I. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang pertanian
memiliki tantangan untuk dapat meningkatkan mutu kehidupan rakyatnya melalui pengelolaan
ketahanan hayati baik yang bersifat lintas batas wilayah maupun yang bersifat internal batas
wilayah.
Dalam konteks pengelolaan ketahanan hayati lintas batas wilayah maka persoalan terkait adalah
kebijakan dan implementasi yang tepat bagi efektifitas pengelolaan proses ketahanan hayati yang
berlanjut di tahapan pre-border, border, dan post-border. Sedangkan dalam konteks pengelolaan
ketahanan hayati di lingkungan internal wilayah, maka persoalan penting yang dihadapi adalah
perumusan kebijakan yang tepat dan implementasi yang benar.
Makalah ini akan mendiskusikan kaitan pengelolaan biosecurity atau ketahanan hayati di
Indonesia dalam konteks otonomi daerah. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi
bagi diskusi baik mengenai pengelolaan biosecurity maupun pengelolaan otonomi daerah.
Paper ini merupakan satu usaha abstraksi dari hasil penelitian penulis yang dilakukan sejak tahun
2008 di provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, untuk menjawab
pertanyaan penelitian utama disertasi penulis yaitu: How can international, national, and local
policy frameworks engage with local knowledge to create a new development paradigm?
Meskipun makalah ini tidak menjelaskan secara spesifik kasus-kasus yang diteliti (yang mana
penjelasan secara spesifik ada di dalam disertasi yang sedang dalam tahap penulisan), tetapi basis
penelitiannya dilakukan terhadap sejumlah kasus, menggunakan wawancara intensif, dan juga
melakukan analisis mendalam terhadap bahan-bahan tertulis. Basis data bagi penelitian ini lahir
dari 122 wawancara, 18 observasi, 202 dokumen, and 13 media atau database, yang berasal dari
II. Makna biosecurity atau ketahanan hayati berdasarkan kerangka kebijakan. Pemaknaan terhadap biosecurity atau ketahanan hayati dapat dipahami dalam kerangka
internasional, nasional, dan lokal. Konfigurasi kerangka kebijakan publik yang diacu akan
berpengaruh dengan lapisan yang jamak, baik pada kebijakan lapis internasional, nasional,
maupun lokal, sehingga menghadirkan pokok persoalan akan interaksi berbagai lapisan
kebijakan ini bagi efektifitas pengelolaan ketahanan hayati di tingkat lokal. Pembahasan berikut
ini akan memotret kebijakan ketahanan hayati pada aras internasional dan nasional, sedangkan
pembahasan pada aras lokal tidak dilakukan mengingat implementasi kebijakan pada tingkat
lokal masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan nasional.
II.1. Kerangka kebijakan internasional tentang biosecurity.
Ada sejumlah organisasi internaional yang mengadministrasikan dan mempromosikan berbagai
instrumen internasional mengenai ketahanan hayati atau biosecurity. Khususnya adalah: FAO (Food and Agriculture Organization) dalam sektor pangan dan pertanian, WHO (World Health Organization) dalam sektor kesehatan,
UNEP (United Nations for Environmental Protection) dalam sektor lingkungan hidup, International Plant Protection Convention (IPPC) dalam bidang perlindungan tanaman, World Organization for Animal Health (OIE) dalam bidang kesehatan hewan,
Codex Alimentarius dalam bidang keamanan pangan,
UN Convention on Biodiversity (UN-CBD) dalam bidang keanekaragaman hayati atau biodiversity, dan
Berbagai inisiatif NGO pada aras internasional yang mempengaruhi penyusunan kebijakan dari organisasi internasional.
Food and Agriculture Organisation (FAO) mendefinisikan ketahanan hayati atau biosecurity sebagai: “a strategic and integrated approach that encompasses the policy and regulatory
human, animal and plant life and health, and associated risks to the environment” (FAO 2007). Menurut Goldson et al, definisi ini memperluas cakupan konsep ketahanan hayati untuk
menyertakan “food safety, zoonoses, the introduction of animal and plant diseases and pests, the
introduction and release of living modified organisms (LMOs) (e.g., genetically modified organisms (GMOs)) and their products, and the introduction and management of alien species” (Goldson, Frampton, & Ridley, 2010, hal. 241- 242).
