi Penjualan Semen
(60,00)
g-Roda 2, yoy(Kiri) g-Roda 4, yoy (Kanan)
Grafik 35
Grafik 36
Kegiatan Kegiatan Bongkar di Plbh. Soekarno-Hatta Makassar
15,75%
Perkembangan Penjualan di Pasar Modern Banjarmasin
Penjualan (Rp miliar) Growth (y-o-y)
Grafik 37
Perkembangan Penjualan Pasar Modern
Secara sektoral, kinerja sektor pertanian yang meningkat relatif dapat mengimbangi penurunan produksi yang terjadi di sektor tambang dan industri
pengolahan. Produksi panen raya yang juga terkonsentrasi di awal triwulan laporan,
serta meningkatnya produktivitas tanaman perkebunan khususnya kelapa sawit dan kakau mendorong kinerja sektor pertanian untuk tumbuh positif. Sementara itu,
produktivitas pertambangan batu bara cenderung menurun selama triwulan laporan karena tingginya curah hujan yang menghambat kegiatan eksplorasi tambang,
terutama tambang batubara di Kalimantan. Penurunan produksi nikel dan tembaga di zona Sulampua dipengaruhi oleh terjadinya gangguan sarana penunjang produksi
dan berkurangnya kualitas konsentrat tembaga di Papua. Perkembangan di sektor industri pengolahan zona Kalimantan di triwulan laporan diperkirakan juga tumbuh
sebesar melambat. Perlambatan pertumbuhan ini antara lain disebabkan oleh gangguan unit produksi kilang LNG di Bontang, Kaltim. Selain itu hasil liaison pada
industri tepung terigu di Sulampua mengindikasikan terjadinya penurunan produksi tepung terigu.
Produksi Batubara PT Adaro dan PT Kideco
Vol.Produksi (ton) g. Produksi (yoy,%)
Grafik 38
Produksi Batu Bara dua Penambang Besar di Kalimantan
Kinerja perbankan Kali-Sulampua secara umum relatif baik. Penyaluran kredit
perbankan di wilayah Kali-Sulampua hingga bulan MeI 2010 tercatat tumbuh 23,0%
(yoy), meningkat jika dibandingkan dengan Maret 2010 (23,4%; yoy). Secara sektoral, peningkatan penyaluran kredit terbesar terjadi pada sektor industri, sektor
pengangkutan komunikasi, dan sektor lainnya. Sementara itu, Dana Pihak Ketiga yang dihimpun oleh perbankan di Kali-Sulampua tumbuh sedikit melambat, yaitu
dari 10,8% (yoy) pada Maret 2010 menjadi 10,0% (yoy) pada Mei 2010. Dengan perkembangan kredit dan DPK tersebut, posisi LDR pada Mei 2010 meningkat
dibandingkan Maret 2010 yaitu dari 73,7% menjadi 77,8%. Perkembangan tersebut diikuti dengan kualitas kredit perbankan yang relatif terjaga. Pada Mei 2010 NPL
Bank Umum masih rendah yakni sebesar 3,0%.
