• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN K.H.A. WAHID HASYIM DALAM PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1949-1952 M).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN K.H.A. WAHID HASYIM DALAM PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1949-1952 M)."

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN K.H.A. WAHID HASYIM DALAM PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1949-1952 M)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: Achmad Afandi NIM: A02211035

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian Agama (1949-1952 M)”. Dengan pokok-pokok permasalahannya sebagai berikut: 1) bagaimana biografi K.H.A. Wahid Hasyim ? 2) bagaimana latar belakang berdirinya kementerian agama ? dan 3) apakah peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam pengembangan kementerian agama (1949-1952 M).

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis. Data diperoleh melalui kajian pustaka (kualitatif) yakni dengan mencari data dari jurnal, arsip dan buku-buku. Selanjutnya data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif serta dengan teori behavioral dan patron-klien.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan sesuai dengan topik permasalahan. Pertama, K.H.A. Wahid Hasyim merupakan kyai yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional namun berpikiran modern dan maju. Kedua, Wahid Hasyim memperjuangkan berdirinya kementerian agama karena kepeduliannya kepada umat Islam, dilihat pada masa penjajahan Belanda urusan agama tidak memiliki tempat tersendiri sehingga tidak tercover dengan baik, pada masa Jepang dibentuklah kantor urusan agama (Shumubu) dengan diketuai K.H. Hasyim Asy‟ari yang pengendalinya ditangan Wahid Hasyim, serta pada masa kemerdekaan beliau ditunjuk menjadi menteri agama selama tiga periode. Jadi berdirinya kementerian agama merupakan keinginan semua umat Islam yang merupakan mayoritas warga negara dengan melihat realitas pada masa penjajahan yakni urusan agama tidak diprioritaskan sehingga sangat merugikan umat Islam. Ketiga, peran Wahid Hasyim dalam pengembangan kementerian agama sangat bermanfaat bagi umat Islam seperti, berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), adanya sekolah untuk Pendidikan Guru Agama (PGA), memanajemen perjalanan Haji dan lain sebagainya.

(6)

ABSTRACT

The title thesis is “K.H.A. Wahid Hasyim the Roles in Religion Ministry of Development (1949-1952 M) “. The research specifics formulate issues: 1) how K.H.A. Wahid Hasyim biography ? 2) how background founding a ministry of religion ? 3) what K.H.A. wahid Hasyim roles in religion ministry of development (1949-2952 M).

This research using historical approach. Data were obtained through the study of literature (qualitative) with search data in the jurnal, archive and some books. Furthermore, the data were analyzed using descriptive method then using behavioral and patron-client theory.

Results from this study can be concluded in accordance with the subject matter. First, K.H.A. Wahid Hasyim is the clerics who grew up in a traditional environment, but modern and forward-thinking. Secondly, Wahid Hasyim fight for the establishment of the ministry of religion because of concern for Muslims, seen in the Dutch colonial period religious affairs does not have its own place so it is not covered by either, at the time of Japan established the office of religious affairs (Shumubu) chaired by K.H Hasyim Asy'ari that the controller in the hands of Wahid Hasyim, as well as at the time of independence he became a minister of religion for three periods. So the establishment of religious ministry is the desire of all Muslims who are the majority of citizens to see the reality on the colonial period religious affairs are not prioritized so it is detrimental to Muslims. Third, Wahid Hasyim role in the development of religious ministry is very beneficial for Muslims such as, the establishment of the State Islamic University (PTAIN), the school for Teachers of Religious Education (PGA), managing Hajj and so forth.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ...xiii

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 4

C.Tujuan Penelitian ... 4

D.Kegunaan Penelitian ...5

E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik ...6

F. Penelitian Terdahulu ...10

G.Metode Penelitian ... 12

(8)

BAB II: BIOGRAFI K.H.A. WAHID HASYIM

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga ...18

B. Masa Perkembangan 1. Pendidikan ... 21

2. Riwayat Organisasi ... 23

3. Riwayat Keluarga ... 27

C. Karya-karya Beliau ...28

D. Akhir Hayat K.H.A. Wahid Hasyim ... 33

BAB III: LATAR BELAKANG BERDIRINYA KEMENTERIAN AGAMA DI INDONESIA A. Periodesasi Berdirinya KementerianAgama 1. Masa Jepang ...40

2. Masa Kemerdekaan ... 44

B. Sejarah Berdirinya Kementerian Agama ... 47

C. Kepemimpinan Kementerian Agama 1. Kepemimpinan H..M. Rasjidi, B.A ... 51

2. Kepemimpinan Prof. K.H. Fathurrahman Kafrawi ... 54

3. Kepemimpinan K.H. Masjkur ... 56

a. Bidang Pendidikan ... 58

b. Bidang Haji ... 58

c. Bidang Perkawinan ... 58

(9)

5. Kepemimpinan K.H.A. Wahid Hasyim ... 61

BAB IV: PERAN K.H.A. WAHID HASYIM DALAM PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1949-1952 M) A. Restrukturisasi Kementerian Agama ... 64

B. Mendirikan Jawatan Urusan Agama ...69

C. Mendirikan Peradilan Agama ...69

D. Pembaruan dalam Dunia Pendidikan ... 70

1. Mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ... 72

a. Sejarah Berdirinya ...73

2. Menyeimbangkan Ilmu Agama dan Umum ... 77

3. Pendidikan Guru Agama (PGA) ... 80

4. Memperbaiki Manajemen Haji ... 84

BAB V: PENUTUP A.Kesimpulan ... 89

B.Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kalau pada masa penjajahan Belanda urusan agama ditangani berbagai

instansi atau kementerian, pada masa kemerdekaan masalah-masalah agama secara

resmi diurus satu lembaga yaitu Departemen Agama. Keberadaan Departemen

Agama dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia melalui proses panjang

sebagai bagian dari pemerintah negara Republik Indonesia. Departemen Agama

(awalnya bernama Kementerian Agama) didirikan pada 3 Januari 1946.1

Apabila pada zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang

masalah-masalah agama terutama Islam menjadi bagian dari pemerintahan penjajah, maka

wajar dan dapat dipahami jika umat Islam pada masa kemerdekaan menuntut

adanya lembaga yang secara khusus menangani masalah-masalah agama dalam

bentuk Kementerian Agama.

Pembentukan Kementerian Agama pada 1946 pada awalnya memang untuk

memenuhi tuntutan sebagian besar umat Islam. Mereka merasa bahwa

permasalahan umat sangat banyak dan tidak efektif kalau ditangani berbagai

departemen, mereka meminta agar semua itu ditangani oleh satu departemen saja.

1Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Buku

(11)

2

Pemenuhan tuntutan tersebut jelas berkaitan juga dengan situasi dan kondisi bangsa

Indonesia saat itu. Umat Islam bisa dikatakan tengah kecewa karena aspirasi

mereka mengenai sistem pemerintahan yang disuarakan kalangan Islam dalam

BPUPKI dan PPKI tidak terpenuhi. Bahkan Piagam Jakarta yang merupakan hasil

minimal bagi umat Islam dan telah menjadi kesepakatan bersama diubah sehari

setelah kemerdekaan. Sementara di sisi lain, Belanda tengah mengancam

keberadaan pemerintahan yang baru lahir, sehingga membutuhkan dukungan dari

seluruh pihak, khususnya umat Islam yang mayoritas. Karena itulah tanpa

pembicaraan panjang, usul didirikannya Kementerian Agama ini langsung disetujui

Presiden Soekarno. Ini berarti, pada awalnya kementerian ini sebetulnya

dimaksudkan untuk mengurus umat Islam saja. Namun dalam perkembangan

berikutnya, kementerian juga mengurus umat non-Islam. Tentu saja, konsentrasi

utamanya tetap umat Islam, mengingat mereka adalah mayoritas warga negara

Indonesia.

Meski sudah disetujui Presiden, keberadaan kementerian ini tidak luput dari

kritik tajam dan bahkan tuntutan agar dibubarkan dengan berbagai alasan. Ketika

masa revolusi, tuntutan tersebut nyaris tidak terdengar karena semua pihak

disibukkan permasalahan yang lebih besar, yakni menghadapi Belanda. Namun,

ketika Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama, di mana negara sudah terbebas dari

(12)

3

diemban Wahid Hasyim adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa kementerian

ini penting dan sekaligus mempertahankan keberadaannya.2

Menurut Wahid Hasyim, dengan adanya Kementerian Agama, pemerintah

merasa wajib melayani keperluan rakyat tentang agama, dengan dasar pancasila.

Pemisahan agama dan negara, menurut Wahid Hasyim, hanya terjadi dalam teori.

