PERAN K.H.A. WAHID HASYIM DALAM PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1949-1952 M)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh: Achmad Afandi NIM: A02211035
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian Agama (1949-1952 M)”. Dengan pokok-pokok permasalahannya sebagai berikut: 1) bagaimana biografi K.H.A. Wahid Hasyim ? 2) bagaimana latar belakang berdirinya kementerian agama ? dan 3) apakah peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam pengembangan kementerian agama (1949-1952 M).
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Data diperoleh melalui kajian pustaka (kualitatif) yakni dengan mencari data dari jurnal, arsip dan buku-buku. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif serta dengan teori behavioral dan patron-klien.
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sesuai dengan topik permasalahan. Pertama, K.H.A. Wahid Hasyim merupakan kyai yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional namun berpikiran modern dan maju. Kedua, Wahid Hasyim memperjuangkan berdirinya kementerian agama karena kepeduliannya kepada umat Islam, dilihat pada masa penjajahan Belanda urusan agama tidak memiliki tempat tersendiri sehingga tidak tercover dengan baik, pada masa Jepang dibentuklah kantor urusan agama (Shumubu) dengan diketuai K.H. Hasyim Asy‟ari yang pengendalinya ditangan Wahid Hasyim, serta pada masa kemerdekaan beliau ditunjuk menjadi menteri agama selama tiga periode. Jadi berdirinya kementerian agama merupakan keinginan semua umat Islam yang merupakan mayoritas warga negara dengan melihat realitas pada masa penjajahan yakni urusan agama tidak diprioritaskan sehingga sangat merugikan umat Islam. Ketiga, peran Wahid Hasyim dalam pengembangan kementerian agama sangat bermanfaat bagi umat Islam seperti, berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), adanya sekolah untuk Pendidikan Guru Agama (PGA), memanajemen perjalanan Haji dan lain sebagainya.
ABSTRACT
The title thesis is “K.H.A. Wahid Hasyim the Roles in Religion Ministry of Development (1949-1952 M) “. The research specifics formulate issues: 1) how K.H.A. Wahid Hasyim biography ? 2) how background founding a ministry of religion ? 3) what K.H.A. wahid Hasyim roles in religion ministry of development (1949-2952 M).
This research using historical approach. Data were obtained through the study of literature (qualitative) with search data in the jurnal, archive and some books. Furthermore, the data were analyzed using descriptive method then using behavioral and patron-client theory.
Results from this study can be concluded in accordance with the subject matter. First, K.H.A. Wahid Hasyim is the clerics who grew up in a traditional environment, but modern and forward-thinking. Secondly, Wahid Hasyim fight for the establishment of the ministry of religion because of concern for Muslims, seen in the Dutch colonial period religious affairs does not have its own place so it is not covered by either, at the time of Japan established the office of religious affairs (Shumubu) chaired by K.H Hasyim Asy'ari that the controller in the hands of Wahid Hasyim, as well as at the time of independence he became a minister of religion for three periods. So the establishment of religious ministry is the desire of all Muslims who are the majority of citizens to see the reality on the colonial period religious affairs are not prioritized so it is detrimental to Muslims. Third, Wahid Hasyim role in the development of religious ministry is very beneficial for Muslims such as, the establishment of the State Islamic University (PTAIN), the school for Teachers of Religious Education (PGA), managing Hajj and so forth.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ...xiii
BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 4
C.Tujuan Penelitian ... 4
D.Kegunaan Penelitian ...5
E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik ...6
F. Penelitian Terdahulu ...10
G.Metode Penelitian ... 12
BAB II: BIOGRAFI K.H.A. WAHID HASYIM
A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga ...18
B. Masa Perkembangan 1. Pendidikan ... 21
2. Riwayat Organisasi ... 23
3. Riwayat Keluarga ... 27
C. Karya-karya Beliau ...28
D. Akhir Hayat K.H.A. Wahid Hasyim ... 33
BAB III: LATAR BELAKANG BERDIRINYA KEMENTERIAN AGAMA DI INDONESIA A. Periodesasi Berdirinya KementerianAgama 1. Masa Jepang ...40
2. Masa Kemerdekaan ... 44
B. Sejarah Berdirinya Kementerian Agama ... 47
C. Kepemimpinan Kementerian Agama 1. Kepemimpinan H..M. Rasjidi, B.A ... 51
2. Kepemimpinan Prof. K.H. Fathurrahman Kafrawi ... 54
3. Kepemimpinan K.H. Masjkur ... 56
a. Bidang Pendidikan ... 58
b. Bidang Haji ... 58
c. Bidang Perkawinan ... 58
5. Kepemimpinan K.H.A. Wahid Hasyim ... 61
BAB IV: PERAN K.H.A. WAHID HASYIM DALAM PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1949-1952 M) A. Restrukturisasi Kementerian Agama ... 64
B. Mendirikan Jawatan Urusan Agama ...69
C. Mendirikan Peradilan Agama ...69
D. Pembaruan dalam Dunia Pendidikan ... 70
1. Mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ... 72
a. Sejarah Berdirinya ...73
2. Menyeimbangkan Ilmu Agama dan Umum ... 77
3. Pendidikan Guru Agama (PGA) ... 80
4. Memperbaiki Manajemen Haji ... 84
BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan ... 89
B.Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kalau pada masa penjajahan Belanda urusan agama ditangani berbagai
instansi atau kementerian, pada masa kemerdekaan masalah-masalah agama secara
resmi diurus satu lembaga yaitu Departemen Agama. Keberadaan Departemen
Agama dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia melalui proses panjang
sebagai bagian dari pemerintah negara Republik Indonesia. Departemen Agama
(awalnya bernama Kementerian Agama) didirikan pada 3 Januari 1946.1
Apabila pada zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang
masalah-masalah agama terutama Islam menjadi bagian dari pemerintahan penjajah, maka
wajar dan dapat dipahami jika umat Islam pada masa kemerdekaan menuntut
adanya lembaga yang secara khusus menangani masalah-masalah agama dalam
bentuk Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama pada 1946 pada awalnya memang untuk
memenuhi tuntutan sebagian besar umat Islam. Mereka merasa bahwa
permasalahan umat sangat banyak dan tidak efektif kalau ditangani berbagai
departemen, mereka meminta agar semua itu ditangani oleh satu departemen saja.
1Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Buku
2
Pemenuhan tuntutan tersebut jelas berkaitan juga dengan situasi dan kondisi bangsa
Indonesia saat itu. Umat Islam bisa dikatakan tengah kecewa karena aspirasi
mereka mengenai sistem pemerintahan yang disuarakan kalangan Islam dalam
BPUPKI dan PPKI tidak terpenuhi. Bahkan Piagam Jakarta yang merupakan hasil
minimal bagi umat Islam dan telah menjadi kesepakatan bersama diubah sehari
setelah kemerdekaan. Sementara di sisi lain, Belanda tengah mengancam
keberadaan pemerintahan yang baru lahir, sehingga membutuhkan dukungan dari
seluruh pihak, khususnya umat Islam yang mayoritas. Karena itulah tanpa
pembicaraan panjang, usul didirikannya Kementerian Agama ini langsung disetujui
Presiden Soekarno. Ini berarti, pada awalnya kementerian ini sebetulnya
dimaksudkan untuk mengurus umat Islam saja. Namun dalam perkembangan
berikutnya, kementerian juga mengurus umat non-Islam. Tentu saja, konsentrasi
utamanya tetap umat Islam, mengingat mereka adalah mayoritas warga negara
Indonesia.
Meski sudah disetujui Presiden, keberadaan kementerian ini tidak luput dari
kritik tajam dan bahkan tuntutan agar dibubarkan dengan berbagai alasan. Ketika
masa revolusi, tuntutan tersebut nyaris tidak terdengar karena semua pihak
disibukkan permasalahan yang lebih besar, yakni menghadapi Belanda. Namun,
ketika Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama, di mana negara sudah terbebas dari
3
diemban Wahid Hasyim adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa kementerian
ini penting dan sekaligus mempertahankan keberadaannya.2
Menurut Wahid Hasyim, dengan adanya Kementerian Agama, pemerintah
merasa wajib melayani keperluan rakyat tentang agama, dengan dasar pancasila.
Pemisahan agama dan negara, menurut Wahid Hasyim, hanya terjadi dalam teori.