100
Posisi (miliar Rp)_RHS Pertumb (% yoy)
DPK_Kali-Sulampua
Rp Triliun Growth (%, yoy)-rhs
Grafik 41
Perkembangan Kredit di Kali-Sulampua
Pergerakan inflasi wilayah Kali-Sulampua pada triwulan II 2010 cenderung lebih
tinggi bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Laju inflasi tahunan (yoy)
di wilayah Kali-Sulampua hingga akhir triwulan II 2010 tercatat sebesar 5,5%, sementara laju inflasi triwulan I 2010 sebesar 4,3%. Faktor utama yang menyebabkan
peningkatan laju inflasi wilayah Kali-Sulampua terutama berasal dari sisi penawaran, antara lain karena kurangnya pasokan beras akibat belum masuknya masa panen
raya dan kondisi curah hujan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan sejumlah lahan pertanian terendam banjir dan mengalami gangguan panen. Preferensi
masyarakat di Kalimantan yang lebih memilih untuk mengkonsumsi beras lokal – jenis unus dan siam – juga mendorong naiknya harga beras jenis tersebut di tengah
masih terbatasnya pasokan dari sentra produksi lokal karena belum tibanya masa panen. Keterbatasan pasokan bawang merah dan sayur mayur disebabkan oleh curah
Grafik 42
Perkembangan Inflasi Kali-Sulampua
Grafik 43
Komparasi Inflasi Kota di Kali-Sulampua
-
-II. PROSPEK EKONOMI DAN INFLASI REGIONAL
Prospek membaiknya perekonomian daerah diperkirakan masih berlanjut pada
triwulan III 2010 dengan laju pertumbuhan yang relatif lebih moderat. Jakarta,
Jabalnustra, dan Kali-Sulampua diperkirakan dapat tumbuh di atas 6,0% (yoy). Sementara wilayah Sumatera diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan periode
triwulan laporan yang terutama bersumber dari penurunan kinerja ekspor.
Konsumsi rumah tangga di berbagai daerah diperkirakan menguat. Terjaganya daya beli masyarakat dan adanya dorongan faktor musiman terkait hari raya
keagamaan wilayah menjadi faktor yang mendorong penguatan konsumsi rumah tangga. Selain itu, pola realisasi anggara belanja pemerintah daerah yang cenderung
meningkat pada triwulan mendatang dengan didukung komitmen Kepala Daerah dalam pencapaian target realisasi belanja turut berpengaruh positif pada menguatnya
konsumsi daerah secara umum.
Investasi swasta di daerah diperkirakan terus meningkat pada triwulan mendatang sebagai respons dari tingginya permintaan domestik dan eksternal. Kegiatan
investasi swasta terutama untuk peningkatan kapasitas produksi. Selain itu, iklim investasi nasional yang terus membaik sebagaimana tercermin dari meningkatnya
penilaian credit rating berbagai lembaga pemeringkat internasional berdampak positif
pada perkembangan investasi di daerah. Berbagai rencana pengalihan pabrik manufaktur dari China dan beberapa negara kawasan Asia lainnya ke Indonesia
menguatkan indikasi membaiknya ekspektasi pelaku usaha pada prospek investasi di Indonesia. Namun, ketersedian infrastruktur daerah terutama di luar Jawa yang
belum memadai menjadi faktor risiko yang dapat menghambat prospek perkembangan investasi dan cenderung terkonsentrasi di Jawa.
0 2 4 6 8 10 12 14 16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
2007 2008 2009
%, yoy
Kali-Sulampua NASIONAL 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kendari Parepare GorontaloTernate MamujuPalopo ManadoSorong ManokwariJayapura SamarindaPontianak MakassarPalu Singkawang*Watampone Sampit Tarakan* PalangkarayaBalikpapan BanjarmasinAmbon
%, yoy
Kinerja ekspor daerah pada triwulan mendatang diperkirakan tetap tumbuh tinggi
seiring berlanjutnya proses pemulihan ekonomi global. Membaiknya permintaan
produk manufaktur dari negara maju diperkirakan berdampak positif pada perkembangan kinerja ekspor Jakarta dan Jabalnustra. Kondisi cuaca yang
diperkirakan lebih kondusif bagi aktivitas kegiatan penambangan di Kalimantan dan Sumatera berpengaruh positif pada kinerja ekspor komoditas tambang dari kedua
wilayah tersebut. Di sisi lain, ekspor komoditas berbasis perkebunan Sumatera diperkirakan tumbuh melambat terutama dipengaruhi oleh kecenderungan
penurunan harga di pasar internasional.
Impor diperkirakan juga mengalami peningkatan seiring dengan kinerja ekspor yang tumbuh tinggi dan menguatnya permintaan domestik. Kebutuhan impor yang
meningkat terutama untuk menunjang kegiatan produksi terutama pada barang
manufaktur yang basis produksinya di Jakarta dan Jabalnustra.
