• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penodaan agama : analisis putusan Pengadilan Negeri Gresik nomor 461/pid.b/2015/PN.Gsk.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penodaan agama : analisis putusan Pengadilan Negeri Gresik nomor 461/pid.b/2015/PN.Gsk."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK

PIDANA PENODAAN AGAMA

(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor

461/Pid.B/2015/PN.Gsk)

SKRIPSI

Oleh

Risalatul Mu’auwanah NIM. C03213052

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan

Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Penodaan Agama (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor 461/Pid.B/2015/PN.Gsk)” merupakan hasil dari penelitian kepustakaan untuk menjawab dua pertanyaan, yaitu bagaimana pertimbangan hakim pada putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor 461/Pid.B/2015/PN.Gsk tentang penodaan agama dan bagaimana tinjaun hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor 461/Pid.B/2015/PN.Gsk tentang penodaan agama.

Data penelitian yang dihimpun adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dihimpun melalui pengumpulan data literatur dan dokumentasi dan selanjutnya dianalisis menggunakan teknik deskriptif analisis, Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dapat diketahui bahwa Hakim menjatuhkan hukuman telah mempertimbangkan pidana kepada terdakwa sudah sesuai dengan kadar kesalahan dan berpatokan pada penjatuhan hukuman dengan menerapkan unsur edukatif atau pendidikan, yang tertuang dalam amar putusan perkara Nomor 461/Pid.B/2015/PN.Gsk tentang penodaan agama dengan menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Hal ini dalam pandangan hukum pidana Islam termasuk jarimah riddah dengan hukuman pengganti berupa ta’zi>r. Penerapan hukuman ta’zi>r pada tindak pidana penodaan agama pada putusan Pengadilan Negeri Gresik dirasa sesuai jika diterapkan dalam konteks pidana islam, karena ta’zi>r merupakan hukuman yang dijatuhkan serta besar kecilnya ditentukan oleh ulil amri.

(7)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Kajian Pustaka ... 8

F. Tujuan Penelitian ... 10

G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

H. Definisi Operasional... 12

I. Metode Penelitian... 13

J. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA A. Konsep Jarimah Ta’zi>r ... 18

(8)

C. Tindak Pidana Penodaan Agama Menurut Hukum

Pidana Islam.. ... 34

BAB III DESKRIPSI PERKARA TENTANG PENODAAN AGAMA

PERKARA NOMOR 461/PID.B/2015/PN.GSK PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK

A. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Gresik ... 45 B. Deskritif Kasus Tentang Penodaan Agama Perkara

Nomor 461/Pid.B/2015/PN.Gsk Putusan Pengadilan

Negeri Gresik ... 46 C. Pertimbangan Hukum Hakim ... 57

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

PERTIMBANGAN HAKIM PADA PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI GRESIK NOMOR

461/Pid.B/2015/PN.GSK TENTANG PENODAAN AGAMA A. Analisis Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Penodaan agama dalam Putusan Pengadilan Negeri

Gresik Nomor 461/Pid.B/2015/PN.Gsk ... .. 64 B. Analisis Hukum Pidana Islam tentang Pertimbangan

Hakim terhadap Tindak Pidana Penodaan agama dalam

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, maka semakin berkembanglah

pula angka kejahatan yang terjadi sehingga menimbulkan keresahan pada

masyarakat. Diantara berbagai macam kejahatan adalah penodaan agama. Hingga

hari ini dunia tak terkecuali Indonesia, tak pernah sepi dari penghinaan/penodaan

terhadap Islam dan umatnya. Mulai penghinaan terhadap Rasulullah dengan

penggambaran dalam bentuk karikatur merendahkan, al-Qur'an dikencingi atau

dimasukkan closet, Al-Qur'an dijadikan terompet tahun baru, dan lain-lain hingga

yang terbaru penodaan al-Qur'an oleh gubernur non aktif DKI Jakarta.1

Penistaan agama atau penodaan agama adalah perbuatan sengaja yang

dilakukan dengan tujuan untuk melukai, menghina dan perbuatan tersebut

merupakan kejahatan.2 Dari sini dapat dipahami bahwa objek dari penghinaan

tersebut adalah suatu agama.

Indonesia adalah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh

karenanya suatu perundang-undangan perlu mengadakan suatu adaptasi dengan

1

Abdul Rochim, “Inilah kasus-kasus penistaan agama di Indonesia”, dalam http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-38001552, diakses pada tanggal 6 Maret 2017.