Dalam kenyataannya, tak ada satu pun yang betul-betul mempraktekkan pemisahan
tersebut, kecuali negara ateis. Karena itu, meski penghapusan kementerian ini dapat
saja dilakukan, dan berbagai fungsinya dilaksanakan berbagai kementerian lain,
Wahid Hasyim mengingatkan bahwa hal itu akan menyinggung perasaan umat
Islam Indonesia.3
Sementara itu, terhadap keberatan kalangan non-Muslim bahwa
kementerian ini lebih banyak memperhatikan umat Islam, Wahid Hasyim
menunjukkan adanya fakta bahwa jumlah penganut Islam jauh lebih besar dari pada
non-Muslim. Jadi, wajar kalau Kementerian Agama memberikan perhatian lebih
besar kepada umat Islam. Tapi hal itu dilakukan bukan karena diskriminasi,
melainkan semata karena jumlah umat Islam sangat besar itu.4 Dari pernyataan
terakhir ini, Wahid Hasyim menegaskan bahwa Kementerian Agama bukanlah
kementerian bagi umat Islam saja, tapi bagi semua pemeluk agama.
Suatu penelitian tentunya mempunyai urgensi atau arti pentingnya
masing-masing, tidak terkecuali penelitian ini. Selain sebagai kajian dalam bidang
2Ibid., 873-875.
3Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam (Jakarta: Pesantren
Tebuireng, 2011), 78.
4
kesejarahan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel
Surabaya, penelitian ini juga nantinya akan didapatkan begitu besarnya pengaruh
pemikiran K.H.A. Wahid Hasyim bagi bangsa Indonesia selama menjabat sebagai
Menteri Agama, misalnya kita dapat melihat dari lahirnya Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN) yang di kemudian hari berkembang menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) sebagai lembaga pendidikan tinggi agama yang modern dan
pengajaran pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Selain kedua hal tersebut
tentu masih banyak kebijakan-kebijakan penting Wahid Hasyim dalam
Kementerian Agama.
Untuk membahas lebih dalam mengenai kehidupan dan peran K.H.A Wahid
Hasyim, perlu dikaji lebih mendalam dengan kemasan penelitian. Dari konsep
inilah penulis ingin mengungkap “ Peran K.H.A. Wahid Hayim dalam
Pengembangan Kementerian Agama (1949-1952 M).
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan Latar Belakang di atas mengenai Peran K.H.A. Wahid
Hasyim dalam Pengembangan Kementerian Agama (1945-1952 M) penulis
merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Biografi K.H.A. Wahid Hasyim ?
5
3. Apakah Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian
Agama (1949-1952 M) ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yang berjudul Peran K.H.A. Wahid Hasyim
Dalam Kementerian Agama (1945-1952 M) adalah:
1.Untuk mengetahui Biografi K.H.A. Wahid Hasyim.
2.Untuk mengetahui Latar Belakang Berdirinya Kementerian Agama.
3. Untuk mengetahui Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan
Kementerian Agama (1949-1952 M).
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan
Kementerian Agama pada tahun 1949-1952 M, masih belum begitu terekspos ke
publik, padahal tokoh ini sangat besar perannya dalam pengembangan Kementerian
Agama dari awal berdirinya. Demikian juga peninggalan dari pemikiran-pemikiran
ataupun karya-karya beliau, mampu memberikan manfaat atau angin segar bagi
6
Penelitian mengenai Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan
Kementerian Agama (1945-1952 M) diharapkan memberikan manfaat,
diantaranya:
1. Bagi penulis merupakan wadah untuk mengetahui lebih jauh tentang biografi
dan peran dari K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian
Agama (1949-1952 M).
2. Manfaat secara akademis atau teoritis dalam penelitian ini adalah untuk
Menambah khasanah keilmuan dalam bidang sejarah Islam di Indonesia
khususnya Fakultas ADAB UIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam (SKI) dan masyarakat peminat sejarah pada umumnya.
3. Secara praksis/idealis penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan jiwa
Nasionalisme pada masyarakat Indonesia.
4. Dapat dijadikan pijakan atau pertimbangan dalam mempelajari sejarah
khususnya pembahasan tentang sejarah Kementerian Agama di Indonesia yang
sampai saat ini eksistensinya dapat dirasakan.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Menurut Sartono Kartodirjo penggambaran kita mengenai suatu peristiwa
sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya,
7
sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang
dipakai.5
Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan. Pertama
pendekatan historis, yang menjelaskan tentang biografi tokoh K.H.A Wahid
Hasyim dan sejarah perkembangan Kementerian Agama di Indonesia.
Di dalam kajiannya studi kritis memperluas daerah pengkajiannya dengan
perlengkapan metodologis baru seperti pendekatan ilmu sosial. Sehingga
terbukalah kemungkinan untuk melakukan penyorotan aspek atau dimensi baru
dari berbagai gejala sejarah. Pada umumnya segi prosesual yang menjadi fokus
perhatian sejarawan dengan pendekatan ilmu sosial dapatlah berjalan dengan
kerangka struktural.6
Pembahasan ini menggunakan analisa deskriptif, mengungkap sejarah di
balik bidang ilmu pengetahuan tokoh selain sebagai seorang kyai serta negarawan,
K.H.A. Wahid Hasyim juga seorang intelektual yang gemar membaca serta menulis
dalam banyak bahasa.
K.H.A. Wahid Hasyim adalah seorang tokoh yang besar peranannya dalam
pengembangan Kementerian Agama, tokoh ini mempunyai jiwa nasionalisme yang
tinggi. Tokoh ini juga bergerak dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, politik,
sosial. Banyak peninggalan-peninggalan K.H.A. Wahid Hasyim yang bisa
dirasakan sampai sekarang ini, seperti adanya pelajaran ilmu umum di pesantren,
5Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993), 4.
8
berdirinya institusi perguruan tinggi negeri yang berbasis Islam, sistem haji di
Indonesia dan lain-lain. Sehingga dalam penelitian ini digunakan kerangka teori
behavioral,7yakni lebih ditekankan mengenai aktor yang memimpin suatu gerakan,
lembaga atau komunitas dan interpretasi terhadap situasi pada zamannya.
Pada sisi lain, penelitin ini juga menggunakan teori patron-klien,8 yang
menerangkan bahwa dalam hubungan interaksi sosial biasanya ditandai oleh
adanya proses pertukaran. Proses pertukaran ini yang dikenal dengan istilah teori
pertukaran,9 muncul karena individu mengharapkan ganjaran, baik ekstrinsik
maupun intrinsik. Namun demikian, dalam proses pertukaran itu ditandai pula oleh
penguasaan sumber daya yang tidak sama, hubungan-hubungan pribadi, dan asas
saling menguntungkan sehingga terjadi hubungan patron (superior) – klien
(inferior). Wujud patron-klien dapat berbentuk individu atau kelompok. Dalam
hubungan ini para klien mengakui patron-nya sebagai orang yang memiliki
kedudukan yang lebih kuat. Sedangkan kebutuhan klien dapat terpenuhi melalui
sumber daya langka yang dimiliki patron-nya.
Secara terperinci, Legg mengemukakan tiga syarat agar terjalin hubungan
antara Patron-Klien, yakni pertama, penguasaan sumber daya yang tidak sama,
kedua hubungan yang berifat khusus, pribadi dan mengandung kemesraan, ketiga
berdasarkan azas saling menguntungkan.
7Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 11. 8Safrudin B. Layn, “Patron Klien Dalam Perspective Sosiologi”, dalam
http://rudilayn.blogspot.com (02 Maret 2012).
9Safrudin Bustam Layn, “Dinamika Ikatan Patron Klien: Suatu Tinjauan Sosiologi”, dalam
9
Dalam pengembangannya pada penelitian ini mengacu pada kepentingan
yang dimiliki oleh patron, dalam hal ini adalah K.H.A. Wahid Hasyim, yaitu demi
berkembangnya Kementerian Agama, terdapat tiga hal yang dimiliki sesuai dengan
dasar teori tersebut.