Secara sektoral, prospek perekonomian daerah yang membaik ditopang oleh
meningkatnya kinerja sektor-sektor utama. Menguatnya permintaan yang selanjutnya direspons oleh pelaku usaha dengan peningkatan kapasitas produksi
berdampak positif pada kinerja sektor industri pengolahan di Jabalnustra dan Jakarta.
Persaingan usaha yang meningkat dengan penerapan perjanjian kerjasama perdagangan bebas dengan China dan negara-negara ASEAN dalam kerangka
ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) terindikasi memiliki dampak minimal pada sektor industri pengolahan secara keseluruhan.
Sektor pertanian di Jabalnustra, Sumatera dan Kali-Sulampua diperkirakan
tumbuh lebih lambat seiring dengan berakhirnya masa panen raya tanaman bahan makan (tabama). Kondisi iklim yang dipengaruhi oleh fenomena El-Nino pada akhir
2009 menyebabkan produksi padi untuk keseluruhan tahun cukup rendah. Produksi padi di wilayah Jawa diperkirakan hanya meningkat 0,77% dibanding capaian
produksi tahun 2009 (Angka Ramalan II BPS). Demikian halnya dengan produksi padi di luar Jawa yang diperkirakan hanya meningkat 1,63% dibanding tahun
sebelumnya. Memasuki masa panen sub round kedua Juli-Agustus 2010, produksi
padi berbagai daerah juga dibayangi oleh tren meningkatnya serangan hama dan puso seperti yang terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara. Selain itu, kondisi cuaca di berbagai daerah sentra produksi yang tidak
menentu (anomali musim) menyebabkan produksi komoditas bumbu-bumbuan dan
buah sawit di sentra produksi Sumatera memasuki masa panen pada triwulan ketiga dan diperkirakan terus mengalami peningkatan produksi hingga akhir tahun 2010.
Sektor pertambangan di Kali-Sulampua diperkirakan tumbuh relatif stabil.
Kegiatan penambangan batubara di Kalimantan diperkirakan kembali normal pada triwulan mendatang setelah selama beberapa waktu terakhir terkendala oleh
tingginya curah hujan. Masih tingginya harga batubara di pasar internasional dan menjadi insentif bagi peningkatan produksi batubara lebih lanjut. Namun, masih
terbatasnya volume lifting minyak di berbagai kilang Kalimantan dan perkiraan melambatnya produksi tembaga di Papua menyebabkan perkembangan sektor
pertambangan di wilayah Kali-Sulampua secara keseluruhan relatif masih akan stabil.
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) di berbagai daerah diperkirakan
tumbuh meningkat terutama dipengaruhi oleh menguatnya konsumsi. Meningkatnya kinerja sektor PHR ini sejalan dengan menguatnya konsumsi rumah
tangga yang pada triwulan mendatang juga dipengaruhi oleh faktor musiman perayaan hari raya keagamaan. Penyelenggaraan event berskala besar pada awal
triwulan III 2010 seperti Pekan Raya Jakarta, Jakarta International Motorshow 2010,
dan Jakarta Great Sale diperkirakan turut memiliki dampak positif pada meningkatnya kinerja sektor PHR. Demikian halnya dengan kegiatan lalu lintas
perdagangan antar daerah yang diperkirakan mengalami peningkatan cukup besar di awal triwulan mendatang terutama untuk persiapan menjelang bulan puasa dan
persiapan hari raya Idul Fitri.