Dalam kenyataannya, tak ada satu pun yang betul-betul mempraktekkan pemisahan

tersebut, kecuali negara ateis. Karena itu, meski penghapusan kementerian ini dapat

saja dilakukan, dan berbagai fungsinya dilaksanakan berbagai kementerian lain,

Wahid Hasyim mengingatkan bahwa hal itu akan menyinggung perasaan umat

Islam Indonesia.3

Sementara itu, terhadap keberatan kalangan non-Muslim bahwa

kementerian ini lebih banyak memperhatikan umat Islam, Wahid Hasyim

menunjukkan adanya fakta bahwa jumlah penganut Islam jauh lebih besar dari pada

non-Muslim. Jadi, wajar kalau Kementerian Agama memberikan perhatian lebih

besar kepada umat Islam. Tapi hal itu dilakukan bukan karena diskriminasi,

melainkan semata karena jumlah umat Islam sangat besar itu.4 Dari pernyataan

terakhir ini, Wahid Hasyim menegaskan bahwa Kementerian Agama bukanlah

kementerian bagi umat Islam saja, tapi bagi semua pemeluk agama.

Suatu penelitian tentunya mempunyai urgensi atau arti pentingnya

masing-masing, tidak terkecuali penelitian ini. Selain sebagai kajian dalam bidang

2Ibid., 873-875.

3Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam (Jakarta: Pesantren

Tebuireng, 2011), 78.

(13)

4

kesejarahan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel

Surabaya, penelitian ini juga nantinya akan didapatkan begitu besarnya pengaruh

pemikiran K.H.A. Wahid Hasyim bagi bangsa Indonesia selama menjabat sebagai

Menteri Agama, misalnya kita dapat melihat dari lahirnya Perguruan Tinggi Agama

Islam Negeri (PTAIN) yang di kemudian hari berkembang menjadi Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) sebagai lembaga pendidikan tinggi agama yang modern dan

pengajaran pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Selain kedua hal tersebut

tentu masih banyak kebijakan-kebijakan penting Wahid Hasyim dalam

Kementerian Agama.

Untuk membahas lebih dalam mengenai kehidupan dan peran K.H.A Wahid

Hasyim, perlu dikaji lebih mendalam dengan kemasan penelitian. Dari konsep

inilah penulis ingin mengungkap “ Peran K.H.A. Wahid Hayim dalam

Pengembangan Kementerian Agama (1949-1952 M).

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan Latar Belakang di atas mengenai Peran K.H.A. Wahid

Hasyim dalam Pengembangan Kementerian Agama (1945-1952 M) penulis

merumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Biografi K.H.A. Wahid Hasyim ?

(14)

5

3. Apakah Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian

Agama (1949-1952 M) ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yang berjudul Peran K.H.A. Wahid Hasyim

Dalam Kementerian Agama (1945-1952 M) adalah:

1.Untuk mengetahui Biografi K.H.A. Wahid Hasyim.

2.Untuk mengetahui Latar Belakang Berdirinya Kementerian Agama.

3. Untuk mengetahui Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan

Kementerian Agama (1949-1952 M).

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan

Kementerian Agama pada tahun 1949-1952 M, masih belum begitu terekspos ke

publik, padahal tokoh ini sangat besar perannya dalam pengembangan Kementerian

Agama dari awal berdirinya. Demikian juga peninggalan dari pemikiran-pemikiran

ataupun karya-karya beliau, mampu memberikan manfaat atau angin segar bagi

(15)

6

Penelitian mengenai Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan

Kementerian Agama (1945-1952 M) diharapkan memberikan manfaat,

diantaranya:

1. Bagi penulis merupakan wadah untuk mengetahui lebih jauh tentang biografi

dan peran dari K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian

Agama (1949-1952 M).

2. Manfaat secara akademis atau teoritis dalam penelitian ini adalah untuk

Menambah khasanah keilmuan dalam bidang sejarah Islam di Indonesia

khususnya Fakultas ADAB UIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam (SKI) dan masyarakat peminat sejarah pada umumnya.

3. Secara praksis/idealis penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan jiwa

Nasionalisme pada masyarakat Indonesia.

4. Dapat dijadikan pijakan atau pertimbangan dalam mempelajari sejarah

khususnya pembahasan tentang sejarah Kementerian Agama di Indonesia yang

sampai saat ini eksistensinya dapat dirasakan.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Menurut Sartono Kartodirjo penggambaran kita mengenai suatu peristiwa

sangat tergantung pada pendekatan, ialah dari segi mana kita memandangnya,

(16)

7

sebagainya. Hasil pelukisannya akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang

dipakai.5

Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan. Pertama

pendekatan historis, yang menjelaskan tentang biografi tokoh K.H.A Wahid

Hasyim dan sejarah perkembangan Kementerian Agama di Indonesia.

Di dalam kajiannya studi kritis memperluas daerah pengkajiannya dengan

perlengkapan metodologis baru seperti pendekatan ilmu sosial. Sehingga

terbukalah kemungkinan untuk melakukan penyorotan aspek atau dimensi baru

dari berbagai gejala sejarah. Pada umumnya segi prosesual yang menjadi fokus

perhatian sejarawan dengan pendekatan ilmu sosial dapatlah berjalan dengan

kerangka struktural.6

Pembahasan ini menggunakan analisa deskriptif, mengungkap sejarah di

balik bidang ilmu pengetahuan tokoh selain sebagai seorang kyai serta negarawan,

K.H.A. Wahid Hasyim juga seorang intelektual yang gemar membaca serta menulis

dalam banyak bahasa.

K.H.A. Wahid Hasyim adalah seorang tokoh yang besar peranannya dalam

pengembangan Kementerian Agama, tokoh ini mempunyai jiwa nasionalisme yang

tinggi. Tokoh ini juga bergerak dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, politik,

sosial. Banyak peninggalan-peninggalan K.H.A. Wahid Hasyim yang bisa

dirasakan sampai sekarang ini, seperti adanya pelajaran ilmu umum di pesantren,

5Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1993), 4.

(17)

8

berdirinya institusi perguruan tinggi negeri yang berbasis Islam, sistem haji di

Indonesia dan lain-lain. Sehingga dalam penelitian ini digunakan kerangka teori

behavioral,7yakni lebih ditekankan mengenai aktor yang memimpin suatu gerakan,

lembaga atau komunitas dan interpretasi terhadap situasi pada zamannya.

Pada sisi lain, penelitin ini juga menggunakan teori patron-klien,8 yang

menerangkan bahwa dalam hubungan interaksi sosial biasanya ditandai oleh

adanya proses pertukaran. Proses pertukaran ini yang dikenal dengan istilah teori

pertukaran,9 muncul karena individu mengharapkan ganjaran, baik ekstrinsik

maupun intrinsik. Namun demikian, dalam proses pertukaran itu ditandai pula oleh

penguasaan sumber daya yang tidak sama, hubungan-hubungan pribadi, dan asas

saling menguntungkan sehingga terjadi hubungan patron (superior) – klien

(inferior). Wujud patron-klien dapat berbentuk individu atau kelompok. Dalam

hubungan ini para klien mengakui patron-nya sebagai orang yang memiliki

kedudukan yang lebih kuat. Sedangkan kebutuhan klien dapat terpenuhi melalui

sumber daya langka yang dimiliki patron-nya.

Secara terperinci, Legg mengemukakan tiga syarat agar terjalin hubungan

antara Patron-Klien, yakni pertama, penguasaan sumber daya yang tidak sama,

kedua hubungan yang berifat khusus, pribadi dan mengandung kemesraan, ketiga

berdasarkan azas saling menguntungkan.

7Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 11. 8Safrudin B. Layn, “Patron Klien Dalam Perspective Sosiologi”, dalam

http://rudilayn.blogspot.com (02 Maret 2012).

9Safrudin Bustam Layn, Dinamika Ikatan Patron Klien: Suatu Tinjauan Sosiologi”, dalam

(18)

9

Dalam pengembangannya pada penelitian ini mengacu pada kepentingan

yang dimiliki oleh patron, dalam hal ini adalah K.H.A. Wahid Hasyim, yaitu demi

berkembangnya Kementerian Agama, terdapat tiga hal yang dimiliki sesuai dengan

dasar teori tersebut.

Pertama K.H.A. Wahid Hasyim memiliki sumber daya yang digunakan

dalam menjalankan misi beliau, yaitu dalam mengembangkan Kementerian Agama

yang baru lahir ini. Sedangkan sumber daya itu sendiri masih terbagi dalam

beberapa cabang, antara lain adalah pengetahuan dan keahlian. Jelas sekali bahwa

K.H.A. Wahid Hasyim memiliki pengetahuan dan keahlian, sebab beliau adalah

seorang tokoh yang berilmu pengetahuan tinggi. Seorang kyai, negarawan,

intelektual dan lain sebagainya, yang telah diabdikan pada agama, negara dan

bangsa. Misalnya K.H.A. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai wakil kepala

Kantor Urusan Agama (Shumubu) dilanjutkan dengan menjadi Menteri Agama tiga

periode berturut-turut, bagaimana seorang yang tak berpengetahuan memiliki

kemampuan sebagai seorang pemimpin. Sebagai anggota BPUPKI, bagaimana

seorang tak berpengetahuan dapat terpilih untuk merumuskan dasar negara

Indonesia.