Pertama K.H.A. Wahid Hasyim memiliki sumber daya yang digunakan
dalam menjalankan misi beliau, yaitu dalam mengembangkan Kementerian Agama
yang baru lahir ini. Sedangkan sumber daya itu sendiri masih terbagi dalam
beberapa cabang, antara lain adalah pengetahuan dan keahlian. Jelas sekali bahwa
K.H.A. Wahid Hasyim memiliki pengetahuan dan keahlian, sebab beliau adalah
seorang tokoh yang berilmu pengetahuan tinggi. Seorang kyai, negarawan,
intelektual dan lain sebagainya, yang telah diabdikan pada agama, negara dan
bangsa. Misalnya K.H.A. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai wakil kepala
Kantor Urusan Agama (Shumubu) dilanjutkan dengan menjadi Menteri Agama tiga
periode berturut-turut, bagaimana seorang yang tak berpengetahuan memiliki
kemampuan sebagai seorang pemimpin. Sebagai anggota BPUPKI, bagaimana
seorang tak berpengetahuan dapat terpilih untuk merumuskan dasar negara
Indonesia.
Kedua, sumber daya selanjutnya adalah pemilikian yang berupa material,
dan dibawa langsung dalam pengawasan patron. Sebagai seorang pemimpin,
K.H.A. Wahid Hasyim benar-benar bertanggung jawab terhadap apa yang
dipimpin. Santrinya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, dalam madrasah
10
Ketiga, sumber daya terakhir yang dimiliki oleh patron adalah pemilikian
lain yang pengawasannya secara tidak langung atas barang milik orang lain. Bentuk
pemilikan semacam ini biasanya dimiliki oleh para pejabat, yang pengawasannya
dilakukan berdasarkan kekuatan jabatan. Maka berdasarkan kekuatan jabatan itu,
seorang pejabat dapat membantu yang bersangkutan. Namun sumber daya yang
demikian ini berkedudukan sangat lemah karena tergantung pada jabatan, yang
diduduki oleh patron tersebut. Meskipun K.H.A. Wahid Hasyim memiliki banyak
jabatan di berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan negara, beliau selalu
menjaga hubungan dengan umat dan masyarakat.
Dari ketiga sumber daya yang dimiliki oleh patron tersebut, dapat
mempermudah dalam menarik klien. Dengan demikian K.H.A. Wahid Hasyim
mampu menjadikan Kementerian Agama sebagai wadah untuk mengurusi
permasalahan semua agama di Indonesia dengan segala sumber daya yang dimiliki
beliau. Semua itu bukan tanpa sengaja. Dengan sadar, kemampuan beliau adalah
tonggak utama dalam usaha yang telah dilakukan.
F. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu penulis menemukan skripsi yang juga
membahas tentang K.H Wahid Hasyim yang ditulis oleh Siti Quzaimah Mahasiswa
UIN Sunan Ampel Surabaya dengan skripsinya yang berjudul “Perjuangan K.H
Wahid Hasyim Dalam Penyusunan Dasar Negara Republik Indonesia. Skripsi ini
11
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Serta perdebatan yang terjadi pada
waktu sebelum kemerdekaan tentang Piagam Jakarta.
Serta pembahasan tentang K.H Wahid Hasyim juga ditulis oleh Awaluddin
Baidhowi Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dalam skripsinya yang berjudul
“Perjuangan Politik Islam K.H Wahid Hasyim (1942-1947) skripsi ini menulis
tentang perpaduan perjuangan K.H Wahid Hasyim pada masa penjajahan Jepang
sampai pada masa kemerdekaan.
Kemudian skripsi tentang pembahasan K.H Wahid Hasyim juga ditulis oleh
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam skripsinya yang berjudul
“Pembaruan Pendidikan Islam K.H Wahid Hasyim (Menteri Agama R.I 1949
-1952)”. Skripsi ini fokusnya membahas tentang pembaruan yang dilakukan oleh
K.H Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan di Indonesia dengan menggabungkan
ilmu umum dengan agama serta disini juga dijelaskan sumbangsih K.H Wahid
Hasyim selama menjabat sebagai Menteri Agama khusunya dalam bidang
pendidikan.
Penelitian saya ini berbeda dari tiga skripsi diatas sama-sama membahas
tentang K.H Wahid Hasyim namun isinya berbeda. Memang sangat banyak hal-hal
yang menarik jika kita menelisik tentang kehidupan beliau. Skripsi saya ini yang
berjudul Peran K.H.A Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian Agama
(1949-1952 M), nantinya terfokuskan selama beliau menjabat sebagai Menteri
Agama atau boleh dikatakan perjuangan beliau setelah masa kemerdekaan adalah
12
G. Metode Penelitian
Ini merupakan penelitian kepustakaan serta dalam melakukan penulisan
ilmiah, metode mempunyai peran yang sangat penting. Berdasarkan hal itu,
penulisan ini menggunakan metode penulisan historis. Hasil rekonstruksi masa
lampau berdasarkan fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari
penafsiran sejarah terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk-bentuk tertulis
disebut historiografi.10 Menurut Kuntowijoyo, setelah menentukan topik ada empat
tahapan dalam penelitian sejarah,11 yaitu: pengumpulan sumber (Heuristik), kritik
sumber (verifikasi), analisis dan sintesis (interpretasi), dan penulisan sejarah
(Historiografi). Lebih jelasnya langkah-langkah tersebut akan di paparkan sebagai
berikut:
1. Heuristik
Pada tahap ini penulis mengumpulkan data dengan mengunjungi
perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan daerah Jombang,
perpustakaan daerah Surabaya, museum NU Surabaya dan perpustakaan pondok
pesantren Tebuireng Jombang. Data yang akan penulis gunakan meliputi arsip,
jurnal dan buku karangan orang yang sezaman dengan Wahid Hasyim.
Sumber-sumber tersebut dapat dianggap sebagai Sumber-sumber primer karena Sumber-sumber primer
sendiri adalah sumber yang dihasilkan atau ditulis oleh pihak-pihak yang secara
langsung terlibat atau menjadi saksi mata dalam peristiwa sejarah.12 Diantara
10Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 2004), 17. 11Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 69.
13
sumber primer yang penulis gunakan diantaranya, pertama, buku karangan
Aboebakar Atjeh yang berjudul “Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar” buku ini merupakan rujukan utama tentang tokoh Wahid
Hasyim yang penyusunannya dilakukan oleh oleh banyak orang yang tergabung
dalam Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim, sumber ini penulis peroleh
dari perpustakaan Pondok Pesantren Tebuireng. Kedua, beberapa tulisan Wahid
Hasyim yang dimuat di jurnal Suara Muslimin Indonesia seperti, tulisannya yang
berjudul “Melenyapkan Yang Kolot, Kebangkitan Dunia Islam, Islam Agama
Fitrah (Dasar Manusia), sumber ini penulis peroleh dari Museum NU Surabaya.
Ketiga, sumber primer yang berupa arsip surat keputusan Presiden Soekarno
yang menetapkan Wahid Hasyim sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan
arsip surat tentang pembentukan Liga Muslimin Indonesia, ini juga penulis
peroleh dari Museum NU Surabaya.
Sumber sekunder juga digunakan berupa buku-buku atau literatur yang
relevan dengan topik penelitian, sehingga dapat sedikit memberikan tambahan
informasi. Sumber seknder penulis peroleh dari Perpusatakaan Daerah Jombang,
Surabaya dan Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya. Diantara sumber
sekunder yang digunakan, buku karangan Achmad Zaini dengan judul K.H.
Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam, Aqib Suminto dengan judul
Politik Islam Hindia Belanda, Saifuddin Zuhri dengan judul Guruku
Orang-orang Pesantren, Mohammad Rifa’i dengan judul Wahid Hasyim Biografi
14
ke Khittah 1926, Imron Arifin dengan judul Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok
Pesantren Tebuireng.
2. Kritik
Kritik merupakan bagian yang sangat penting dalam penulisan sejarah. Dari
data yang terkumpul dalam tahap heuristik diuji kembali kebenarannya melalui
kritik guna memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini keabsahan sumber
tentang keasliannya (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan
keabsahan tentang kesahihannya (kredibilitasnya) ditelusuri lewat kritik intern.13
Terkait dengan kritik intern untuk menguji keshohihan suatu sumber yang
penulis peroleh berupa buku, jurnal dan arsip. Pertama untuk buku dengan
melihat kapasitas penulisnya misalnya buku Sedjarah Hidup K. H.A. Wahid
Hasyim dan Karangan Tersiar yang diterbitkan oleh Panitia Buku Peringatan
Alm. Wahid Hasyim yang beranggotakan orang-orang seperjuangan Wahid
Hasyim dalam pemerintahan yang juga merupakan saksi hidup beliau. Kedua
untuk jurnal adalah tulisan Wahid Hasyim yang dimuat di Majalah Suara
Muslimin Indonesia tentang segala permasalahan yang dihadapi Bangsa
Indonesia. Ketiga tentang arsip berupa surat dari PBNU yang diketuai oleh
Wahid Hasyim diberikan kepada Badan Kongres Muslimin Indonesia untuk
pembentukan Liga Muslimin Indonesia.