Tabel 9
Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2010 (% yoy)
2008 1* 2* 3* 4P 2009* 1* 2P 3P
SUMATERA 4,9 2,9 2,9 3,6 4,2 3,4 5,0 5,0 4,2
Sumatera Bag. Utara 3,3 1,1 1,3 3,5 3,9 2,4 5,0 5,6 3,8
Sumatera Bag. Tengah 6,1 4,5 3,1 3,0 3,8 3,6 4,5 4,5 4,2
Sumatera Bag. Selatan 5,1 2,8 4,5 4,9 5,2 4,4 5,9 5,2 4,9
JAKARTA 6,2 5,2 4,9 5,0 5,0 5,0 6,2 6,3 6,5
JABALNUSTRA 5,7 4,3 4,4 4,8 5,6 4,8 6,1 6,0 6,3
Jawa Bag. Barat 5,8 3,4 3,6 4,5 5,9 4,4 6,4 6,5 6,7
Jawa Bag. Tengah 5,4 4,2 4,5 5,1 5,0 4,7 5,6 5,3 5,8
Jawa Bag. Timur 5,9 5,0 5,0 5,0 5,2 5,0 5,8 6,1 6,2
Bali-Nusa Tenggara 4,6 6,6 6,1 5,1 7,3 6,3 8,0 5,4 5,5
KALI-SULAMPUA 5,6 5,6 5,7 6,2 5,2 5,7 5,6 5,5 6,2
Kalimantan 5,3 1,7 1,9 4,5 5,4 3,4 6,1 5,4 5,7
Sulampua 6,1 11,3 11,2 8,6 4,9 8,9 4,8 5,8 6,9
NASIONAL 6,0 4,5 4,1 4,2 5,4 4,5 5,7 6,0 6,0
Sumber : BPS (diolah)
*) Angka Sementara
Di sisi harga, tekanan inflasi daerah diperkirakan meningkat namun masih dalam
batas yang terkendali. Kenaikan inflasi yang cukup tinggi diperkirakan terjadi di
sebagian Balnustra, Kalimantan dan Sulampua. Permintaan masyarakat yang meningkat dipengaruhi oleh faktor musiman bulan puasa dan hari raya Idul Fitri
berpotensi mendorong kenaikan harga lebih lanjut terutama untuk komoditas bahan makanan. Meningkatnya biaya pengiriman barang yang dipicu oleh tingginya
permintaan pengiriman barang antar daerah untuk persiapan menjelang bulan puasa dan adanya kenaikan tarif pelayanan jasa pelabuhan di pelabuhan besar Tanjung
Perak berpotensi mendorong kenaikan harga lebih tinggi di luar Jawa. Kenaikan biaya transportasi angkutan penumpang pada masa high seasons terkait lebaran juga
menjadi faktor lain yang mendorong kenaikan inflasi pada triwulan mendatang.
Tekanan inflasi yang bersifat administered bersumber dari kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik untuk rumah tangga dan industri yang mulai berlaku pada awal Juli 2010. Namun, kapasitas produksi industri yang secara umum
masih memadai dalam merespons naiknya permintaan, dan tren apresiasi nilai tukar
rupiah yang terus berlangsung diperkirakan menjadi faktor yang menahan kenaikan inflasi.
Tekanan kenaikan inflasi volatile food diperkirakan masih berlanjut pada triwulan
mendatang terutama terkait dengan terganggunya pasokan beberapa komoditas bahan makanan khususnya bumbu-bumbuan dan sayuran. Perkiraan mulai
meningkatnya pasokan bumbu-bumbuan dan sayuran seiring dengan panen
beberapa komoditas ini pada pertengahan triwulan mendatang masih dibayangi ketidakpastian cuaca yang dapat kembali mengganggu proses produksi. Selain itu,
berakhirnya masa panen raya padi yang disertai adanya potensi puso pada masa panen kedua di beberapa daerah memicu kenaikan harga beras. Namun, ketersediaan
cadangan beras nasional yang memadai, dan lancarnya penyerapan beras bersubsidi, serta upaya pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga bahan pokok melalui
penyelenggaraan operasi pasar terutama di daerah yang mengalami kendala pasokan beras, dan menguatnya koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)
diperkirakan dapat menahan kenaikan tekanan harga lebih lanjut. Beberapa komoditas bahan makanan lainnya diperkirakan juga masih cukup terkendali dan
permasalahan pasokan yang terjadi secara gradual akan dapat teratasi. Terjaganya pasokan di beberapa pasar induk di Jakarta seperti Pasar Induk Beras Cipinang
(PIBC) menjadi salah satu tolak ukur yang membentuk ekspektasi masyarakat
antar daerah sehingga menjadikan PIBC sebagai barometer pembentukan harga beras di daerah.