2

Kementerian Agama RI, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam, (Jakarta: Badan

Litbang dan Diklat, 2014), 3. 1

(10)

2

suasana hukum kita Indonesia yang diliputi oleh unsur keagamaan. Sehingga hal

ini membenarkan bahkan mewajibkan penciptaan delik-delik agama.3

Dalam hukum pidana Indonesia, tindak pidana penodaan agama diatur dalam

pasal 156a KUHP yang berbunyi:4

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa

dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b. Dengan maksud agar supaya orang yang tidak menganut agama apapun juga,

yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP ini pada dasarnya

melarang orang:5

a. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan, yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

b. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga

yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

3

Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1984), 68.

4

Andi Amzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 63.

5

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 477.

(11)

3

Perkembangan saat ini sering terjadi penodaan terhadap agama baik di dunia

nyata maupun dunia maya. bentuknya bisa berupa perkataan, perilaku, ataupun

tulisan bermuatan provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau

kelompok. Bahkan bahnyak yang bermuatan unsur SARA, yang dapat

menimbulkan rasa kebencian. Di tahun 2015 terdapat kasus penodaan agama

yang sudah diproses secara hukum dan sudah diputuskankan oleh Pengadilan

Negeri Gresik dengan nomor perkara No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk.

Tindak pidana ini terjadi ketika Nanang Kurniawan pada tahun 2014 sampai

dengan tahun 2015, bertempat di PT. Pradipta Perkasa Makmur Gresik, dengan

sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang

pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap

suatu agama yang dianut di Indonesia. Bentuk penodaannya dengan membuat

desain alas sandal dengan motif kaligrafi yang di dalamnya terdapat lafadz Allah.

Setelah produksi selesai, sandal tersebut dipasarkan di beberapa kota atau

provinsi di Indonesia. Hal tersebut menjadi ramai diperbincangkan di masyarakat

dan Media Sosial Facebook berkenaan dengan sandal yang alas kakinya ada

tulisan arab berlafaz “Allah”.6

Menanggapi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI)

telah menginstruksikan kepada FPI Jawa Timur agar segera mengambil tindakan

6

Andi S, “Terdakwa Sandal Lafadz Allah Divonis 1,6 Tahun”, dalam http://beritagresik.com/news/hukum/29/02/2016/terdakwa-sandal-lafadz-allah-divonis-16-tahun.html, diakses pada tanggal 16 November 2016.

(12)

4

hukum. KH. Jakfar Shiddiq, wakil ketua umum FPI mengatakan “Masalah ini

tidak cukup diselesaikan hanya dengan maaf-maafan saja. Ini harus dibawa ke

meja hijau”.7 Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat telah

mendelegasikan MUI Jawa Timur dan MUI Gresik untuk melakukan investigasi.

Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin mengatakan, investigasi ini dilakukan

langsung oleh MUI Jawa Timur dan Gresik. Pembentukan tim investigasi dari

MUI ini bukan tanpa alasan. Menurut dia, terlepas dari alasan produsen, tapi MUI

memang telah mencurigai adanya upaya kesengajaan menjatuhkan simbol dan

nilai-nilai Islam atau setidaknya upaya untuk memancing kemarahan umat Islam

dengan merendahkan ajaran atau simbol-simbol sakral umat Islam.8

Penghinaan terhadap Allah SWT, al-Quran, Nabi Muhammad saw. atau

simbol-simbol Islam lainnya bisa terjadi karena dua faktor. Pertama: Faktor

kebodohan, yakni ketidaktahuan akan perbuatan yang merupakan penghinaan;

atau ketidaktahuan akan kemuliaan apa yang dihina; atau mengejar materi yang

tak seberapa dengan mengorbankan kehidupan yang kekal. Kedua: Faktor

kedengkian yang mendominasi akal dan nurani yang mengakibatkan kemuliaan

7

FPI Online, “Penistaan Agama, FPI Jawa Timur Bawa Kasus “Sandal Lafadz Allah” ke Meja Hijau”, dalamhttp://www.fpi.or.id/2015/10/penistaan-agama-fpi-jawa-timur-bawa.html,diakses pada tanggal 17 November 2016.