15
Sedangkan kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dalam wujud
mengamati beberapa hal seperti, tanggal, seruan, nama dan judul penulis, ucapan
selamat, pengantar, kesimpulan, subskripsi, dan penutup. Serta gaya bahasa yang
meliputi perbendaharaan kata dan susunan kalimat.14 Untuk kritik ekstern buku
dari Aboebakar Atjeh dengan mengamati beberapa kata sambutan dari K.H. M.
Ilyas dan K.H. Idham Chalid yang merupakan orang yang masih hidup pada
zaman Wahid Hasyim sehingga bisa dikatakan sebagai saksi hidup Wahid
Hasyim. Serta dengan mengamati orang-orang yang tergabung dalam Panitia
Buku Peringatan Alm. Wahid Hasyim yang kebanyakan hidup sezaman dengan
Wahid Hasyim. Jurnal Suara Muslimin arsip Surat Keputuan Presiden yang
memutuskan Wahid Hasyim sebagai Pahlawan Nasional serta arsip surat
pembentukan Liga Muslimin Indonesia dilakukan dengan melihat angka
tahunnya yang masih menggunakan angka tahun Jepang/Saka yang pernah
digunakan di Indonesia pada masa tersebut.
3. Interpretasi
Adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang
sumber-sumber yang di dapatkan apakah sumber-sumber-sumber-sumber tersebut telah diuji
autentisitasnya sehingga terdapat hubungan antara yang satu dan yang lain.15
Dalam hal ini mengenai sumber yang penulis peroleh sudah mampu
memberikan gambaran mengenai kehidupan K.H.A. Wahid Hasyim yang
terkhusus selama beliau menjabat sebagai Menteri Agama di Indonesia. serta
16
terdapat kesinambungan antara sumber-sumber yang diperoleh yang tentunya
penulis lakukan dengan menganalisanya secara mendalam.
4. Historiografi
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah, yakni usaha
untuk merekonstruksi kejadian masa lampau dengan memaparkan secara
sistematis, terperinci, utuh dan komunikatif agar dapat dipahami dengan mudah
oleh para pembaca.
Disini membahas mengenai “Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam
Pengembangan Kementerian Agama (1949-1952 M) yang penulisannya
memperhatikan faktor kronologisnya di mana beliau pernah menjabat selama
tiga periode serta bab demi bab saling sambung-menyambung.
H. Sistematika Bahasan
Penelitian ini nantinya akan di susun dalam lima bab. Bab pertama adalah
pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian
terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua tentang biografi K.H.A. Wahid Hasyim yang pokok isinya
mengenai kelahiran dan latar belakang keluarga, masa perkembangan meliputi
riwayat pendidikan, riwayat organisasi dan riwayat keluarga, dilanjutkan dengan isi
17
Bab ketiga tentang latar belakang berdirinya Kementerian Agama di
Indonesia meliputi bab K.H.A. Wahid Hasyim dalam periodesasi beridirinya
kementerian agama yang dibagi menjadi sub bab masa Jepang, masa kemerdekaan
dan selanjutnya bab tentang sejarah berdirinya Kementerian Agama dan
kepemimpinan Kementerian Agama yang dibagi menjadi sub bab kepemimpinan
H.M. Rasjidi, B.A, Kepemimpinan Prof. Fathurrahman Kafrawi, K.H. Masjkur
meliputi bidang pendidikan, bidang haji dan bidang perkawinan, selanjutnya
kepemimpinan Teuku Muhammad Hasan lalu kepemimpinan K.H.A. Wahid
Hasyim.
Bab keempat adalah Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan
Kementerian Agama (1949-1952 M) meliputi restrukturisasi kementerian agama,
mendirikan jawatan urusan agama, mendirikan peradilan agama, pembaruan dalam
dunia pendidikan meliputi sub-bab, mendirikan perguruan tinggi agama Islam
(PTAIN) dan sejarah berdirinya, sub-bab selanjutnya menyeimbangkan ilmu agama
dan umum, medirikan Pendidikan Guru Agama (PGA), selanjutnya memperbaiki
manajemen haji.
Bab kelima adalah penutup, yang berisi simpulan dari seluruh rangkaian
penelitian, serta saran bagi para peneliti-peneliti selanjutnya terkait
kekurangan-kekurangan yang ada dalam penelitian ini, sehingga dapat dijadikan tolak ukur
18
BAB II
BIOGRAFI K.H.A. WAHID HASYIM
A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Hari Jum’at Legi 5 Rabiul Awwal 1333 H bertepatan dengan 1 Juni 1914 di
Jombang Jawa Timur,16 menjadi salah satu hari yang paling penting dalam
perjalanan rumah tangga pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah17 binti
Kyai Ilyas. Di hari itu lahir anak laki-laki pertama mereka yang diberi nama Abdul
Wahid. Beliau merasa gembira dan bersyukur atas lahirnya bayi laki-laki yang
melengkapi rumah tangga mereka. Namun mereka juga tidak memandang rendah
anak perempuan yang telah lahir sebelumnya. Sebagai pendiri dan pengasuh
pesantren besar dan terkemuka, beliau tentu sangat mendambakan munculnya
orang yang dapat melanjutkan jejak langkah perjuangannya, yakni membesarkan
dan mengembangkan pondoknya.18
Sewaktu mengandung putranya yang kelima ini, kondisi kesehatan Nyai
Nafiqah agak memburuk. Sebagaimana sudah menjadi kebiasaannya, tiap kali
mengandung ibu Wahid Hasyim terganggu kesehatannya. Nyai Nafiqah merasa
16
Aboebakar, Sedjarah Hidup, 141.
17Nafiqah adalah istri ketiga dan tujuh wanita yang dikawin oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Lihat
Solichin Salam, K.H. Hasjim Asj’ari Ulama Besar Indonesia (Jakarta: Djaja Murni, 1963), 38.
18Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda “Potret Keluarga Besar K.H.A Wahid Hasyim (Jombang:
19
lemah dan gelisah, barangkali disebabkan karena perawakan badannya yang tidak
kuat dan sering merasa sakit-sakitan.
Oleh karena itu, suatu hari Nyai Nafiqah bernazar, “Jika nanti bayi yang ku
kandung lahir dengan selamat, dia akan kubawa kepada guru ayahnya (K.H. Kholil
Madura).”19
Pada umur tiga bulan, sang ibu teringat nazarnya ketika mengandung jabang
bayi tersebut selama berbulan-bulan penuh dengan keletihan. Waktu itu, perjalanan
ke Bangkalan Madura tidaklah semudah sekarang yang ada jembatan Suramadu,
meskipun jarak antara Tebuireng dan Bangkalan sebenarnya tidak terlalu jauh.
Dalam perjalanan ini, sang bunda ditemani Mbah Abu.
Perjalanan menuju Surabaya ditempuh dengan kereta api. Sementara dari
Surabaya ke Madura ditempuh dengan kapal laut yang penuh sesak penumpang.
Dari Madura ke Kademangan ditempuh dengan naik dokar. Dari Kademangan
menuju rumah K.H. Kholil di Bangkalan ditempuh dengan berjalan kaki. Pada
waktu itu hari sudah menjelang malam dan hujan mulai rintik-rintik.
Di saat inilah terjadi pengalaman spiritual pertama kali pada diri Wahid
Hasyim. Ketika hari telah malam, cuaca semakin buruk dan hujan mulai turun
disertai petir. Ibunda Wahid Hasyim memanggil sang tuan rumah karena rumah
kelihatan sepi, anehnya sang tuan rumah kemudian muncul menyuruh mereka tetap
berdiri di halaman alias tidak masuk, dengan perkataan, “Kamu sekalian tiada saya
20
ijinkan masuk ke rumah saya dan tiada pula saya ijinkan pergi dari situ, pendek
kata, kamu harus tetap berada dalam tempatmu sekarang, sampai ada perintah lagi
dari saya.”
Namun, ketika sekian lama tidak ada perintah lagi sementara mereka
berhujan-hujanan, sang bunda kasihan melihat bayinya menggigil diterpa air hujan.