III. ISU STRATEGIS
A. Dampak ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) terhadap Kinerja Sektor Industri Pengolahan dan Ketenagakerjaan
Dampak ACFTA terhadap kinerja sektor industri pengolahan secara umum relatif
minimal3. Sebagian besar responden survei (51,6% responden) tidak merasakan
dampak ACFTA, 16,5% menjawab “Menguntungkan” dan yang merasakan dirugikan
sebanyak 31,9% responden. Hampir semua responden (80,4%) mengetahui ACFTA namun hanya 48,3% yang mendukungnya. Persepsi terhadap besaran dampak
ACFTA, 41,2% responden merasakan “Sedang”, 36,8% “Ringan” dan hanya 22%
responden yang merasakan “Berat”. Sebagian besar responden berkeyakinan penerapan ACFTA menguntungkan karena harga bahan baku impor yang lebih
murah, penetrasi wilayah pemasaran yang lebih luas sehingga mendorong naiknya permintaan, serta memberi pengaruh yang positif pada meningkatnya produktivitas
pekerja. Dilain pihak, ACFTA dianggap merugikan terutama karena harga produk dari China/ASEAN lebih murah sehingga menjadi pesaing produk lokal. Alasan
lainnya menurut persepsi responden bahwa ACFTA berdampak merugikan antara lain karena tingkat upah di China yang dinilai lebih rendah, penggunaan teknologi
produksi di negara-negara kawasan ASEAN dan China yang lebih baik, dan masih adanya kebijakan daerah di Indonesia yang dinilai tidak mendukung untuk
peningkatan daya saing industri.
Imbas dari meningkatnya persaingan diperkirakan hanya menyebabkan terjadinya penurunan omzet setiap bulannya rata-rata sebesar 10% setelah berlakunya
ACFTA4. Terjadinya penurunan omzet ini lebih dipengaruhi oleh meningkatnya
persaingan usaha terutama untuk produk-produk sejenis yang juga diproduksi oleh negara pesaing dagang di kawasan ASEAN dan China. Namun, kerangka perjanjian
perdagangan bebas regional ini secara umum memperluas potensi pasar yang memberi pengaruh positif bagi industri yang berorientasi ekspor. Dampak terjadinya
penurunan omzet usaha lebih dirasakan oleh industri yang memproduksi barang
8 9 0! 1 *2 23( & 4 - 5 :;; <
4 & & & - . /= ;>
- 8/ > /? => - . & @ / :>
, /8 <> , / /> / 8>.
- 23( 4 /==
19-* . 23(
setengah jadi dan berorientasi pasar domestik. Pada skala usaha yang lebih kecil dampak meningkatnya persaingan usaha menyebabkan pengurangan omzet rata-rata
hingga 17,9%. Berbagai produk impor sejenis yang masuk di pasar domestik, baik berupa bahan baku maupun barang konsumsi, dengan harga yang lebih kompetitif
ditengarai merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan omzet ini. Dilihat dari wilayah survei, responden di Jabalnustra lebih merasakan terjadinya
penurunan omzet sebagai imbas negatif dari penerapan ACFTA dibandingkan dengan wilayah lainnya. Namun, skala usaha industri di Jabalnustra yang relatif
lebih besar dan berorientasi ekspor maka potensi wilayah pemasaran yang lebih luas dapat lebih dimanfaatkan oleh sektor industri.