Kedua, sumber daya selanjutnya adalah pemilikian yang berupa material,

dan dibawa langsung dalam pengawasan patron. Sebagai seorang pemimpin,

K.H.A. Wahid Hasyim benar-benar bertanggung jawab terhadap apa yang

dipimpin. Santrinya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, dalam madrasah

(19)

10

Ketiga, sumber daya terakhir yang dimiliki oleh patron adalah pemilikian

lain yang pengawasannya secara tidak langung atas barang milik orang lain. Bentuk

pemilikan semacam ini biasanya dimiliki oleh para pejabat, yang pengawasannya

dilakukan berdasarkan kekuatan jabatan. Maka berdasarkan kekuatan jabatan itu,

seorang pejabat dapat membantu yang bersangkutan. Namun sumber daya yang

demikian ini berkedudukan sangat lemah karena tergantung pada jabatan, yang

diduduki oleh patron tersebut. Meskipun K.H.A. Wahid Hasyim memiliki banyak

jabatan di berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan negara, beliau selalu

menjaga hubungan dengan umat dan masyarakat.

Dari ketiga sumber daya yang dimiliki oleh patron tersebut, dapat

mempermudah dalam menarik klien. Dengan demikian K.H.A. Wahid Hasyim

mampu menjadikan Kementerian Agama sebagai wadah untuk mengurusi

permasalahan semua agama di Indonesia dengan segala sumber daya yang dimiliki

beliau. Semua itu bukan tanpa sengaja. Dengan sadar, kemampuan beliau adalah

tonggak utama dalam usaha yang telah dilakukan.

F. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu penulis menemukan skripsi yang juga

membahas tentang K.H Wahid Hasyim yang ditulis oleh Siti Quzaimah Mahasiswa

UIN Sunan Ampel Surabaya dengan skripsinya yang berjudul “Perjuangan K.H

Wahid Hasyim Dalam Penyusunan Dasar Negara Republik Indonesia. Skripsi ini

(20)

11

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Serta perdebatan yang terjadi pada

waktu sebelum kemerdekaan tentang Piagam Jakarta.

Serta pembahasan tentang K.H Wahid Hasyim juga ditulis oleh Awaluddin

Baidhowi Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dalam skripsinya yang berjudul

“Perjuangan Politik Islam K.H Wahid Hasyim (1942-1947) skripsi ini menulis

tentang perpaduan perjuangan K.H Wahid Hasyim pada masa penjajahan Jepang

sampai pada masa kemerdekaan.

Kemudian skripsi tentang pembahasan K.H Wahid Hasyim juga ditulis oleh

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam skripsinya yang berjudul

“Pembaruan Pendidikan Islam K.H Wahid Hasyim (Menteri Agama R.I 1949

-1952)”. Skripsi ini fokusnya membahas tentang pembaruan yang dilakukan oleh

K.H Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan di Indonesia dengan menggabungkan

ilmu umum dengan agama serta disini juga dijelaskan sumbangsih K.H Wahid

Hasyim selama menjabat sebagai Menteri Agama khusunya dalam bidang

pendidikan.

Penelitian saya ini berbeda dari tiga skripsi diatas sama-sama membahas

tentang K.H Wahid Hasyim namun isinya berbeda. Memang sangat banyak hal-hal

yang menarik jika kita menelisik tentang kehidupan beliau. Skripsi saya ini yang

berjudul Peran K.H.A Wahid Hasyim dalam Pengembangan Kementerian Agama

(1949-1952 M), nantinya terfokuskan selama beliau menjabat sebagai Menteri

Agama atau boleh dikatakan perjuangan beliau setelah masa kemerdekaan adalah

(21)

12

G. Metode Penelitian

Ini merupakan penelitian kepustakaan serta dalam melakukan penulisan

ilmiah, metode mempunyai peran yang sangat penting. Berdasarkan hal itu,

penulisan ini menggunakan metode penulisan historis. Hasil rekonstruksi masa

lampau berdasarkan fakta-fakta yang telah tersusun yang didapatkan dari

penafsiran sejarah terhadap sumber-sumber sejarah dalam bentuk-bentuk tertulis

disebut historiografi.10 Menurut Kuntowijoyo, setelah menentukan topik ada empat

tahapan dalam penelitian sejarah,11 yaitu: pengumpulan sumber (Heuristik), kritik

sumber (verifikasi), analisis dan sintesis (interpretasi), dan penulisan sejarah

(Historiografi). Lebih jelasnya langkah-langkah tersebut akan di paparkan sebagai

berikut:

1. Heuristik

Pada tahap ini penulis mengumpulkan data dengan mengunjungi

perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, perpustakaan daerah Jombang,

perpustakaan daerah Surabaya, museum NU Surabaya dan perpustakaan pondok

pesantren Tebuireng Jombang. Data yang akan penulis gunakan meliputi arsip,

jurnal dan buku karangan orang yang sezaman dengan Wahid Hasyim.

Sumber-sumber tersebut dapat dianggap sebagai Sumber-sumber primer karena Sumber-sumber primer

sendiri adalah sumber yang dihasilkan atau ditulis oleh pihak-pihak yang secara

langsung terlibat atau menjadi saksi mata dalam peristiwa sejarah.12 Diantara

10Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 2004), 17. 11Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 69.

(22)

13

sumber primer yang penulis gunakan diantaranya, pertama, buku karangan

Aboebakar Atjeh yang berjudul “Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan

Karangan Tersiar” buku ini merupakan rujukan utama tentang tokoh Wahid

Hasyim yang penyusunannya dilakukan oleh oleh banyak orang yang tergabung

dalam Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim, sumber ini penulis peroleh

dari perpustakaan Pondok Pesantren Tebuireng. Kedua, beberapa tulisan Wahid

Hasyim yang dimuat di jurnal Suara Muslimin Indonesia seperti, tulisannya yang

berjudul “Melenyapkan Yang Kolot, Kebangkitan Dunia Islam, Islam Agama

Fitrah (Dasar Manusia), sumber ini penulis peroleh dari Museum NU Surabaya.

Ketiga, sumber primer yang berupa arsip surat keputusan Presiden Soekarno

yang menetapkan Wahid Hasyim sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan

arsip surat tentang pembentukan Liga Muslimin Indonesia, ini juga penulis

peroleh dari Museum NU Surabaya.

Sumber sekunder juga digunakan berupa buku-buku atau literatur yang

relevan dengan topik penelitian, sehingga dapat sedikit memberikan tambahan

informasi. Sumber seknder penulis peroleh dari Perpusatakaan Daerah Jombang,

Surabaya dan Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya. Diantara sumber

sekunder yang digunakan, buku karangan Achmad Zaini dengan judul K.H.

Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam, Aqib Suminto dengan judul

Politik Islam Hindia Belanda, Saifuddin Zuhri dengan judul Guruku

Orang-orang Pesantren, Mohammad Rifa’i dengan judul Wahid Hasyim Biografi

(23)

14

ke Khittah 1926, Imron Arifin dengan judul Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok

Pesantren Tebuireng.

2. Kritik

Kritik merupakan bagian yang sangat penting dalam penulisan sejarah. Dari

data yang terkumpul dalam tahap heuristik diuji kembali kebenarannya melalui

kritik guna memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini keabsahan sumber

tentang keasliannya (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan

keabsahan tentang kesahihannya (kredibilitasnya) ditelusuri lewat kritik intern.13

Terkait dengan kritik intern untuk menguji keshohihan suatu sumber yang

penulis peroleh berupa buku, jurnal dan arsip. Pertama untuk buku dengan

melihat kapasitas penulisnya misalnya buku Sedjarah Hidup K. H.A. Wahid

Hasyim dan Karangan Tersiar yang diterbitkan oleh Panitia Buku Peringatan

Alm. Wahid Hasyim yang beranggotakan orang-orang seperjuangan Wahid

Hasyim dalam pemerintahan yang juga merupakan saksi hidup beliau. Kedua

untuk jurnal adalah tulisan Wahid Hasyim yang dimuat di Majalah Suara

Muslimin Indonesia tentang segala permasalahan yang dihadapi Bangsa

Indonesia. Ketiga tentang arsip berupa surat dari PBNU yang diketuai oleh

Wahid Hasyim diberikan kepada Badan Kongres Muslimin Indonesia untuk

pembentukan Liga Muslimin Indonesia.