Di antara berbagai instrumen tersebut, yang terpenting adalah International Plant Protection
Convention (IPPC) untuk ketahanan hayati tanaman, OIE (World Organization for Animal Health) untuk ketahanan hayati binatang, dan Codex alimentarius untuk keamanan pangan. Tiga kerangka kebijakan tersebut berfungsi sebagai standar legislasi internasional dalam bidangnya
masing-masing.
Ketahanan hayati juga telah menjadi bagian dari masalah perdagangan, mengingat
pengaturannya akan turut mempengaruhi perekonomian negara dan perdagangan internaional.
Oleh sebab itu negara-negara anggota WTO juga menyusun kerangka aturan terkait, khususnya
yang berkaitan dengan Sanitary dan Phytosanitary yang tertuang di dalam Sanitary and
Phytosanitary agreement (SPS agreement) dari WTO. SPS Agreement berkaitan dengan
implementasi regulasi dalam menangani masalah phytosanitary, keamanan makanan, dan sanitasi
ternak. Jika pada beberapa waktu lalu pemerintah Australia sempat menghentikan impor sapi ke
Indonesia (berkaitan dengan cara penyembelihannya), maka hal tersebut terkait dengan
ketentuan hukum di Australia mengenai kesehatan ternak.
Dalam kaitan dengan kesejahteraan rakyat, adalah penting untuk memperhatikan juga instrumen
Codex alimentarius yang berisi kumpulan standar, kode perilaku, rekomendasi, dan petunjuk keamanan makanan global. Menurut FAO dan WTO: “Codex standards have become the
Berdasarkan SPS Agreement, negara anggota berhak untuk mengambil langkah-langkah yang
perlu untuk menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi oleh rakyatnya dan mencegah
penyebaran hama dan penyakit dari makanan ataupun ternak. Regulasi sanitary dan
phytosanitary mensyaratkan asal pangan dari daerah yang bebas penyakit, ada pengawasan produk, membatasi penggunaan pestisida atau zat tambahan lainnya di dalam makanan
sebagaimana yang telah diatur oleh WTO. Ketentuan ini terkait dengan Cartagena Protocol on
Biosafety atau Biosafety Protocol yang memberikan legitimasi internasional bagi negara peserta untuk mengatur masalah GMO (Nielsen dan Anderson 2000 hal 8). Cartagena Protocol on
Biosafety memberi peluang bagi negara anggota untuk meregulasi ataupun melarang pelepasan
GMO untuk mencegah potensi bahaya, meskipun belum ada kepastian secara saintifik (Zerbe
2003, hal. 12 footnote no. 19). Pendekatan ini merupakan bentuk “precautionary principle”
(prinsip kehati-hatian) atau yang disebut juga “better safe than sorry” (Nielsen dan Anderson
hal. 8) dan menurut Zerbe merupakan oposisi secara langsung terhadap pengaturan WTO yang
mengijinkan negara melakukan tindakan berdasarkan bukti-bukti saintifik pada tingkatan yang
beresiko (Zerbe, hal. 12 footnote no. 19).
II.2.Instrumen Nasional mengenai ketahanan hayati atau biosecurity.
Dalam konteks kebijakan nasional, perlu dipahami bahwa berdasarkan berbagai referensi yang
tersedia, pengelolaan ketahanan hayati dimaksudkan untuk melindungi tanaman, ternak, manusia
dan lingkungan hidup di dalam suatu wilayah dari gangguan hama, penyakit, spesies invasif
maupun organisme lain yang berasal dari luar wilayah tersebut (bandingkan: Oszaer 2010 hal.
3-5). Dalam pemahaman demikian, konteks perbatasan menjadi penting sehingga ada suatu proses
berlanjut (biosecurity continuum) yang berlaku di sini yaitu Pre-border biosecurity (penelitian
dan identifikasi), Border biosecurity (pengawasan dan penindakan), dan Post-Border biosecurity
(deteksi dan pengendalian) (lihat: Oszaer 2010 hal. 8-10).
Penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan, bahwa di Indonesia pengelolaan ketahanan
hayati sering dimengerti hanya sebagai pengendalian hama dan penyakit tanaman atau juga
menjadi terabaikan dan masyarakat yang menjadi korban akibat kualitas hidup yang mengalami
degradasi. Bagian berikut ini akan berisi tinjauan untuk menunjukkan bahwa sebenarnya ada
kerangka kebijakan ketahanan hayati di Indonesia, namun kurang diinformasikan secara
integratif kepada masyarakat dan lebih sering didekati secara parsial.
Masalah lain yang dihadapi Indonesia, adalah belum adanya satu definisi yang otoritatif
mengenai ketahanan hayati atau biosecurity di Indonesia. Pemahaman mengenai biosecurity
pada tingkat nasional mencakup pengertian yang luas dan meliputi bidang-bidang sebagai
berikut (Iwantoro 2007 hal. 3). Ini adalah suatu interpretasi yang berlaku di lingkungan badan
karantina pertanian:
Hama dan penyakit karantina.
Serangan spesies asing atau Invasive Alien Species (IAS); Bioterorisme;
Genetically Modified Organisms (GMOs) atau Living Modified Organisms (LMOs);
Penyelundupan sumberdaya genetik.
Beberapa kebijakan kunci terkait dapat dijelaskan berikut ini:
a. Sanitary (Ternak dan produk dari ternak).
Legislasi untuk sektor ini adalah UU No 16 tahun 1992 tentang Karantina tanaman, ikan, dan
binatang yang dikoordinir pelaksanaannya oleh Badan Karantina Pertanian Indonesia dan Komisi
Perlindungan Tanaman. Ini merupakan pelaksanaan dari International Plant Protection
Convention (IPPC).
b. Phytosanitary (Tanaman dan produk tanaman).
Legislasi terkait dalam bidang ini adalah juga UU No 16 tahun 1992 tentang Karantina tanaman,
ikan, dan binatang, selain itu berkaitan pula dengan UU no 12 tahun 1992 tentang Sistem
budidaya pertanian.
Pelaksanaan standar keamanan makanan ini bersumber dari UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan
yang menyediakan kebijakan nasional bagi keamanan makanan. Legislasi ini melarang peredaran
makanan yang mengandung bahan berbahaya atau beracun, termasuk bahan makanan terpolusi
(Wawancara, 2008). Berbagai peraturan teknis kemudian dibuat oleh lembaga terkait untuk
melaksanakan peraturan ini termasuk ketentuan sertifikasi.
Pelaksanaan berbagai ketentuan perundang-undangan di atas sebagian besar dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga pada tingkat pusat/kementerian. Hal ini sendiri telah melahirkan masalah
koordinasi, termasuk kepentingan yang saling bersaing sehingga bisa melahirkan stagnasi dalam
penyusunan dan implementasi kebijakan (wawancara, 2009).
d. Genetically modified organism (GMO).
Kebijakan yang relevan dengan produk GMO lintas batas negara adalah (Untung 2007 hal. 24)
UU no 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi UN Convention on Biodiversity, UU no 21 tahun 2004
tentang Ratifikasi Cartagena Protocol on Biosafety on the Convention on Biological Diversity,
dan Peraturan pemerintah tentang produk GMO.
Pelaksanaan dari ketentuan ini masih menjadi perdebatan publik ketika produk GMO
diperkenalkan di Indonesia, sehingga produk GMO sempat dihentikan oleh kementerian
pertanian akibat tekanan publik, namun pada saat ini kembali berjalan melalui operasi
perusahaan multinasional yang bekerjasama dengan perusahaan lokal (wawancara 2009-2010).
e. Sistem budidaya pertanian.
Kebijakan lain yang masih memiliki hubungan dengan biosecurity adalah budidaya pertanian.
Landasan pengaturannya adalah pada UU no 12 tahun 1992, berdasarkan ketentuan ini maka
kebijakan teknis perlindungan tanaman diatur selanjutnya.