Tabel 10
Dampak ACFTA terhadap Sektor Industri
Omzet
1. Jenis Produk dibandingkan China/ASEAN
a. Sejenis -14,40
b. Tidak Sejenis -3,36
2. Orientasi Pemasaran
a. Ekspor -5,57
b. Domestik -11,52
3. Sumber Bahan Baku
a. Impor -11,45
b. Domestik -9,78
4. Jenis Output Produk
a. Setengah Jadi -11,13
b. Jadi -10,00
5. Skala Usaha
a. Mikro -17,91
b. Kecil -10,62
c. Menengah -8,97
d. Besar 0,77
TOTAL -10,15
Perubahan Karakteristik Industri
Pengurangan jumlah Tenaga Kerja (TK) sebagai implikasi dari penerapan ACFTA
relatif kecil yaitu berkisar -1,84% sejak mulai berlakunya ACFTA5. Pengurangan
tenaga kerja merupakan salah satu respons yang dilakukan pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi ditengah meningkatnya iklim persaingan usaha.
Pelaku usaha yang bergerak di sektor industri melakukan pengurangan penggunaan jumlah tenaga kerja lebih besar (-4,22%) dibanding sektor pertanian (-0,86%) dan
perdagangan (-0,71%). Dilihat dari jenis produk yang dihasilkan, penurunan tenaga kerja yang lebih besar terjadi pada sektor usaha yang memproduksi barang setengah
jadi (5,64%). Skala usaha yang lebih kecil juga turut melakukan pengurangan yang lebih besar (-3,49%). Berdasarkan wilayah, responden di Jakarta dan Jabalnustra yang
merupakan basis industri relatif mengalami pengurangan jumlah tenaga kerja yang
lebih besar. Pengurangan tenaga kerja ini merupakan salah satu langkah efisiensi
yang dilakukan oleh sektor usaha dalam menghadapi tekanan persaingan yang lebih besar. Hasil survey menunjukkan responden cenderung memilih pengurangan
tenaga kerja sebagai pilihan terakhir dalam melakukan efisiensi. Mayoritas responden masih memiliki keyakinan bahwa sejalan dengan membaiknya prospek
permintaan dan penyesuaian terhadap lingkungan persaingan usaha yang meningkat dapat dilakukan, penggunaan tenaga kerja dalam proses produksi akan kembali
meningkat.
Tabel 11
Dampak ACFTA terhadap Sektor Industri
1. Sektor Usaha
a. Pertanian -0.86
b. Industri -4.22
c. Perdagangan -0.71
2. Jenis Output Produk
a. Mentah -0.19
b. Setengah Jadi -5.64
c. Jadi -1.59
3. Skala Usaha
a. Mikro -3.49
b. Kecil -1.35
c. Menengah -1.47
d. Besar -0.15
4. Wilayah
a. Sumatra -2.16
b. Jakarta -3.63
c. Jabalnustra -1.93
d. Kali-Sulampua -0.64
TOTAL -1.84
Klasifikasi Perubahan Tenaga Kerja
B. Perkembangan Pembangunan Proyek Infrastruktur di Daerah
Prospek perkembangan ekonomi disertai membaiknya pandangan internasional terhadap iklim investasi di Indonesia menjadi momentum untuk mendorong
pembangunan ekonomi nasional. Namun, ketersediaan infrastruktur penunjang
khususnya sarana jalan dan energi listrik menjadi faktor risiko yang dapat menghambat perkembangan investasi. Kondisi infrastruktur yang masih rendah
terutama di luar Jawa berpotensi mendorong investasi baru lebih terkonsentrasi di daerah yang relatif memiliki ketersediaan sarana penunjang yang lebih baik.