(24)

15

Sedangkan kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dalam wujud

mengamati beberapa hal seperti, tanggal, seruan, nama dan judul penulis, ucapan

selamat, pengantar, kesimpulan, subskripsi, dan penutup. Serta gaya bahasa yang

meliputi perbendaharaan kata dan susunan kalimat.14 Untuk kritik ekstern buku

dari Aboebakar Atjeh dengan mengamati beberapa kata sambutan dari K.H. M.

Ilyas dan K.H. Idham Chalid yang merupakan orang yang masih hidup pada

zaman Wahid Hasyim sehingga bisa dikatakan sebagai saksi hidup Wahid

Hasyim. Serta dengan mengamati orang-orang yang tergabung dalam Panitia

Buku Peringatan Alm. Wahid Hasyim yang kebanyakan hidup sezaman dengan

Wahid Hasyim. Jurnal Suara Muslimin arsip Surat Keputuan Presiden yang

memutuskan Wahid Hasyim sebagai Pahlawan Nasional serta arsip surat

pembentukan Liga Muslimin Indonesia dilakukan dengan melihat angka

tahunnya yang masih menggunakan angka tahun Jepang/Saka yang pernah

digunakan di Indonesia pada masa tersebut.

3. Interpretasi

Adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang

sumber-sumber yang di dapatkan apakah sumber-sumber-sumber-sumber tersebut telah diuji

autentisitasnya sehingga terdapat hubungan antara yang satu dan yang lain.15

Dalam hal ini mengenai sumber yang penulis peroleh sudah mampu

memberikan gambaran mengenai kehidupan K.H.A. Wahid Hasyim yang

terkhusus selama beliau menjabat sebagai Menteri Agama di Indonesia. serta

(25)

16

terdapat kesinambungan antara sumber-sumber yang diperoleh yang tentunya

penulis lakukan dengan menganalisanya secara mendalam.

4. Historiografi

Historiografi merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah, yakni usaha

untuk merekonstruksi kejadian masa lampau dengan memaparkan secara

sistematis, terperinci, utuh dan komunikatif agar dapat dipahami dengan mudah

oleh para pembaca.

Disini membahas mengenai “Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam

Pengembangan Kementerian Agama (1949-1952 M) yang penulisannya

memperhatikan faktor kronologisnya di mana beliau pernah menjabat selama

tiga periode serta bab demi bab saling sambung-menyambung.

H. Sistematika Bahasan

Penelitian ini nantinya akan di susun dalam lima bab. Bab pertama adalah

pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian

terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua tentang biografi K.H.A. Wahid Hasyim yang pokok isinya

mengenai kelahiran dan latar belakang keluarga, masa perkembangan meliputi

riwayat pendidikan, riwayat organisasi dan riwayat keluarga, dilanjutkan dengan isi

(26)

17

Bab ketiga tentang latar belakang berdirinya Kementerian Agama di

Indonesia meliputi bab K.H.A. Wahid Hasyim dalam periodesasi beridirinya

kementerian agama yang dibagi menjadi sub bab masa Jepang, masa kemerdekaan

dan selanjutnya bab tentang sejarah berdirinya Kementerian Agama dan

kepemimpinan Kementerian Agama yang dibagi menjadi sub bab kepemimpinan

H.M. Rasjidi, B.A, Kepemimpinan Prof. Fathurrahman Kafrawi, K.H. Masjkur

meliputi bidang pendidikan, bidang haji dan bidang perkawinan, selanjutnya

kepemimpinan Teuku Muhammad Hasan lalu kepemimpinan K.H.A. Wahid

Hasyim.

Bab keempat adalah Peran K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pengembangan

Kementerian Agama (1949-1952 M) meliputi restrukturisasi kementerian agama,

mendirikan jawatan urusan agama, mendirikan peradilan agama, pembaruan dalam

dunia pendidikan meliputi sub-bab, mendirikan perguruan tinggi agama Islam

(PTAIN) dan sejarah berdirinya, sub-bab selanjutnya menyeimbangkan ilmu agama

dan umum, medirikan Pendidikan Guru Agama (PGA), selanjutnya memperbaiki

manajemen haji.

Bab kelima adalah penutup, yang berisi simpulan dari seluruh rangkaian

penelitian, serta saran bagi para peneliti-peneliti selanjutnya terkait

kekurangan-kekurangan yang ada dalam penelitian ini, sehingga dapat dijadikan tolak ukur

(27)

18

BAB II

BIOGRAFI K.H.A. WAHID HASYIM

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Hari Jum’at Legi 5 Rabiul Awwal 1333 H bertepatan dengan 1 Juni 1914 di

Jombang Jawa Timur,16 menjadi salah satu hari yang paling penting dalam

perjalanan rumah tangga pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah17 binti

Kyai Ilyas. Di hari itu lahir anak laki-laki pertama mereka yang diberi nama Abdul

Wahid. Beliau merasa gembira dan bersyukur atas lahirnya bayi laki-laki yang

melengkapi rumah tangga mereka. Namun mereka juga tidak memandang rendah

anak perempuan yang telah lahir sebelumnya. Sebagai pendiri dan pengasuh

pesantren besar dan terkemuka, beliau tentu sangat mendambakan munculnya

orang yang dapat melanjutkan jejak langkah perjuangannya, yakni membesarkan

dan mengembangkan pondoknya.18

Sewaktu mengandung putranya yang kelima ini, kondisi kesehatan Nyai

Nafiqah agak memburuk. Sebagaimana sudah menjadi kebiasaannya, tiap kali

mengandung ibu Wahid Hasyim terganggu kesehatannya. Nyai Nafiqah merasa

16

Aboebakar, Sedjarah Hidup, 141.

17Nafiqah adalah istri ketiga dan tujuh wanita yang dikawin oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Lihat

Solichin Salam, K.H. Hasjim Asj’ari Ulama Besar Indonesia (Jakarta: Djaja Murni, 1963), 38.

18Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda “Potret Keluarga Besar K.H.A Wahid Hasyim (Jombang:

(28)

19

lemah dan gelisah, barangkali disebabkan karena perawakan badannya yang tidak

kuat dan sering merasa sakit-sakitan.

Oleh karena itu, suatu hari Nyai Nafiqah bernazar, “Jika nanti bayi yang ku

kandung lahir dengan selamat, dia akan kubawa kepada guru ayahnya (K.H. Kholil

Madura).”19

Pada umur tiga bulan, sang ibu teringat nazarnya ketika mengandung jabang

bayi tersebut selama berbulan-bulan penuh dengan keletihan. Waktu itu, perjalanan

ke Bangkalan Madura tidaklah semudah sekarang yang ada jembatan Suramadu,

meskipun jarak antara Tebuireng dan Bangkalan sebenarnya tidak terlalu jauh.

Dalam perjalanan ini, sang bunda ditemani Mbah Abu.

Perjalanan menuju Surabaya ditempuh dengan kereta api. Sementara dari

Surabaya ke Madura ditempuh dengan kapal laut yang penuh sesak penumpang.

Dari Madura ke Kademangan ditempuh dengan naik dokar. Dari Kademangan

menuju rumah K.H. Kholil di Bangkalan ditempuh dengan berjalan kaki. Pada

waktu itu hari sudah menjelang malam dan hujan mulai rintik-rintik.

Di saat inilah terjadi pengalaman spiritual pertama kali pada diri Wahid

Hasyim. Ketika hari telah malam, cuaca semakin buruk dan hujan mulai turun

disertai petir. Ibunda Wahid Hasyim memanggil sang tuan rumah karena rumah

kelihatan sepi, anehnya sang tuan rumah kemudian muncul menyuruh mereka tetap

berdiri di halaman alias tidak masuk, dengan perkataan, “Kamu sekalian tiada saya

(29)

20

ijinkan masuk ke rumah saya dan tiada pula saya ijinkan pergi dari situ, pendek

kata, kamu harus tetap berada dalam tempatmu sekarang, sampai ada perintah lagi

dari saya.”

Namun, ketika sekian lama tidak ada perintah lagi sementara mereka

berhujan-hujanan, sang bunda kasihan melihat bayinya menggigil diterpa air hujan.

Akhirnya, sang bunda mencoba menempatkan bayinya di emperan rumah agar

tidak kehujanan. Sambil menaruh bayinya di bawah emperan, sang bunda tak

henti-hentinya berucap, “Lailaha illa anta, ya hayyu yaqayyum (tidak ada Tuhan

melainkan Engkau, wahai Tuhan yang menjaga dan menghidupkan).”