Menurut pendapat profesor Kasumbogo Untung (2007 dan 2008), paling tidak ada enam
tantangan yang perlu dijawab oleh Indonesia, yaitu:
Kurangnya jumlah tenaga lapangan untuk melayani wilayah Indonesia yang sangat luas, baik untuk karantina maupun penyuluh pertanian.
Terbatasnya kualitas sumber daya manusia. Jumlah tenaga yang ada juga ternyata terbatas yang memiliki kualifikasi keahlian terkait.
Sangat terbatasnya jumlah laboratorium karantina.
Kurangnya pemahaman ketahanan hayati kepada para pemangku kepentingan (khususnya terhadap para produsen dan konsumen produk pertanian)
Egoisme sektoral yang masih kuat sehingga menyulitkan koordinasi antar kementerian atau antar wilayah, serta egoisme disiplin ilmu yang menghambat perkembangan
penelitian di bidang ini.
Lemahnya dukungan politik bagi program biosecurity termasuk pengendalian pestisida.
Berbagai persoalan di atas merupakan alasan perlunya satu paradigma baru untuk membangun
ketahanan hayati di Indonesia yang mengintegrasikan kebijakan dan strategi dari pemerintah
sampai ke komunitas akar rumput. Integrasi semacam itu akan mengintegrasikan juga masalah
biosecurity atau ketahanan hayati ini dengan masalah keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, keamanan pangan, dan pengelolaan perbatasan.
Selain itu, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa terhadap hambatan bagi pemerintah pusat
untuk melaksanakan kebijakan dan strategi pengelolaan ketahanan hayati. Dalam kondisi
demikian, peran dari komunitas dan pengetahuan lokal-lah yang seharusnya lebih berperan dan
tentunya otonomi daerah atau desentralisasi menjadi penting.
III. Problematika demokrasi, desentralisasi, dan biosecurity di Indonesia.
Sebagai negara demokrasi berpenduduk ketiga terbesar di dunia (Mietzner dan Aspinall 2010
hal. 1), proses demokratisasi di Indonesia berjalan melalui beberapa jalur antara lain pelaksanaan
demokrasi yang diperkuat dengan berkembangnya otonomi daerah. Proses otonomi daerah yang
terjadi di Indonesia berlangsung secara sangat masif dan mempengaruhi berbagai sendi
kehidupan masyarakat, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa.
Perkembangan otonomi daerah atau desentralisasi berlangsung sedemikian luasnya sehingga
proses yang terjadi di Indonesia dipandang sebagai salah satu dari program desentralisasi
terbesar di dunia yang bahkan telah meningkatkan ranking hak-hak politik dan kebebasan sipil
Indonesia versi Freedom House – terlepas dari apakah kita setuju ataupun tidak – dari tingkat
'partly free' pada pasca-1998 menjadi tingkat 'free' pada tahun 2005 dan selanjutnya (Mietzner
dan Aspinall 2010 hal. 4).
Demokrasi dan kebebasan (freedom) memang memiliki korelasi, meskipun sebagaimana
dikemukakan Diamond bahwa kualitas demokrasi itu juga terkait dengan persoalan
kepemerintahan (governance) dan dalam kaitan ini ternyata masih banyak negara yang meskipun
dianggap demokratis tetapi bermasalah jika dihadapkan dengan Governance Index yang disusun
Bank Dunia (Diamond 2010 h. 25). Studi yang dilakukan Diamond menunjukkan bahwa
kualitas dari demokrasi di Indonesia dalam hal kualitas negara (State quality: average
government effectiveness and regulatory quality) masih perlu ditingkatkan lagi agar bisa bersaing dengan Thailand, Filipina, India, dll (Diamond 2010 hal. 33).
Hal lain yang masih menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia sebagaimana telah menjadi
pengetahuan publik, dan muncul dalam studi Diamond yang berdasarkan data Freedom House,
Bank Dunia, dll, adalah masalah Rule of Law dan Penanganan korupsi. Kedua hal tersebut tidak
akan dibahas di dalam makalah ini semata-mata karena kepentingan fokus pembahasan dari
makalah ini.
Governance index yang disebutkan di atas adalah World Bank’s Worldwide Governance
Voice and accountability: citizen participation, independent media.
Political stability and absence of violence: threat of state coup.