Akhirnya, sang bunda mencoba menempatkan bayinya di emperan rumah agar
tidak kehujanan. Sambil menaruh bayinya di bawah emperan, sang bunda tak
henti-hentinya berucap, “Lailaha illa anta, ya hayyu yaqayyum (tidak ada Tuhan
melainkan Engkau, wahai Tuhan yang menjaga dan menghidupkan).”
Mengetahui perbuatan tamunya seperti itu, Mbah Kholil marah dan
meminta agar bayi itu dibawa ke tengah halaman lagi. Sang bunda pun kembali
menurut. Akhirnya, Mbah Kholil minta kepada Nyai Nafiqah agar segera
meninggalkan tempat itu. Maka, tidak ada pilihan lain. Sang bunda pun pulang ke
Jombang dengan seribu tanda tanya yang tidak terjawab saat itu, mengapa Mbah
Kholil berbuat seperti itu. Rupanya, kejadian luar biasa itu menjadi salah satu
pertanda bahwa kelak Wahid Hasyim akan menjadi orang besar.20
Anak kelima dari sepuluh bersaudara ini semula oleh ayahnya akan diberi
nama Muhammad Asy’ari yang diambil dari nama kakeknya. Karena dianggap
kurang sesuai, akhirnya dinamailah anak itu Abdul Wahid yang juga nama seorang
21
datuknya. Tetapi ibunya sering memangilnya dengan panggilan Mudin. Ketika
telah dewasa, kemenakan-kemenakannya menyebutnya pak Id.
Sebagaimana sudah diketahui Abdul Wahid yang di kemudian hari lebih
dikenal dengan nama Wahid Hasyim yang berasal dari keluarga yang sangat
terpandang. Ayahnya, K.H. Hasyim Asy’ari adalah pendiri dan pengasuh Pesantren
Tebuireng, Jombang. Di antara para ulama besar Indonesia kelahiran paruh kedua
abad ke-19, tampaknya beliau lah yang paling terkemuka dan paling luas
pengaruhnya. Beliau dikenal sangat ahli dalam bidang tafsir dan hadits, di samping
memiliki pengetahuan yang sangat mendalam mengenai ilmu-ilmu keislaman
lainnya. Pesantren yang dipimpinnya telah melahirkan banyak ulama besar yang
kemudian mendirikan dan mengasuh pesantren.
Kakek dari ayahnya K.H. Asy’ari adalah pendiri pesantren Keras di
Jombang. Sementara kakek ayahnya (mertua KH. Asy’ari), yaitu Kyai Usman
adalah seorang kyai terkenal dan pendiri pesantren Gedang, sekitar dua kilometer
sebelah timur Jombang. Ibunya (istri KH. Hasyim Asy’ari) adalah putri kyai Ilyas
dari Sewulan (Madiun).21
B. Masa Perkembangan 1. Pendidikan
Sejak kecil Wahid Hasyim sudah masuk Madrasah Tebuireng dan lulus
pada usia 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu
kesusastraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga mempunyai hobi
22
membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima jam. Dia
juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.
Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan pengembaraan
mencari Ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia
mondok dari awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan. Setelah itu pindah ke
Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh K.H. Abdul
Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, Wahid
Hasyim menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Akhirnya pada tahun 1929 dia kembali ke Pesantren Tebuireng.
Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru
mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin
bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga
berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa
Arab.
Wahid Hasyim mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan majalah
tiga bahasa, “Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya mengambil dua
bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai belajar Bahasa
Inggris.22
Beliau mempelajari bahasa Asing berkat dorongan dari Ibunya yang ingin
Wahid Hasyim tumbuh menjadi seorang yang pintar secara ilmu umum dan
agama. Ibunya (Nyai Nafiqah) mengikutkan Wahid Hasyim kursus bahasa Asing
22A.Mubarok Yasin & Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang: Pustaka
23
serta beliau juga pendengar aktif radio BBC sehingga membuka pemikiran beliau
yang luas.
Pada pertengahan tahun 1932 Wahid Hasyim pergi ke tanah suci. Di
samping untuk menunaikan rukun Islam, juga untuk memperdalam berbagai ilmu
agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani saudara sepupunya, Muhammad Ilyas
yang kelak dikenal sebagai K.H. Muhammad Ilyas dan menjadi menteri agama
pada pertengahan tahun 1950-an. Sepupunya yang lebih tua tiga tahun ini
memiliki jasa yang besar dalam membimbing Wahid Hasyim yang dikenal fasih
berbahasa Arab.
Meskipun sekitar dua tahun menuntut ilmu di Mekkah, tampaknya Wahid
Hasyim memanfaatkan betul kesempatan yang langka dan berharga ini. sehingga,
hasil yang diperolehnya tidak kalah dengan mereka yang jauh lebih lama berada
di sana. Sekembalinya dari Mekkah pada akhir tahun 1933, ia pun mulai bergerak
setahap demi setahap. Ia terjun di masyarakat serta mulai memimpin dan
mendidik para santri di Pondok Tebuireng. Pesantren asuhan ayahnya ini menjadi
laboratorium pertama baginnya, tempat dia menguji coba gagasan-gagasan dan
pemikiran-pemikirannya. Sejarah membuktikan bahwa ia memainkan peran
penting bagi modernisasi Tebuireng.
Dalam usia sekitar 20-an tahun, Wahid Hasyim telah sering membantu KH.
Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan menjawab surat
-surat atas nama ayahandanya dalam Bahasa Arab yang ditujukan kepada banyak
ulama di berbagai pelosok tanak air yang menanyakan masalah-masalah hukum
24
hafalannya, serta didorong oleh semangatnya untuk maju, dalam usia belia ia
telah menjadi calon kyai muda di bawah asuhan langsung ayahandanya.23
2. Riwayat Organisasi
Pada tahun 1938, Wahid Hasyim mulai terlibat dalam organisasi. Dia
bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan yang
berlokasi di Cukir, dan kemudian menjadi ketua cabang NU di Jombang. Dua
tahun kemudian, dia dipromosikan menjadi pengurus besar NU, tepatnya di
Departemen Pendidikan (Ma’arif). Di lembaga inilah Wahid Hasyim
mempropagandakan ide-ide yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum
pesantren dan mereorganisasi madrasah-madrasah NU.24
Promosi yang begitu cepat diperoleh oleh Wahid Hasyim di NU dapat
dilihat dari dua sisi: keluarga dan kemampuan (kapabilitas) nya. Sebagai putra
seorang ulama besar, kharisma ayahnya bisa jadi menjadikan Wahid Hasyim
lebih percaya diri untuk memegang jabatan dan posisi di NU. Setujunya Hasyim
Asy’ari terhadap promosi putranya yang begitu cepat dapat dilihat dari sisi bahwa
ayahnya melihat putranya sebagai wakilnya yang dapat memberikan informasi
yang dapat dipercaya dan cepat.
Sedang dari aspek kemampuannya dalam bidang keorganisasian dan
kepemimpinannya, Wahid Hasyim sudah diakui oleh kalangan tradisional.
Kemampuannya dapat dilihat dengan jelas ketika dia pulang dari Mekkah (tahun
25
1933). Dia berusaha mengembangkan institusi pesantren sekaligus mendirikan
organisasi kepemudaan. Kesuksesannya dalam mengimplementasikan
ide-idenya, setidaknya, menjadi indikator kapabilitas dan kompetensinya untuk
memegang jabatan yang strategis. Jadi, dua faktor; keluarga dan kemampuan
yang dimiliki Wahid Hasyim memudahkan jalannya untuk menduduki posisi
penting baik dalam organisasi keagamaan, sosial maupun politik.