Mengetahui perbuatan tamunya seperti itu, Mbah Kholil marah dan

meminta agar bayi itu dibawa ke tengah halaman lagi. Sang bunda pun kembali

menurut. Akhirnya, Mbah Kholil minta kepada Nyai Nafiqah agar segera

meninggalkan tempat itu. Maka, tidak ada pilihan lain. Sang bunda pun pulang ke

Jombang dengan seribu tanda tanya yang tidak terjawab saat itu, mengapa Mbah

Kholil berbuat seperti itu. Rupanya, kejadian luar biasa itu menjadi salah satu

pertanda bahwa kelak Wahid Hasyim akan menjadi orang besar.20

Anak kelima dari sepuluh bersaudara ini semula oleh ayahnya akan diberi

nama Muhammad Asy’ari yang diambil dari nama kakeknya. Karena dianggap

kurang sesuai, akhirnya dinamailah anak itu Abdul Wahid yang juga nama seorang

(30)

21

datuknya. Tetapi ibunya sering memangilnya dengan panggilan Mudin. Ketika

telah dewasa, kemenakan-kemenakannya menyebutnya pak Id.

Sebagaimana sudah diketahui Abdul Wahid yang di kemudian hari lebih

dikenal dengan nama Wahid Hasyim yang berasal dari keluarga yang sangat

terpandang. Ayahnya, K.H. Hasyim Asy’ari adalah pendiri dan pengasuh Pesantren

Tebuireng, Jombang. Di antara para ulama besar Indonesia kelahiran paruh kedua

abad ke-19, tampaknya beliau lah yang paling terkemuka dan paling luas

pengaruhnya. Beliau dikenal sangat ahli dalam bidang tafsir dan hadits, di samping

memiliki pengetahuan yang sangat mendalam mengenai ilmu-ilmu keislaman

lainnya. Pesantren yang dipimpinnya telah melahirkan banyak ulama besar yang

kemudian mendirikan dan mengasuh pesantren.

Kakek dari ayahnya K.H. Asy’ari adalah pendiri pesantren Keras di

Jombang. Sementara kakek ayahnya (mertua KH. Asy’ari), yaitu Kyai Usman

adalah seorang kyai terkenal dan pendiri pesantren Gedang, sekitar dua kilometer

sebelah timur Jombang. Ibunya (istri KH. Hasyim Asy’ari) adalah putri kyai Ilyas

dari Sewulan (Madiun).21

B. Masa Perkembangan 1. Pendidikan

Sejak kecil Wahid Hasyim sudah masuk Madrasah Tebuireng dan lulus

pada usia 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu

kesusastraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga mempunyai hobi

(31)

22

membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima jam. Dia

juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.

Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan pengembaraan

mencari Ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia

mondok dari awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan. Setelah itu pindah ke

Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh K.H. Abdul

Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, Wahid

Hasyim menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya.

Akhirnya pada tahun 1929 dia kembali ke Pesantren Tebuireng.

Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru

mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin

bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga

berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa

Arab.

Wahid Hasyim mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan majalah

tiga bahasa, “Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya mengambil dua

bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai belajar Bahasa

Inggris.22

Beliau mempelajari bahasa Asing berkat dorongan dari Ibunya yang ingin

Wahid Hasyim tumbuh menjadi seorang yang pintar secara ilmu umum dan

agama. Ibunya (Nyai Nafiqah) mengikutkan Wahid Hasyim kursus bahasa Asing

22A.Mubarok Yasin & Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang: Pustaka

(32)

23

serta beliau juga pendengar aktif radio BBC sehingga membuka pemikiran beliau

yang luas.

Pada pertengahan tahun 1932 Wahid Hasyim pergi ke tanah suci. Di

samping untuk menunaikan rukun Islam, juga untuk memperdalam berbagai ilmu

agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani saudara sepupunya, Muhammad Ilyas

yang kelak dikenal sebagai K.H. Muhammad Ilyas dan menjadi menteri agama

pada pertengahan tahun 1950-an. Sepupunya yang lebih tua tiga tahun ini

memiliki jasa yang besar dalam membimbing Wahid Hasyim yang dikenal fasih

berbahasa Arab.

Meskipun sekitar dua tahun menuntut ilmu di Mekkah, tampaknya Wahid

Hasyim memanfaatkan betul kesempatan yang langka dan berharga ini. sehingga,

hasil yang diperolehnya tidak kalah dengan mereka yang jauh lebih lama berada

di sana. Sekembalinya dari Mekkah pada akhir tahun 1933, ia pun mulai bergerak

setahap demi setahap. Ia terjun di masyarakat serta mulai memimpin dan

mendidik para santri di Pondok Tebuireng. Pesantren asuhan ayahnya ini menjadi

laboratorium pertama baginnya, tempat dia menguji coba gagasan-gagasan dan

pemikiran-pemikirannya. Sejarah membuktikan bahwa ia memainkan peran

penting bagi modernisasi Tebuireng.

Dalam usia sekitar 20-an tahun, Wahid Hasyim telah sering membantu KH.

Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan menjawab surat

-surat atas nama ayahandanya dalam Bahasa Arab yang ditujukan kepada banyak

ulama di berbagai pelosok tanak air yang menanyakan masalah-masalah hukum

(33)

24

hafalannya, serta didorong oleh semangatnya untuk maju, dalam usia belia ia

telah menjadi calon kyai muda di bawah asuhan langsung ayahandanya.23

2. Riwayat Organisasi

Pada tahun 1938, Wahid Hasyim mulai terlibat dalam organisasi. Dia

bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan yang

berlokasi di Cukir, dan kemudian menjadi ketua cabang NU di Jombang. Dua

tahun kemudian, dia dipromosikan menjadi pengurus besar NU, tepatnya di

Departemen Pendidikan (Ma’arif). Di lembaga inilah Wahid Hasyim

mempropagandakan ide-ide yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum

pesantren dan mereorganisasi madrasah-madrasah NU.24

Promosi yang begitu cepat diperoleh oleh Wahid Hasyim di NU dapat

dilihat dari dua sisi: keluarga dan kemampuan (kapabilitas) nya. Sebagai putra

seorang ulama besar, kharisma ayahnya bisa jadi menjadikan Wahid Hasyim

lebih percaya diri untuk memegang jabatan dan posisi di NU. Setujunya Hasyim

Asy’ari terhadap promosi putranya yang begitu cepat dapat dilihat dari sisi bahwa

ayahnya melihat putranya sebagai wakilnya yang dapat memberikan informasi

yang dapat dipercaya dan cepat.

Sedang dari aspek kemampuannya dalam bidang keorganisasian dan

kepemimpinannya, Wahid Hasyim sudah diakui oleh kalangan tradisional.

Kemampuannya dapat dilihat dengan jelas ketika dia pulang dari Mekkah (tahun

(34)

25

1933). Dia berusaha mengembangkan institusi pesantren sekaligus mendirikan

organisasi kepemudaan. Kesuksesannya dalam mengimplementasikan

ide-idenya, setidaknya, menjadi indikator kapabilitas dan kompetensinya untuk

memegang jabatan yang strategis. Jadi, dua faktor; keluarga dan kemampuan

yang dimiliki Wahid Hasyim memudahkan jalannya untuk menduduki posisi

penting baik dalam organisasi keagamaan, sosial maupun politik.

Di samping mempunyai perhatian yang sangat besar dalam dunia

pendidikan, yakni pengembangan institusi pesantren dan madrasah, Wahid

Hasyim juga peduli terhadap perpolitikan pada saat itu, khususnya pada akhir

penjajahan Belanda dan datangnya bangsa Jepang. Dia terlibat dalam pergerakan

menentang adanya penjajahan. Pada tahun 1940, Wahid Hasyim terpilih sebagai

ketua MIAI (Majelis al-Islam al-A’la Indonesia), sebuah federasi

organisasi-organisasi Islam yang terdiri pada tahun 1937, di mana NU dan Muhammadiyah

menjadi tulang punggungya. Bersama-sama dengan GAPI (Gabungan Politik

Indonesia), federasi partai-partai politik yang didirikan oleh kalangan sekuler

nasionalis pada tahun 1939, NU bersama-sama GAPI membentuk Konggres

Rakyat Indonesia yang menuntut Indonesia berparlemen.25 Akhir masa

penjajahan Belanda, Wahid Hasyim diminta ayahnya kembali ke Tebuireng untuk

mengelola pesantren. Tetapi, setelah Jepang menguasai Indonesia, dia kembali

lagi terlibat dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia.