Government effectiveness: quality of civil service.
Regulatory quality: “market-unfriendly” policies.
Rule of law: perceptions of crime, effective judiciary, enforceable contracts.
Control of corruption: perceptions of corruption.
Desentralisasi melalui otonomi daerah adalah elemen penting bagi demokrasi lokal untuk
meningkatkan efektifitas pemerintahan di tingkat lokal. Undang-undang no 22 tahun 1999
sendiri telah menekankan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya partisipasi sosial, equity dan
keadilan, serta menekankan potensi lokal serta diversitas (lihat: Fox, Adhuri et al. 2005 hal.
92). Studi Fox et al mencatat bahwa berbagai bagian dari Undang-undang no 22 tahun 1999
menekankan pentingnya “prakarsa sendiri,” yang kemudian dimanfaatkan secara berlebihan oleh
daerah bagi tujuan jangka pendek semata (Fox, Adhuri et al. 2005 hal. 92-93). Namun ini adalah
bagian dari masalah yang muncul dari pelaksanaan Undang-undang no 22 tahun 1999 yang
kemudian direvisi oleh Undang-undang no 32 tahun 2004 dalam beberapa bagiannya yang cukup
memberikan kejelasan mengenai pembagian kewenangan provinsi dan kabupaten/kota, akan
tetapi persoalan yang masih kurang jelas adalah relasi vertikal antar pemerintah pusat dan daerah
karena lebih menekankan kewenangan tetapi tidak memperjelas relasi selain dengan perumusan
bahwa hubungan tersebut bersifat kemitraan (Patlis 2005 hal 234-235).
Mengapa otonomi daerah atau desentralisasi menjadi penting bagi pengelolaan ketahanan hayati
atau biosecurity di Indonesia? Ada beberapa alasan menurut penulis yang dipaparkan berikut ini.
Otonomi daerah merupakan salah satu wujud demokrasi dan semestinya memberi ruang
partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa ruang
partisipasi masih sangat artifisial karena terbatas hanya melalui mekanisme pemilihan kepala
daerah, sedangkan perencanaan pembangunan melalui Musrenbang tidak berjalan secara efektif
Pengelolaan ketahanan hayati atau biosecurity selama ini ditangani lewat pendekatan yang
terlalu sentralistik. Pendekatan secara regional dan lokal merupakan tantangan yang perlu
dijawab oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah. Persoalannya adalah pendekatan tersebut
akan mensyaratkan stabilitas struktur organisasi pemerintah (tidak mudah berubah meskipun
terjadi perubahan kepala daerah dan DPRD), serta membutuhkan kualitas sumber daya manusia
yang berkompeten dan berdedikasi. Selama proses rekrutmen pegawai negeri sipil di tingkat
daerah belum menggunakan pendekatan kompetensi dan dedikasi (dan hanya menggunakan
rekrutmen massal seperti sekarang), maka harapan ini masih terasa jauh.
Pemerintah daerah diasumsikan memiliki pemahaman yang mendalam akan kebutuhan
daerahnya, namun kenyataan menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan dan implementasi
kebijakan di tingkat daerah kurang didasarkan pada hasil riset yang mendalam dan berkualitas
baik. Praktek-praktek copy-paste rencana pembangunan dari tahun sebelumnya masih terjadi dan
hal ini berbahaya karena selain tidak mencerminkan dedikasi pemerintah tetapi juga bermoral
koruptif.
Proses otonomi daerah belum berjalan dengan baik sehingga beresiko menimbulkan dampak
negatif secara biosecurity sehingga perlu diperbaiki. Penempatan personalia dan rotasi
personalia ternyata belum didasarkan pada keahlian, melainkan hanya semata berdasarkan
jumlah orang yang tersedia tanpa kualifikasi keahlian. Penyusunan organisasi dan tata kerja pada
pemerintah daerah tidak cukup fleksibel untuk mengakomodir berbagai nomenklatur baru yang
belum terwadahi di dalam aturan yang ada. Sebagai contoh, semakin menguatnya kebutuhan
untuk merespons persoalan-persoalan di sekitar masalah biodiversity dan biosecurity (yang
bersifat lintas sektoral) ternyata belum akan terwadahi di dalam struktur pemerintah daerah
akibat dari terbatasnya struktur organisasi itu sendiri, sedangkan intervensi dari pusat tidaklah
Penyebaran pemahaman akan ketahanan hayati memerlukan koordinasi dan kerjasama antar
lembaga di pusat dan daerah. Dalam konteks biosecurity atau ketahanan hayati, hal ini
merupakan masalah yang penting, mengingat bahwa kebijakan pengelolaannya didasarkan pada
berbagai instrumen aturan di tingkat internasional dan nasional, sementara pada tingkat lokal
masih belum jelas pengaturannya.