Di samping mempunyai perhatian yang sangat besar dalam dunia
pendidikan, yakni pengembangan institusi pesantren dan madrasah, Wahid
Hasyim juga peduli terhadap perpolitikan pada saat itu, khususnya pada akhir
penjajahan Belanda dan datangnya bangsa Jepang. Dia terlibat dalam pergerakan
menentang adanya penjajahan. Pada tahun 1940, Wahid Hasyim terpilih sebagai
ketua MIAI (Majelis al-Islam al-A’la Indonesia), sebuah federasi
organisasi-organisasi Islam yang terdiri pada tahun 1937, di mana NU dan Muhammadiyah
menjadi tulang punggungya. Bersama-sama dengan GAPI (Gabungan Politik
Indonesia), federasi partai-partai politik yang didirikan oleh kalangan sekuler
nasionalis pada tahun 1939, NU bersama-sama GAPI membentuk Konggres
Rakyat Indonesia yang menuntut Indonesia berparlemen.25 Akhir masa
penjajahan Belanda, Wahid Hasyim diminta ayahnya kembali ke Tebuireng untuk
mengelola pesantren. Tetapi, setelah Jepang menguasai Indonesia, dia kembali
lagi terlibat dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
26
Komitmennya terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara kesatuan
Indonesia dapat dilihat dalam keterlibatannya dalam rapat-rapat BPUPKI dan
PPKI bersama dengan Sembilan orang yang terdiri dari Soekarno, Mohammad
Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji
Agus Salim, Achmad Soebarjo, dan Muhammad Yamin. Yang setelah rapat
menghasilkan satu modus vivendi antara para nasionlis Islami pada satu fihak, dan
para nasionalis sekuler pada lain pihak membahas tentang bentuk negara.26
Setelah merdeka pada tahun 1945, Wahid Hasyim bersama-sama dengan
ulama baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis menyelenggarakan
Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini pada akhirnya
menyepakati berdirinya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia),
satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia.27
Selain terpilih sebagai ketua Masyumi, Wahid Hasyim juga terpilih menjadi
Menteri Agama dalam tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Beberapa
sumbangsih dia selama menjabat sebagai Menteri Agama, antara lain merubah
sistem departemen dari yang bersifat kolonial kepada ke Indonesiaan, menjaga
hubungan yang baik antara pemeluk agama yang berbeda di tanah air, dan
gagasan Wahid Hasyim untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang kemudian namanya diubah menjadi IAIN.
27
Ketika NU di bawah kepemimpinannya memutuskan keluar dari Masyumi
dan mendeklarasikan berdirinya NU sebagai partai politik pada tahun 1952,
alasan keluarnya NU dari Masyumi tidak lain adalah kekecewaan orang NU
terhadap Masyumi karena jabatan Menteri Agama yang biasanya diberikan
kepada kader NU yang menginginkan Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama,
pada waktu itu tidak diberiken jabatan tersebut sehingga NU keluar dari
Masyumi. Setelah tidak menjadi Menteri Agama Wahid Hasyim mencurahkan
seluruh tenaganya bagi perkembangan partai tersebut.
Sebagai seorang tradisionalis, Wahid Hasyim membawa ide-ide yang maju
terhadap perkembangan dunia pesantren, sekaligus sebagai mediator dialog
antara kaum tradisionalis dengan modernis di satu sisi, dan dengan kaum
nasionalis di sisi yang lain. Berkat sumbangsih yang diberikan kepada nusa dan
bangsa semasa penjajahan sampai masa kemerdekaan, Wahid Hasyim
mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh
Keputusan Presiden RI No. 206, tertanggal 24 Agustus 1964.28
3. Riwayat Keluarga
Wahid Hasyim mengakhiri masa lajangnya pada usia sekitar 25 tahun dengan
menikahi Sholehah binti K.H. Bisyri Syamsuri seorang pendiri dan pemimpin
Pesantren Denanyar, Jombang serta salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dan pernah
juga menjadi Rais Aam PBNU. Dari perkawinan ini Wahid Hasyim dikaruniai 6
anak, 4 putra dan 2 putri. Masing-masing adalah Abdurrahman Ad-Dachil
28
(sekarang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), Aisyah,
Salahudin al-Ayyubi, Umar, Chadijah, dan Hasyim. Sangat disayangkan, Wahid
Hasyim tidak sempat mendidik anak-anaknya lebih lama karena ia meninggal dunia
dalam usia relatif muda, 39 tahun, tepatnya pada 19 April 1953, saat perjalanan
menuju Sumedang untuk menghadiri rapat pengurus Nahdlatul Ulama. Bahkan
anak bungsunya lahir setelah Wahid Hasyim meninggal. Namun kecerdasannya
yang luar biasa dan kepandaiannya berorganisasi paling tidak diwarisi oleh anak
sulungnya yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU namun beliau juga telah wafat
pada 31 Desember 2009 yang lalu.29
C. Karya-karya Beliau
Wahid Hasyim adalah seorang penulis yang cukup produktif. Meskipun dia
tidak menulis sebuah buku, berbagai artikel ditulisnya baik menyangkut masalah
keagamaan, pendidikan maupun isu sosial politik. Tulisan-tulisannya
dipublikasikan di berbagai majalah dan koran. Secara umum, tulisan Wahid Hasyim
dapat diklasifikasikan menjadi empat, yakni pendidikan, politik, administrasi
departemen agama, dan agama.
Dalam bidang pendidikan, Wahid Hasyim memberikan perhatian terhadap
reformasi pendidikan, misalnya pendidikan bagi anak, perkembangan kemampuan
berbahasa, pendidikan agama, termasuk didalamnya pendirian perguruan tinggi
agama, dan perlunya penggunaan rasio guna menyelesaikan masalah-masalah
kekinian. Wahid Hasyim menulis sebuah artikel yang berjudul “Abdullah Oeybayd
29Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani
29
sebagai Pendidik”. Dalam artikelnya, dia menjelaskan bagaimana sebaiknya
mendidik seorang anak. Dan pengamatannya terhadap Abdullah Oeybayd dalam
mendidik anak, dia mengatakan bahwa anak-anak harus dilatih sejak dini untuk
menggunakan segenap kemampuannya. Ini sangat penting untuk membiasakan
mereka bersandar pada dan mengetahui kemampuan mereka sendiri. Dengan
demikian, anak-anak akan tumbuh dengan percaya diri dan tidak mudah menyerah
dalam menggapai cita-cita mereka.30
Berkaitan dengan perkembangan bahasa, Wahid Hasyim mencoba
menumbuhkan rasa kebangsaan dengan mendorong anak bangsa untuk
menggunakan bahasa Indonesia. dalam artikelnya “Kemadjuan bahasa, Berarti
Kemadjuan Bangsa”, dia mengajak bangsa Indonesia untuk menggunakan
bahasanya dalam percakapan sehari-hari. Artikel ini ditulis sebagai respon terhadap
adanya kecenderungan dikalangan orang Indonesia untuk menggunakan bahasa
asing seperti bahasa Belanda dan Inggris, dalam kehidupan sehari-hari. Ekspresi
“good morning” atau “goeden morgen” lebih banyak terdengar dalam masyarakat
dibanding “selamat pagi”. Di samping dia menganjurkan bangsa Indonesia untuk
belajar bahasa asing, dia meminta agar bahasa Indonesia yang sedang berkembang
tidak begitu saja dilupakan dan tidak diabaikan. Tidak ada orang yang bangga dan
mau mengembangkannya, katanya, kecuali bangsa Indonesia sendiri. Disebutkan
juga contoh bagaimana Hitler dan Chamberlain bangga dengan bahasa nasionalnya.
Walaupun Hitler menguasai bahasa Inggris dan Chamberlain menguasai bahasa
30
Jerman, masing-masing menggunakan bahasa nasionalnya tiap kali bertemu dalam
sebuah rapat, dan diterjemahkan oleh interpreter mereka.31
Mengenai pendidikan agama, termasuk didalamnya ide pendirian perguruan
tinggi agama dan perlunya penggunaan pendekatan intelektual dalam mengatasi
masalah, Wahid Hasyim menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak
dapat dipercepat dengan jalan revolusi sebagaimana politik, tetapi dapat dicapai
melalui jalan ketekunan, kesabaran, dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dalam pandangannya, kunci keberhasilan menuju Indonesia maju adalah
pendidikan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu pengembangan akal, spirit (semangat),
dan jasmani. Dan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa kemajuan tidak hanya
dicapai hanya mengandalkan perkembangan akal dan jasmani, tetapi yang lebih
penting adalah adanya spirit yang hanya bisa dicapai melalui pendidikan agama.