(35)

26

Komitmennya terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara kesatuan

Indonesia dapat dilihat dalam keterlibatannya dalam rapat-rapat BPUPKI dan

PPKI bersama dengan Sembilan orang yang terdiri dari Soekarno, Mohammad

Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji

Agus Salim, Achmad Soebarjo, dan Muhammad Yamin. Yang setelah rapat

menghasilkan satu modus vivendi antara para nasionlis Islami pada satu fihak, dan

para nasionalis sekuler pada lain pihak membahas tentang bentuk negara.26

Setelah merdeka pada tahun 1945, Wahid Hasyim bersama-sama dengan

ulama baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis menyelenggarakan

Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini pada akhirnya

menyepakati berdirinya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia),

satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia.27

Selain terpilih sebagai ketua Masyumi, Wahid Hasyim juga terpilih menjadi

Menteri Agama dalam tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Beberapa

sumbangsih dia selama menjabat sebagai Menteri Agama, antara lain merubah

sistem departemen dari yang bersifat kolonial kepada ke Indonesiaan, menjaga

hubungan yang baik antara pemeluk agama yang berbeda di tanah air, dan

gagasan Wahid Hasyim untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri

(PTAIN) yang kemudian namanya diubah menjadi IAIN.

(36)

27

Ketika NU di bawah kepemimpinannya memutuskan keluar dari Masyumi

dan mendeklarasikan berdirinya NU sebagai partai politik pada tahun 1952,

alasan keluarnya NU dari Masyumi tidak lain adalah kekecewaan orang NU

terhadap Masyumi karena jabatan Menteri Agama yang biasanya diberikan

kepada kader NU yang menginginkan Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama,

pada waktu itu tidak diberiken jabatan tersebut sehingga NU keluar dari

Masyumi. Setelah tidak menjadi Menteri Agama Wahid Hasyim mencurahkan

seluruh tenaganya bagi perkembangan partai tersebut.

Sebagai seorang tradisionalis, Wahid Hasyim membawa ide-ide yang maju

terhadap perkembangan dunia pesantren, sekaligus sebagai mediator dialog

antara kaum tradisionalis dengan modernis di satu sisi, dan dengan kaum

nasionalis di sisi yang lain. Berkat sumbangsih yang diberikan kepada nusa dan

bangsa semasa penjajahan sampai masa kemerdekaan, Wahid Hasyim

mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh

Keputusan Presiden RI No. 206, tertanggal 24 Agustus 1964.28

3. Riwayat Keluarga

Wahid Hasyim mengakhiri masa lajangnya pada usia sekitar 25 tahun dengan

menikahi Sholehah binti K.H. Bisyri Syamsuri seorang pendiri dan pemimpin

Pesantren Denanyar, Jombang serta salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dan pernah

juga menjadi Rais Aam PBNU. Dari perkawinan ini Wahid Hasyim dikaruniai 6

anak, 4 putra dan 2 putri. Masing-masing adalah Abdurrahman Ad-Dachil

(37)

28

(sekarang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), Aisyah,

Salahudin al-Ayyubi, Umar, Chadijah, dan Hasyim. Sangat disayangkan, Wahid

Hasyim tidak sempat mendidik anak-anaknya lebih lama karena ia meninggal dunia

dalam usia relatif muda, 39 tahun, tepatnya pada 19 April 1953, saat perjalanan

menuju Sumedang untuk menghadiri rapat pengurus Nahdlatul Ulama. Bahkan

anak bungsunya lahir setelah Wahid Hasyim meninggal. Namun kecerdasannya

yang luar biasa dan kepandaiannya berorganisasi paling tidak diwarisi oleh anak

sulungnya yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU namun beliau juga telah wafat

pada 31 Desember 2009 yang lalu.29

C. Karya-karya Beliau

Wahid Hasyim adalah seorang penulis yang cukup produktif. Meskipun dia

tidak menulis sebuah buku, berbagai artikel ditulisnya baik menyangkut masalah

keagamaan, pendidikan maupun isu sosial politik. Tulisan-tulisannya

dipublikasikan di berbagai majalah dan koran. Secara umum, tulisan Wahid Hasyim

dapat diklasifikasikan menjadi empat, yakni pendidikan, politik, administrasi

departemen agama, dan agama.

Dalam bidang pendidikan, Wahid Hasyim memberikan perhatian terhadap

reformasi pendidikan, misalnya pendidikan bagi anak, perkembangan kemampuan

berbahasa, pendidikan agama, termasuk didalamnya pendirian perguruan tinggi

agama, dan perlunya penggunaan rasio guna menyelesaikan masalah-masalah

kekinian. Wahid Hasyim menulis sebuah artikel yang berjudul “Abdullah Oeybayd

29Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani

(38)

29

sebagai Pendidik”. Dalam artikelnya, dia menjelaskan bagaimana sebaiknya

mendidik seorang anak. Dan pengamatannya terhadap Abdullah Oeybayd dalam

mendidik anak, dia mengatakan bahwa anak-anak harus dilatih sejak dini untuk

menggunakan segenap kemampuannya. Ini sangat penting untuk membiasakan

mereka bersandar pada dan mengetahui kemampuan mereka sendiri. Dengan

demikian, anak-anak akan tumbuh dengan percaya diri dan tidak mudah menyerah

dalam menggapai cita-cita mereka.30

Berkaitan dengan perkembangan bahasa, Wahid Hasyim mencoba

menumbuhkan rasa kebangsaan dengan mendorong anak bangsa untuk

menggunakan bahasa Indonesia. dalam artikelnya “Kemadjuan bahasa, Berarti

Kemadjuan Bangsa”, dia mengajak bangsa Indonesia untuk menggunakan

bahasanya dalam percakapan sehari-hari. Artikel ini ditulis sebagai respon terhadap

adanya kecenderungan dikalangan orang Indonesia untuk menggunakan bahasa

asing seperti bahasa Belanda dan Inggris, dalam kehidupan sehari-hari. Ekspresi

good morning” atau “goeden morgen” lebih banyak terdengar dalam masyarakat

dibanding “selamat pagi”. Di samping dia menganjurkan bangsa Indonesia untuk

belajar bahasa asing, dia meminta agar bahasa Indonesia yang sedang berkembang

tidak begitu saja dilupakan dan tidak diabaikan. Tidak ada orang yang bangga dan

mau mengembangkannya, katanya, kecuali bangsa Indonesia sendiri. Disebutkan

juga contoh bagaimana Hitler dan Chamberlain bangga dengan bahasa nasionalnya.

Walaupun Hitler menguasai bahasa Inggris dan Chamberlain menguasai bahasa

(39)

30

Jerman, masing-masing menggunakan bahasa nasionalnya tiap kali bertemu dalam

sebuah rapat, dan diterjemahkan oleh interpreter mereka.31

Mengenai pendidikan agama, termasuk didalamnya ide pendirian perguruan

tinggi agama dan perlunya penggunaan pendekatan intelektual dalam mengatasi

masalah, Wahid Hasyim menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak

dapat dipercepat dengan jalan revolusi sebagaimana politik, tetapi dapat dicapai

melalui jalan ketekunan, kesabaran, dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Dalam pandangannya, kunci keberhasilan menuju Indonesia maju adalah

pendidikan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu pengembangan akal, spirit (semangat),

dan jasmani. Dan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa kemajuan tidak hanya

dicapai hanya mengandalkan perkembangan akal dan jasmani, tetapi yang lebih

penting adalah adanya spirit yang hanya bisa dicapai melalui pendidikan agama.

Ketiga aspek tersebut harus diberikan secara seimbang.32

Berdirinya perguruan tinggi agama, menurut Wahid Hasyim, merupakan

satu cara mencapai kemajuan. Ketika Wahid Hasyim memberikan sambutan dalam

acara peresmian PTAIN, dia menekankan bahwa ilmu pengetahuan dapat

dikembangkan dalam atmosfer keterbukaan, tak dicampuri dengan doktrin agama

dan politik. Manusia, khususnya mahasiswa, seharusnya senantiasa melakukan

penelitian dan berpikir kritis. Dalam sambutannya, dia juga menambahkan bahwa

(40)

31

perlu menjalin kerja sama antar perguruan tinggi lainnya, misalnya Sekolah

Teologi, bahkan dia berharap adanya merger di antara perguruan tinggi tersebut.33

Bidang lain yang menjadi perhatian Wahud Hasyim adalah politik. Dia

sering memberikan komentar terhadap berbagai isu politik. Terhadap Masyumi, dia

melakukan evaluasi dan analisis terhadap jalannya organisasi umat Islam, begitu

juga dengan lambatnya penyebaran ajaran Islam, posisi dan peran ulama Indonesia

dalam mempengaruhi masyarakat guna mencapai suara terbanyak dalam pemilihan

umum dan sebagainya.34 Secara singkat, dalam artikelnya tersebut Wahid Hasyim

mencoba menunjukkan kelemahan umat Islam dalam pemerintahan dan

perpolitikan, dan memberikan alternatif pemecahan-pemecahan terhadap masalah

yang dihadapi umat Islam.