Perubahan struktur kerja dan organisasi pemerintahan daerah saja tanpa penguatan terhadap
fungsi pelayanan di masing- masing sektor ternyata justru bisa melemahkan pengelolaan
perlindungan ketahanan hayati, termasuk berdampak negatif terhadap penguatan pengetahuan
lokal. Sebagai contoh, seiring dengan berlakunya otonomi daerah, maka sebagian besar pegawai
perbantuan pusat yang ada di tingkat daerah beralih menjadi pegawai negeri yang berinduk
kepada pemerintah daerah. Para pegawai dengan spesialisasi tugas tertentu yang sebelumnya
berinduk kepada pemerintah pusat beralih ke daerah, misalnya tenaga penyuluh pertanian
(extension officer). Persoalan yang muncul ialah para pegawai tersebut kemudian harus
ditempatkan di dalam struktur organisasi pemerintah daerah setempat yang cukup terbatas
sedangkan formasi tugas awalnya telah berubah, sehingga pada akhirnya cukup banyak dari
mereka yang disebar kedalam berbagai dinas yang baru dibentuk hanya berdasarkan kualifikasi
pendidikan sedangkan keahliannya dalam program penyuluhan pertanian menjadi terabaikan.
Akibat dari kondisi ini maka di berbagai tempat (wilayah penelitian penulis) terjadi kelangkaan
tenaga yang akhirnya berdampak kepada munculnya persoalan-persoalan pengelolaan ketahanan
hayati yang tidak mampu diatasi. Di provinsi Papua sebagai contoh, hanya sekitar 30 persen desa
yang bisa dijangkau secara penuh oleh program penyuluhan pertanian, sedangkan 70 persen
sisanya terjangkau secara seadanya atau tidak terjangkau sama sekali, akibatnya banyak
kampung yang tidak terjangkau program khusus dari kementerian terkait.
Penelitian yang dilakukan penulis bekerjasama dengan salah satu pemerintah provinsi juga
menunjukkan bahwa seiring dengan otonomi daerah, beberapa lembaga teknis vertikal yang
kabupaten dan mengalami keterbatasan pendanaan akibat skala prioritas yang berbeda. Itu
sebabnya program mereka juga tidak dapat berjalan dengan baik bahkan sekadar untuk
melakukan program koordinasi tingkat provinsi sekalipun.
Kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan juga menambah kompleksitas
masalah dan menghadirkan tantangan lebih besar bagi pemerintah dalam menjawab masalah
pengelolaan ketahanan hayati. Sebagai contoh, pengelolaan ketahanan hayati pintu masuk barang
dan manusia di setiap pulau sebagai wilayah karantina menjadi tidak terjangkau oleh pemerintah
akibat keterbatasan jumlah serta kualifikasi keahlian tenaga karantina dan keterbatasan sarana
pendukung.
Kombinasi dari berbagai masalah di atas menunjuk pada persoalan trust (kepercayaan) dan
partisipasi. Tidak efektifnya suatu pemerintahan dalam mengurus dan melayani masyarakat
dapat memunculkan kerentanan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Untuk mencari solusi,
dibutuhkan kepercayaan (trust). Menurut Yang, trust adalah ‘a psychological state that enables
individuals to accept vulnerability and place their welfare in the hands of other parties,
expecting positive intentions or behaviors from other parties’ (Yang 2006 hal. 574). Berdasarkan definisi Yang tersebut, sebuah solusi yang efektif adalah solusi yang mensejahterakan terhadap
kelompok sasaran dari solusi tersebut yang disediakan oleh pemegang kekuasaan, dalam hal ini
pemerintah daerah (dalam konteks otonomi daerah). Adalah dalam hubungan ini maka partisipasi
menjadi masalah penting karena dibutuhkan dua pihak atau lebih untuk membangun kepercayaan
yang kokoh.