Ketersediaan sarana jalan yang belum memadai antara lain terlihat dari rasio antara panjang jalan dan luas wilayah yang masih rendah, terutama di Kalimantan dan
Grafik 44
Rasio Panjang Jalan Terhadap Luas Wilayah
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Pusat Statistik (diolah)
Tabel 12
Rasio Elektrifikasi Provinsi6
Sumber: PLN
Komitmen pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur masih
terkendala berbagai hambatan. Kebijakan pemerintah untuk menjamin ketersediaan
energi dan meningkatkan konektivitas antar daerah antara lain dilakukan melalui
kebijakan percepatan pembangunan listrik 10.000 MW dan program peningkatan pembangunan sarana jalan. Dalam perkembangannya, penyelesaian pembangunan
proyek listrik 10.000 MW tahap I mengalami beberapa kendala antara lain masalah ketersediaan transmisi, ijin AMDAL, dan pasokan gas. Kondisi ini menyebabkan
pembangunan pembangkit listrik baru dalam proyek 10.000 MW Tahap I diperkirakan mengalami keterlambatan. Langkah kebijakan pemerintah untuk
mengatasi berbagai hambatan tersebut seperti melalui pembangunan LNG receiving
terminal di Sumut dan Jabar dan mendorong pola kerjasama PPP (Public Private
Partnership) diharapkan dapat mempercepat penyediaan energi listrik di berbagai
daerah.
Grafik 45
Target Penyelesaian Proyek 10.000 MW Tahap I
Grafik 46
Progress Pembangunan Fisik Proyek 10.000MW Tahap I
Sementara itu, pembangunan jalan terkendala oleh proses pembebasan lahan.
Pada proyek pembangunan trans Jawa sepanjang 1.340 km, kendala pembebasan lahan menyebabkan hanya satu ruas jalan yang sudah beroperasi (Kanci-Pejagan),
2000 2008 2000 2008 2000 2008 2000 2008
Sumatera Jabalnustra Kalimantan Sulampua
% No. Provinsi Rasio Elektrifikasi
1 Jakarta 100,00%
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Target Awal Perkembangan s.d. Tw I 2010
MW
Sumatera Jawa Balnustra Kalimantan Sulampua
%
dan tiga ruas jalan tol yang memasuki tahap konstruksi. Penyelesaian RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum pada Desember 2010 yang merupakan
integrasi dari berbagai ketentuan sebelumnya diyakini dapat mengatasi permasalahan pengadaan tanah ini dan mendorong percepatan pembangunan sarana
jalan.
Grafik 47
Progress Pembebasan Lahan Jalan Trans – Jawa (Mei 2010)
Non Tol (km) Tol (km) Luas (Ha) %
1 Cikopo-Palimanan 145 116,0 513,6 57,9 2 Kanci-Pejagan 38 38,3 248,2 100,0 3 Pejagan-Pemalang 54 57,5 72,8 19,2 4 Pemalang-Batang 36 39,0 5,2 2,2 5 Batang-Semarang 74 75,0 22,2 4,6 6 Semarang-Solo 78 75,9 129,4 16,3 7 Solo-Mantingan 43 55,0 97,1 26,3 8 Mantingan-Ngawi-Kertosono 119 123,7 147,4 19,8 9 Kertosono-Mojokerto 41 40,5 123,0 40,6 10 Mojokerto-Surabaya 55 37,0 77,9 25,1
683
657,8 1.436,8 30,2 Panjang Jalan Progres Tanah
No Nama Ruas Jalan
Jumlah
IV. TANTANGAN DAN KEBIJAKAN KE DEPAN
1. Kinerja ekonomi daerah pada Tw II 2010 berada dalam arah yang membaik, sehingga secara umum menguatkan perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,0%.
2. Konsumsi daerah masih kuat yang didukung oleh peningkatan realisasi belanja Pemda pada awal tahun terutama di Jabalnustra dan Jakarta. Hal ini didorong oleh percepatan pengesahan APBD dan menguatnya komitmen kepala daerah terhadap pencapaian target realisasi anggaran. Oleh karena itu, komitmen pimpinan daerah merupakan faktor kunci untuk pencapaian target realisasi anggaran yang sudah dimulai sejak awal.
4. Tekanan inflasi daerah mengalami peningkatan bersumber dari tekanan volatile food, khususnya untuk bumbu-bumbuan dan sayuran akibat pengaruh cuaca di sentra produksi. Terkait hal itu, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu lebih fokus pada upaya mengatasi permasalahan ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi bahan makanan, serta menekan dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
5. Penerapan ACFTA diperkirakan memiliki dampak negatif yang minimal