Dalam artikel “Siapakah jang Akan Menang dalam Pemilihan Umum Jang

Akan Datang ?” ini misalnya, Wahid Hasyim secara terang-terangan mengkritik

partai-partai politik yang masih mengutamakan keinginan (interest) golongannya

di atas kepentingan negara. Tujuh tahun setelah kemerdekaan, menurutnya tidak

membuat Indonesia semakin bagus dalam urusan ekonomi, politik, sosial atau

keagamaan, bahkan dalam beberapa aspek lebih buruk. Adanya situasi seperti ini

disebabkan partai politik tidak punya spirit untuk maju, tetapi sebaliknya mereka

berebut untuk mendapatkan kursi, yakni mengamankan posisi mereka dalam

pemerintahan, meskipun tidak layak untuk mendudukinya. Wahid Hasyim meminta

33Wahid Hasyim, “Perguruan Tinggi Islam, “idem, “Perguruan Tinggi Agama Islam,” Ibid., 808

818.

34Wahid Hasyim, “Masyumi Lima Tahun”, Idem, “Analisis Kelemahan Penerangan Islam, Ibid.,

(41)

32

agar partai politik menyadari kelemahan mereka, keluar dari pikiran yang sempit

dan picik dan berjuang bagi kejayaan bangsa Indonesia secara umum.35

Meskipun dia diangkat sebagai Menteri Agama, dia masih aktif menulis

artikel yang berkaitan dengan kebijakan pembentukan kementerian agama,

termasuk tugas-tugas kementerian agama, perlunya kesadaran beragama dan

perlunya pembenahan organisasi yang mengelola haji serta peningkatan kualitas

layanannya. Pernah ketika masih menjabat sebagai menteri, dia mengeluarkan

sebuah kebijakan yang cukup kontroversial. Kebijakan yang dikeluarkan Wahid

Hasyim sebagai menteri agama adalah bahwa semua yang akan menunaikan ibadah

haji harus bisa membaca dan menulis huruf Latin. Meskipun dia banyak mendapat

kritik dan para ulama, misalnya K.H. Abdurrahman Sjihab, pemimpin Jami’atul

Wasliyah, yang mengatakan tidak ada persyaratan seperti itu dalam berhaji, Wahid

Hasyim mampu mengajukan argumen yang membuat, pada akhirnya, para

penentangnya menerima kebijakan tersebut.36 Kebijakan tersebut, setidaknya juga

menunjukkan kepedulian Wahid Hasyim terhadap pemberantasan buta huruf latin

yang masih banyak pada waktu itu.

Mengenai masalah agama, Wahid Hasyim menulis artikel, di antaranya

“Nabi Muhammad dan Persatuan Manusia”, “Kebangkitan Dunia Islam”, dan

“Beragamalah dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan.” Secara umum,

dia menekankan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Di manapun Islam

memenangkan sebuah pertempuran, Nabi tidak pernah memenjarakan musuhnya,

(42)

33

tetapi menjamin kemerdekaan mereka. Dia juga menekankan bahwa manusia pada

hakekatnya bersaudara, oleh karena itu rasa persaudaraan harus senantiaa dijaga.

Selanjutnya dia mengajak umat beragama yang ada di Indonesia untuk

menghindari segala bentuk kekerasan dan membangun hubungan yang baik antar

umat beragama. Melalui beberapa tulisan tersebut, Wahid Hasyim menunjukkan

kepiawaiannya sekaligus keluasan ilmu pengetahuannya sebagaimana dinyatakan

Saifudin Zuhri bahwa “tulisan Wahid Hasyim menunjukkan visi dan keluasan ilmu

pengetahuannya”.37

Biografi Wahid Hasyim, setidaknya menunjukkan bahwa meskipun produk

pesantren, dia adalah seorang yang berpikiran maju sebagaimana dibuktikan

dengan keterlibatannya dalam berbagai organisasi sosial keagamaan dan politik.

Keterlibatannya di NU, MIAI, dan Masyumi mengindikasikan komitmennya

terhadap pendidikan, perjuangan kemerdekaan, dan perkembangan sebuah negara

Indonesia yang kuat.38

D. Akhir Hayat K.H.A Wahid Hasyim

Hari saptu tanggal 18 April 1953 merupakan hari terakhir yang bisa

dinikmati oleh Wahid Hasyim. Sebab, keesokan harinya, ia pergi meninggalkan

semuanya menghadap Allah SWT setelah mengalami kecelakaan mobil. Ketika itu

ia bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU setempat. Dengan

menaiki mobil Chevrolet miliknya, ia berangkat ditemani seorang sopir dari harian

(43)

34

Pemandangan dan Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslimin, Putra

sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil (Gus Dur) juga turut serta dalam perjalanan

ini.

Di saptu pagi itu berangkatlah mereka berempat menuju Sumedang, Sekitar

jam satu siang dalam keadaan hujan di daerah Cimindi, suatu tempat, terjadilah

musibah kecelakaan itu. Mobil yang mereka tumpangi selip dan tiba-tiba datang

truk dari arah berlawanan. Bagian belakang mobil terbentur truk dengan sangat

keras yang membuat Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar keluar. Keduanya

mengalami luka parah, sedangkan sopir dan Abdurrahman baik-baik saja. Setelah

mendapat perawatan satu malam, keesokan harinya ia menghembuskan nafas

terakhirnya sekitar pukul 10.30. Sedangkan Argo Sutjipto telah meninggal sore

sebelumnya. Pada Ahad siang kedua jenazah dibawa ke Jakarta dan tiba dikediaman

beliau sekitar maghrib. Keesokan harinya jenazah KH. Wahid Hasyim dibawa ke

Jombang untuk dimakamkan di tempat kelahirannya, Tebuireng.39

Untuk mengetahui bagaimana suasana proses pemakaman jenazah beliau

sejak keberangkatan dari Jakarta, dapat dilihat di buku Sedjarah Hidup K.H.A

Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar karya Aboebakar Atjeh:

Untuk mengetahui bagaimana kedudukan almarhum dalam masyarakat

dapat dilihat dari banyaknya orang yang datang ta’ziyah serta pernyataan turut

(44)

35

berkabung kerumah almarhum, sejak tibanya jenazah dari Bandung pada Minggu

sore.

Selain Masyarakat serta alim-ulama yang datang ke rumah almarhum,

tampak pula Wakil P.M. Prawoto selaku wakil pemerintah, Ketua Parlemen Mr.

Sartono, Menteri Kesehatan Dr. Leimena serta nyonya Menteri Agama K. Fakih

Usman, Wakil Ketua II Parlemen Arudi Kartawinata, Dr. Sukiman Ketua I Partai

Masyumi, Mohd. Natsir Ketua Umum Partai Masyumi, Menteri Dalam Negeri Mr.

Mohd. Rum, Mr. Kasmansingodimejo, Menteri Sosial Anwar Cokroaminoto, Wali

kota Jakarta Raya Syamsurizal dll. Orang-orang terkemuka, wakil organisasi serta

beberapa perwakilan orang asing yang berada di Jakarta. Wakil P.M Prawoto

menyampaikan belasungkawa atas nama pemerintah kepada keluarga almarhum.

Di samping itu tidak dilupakan pula jasa-jasa almarhum yang telah disumbangkan

kepada rakyat dan negara. Pernyataan belasungkawa pemerintah itu disambut oleh

K. Dachlan atas nama keluarga almarhum.40

Pagi-pagi hari Senin tanggal 20 April 1953, dirumah alamarhum kelihatan

orang sudah penuh sesak untuk turut mengantarkan jenazah sampai kelapangan

terbang Kemayoran, atau hanya untuk menyampaikan penghormatan yang terakhir.

Auto merk buick bercat hitam, dihiasi penuh dengan karangan bunga yang

akan membawa Jenazah almarhum sampai di lapangan terbang Kemayoran,

(45)

36

kira pukul 7 pagi berangkat dari rumah berjalan perlahan dikawal oleh barisan polisi

bersepeda motor, pandu Anshor serta barisan auto.

Di lapangan terbang Kemayoran juga sudah banyak orang yang menanti.

Setibanya auto jenazah dan barisan pengiring di lapangan terbang, maka peti

jenazah di turunkan dari auto dengan perlahan, kemudian di naikkan kedalam

pesawat GIA yang sengaja dicarter buat keperluan pengangkutan jenazah ke

Surabaya. setelah peti Jenazah di tempatkan dan diatur dengan sempurna dalam

pesawat, lalu Sekretaris Jenderal Mohd. Kafrawi memanggil orang-orang yang ikut

satu persatu menaiki pesawat terbang.