Partisipasi adalah bagian dari governance dan bekerja melalui kepercayaan. Partisipasi
merupakan titik temu antara governance, human security (termasuk environmental security),
legitimasi, dan kepercayaan. Masalahnya adalah pada keterbatasan sumberdaya pemerintah
untuk mengejar proses pembangunan yang partisipatif. Pada titik inilah kuncinya terletak pada
kemauan politik untuk berubah dalam rangka menciptakan sistem pemerintahan baik pusat
IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut:
1. Indonesia memiliki tantangan untuk dapat meningkatkan mutu kehidupan rakyatnya melalui
pengelolaan ketahanan hayati baik yang bersifat lintas batas wilayah maupun yang bersifat
internal batas wilayah.
2. Dalam konteks pengelolaan ketahanan hayati lintas batas wilayah maka persoalan yang
muncul terkait dengan kebijakan dan implementasi yang tepat bagi efektifitas pengelolaan dalam
kontinuum di tahap post-border, border, dan pre-border.
3. Dalam konteks pengelolaan ketahanan hayati di lingkungan internal wilayah, persoalan
penting yang dihadapi adalah perumusan kebijakan yang tepat dan implementasi yang benar.
4. Otonomi daerah merupakan salah satu wujud demokrasi dan semestinya memberi ruang
partisipasi yang lebih besar bagi masyarakat.
5. Pengelolaan ketahanan hayati atau biosecurity perlu ditangani melalui pendekatan regional
dan lokal oleh pemerintah daerah. Hal ini mensyaratkan stabilitas struktur organisasi pemerintah,
serta membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang berkompeten dan berdedikasi.
6. Pemerintah daerah perlu mendasarkan diri pada hasil riset yang mendalam dan berkualitas
dalam menyusun perencanaan pembangunan dan implementasi kebijakan. Praktek-praktek
copy-paste rencana pembangunan yang masih terjadi mencerminkan dedikasi yang rendah dan mental koruptif.
7. Penyusunan organisasi dan tata kerja pada pemerintah daerah perlu lebih fleksibel untuk
mengakomodir berbagai nomenklatur baru yang belum terwadahi di dalam aturan yang ada,
khususnya untuk merespons persoalan-persoalan di sekitar masalah biodiversity dan biosecurity
(yang bersifat lintas sektoral).
8. Penyebaran pemahaman akan ketahanan hayati memerlukan koordinasi dan kerjasama antar
lembaga di pusat dan daerah. Mengingat kebijakan pengelolaannya didasarkan pada berbagai
instrumen aturan di tingkat internasional dan nasional, sementara pada tingkat lokal masih belum
9. Perubahan struktur kerja dan organisasi pemerintahan daerah saja tanpa penguatan terhadap
fungsi pelayanan di masing- masing sektor ternyata justru bisa melemahkan pengelolaan
perlindungan ketahanan hayati, termasuk berdampak negatif terhadap penguatan pengetahuan
lokal. Dampak terbesar dapat dilihat pada melemahnya program penyuluhan pertanian yang
melemah dalam aspek biosecurity.
10. Kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan juga menambah kompleksitas
masalah dan menghadirkan tantangan lebih besar bagi pemerintah dalam menjawab masalah
pengelolaan ketahanan hayati. Peningkatan kapasitas dan kualitas karantina menjadi satu agenda
penting.
11. Solusi yang efektif adalah solusi yang mensejahterakan terhadap kelompok sasaran dari
solusi tersebut yang disediakan oleh pemegang kekuasaan, dalam hal ini pemerintah daerah
(dalam konteks otonomi daerah).
12. Partisipasi bekerja melalui kepercayaan. Perlu ada kemauan politik untuk berubah dalam
rangka menciptakan sistem pemerintahan baik pusat maupun daerah yang berfungsi secara
efektif.