8

Muslimahdaily, “MUI Investigasi Sandal Lafaz Allah”, dalam

http://www.muslimdaily.net/berita/mui-investigasi-sandal-berlafaz-allah.html, diakses pada tanggal 27 Maret 2017

(13)

5

terlihat sebagai kehinaan dan kebenaran terlihat sebagai kejahatan.9 Allah swt

berfirman:10

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan

baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl : 106)11

Dalam Islam suatu tindak kejahatan disebut dengan jinayah yaitu suatu

tindakan yang dilarang oleh shara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa,

harta, keturunan dan akal. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan

hukum pidana, adapun seseorang yang melakukan kejahatan dapat dikenakan

hukuman. Dalam Islam hukuman tersebut disebut dengan h{add, yaitu suatu

sanksi yang ketetuannya sudah dipastikan oleh nas}s}.12

Penodaan agama dalam fiqh jinayah termasuk dalam riddah atau murtad.

Riddah menurut bahasa adalah kembali, sedangkan menururt shara’ adalah

kembali dari agama islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang

9

Susilawati Nadya, “Penistaan Agama, Sekularisme Penyebabnya”, dalam

https://indonesiana.tempo.co/read/98811/2016/11/15/susi.nadya77i/penistaan-agama-sekularisme-penyebabnya, diakses pada tanggal 27 Maret 2017.

10

Al-Qur’an Al-Karim

11

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang Disempurnakan, Jilid 5 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 390.

12

Munajat Makhrus, Hukum Pidana Isam di Indonesia, (Yogyakarta; Teras, 2009), 4.

(14)

6

menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan. Dari definisi tersebut, dapat

diketahui bahwa unsur-unsur jarimah riddah itu ada dua macam:13

1. Kembali (keluar) dari Islam

2. Adanya niat yang melawan hukum (kesengajaan)

Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman, yakni: hukuman

pokok, hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman pokok jarimah

riddah adalah hukuman mati, sedangkan hukuman pengganti diberikan apabila

hukuman pokok tidak diterapkan. Hukuman pengganti ini berupa hukuman ta’zi>r.

Adapun hukuman tambahan adalah merampas hartanya atau hilangnya hak

terpidana untuk ber-tas{arruf (mengelola)hartanya.14

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan menganalisis pemasalahan tersebut

lebih jauh lagi dengan menuangkan dalam penelitian yang berjudul “Tinjauan

Hukum Pidana Islam terhadap Tindak Pidana Penodaan Agama (Putusan No

:461/Pid.B/2015/PN.Gsk. tentang penodaan agama)”

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis

mengidentifikasi permasalahan yang muncul didalamnya, yaitu:

1. Berkembangnya tipe kejahatan

2. Maraknya penistaan agama

13

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 121.

14

A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), 117.

(15)

7

3. Sekilas tentang penodaan agama dan aspek hukum di Indonesia.

4. Sanksi hukum bagi pelaku penodaan agama menurut hukum pidana Islam dan

pasal 156a KUHP

5. Tinjauan hukum pidana islam terhadap tindak pidana penodaan agamna

6. Pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana penodaan agama

7. Putusan hakim tentang tindak pidana penodaan agama.

C.Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi diatas, maka ditetapkan batasan masalah yang perlu

dikaji. Studi dibatasi pada batasan masalah:

1. Pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana penodaan agama.

2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penodaan agama

D.Rumusan Masalah

Agar lebih praktis dan operasional maka permasalah di dalam penelitian ini

dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana analisis pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana

penodaan agama dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik No:

461/Pid.B/2015/PN.Gsk ?

2. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam tentang pertimbangan hukum

terhadap tindak pidana penodaan agama dalam putusan Pengadilan Negeri

(16)

8

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian dimaksudkan untuk mengetahui penelitian

lain yang dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran

mengenai pembahasan dan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis

yang mungkin pernah dilakukan pada peneliti sebelumnya, sehingga diharapkan

tidak ada pelanggaran dan kesamaan materi secara mutlak.

Upaya penelitian tindak pidana penodaan agama dengan cara menganalisis

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik dengan Nomor Perkara

461/Pid.B/2015/PN.Gsk tentang penodaan agama. Tidak bisa dipungkiri bahwa

dalam penulisan skripsi ini selain menggunakan kajian putusan yang terdapat di

Pengadilan Negeri Gresik serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah

penodaan agama sebagai bahan rujukan, penulis juga menggunakan hasil karya

ilmiah (skripsi) yang sudah pernah ditulis oleh penulis-penulis sebelumnya.