Ketiga aspek tersebut harus diberikan secara seimbang.32
Berdirinya perguruan tinggi agama, menurut Wahid Hasyim, merupakan
satu cara mencapai kemajuan. Ketika Wahid Hasyim memberikan sambutan dalam
acara peresmian PTAIN, dia menekankan bahwa ilmu pengetahuan dapat
dikembangkan dalam atmosfer keterbukaan, tak dicampuri dengan doktrin agama
dan politik. Manusia, khususnya mahasiswa, seharusnya senantiasa melakukan
penelitian dan berpikir kritis. Dalam sambutannya, dia juga menambahkan bahwa
31
perlu menjalin kerja sama antar perguruan tinggi lainnya, misalnya Sekolah
Teologi, bahkan dia berharap adanya merger di antara perguruan tinggi tersebut.33
Bidang lain yang menjadi perhatian Wahud Hasyim adalah politik. Dia
sering memberikan komentar terhadap berbagai isu politik. Terhadap Masyumi, dia
melakukan evaluasi dan analisis terhadap jalannya organisasi umat Islam, begitu
juga dengan lambatnya penyebaran ajaran Islam, posisi dan peran ulama Indonesia
dalam mempengaruhi masyarakat guna mencapai suara terbanyak dalam pemilihan
umum dan sebagainya.34 Secara singkat, dalam artikelnya tersebut Wahid Hasyim
mencoba menunjukkan kelemahan umat Islam dalam pemerintahan dan
perpolitikan, dan memberikan alternatif pemecahan-pemecahan terhadap masalah
yang dihadapi umat Islam.
Dalam artikel “Siapakah jang Akan Menang dalam Pemilihan Umum Jang
Akan Datang ?” ini misalnya, Wahid Hasyim secara terang-terangan mengkritik
partai-partai politik yang masih mengutamakan keinginan (interest) golongannya
di atas kepentingan negara. Tujuh tahun setelah kemerdekaan, menurutnya tidak
membuat Indonesia semakin bagus dalam urusan ekonomi, politik, sosial atau
keagamaan, bahkan dalam beberapa aspek lebih buruk. Adanya situasi seperti ini
disebabkan partai politik tidak punya spirit untuk maju, tetapi sebaliknya mereka
berebut untuk mendapatkan kursi, yakni mengamankan posisi mereka dalam
pemerintahan, meskipun tidak layak untuk mendudukinya. Wahid Hasyim meminta
33Wahid Hasyim, “Perguruan Tinggi Islam, “idem, “Perguruan Tinggi Agama Islam,” Ibid., 808
818.
34Wahid Hasyim, “Masyumi Lima Tahun”, Idem, “Analisis Kelemahan Penerangan Islam, Ibid.,
32
agar partai politik menyadari kelemahan mereka, keluar dari pikiran yang sempit
dan picik dan berjuang bagi kejayaan bangsa Indonesia secara umum.35
Meskipun dia diangkat sebagai Menteri Agama, dia masih aktif menulis
artikel yang berkaitan dengan kebijakan pembentukan kementerian agama,
termasuk tugas-tugas kementerian agama, perlunya kesadaran beragama dan
perlunya pembenahan organisasi yang mengelola haji serta peningkatan kualitas
layanannya. Pernah ketika masih menjabat sebagai menteri, dia mengeluarkan
sebuah kebijakan yang cukup kontroversial. Kebijakan yang dikeluarkan Wahid
Hasyim sebagai menteri agama adalah bahwa semua yang akan menunaikan ibadah
haji harus bisa membaca dan menulis huruf Latin. Meskipun dia banyak mendapat
kritik dan para ulama, misalnya K.H. Abdurrahman Sjihab, pemimpin Jami’atul
Wasliyah, yang mengatakan tidak ada persyaratan seperti itu dalam berhaji, Wahid
Hasyim mampu mengajukan argumen yang membuat, pada akhirnya, para
penentangnya menerima kebijakan tersebut.36 Kebijakan tersebut, setidaknya juga
menunjukkan kepedulian Wahid Hasyim terhadap pemberantasan buta huruf latin
yang masih banyak pada waktu itu.
Mengenai masalah agama, Wahid Hasyim menulis artikel, di antaranya
“Nabi Muhammad dan Persatuan Manusia”, “Kebangkitan Dunia Islam”, dan
“Beragamalah dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan.” Secara umum,
dia menekankan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Di manapun Islam
memenangkan sebuah pertempuran, Nabi tidak pernah memenjarakan musuhnya,
33
tetapi menjamin kemerdekaan mereka. Dia juga menekankan bahwa manusia pada
hakekatnya bersaudara, oleh karena itu rasa persaudaraan harus senantiaa dijaga.
Selanjutnya dia mengajak umat beragama yang ada di Indonesia untuk
menghindari segala bentuk kekerasan dan membangun hubungan yang baik antar
umat beragama. Melalui beberapa tulisan tersebut, Wahid Hasyim menunjukkan
kepiawaiannya sekaligus keluasan ilmu pengetahuannya sebagaimana dinyatakan
Saifudin Zuhri bahwa “tulisan Wahid Hasyim menunjukkan visi dan keluasan ilmu
pengetahuannya”.37
Biografi Wahid Hasyim, setidaknya menunjukkan bahwa meskipun produk
pesantren, dia adalah seorang yang berpikiran maju sebagaimana dibuktikan
dengan keterlibatannya dalam berbagai organisasi sosial keagamaan dan politik.
Keterlibatannya di NU, MIAI, dan Masyumi mengindikasikan komitmennya
terhadap pendidikan, perjuangan kemerdekaan, dan perkembangan sebuah negara
Indonesia yang kuat.38
D. Akhir Hayat K.H.A Wahid Hasyim
Hari saptu tanggal 18 April 1953 merupakan hari terakhir yang bisa
dinikmati oleh Wahid Hasyim. Sebab, keesokan harinya, ia pergi meninggalkan
semuanya menghadap Allah SWT setelah mengalami kecelakaan mobil. Ketika itu
ia bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU setempat. Dengan
menaiki mobil Chevrolet miliknya, ia berangkat ditemani seorang sopir dari harian
34
Pemandangan dan Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslimin, Putra
sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil (Gus Dur) juga turut serta dalam perjalanan
ini.
Di saptu pagi itu berangkatlah mereka berempat menuju Sumedang, Sekitar
jam satu siang dalam keadaan hujan di daerah Cimindi, suatu tempat, terjadilah
musibah kecelakaan itu. Mobil yang mereka tumpangi selip dan tiba-tiba datang
truk dari arah berlawanan. Bagian belakang mobil terbentur truk dengan sangat
keras yang membuat Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar keluar. Keduanya
mengalami luka parah, sedangkan sopir dan Abdurrahman baik-baik saja. Setelah
mendapat perawatan satu malam, keesokan harinya ia menghembuskan nafas
terakhirnya sekitar pukul 10.30. Sedangkan Argo Sutjipto telah meninggal sore
sebelumnya. Pada Ahad siang kedua jenazah dibawa ke Jakarta dan tiba dikediaman
beliau sekitar maghrib. Keesokan harinya jenazah KH. Wahid Hasyim dibawa ke
Jombang untuk dimakamkan di tempat kelahirannya, Tebuireng.39
Untuk mengetahui bagaimana suasana proses pemakaman jenazah beliau
sejak keberangkatan dari Jakarta, dapat dilihat di buku Sedjarah Hidup K.H.A
Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar karya Aboebakar Atjeh:
Untuk mengetahui bagaimana kedudukan almarhum dalam masyarakat
dapat dilihat dari banyaknya orang yang datang ta’ziyah serta pernyataan turut
35
berkabung kerumah almarhum, sejak tibanya jenazah dari Bandung pada Minggu
sore.
Selain Masyarakat serta alim-ulama yang datang ke rumah almarhum,
tampak pula Wakil P.M. Prawoto selaku wakil pemerintah, Ketua Parlemen Mr.
Sartono, Menteri Kesehatan Dr. Leimena serta nyonya Menteri Agama K. Fakih
Usman, Wakil Ketua II Parlemen Arudi Kartawinata, Dr. Sukiman Ketua I Partai
Masyumi, Mohd. Natsir Ketua Umum Partai Masyumi, Menteri Dalam Negeri Mr.
Mohd. Rum, Mr. Kasmansingodimejo, Menteri Sosial Anwar Cokroaminoto, Wali
kota Jakarta Raya Syamsurizal dll. Orang-orang terkemuka, wakil organisasi serta
beberapa perwakilan orang asing yang berada di Jakarta. Wakil P.M Prawoto
menyampaikan belasungkawa atas nama pemerintah kepada keluarga almarhum.
Di samping itu tidak dilupakan pula jasa-jasa almarhum yang telah disumbangkan
kepada rakyat dan negara. Pernyataan belasungkawa pemerintah itu disambut oleh
K. Dachlan atas nama keluarga almarhum.40
Pagi-pagi hari Senin tanggal 20 April 1953, dirumah alamarhum kelihatan
orang sudah penuh sesak untuk turut mengantarkan jenazah sampai kelapangan
terbang Kemayoran, atau hanya untuk menyampaikan penghormatan yang terakhir.