Daftar pustaka
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2005). Strategies of inquiry. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), The Sage handbook of qualitative research (3rd ed., pp. 375- 386). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications.
Diamond, L. (2010). Indonesia's places in global democracy. In E. Aspinall and M. Mietzner (Eds.), Problems of democratisation in Indonesia - Elections, institutions and society. Singapore, ISEAS Publishing: 21-49.
Ernawan, I.K.P., 2007, ‘Tracing the Progress of Local Governments since Decentralisation’, in R. H. Mc Leod and A. MacIntyre (eds.), Indonesia Democracy and the Promis of Good Governance, ISEAS Publishing, Singapore.
FAO-WTO. Understanding the Codex Alimentarius. Diunduh tanggal 10 Januari 2010 dari:
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/008/y7867e/y7867e00.pdf
FAO. (2007). FAO Biosecurity toolkit. Rome: Food and Agriculture Organisation.
Fox, J. J., D. S. Adhuri, et al. (2005). Unfinished edifice or Pandora's box? decentralisation and resource managemen in Indonesia. In B. P. Resosudarmo (Ed.), The politics and
Goldson, S. L., Frampton, E. R., & Ridley, G. S. (2010). The effects of legislation and policy in New Zealand and Australia on biosecurity and arthropod biological control research and development. Biological Control, 52(3), 241-244. doi: DOI:
10.1016/j.biocontrol.2009.03.006
Litaay, T., & Nendissa, J. I. (2010). Coastal area transformation and the need for management policy: Case study of recreational beach areas in Natsepa (Ambon island) and
Nemberala (Rote island). Paper presented at the International Symposium on Small Islands and Coral Reefs Management, Ambon, Indonesia.
Litaay, T. (2011). Policy and legal framework for managing biosecurity. In I. Falk, R. Wallace & M. Ndoen (Eds.), Managing biosecurity across borders. Dordrecht: Springer
International.
Litaay, T., Prananingrum, D. H., & Krisanto, Y. A. (2011). Indonesian legal perspectives on biotechnology and intellectual property rights. In S. Hongladarom (Ed.), Genomics and bioethics: Interdisciplinary perspectives, technologies and advancements (pp. 171-183). Hershey, New York: Medical Information Science Reference.
Mietzner, M. and E. Aspinall (2010). Problems of democratisation in Indonesia - an overview. In E. Aspinall and M. Mietzner (Eds.), Problems of democratisation in Indonesia -
Elections, institutions and society. Singapore, ISEAS Publishing: 1-20.
Nielsen, C. and K. Anderson (2000). GMOs, trade policy, and welfare in rich and poor countries. Adelaide, Centre for International Economic Studies - University of Adelaide.
Oszaer, R. (2010). Biosecurity - tantangan bersama bagi Indonesia-Australia. Australia-Indonesia seminar and workshop on small island biosecurity studies. Ambon, AusindoBiocom, Universitas Pattimura, dan Pemerintah Provinsi Maluku. Patlis, J. M. (2005). New legal initiatives for natural resource management in a changing
Indonesia: the promise, the fear and the unknown. In B. P. Resosudarmo (Ed.), The politics and economics of Indonesia's natural resource. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Peräkylä, A. (2005). Analyzing talk and text. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), The Sage handbook of qualitative research (3rd ed., pp. 869-886). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications.
Rodrik, D. (2008). Thinking about governance. Governance, growth and development decision-making. Washington DC, World Bank.
Untung, K. 2007, “Kebijakan Nasional Ketahanan Hayati,” in D. Louhenapessy, T. Litaay, J.F. da Costa, Y.A. Handoko (eds.), Biosecurity and Indigenous Knowledge – Workshop Proceeding, PSKTI UKSW, Salatiga.
Untung, K. 2008, ‘National Policy on Biological Diversity’, Community Management of Biosecurity, Special Co-Publication between Kritis-Journal of Interdisciplinary Development Studies (Indonesia) and Learning Communities-International Journal of Learning in Social Contexts (Australia), pp. 228-238.
Yang, K. (2006). Trust and citizen involvement decisions: Trust in citizens, trust in institutions, and propensity to trust. Administration & society, 38(5), 573-595.