Setelah segala sesuatu berjalan dengan tertib dan suasana berkabung

kira-kira pukul 8 pesawat mulai bergerak , berjalan sedikit demi sedikit naik meninggi

meninggalkan lapangan terbang Kemayoran, dilepaskan orang-orang yang turut

menghantarkan jenazah itu dengan rasa terharu.41

Kira-kira pukul 10.30 pagi hari itu, pesawat GIA yang membawa jenazah,

mendarat dilapangan terbang Perak Surabaya. jenazah diterima oleh Panitia

Penyambutan Jenazah yang diketuai oleh K.H Abd, Cholik, adik dari almarhum.

Dilapangan Perak sudah banyak orang yang datang menyambut, diantaranya

tampak Gubernur Jawa Timur Samadikun, Panglima Divisi Brawijaya Let. Kol.

Sudirman, alim ulama serta wakil-wakil pemerintah sipil dan militer.

(46)

37

Setelah peti jenazah diturunkan dari pesawat, lalu di pindahkan kedalam

ambulan kepunyaan Angkatan Darat Divisi Brawijaya. Penyambutan berjalan

dengan tertib dan dalam suasana berkabung. Keamanan diatur oleh Barisan Mobile

Brigade, tentara, polisi lalu lintas dan pandu anshor.

Sejak dari lapangan terbang sampai memasuki kota Surabaya, disepanjang

jalan banyak rakyat, terutama murid-murid madrasah berdiri dipinggir jalan untuk

memberikan penghormatan yang terakhir serta rasa berduka cita.

Ambulan yang mengangkut dihiasi dengan karangan bunga dikawal oleh

barisan poilisi polisi lalu lintas, pandu anshor, barisan bersepeda serta auto

orang-orang yang turut mengantar yang berjumlah tidak kurang dari 120 buah, dan

panjangnya iring-iringan kurang lebih 2 km. Dibelakang ambulan yang membawa

jenazah, tampak auto keluarga almarhum.42

Karena sengaja desakan masyarakat Sepanjang, terpaksalah jenazah

diberhentikan sebentar dan oleh berpuluh-puluh orang yang mengerumuni itu

kemudian dibacakan tahlil dan beberapa ayat Suci al-Qur’an sebagai tanda ikut

berkabung dan duka citanya. Begitu sepanjang jalan deretan masyarakat yang ikut

menyambut, kemudian sampai di Kriyan memaksa minta supaya ambulan jenazah

dihentikan, tepat didepan Masjid Kriyan jenazah diberhentikan sebentar dan

dibacakan pula ayat-ayat suci al-Qur’an.

(47)

38

Begitulah ditiap-tiap kota kecil masyarakat sama menununggu dan mencoba

ingin menghentikan untuk menyatakan ikut berduka citanya, setelah didua tempat

tersebut maka untuk tidak menghambat jalanya ambulan jangan sampai terlambat,

maka oleh Kyai Abd. Cholik permintaan itu ditolak, berhubung waktu sudah sore

takut kalau kemalaman sampai di Tebuireng.

Kira-kira pukul 2 kurang seperempat ambulan serta iring-iringan yang

mengantar tiba di Tebuireng, tempat kelahiran almarhum, dan dimana jenazah akan

dimakamkan. Oleh karena sangat benyaknya manusia yang menunggu, maka

rombongan pengantar tidak dapat bergerak hanya ambulan serta auto yang

ditumpangi keluarga almarhum dapat berjalan langsung masuk halaman rumah.

Jenazah almarhum setibanya dirumah terus disembahyangkan

berganti-ganti oleh rakyat serta alim ulama yang datang dari berbagai daerah Jawa Timur

dan Jawa Tengah serta murid-murid Pesantren Tebuireng, berlangsung dari jam dua

siang hingga jam empat sore baru selesai.43

Perlu diterangkan, bahwa pemakaman belum dapat dilangsungkan karena

masih menunggu kedatangan adik almarhum, yang nomor empat Letnan satu

Mohd. Yusuf datang dengan dikawal oleh tentara. Setelah ia melihat wajah

kakaknya yang terakhir, barulah pemakaman dilangsungkan.

Selesai jenazah dikuburkan, maka oleh Ketua Panitia Penyambutan atas

nama keluarga dan panitia menyatakan banyak terima kasih atas nama keluarga dan

(48)

39

panitia menyatakan banyak atas segala perhatian dan pertolongan yang telah

diberikan pihak Pemerintah sipil dan militer serta organisasi, terutama alim ulama

yang telah memimpin dan menyelenggarakan pemakaman yang telah berlangsung

dengan sebaik-baiknya. Kemudian Menteri Agama K. Fakih Usman selaku wakil

pemerintah berbicara, mengenangkan jasa almarhum K.H.A. Wahid Hasyim yang

telah disumbangkan kepada bangsa dan negara serta agama. Akhirnya berbicara

pula berturut-turut salah seorang kyai atas nama alim ulama dan K.H. Abd. Wahab

Hasbullah atas nama PBNU.

Beberapa hari setelah adanya peristiwa yang sangat menyedihkan tampak

bahwa suasana berkabung dalam kota Jombang masih tampak, dengan adanya dari

beberapa kawan dan bekas murid-murid Tebuireng dari jauh pada waktu itu tidak

dapat ikut serta menghantarkan jenazah Alm. K.H.A. Wahid Hasyim, tampak

berderet-deret mobil dan truk datang dari daerah-daerah yang jauh, terutama dari

daerah Madura dan Bali.

Demikianlah upacara pemakaman selesai kira-kira pukul 5 sore.

Kembalilah semua orang yang turut dalam upacara pemakaman itu dengan rasa

masghul dan terharu sambil berkata kepada diri masing-masing. K.H.A. Wahid

Hasyim seorang yang berpengaruh, masih banyak cita-cita yang akan

dikerjakannya, masih membumbung tinggi himmah dan azamnya untuk

memperbaiki nasib umat, masih muda usianya, dan dalam keadaan sehat serta segar

bugar, kini ia telah beralih ke alam baqa’ untuk menghadap Ilahi.44

(49)

40

BAB III

LATAR BELAKANG BERDIRINYA KEMENTERIAN AGAMA DI INDONESIA

A. Periodesasi Berdirinya Kementerian Agama 1. Masa Jepang

Setelah Jepang dapat mengontrol wilayah Indonesia, Jepang mulai mencari

cara agar mendapat bantuan dari bangsa Indonesia, terutama komunitas Muslim

dan pemimpin nasional, agar memperkuat posisinya di Indonesia. Pada mulanya,

penguasa Jepang menyatukan pemimpin bangsa Indonesia: Soekarno, M. Hatta,

Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansur, pemimpin yang berperan semasa

penjajahan Belanda dengan diberikan kepercayaan kepada mereka dalam

mengontrol urusan negara, terutama menyiapkan dasar berdirinya Negara

Republik Indonesia pada tahun 1945. Di samping itu, untuk mendapatkan

simpati dari kalangan Muslim, bangsa Jepang mulai mengadakan kontak dengan

ulama’. Dengan demikian, ulama’ kemudian muncul sebagai salah satu elemen

yang sangat penting dalam perpolitikan bangsa Indonesia.

Bangsa Jepang menyadari pentingnya mempunyai sebuah federasi yang

memayungi segala bentuk organisasi keagamaan (Islam) sehingga seluruh

pemimpin umat Islam berkumpul dan dapat disatukan, yang dengan demikian

Referensi

Dokumen terkait

Di provinsiku yang disebut "Seribu Pulau" ini, kalian dapat menjumpai beberapa jenis objek wisata, yaitu wisata alam, wisata pantai, wisata budaya, dan

Prosedur Tetap Cara Pelaksanaan Penyehatan Lingkungan RSU Bunda Thamrin Medan Tahun 2012 Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/

Sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah adalah kecamatan Kotarih 103 jiwa/km2, dan Kecamatan Bintang Bayu 112 jiwa/Km2, maka persebaran

Responden memberikan tanggapan bahwa aspek think (berpikir) yang diberikan oleh Aming Coffee dapat menyentuh sisi pengalaman konsumen meliputi letak Aming Coffee

Perbedaan umur yang sangat jauh dan status janda yang dimiliki oleh Khadijah, tidak menjadi halangan bagi mereka, karena pada saat itu suku Quraisy memiliki adat dan budaya yang

Keadaan cerviks yang baik pada kontraksi uterus yang baik, maka persalinan per vagina dianjurkan, tetapi apabila terjadi gagal induksi cerviks atau induksi cerviks

Hasil evaluasi yang diperoleh pada siklus II ini mencapai tingkat 90% jadi sudah dapat dikatakan tuntas, untuk itu tidak perlu lagi diadakan pembelajaran pada siklus

Penggunaan video pembelajaran IPA umumnya sangat diminati oleh semua siswa MIN Kroya, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan terhadap 27 responden yang