Auto merk buick bercat hitam, dihiasi penuh dengan karangan bunga yang
akan membawa Jenazah almarhum sampai di lapangan terbang Kemayoran,
36
kira pukul 7 pagi berangkat dari rumah berjalan perlahan dikawal oleh barisan polisi
bersepeda motor, pandu Anshor serta barisan auto.
Di lapangan terbang Kemayoran juga sudah banyak orang yang menanti.
Setibanya auto jenazah dan barisan pengiring di lapangan terbang, maka peti
jenazah di turunkan dari auto dengan perlahan, kemudian di naikkan kedalam
pesawat GIA yang sengaja dicarter buat keperluan pengangkutan jenazah ke
Surabaya. setelah peti Jenazah di tempatkan dan diatur dengan sempurna dalam
pesawat, lalu Sekretaris Jenderal Mohd. Kafrawi memanggil orang-orang yang ikut
satu persatu menaiki pesawat terbang.
Setelah segala sesuatu berjalan dengan tertib dan suasana berkabung
kira-kira pukul 8 pesawat mulai bergerak , berjalan sedikit demi sedikit naik meninggi
meninggalkan lapangan terbang Kemayoran, dilepaskan orang-orang yang turut
menghantarkan jenazah itu dengan rasa terharu.41
Kira-kira pukul 10.30 pagi hari itu, pesawat GIA yang membawa jenazah,
mendarat dilapangan terbang Perak Surabaya. jenazah diterima oleh Panitia
Penyambutan Jenazah yang diketuai oleh K.H Abd, Cholik, adik dari almarhum.
Dilapangan Perak sudah banyak orang yang datang menyambut, diantaranya
tampak Gubernur Jawa Timur Samadikun, Panglima Divisi Brawijaya Let. Kol.
Sudirman, alim ulama serta wakil-wakil pemerintah sipil dan militer.
37
Setelah peti jenazah diturunkan dari pesawat, lalu di pindahkan kedalam
ambulan kepunyaan Angkatan Darat Divisi Brawijaya. Penyambutan berjalan
dengan tertib dan dalam suasana berkabung. Keamanan diatur oleh Barisan Mobile
Brigade, tentara, polisi lalu lintas dan pandu anshor.
Sejak dari lapangan terbang sampai memasuki kota Surabaya, disepanjang
jalan banyak rakyat, terutama murid-murid madrasah berdiri dipinggir jalan untuk
memberikan penghormatan yang terakhir serta rasa berduka cita.
Ambulan yang mengangkut dihiasi dengan karangan bunga dikawal oleh
barisan poilisi polisi lalu lintas, pandu anshor, barisan bersepeda serta auto
orang-orang yang turut mengantar yang berjumlah tidak kurang dari 120 buah, dan
panjangnya iring-iringan kurang lebih 2 km. Dibelakang ambulan yang membawa
jenazah, tampak auto keluarga almarhum.42
Karena sengaja desakan masyarakat Sepanjang, terpaksalah jenazah
diberhentikan sebentar dan oleh berpuluh-puluh orang yang mengerumuni itu
kemudian dibacakan tahlil dan beberapa ayat Suci al-Qur’an sebagai tanda ikut
berkabung dan duka citanya. Begitu sepanjang jalan deretan masyarakat yang ikut
menyambut, kemudian sampai di Kriyan memaksa minta supaya ambulan jenazah
dihentikan, tepat didepan Masjid Kriyan jenazah diberhentikan sebentar dan
dibacakan pula ayat-ayat suci al-Qur’an.
38
Begitulah ditiap-tiap kota kecil masyarakat sama menununggu dan mencoba
ingin menghentikan untuk menyatakan ikut berduka citanya, setelah didua tempat
tersebut maka untuk tidak menghambat jalanya ambulan jangan sampai terlambat,
maka oleh Kyai Abd. Cholik permintaan itu ditolak, berhubung waktu sudah sore
takut kalau kemalaman sampai di Tebuireng.
Kira-kira pukul 2 kurang seperempat ambulan serta iring-iringan yang
mengantar tiba di Tebuireng, tempat kelahiran almarhum, dan dimana jenazah akan
dimakamkan. Oleh karena sangat benyaknya manusia yang menunggu, maka
rombongan pengantar tidak dapat bergerak hanya ambulan serta auto yang
ditumpangi keluarga almarhum dapat berjalan langsung masuk halaman rumah.
Jenazah almarhum setibanya dirumah terus disembahyangkan
berganti-ganti oleh rakyat serta alim ulama yang datang dari berbagai daerah Jawa Timur
dan Jawa Tengah serta murid-murid Pesantren Tebuireng, berlangsung dari jam dua
siang hingga jam empat sore baru selesai.43
Perlu diterangkan, bahwa pemakaman belum dapat dilangsungkan karena
masih menunggu kedatangan adik almarhum, yang nomor empat Letnan satu
Mohd. Yusuf datang dengan dikawal oleh tentara. Setelah ia melihat wajah
kakaknya yang terakhir, barulah pemakaman dilangsungkan.
Selesai jenazah dikuburkan, maka oleh Ketua Panitia Penyambutan atas
nama keluarga dan panitia menyatakan banyak terima kasih atas nama keluarga dan
39
panitia menyatakan banyak atas segala perhatian dan pertolongan yang telah
diberikan pihak Pemerintah sipil dan militer serta organisasi, terutama alim ulama
yang telah memimpin dan menyelenggarakan pemakaman yang telah berlangsung
dengan sebaik-baiknya. Kemudian Menteri Agama K. Fakih Usman selaku wakil
pemerintah berbicara, mengenangkan jasa almarhum K.H.A. Wahid Hasyim yang
telah disumbangkan kepada bangsa dan negara serta agama. Akhirnya berbicara
pula berturut-turut salah seorang kyai atas nama alim ulama dan K.H. Abd. Wahab
Hasbullah atas nama PBNU.
Beberapa hari setelah adanya peristiwa yang sangat menyedihkan tampak
bahwa suasana berkabung dalam kota Jombang masih tampak, dengan adanya dari
beberapa kawan dan bekas murid-murid Tebuireng dari jauh pada waktu itu tidak
dapat ikut serta menghantarkan jenazah Alm. K.H.A. Wahid Hasyim, tampak
berderet-deret mobil dan truk datang dari daerah-daerah yang jauh, terutama dari
daerah Madura dan Bali.
Demikianlah upacara pemakaman selesai kira-kira pukul 5 sore.
Kembalilah semua orang yang turut dalam upacara pemakaman itu dengan rasa
masghul dan terharu sambil berkata kepada diri masing-masing. K.H.A. Wahid
Hasyim seorang yang berpengaruh, masih banyak cita-cita yang akan
dikerjakannya, masih membumbung tinggi himmah dan azamnya untuk
memperbaiki nasib umat, masih muda usianya, dan dalam keadaan sehat serta segar
bugar, kini ia telah beralih ke alam baqa’ untuk menghadap Ilahi.44
40
BAB III
LATAR BELAKANG BERDIRINYA KEMENTERIAN AGAMA DI INDONESIA
A. Periodesasi Berdirinya Kementerian Agama 1. Masa Jepang
Setelah Jepang dapat mengontrol wilayah Indonesia, Jepang mulai mencari
cara agar mendapat bantuan dari bangsa Indonesia, terutama komunitas Muslim
dan pemimpin nasional, agar memperkuat posisinya di Indonesia. Pada mulanya,
penguasa Jepang menyatukan pemimpin bangsa Indonesia: Soekarno, M. Hatta,
Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur, pemimpin yang berperan semasa
penjajahan Belanda dengan diberikan kepercayaan kepada mereka dalam
mengontrol urusan negara, terutama menyiapkan dasar berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tahun 1945. Di samping itu, untuk mendapatkan
simpati dari kalangan Muslim, bangsa Jepang mulai mengadakan kontak dengan
ulama’. Dengan demikian, ulama’ kemudian muncul sebagai salah satu elemen
yang sangat penting dalam perpolitikan bangsa Indonesia.
Bangsa Jepang menyadari pentingnya mempunyai sebuah federasi yang
memayungi segala bentuk organisasi keagamaan (Islam) sehingga seluruh
pemimpin umat Islam berkumpul dan dapat disatukan, yang dengan demikian