Pembahasan tentang masalah ini sebelumnya sudah ada yang menulis

diantaranya:

1. Skripsi (2007) berjudul “Makna Murtad dalam Al-Qur’an (Perbandingan

Muhammad Quraish Shihab dan Ahmad Musthafa al-Maraghi)” yang dibahas

oleh Abdul Halim. Intinya skripsi ini hanya membahas makna murtad dalam

perbandingan persepsi menurut pandangan Muhammad Quraish Shihab dan

pandangan Ahmad Musthafa al Maraghi. Muhammad Quraish Shihab,

(17)

9

Al-Qur’an. Sedangkan Ahmad Musthafa al-Maraghi cenderung menyamakan

makna murtad kepada kitab-kitab tafsir dan hadits.15

2. Skripsi (2009) berjudul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama

Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif” yang dibahas oleh Ahmad Rizal.

Skripsi ini membahas penistaan agama menurut hukum Islam dan hukum

positif, serta akan menganalisis yurisprudensi perkara yang bermuatan

penistaan agama, dalam hal ini penulis mengambil kasus aliran Qiyadah

al-Islamiyah dan airan jamaah Salamullah.16

3. Skripsi (2014) berjudul “Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Penodaan Agama

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dalam Perspektif Fiqh Jinayah”

yang dibahas oleh Ahmad Habibullah. Skripsi ini membahas sanksi hukum

terhadap pelaku penodaan agama dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1965

Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama serta tinjauan

Fiqh Jinayah mengenai sanksi hukum terhadap pelaku penodaan agama dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan

Atau Penodaan Agama.17

15

Abdul Halim, Makna Murtad dalam Al-Qur’an: Perbandingan Muhammad Quraish Shihab dan Ahmad Musthafa al-Maraghi, (Skripsi--Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel, 2007).

16

Ahmad Rizal, Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, (Skripsi--Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2009).

17

Ahmad Habibullah, Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Penodaan Agama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dalam Perspektif Fiqh Jinayah, (Skripsi--Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel, 2014).

(18)

10

Persamaan titik acuan peneliti dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya

ialah sama-sama membahas mengenai penodaan agama. Sedangkan perbedaan

titik acuan peneliti dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya ialah peneliti

dalam hal ini lebih membahas mengenai pertimbangan hukum hakim dalam

memutuskan perkara penodaan agama ditinjau dari hukum pidana Indonesia.

Selain itu peneliti juga akan melakukan tinjauan hukum pidana Islam mengenai

tindak pidana penodaan agama dan pertimbangan hukum hakim dalam

memutuskan perkara penodaan agama dengan menganalisis contoh kasus yang

kongkret, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Gresik No.

461/Pid.B/2015/PN.Gsk. Dengan demikian antara penelitian yang akan dilakukan

oleh peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya terdapat

adanya suatu perbedaan.

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang ingin

dicapai penulis antara lain:

1. Untuk mengetahui analisis pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana

penodaan agama dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik No:

(19)

11

2. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Pidana Islam tentang pertimbangan hukum

terhadap tindak pidana penodaan agama dalam putusan Pengadilan Negeri

Gresik No: 461/Pid.B/2015/PN.Gsk.

G.Kegunaan Hasil Penelitian

1. Secara Teoritis : dijadikan suatu masukan dalam perspektif hukum pidana

Islam dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan tentang penodaan

agama. Selain itu dapat dijadikan perbandingan dalam penyusunan penelitian

selanjutnya dan sebagai informasi bagi masyarakat tentang tindak pidana

penodaan agama.

2. Secara Praktis : hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan

wacana dan penyumbangan pemikiran baik secara komunikatif, informatif,

maupun edukatif khususnya bagi masyarakat yang awam akan penegakan

hukum yang ada di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan

sebagai bahan acuan melakukan penelitian yang akan datang serta diharapkan

dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana khususnya

(20)

12

H.Definisi Operasional

1. Hukum pidana Islam : hukum yang membahas berbagai masalah kejahatan

dalam Islam.18 Yang dimaksud kejahatan dalam penelitian ini adalah kejahatan

atau jari>mah riddah.

2. Tindak pidana : perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang.19 Yang dimaksud tindak pidana dalam penelitian ini adalah

tindak pidana penodaan agama yang diatur dalam KUHP.

3. Penodaan agama : perbuatan, perkataan, dan tulisan yang berniat untuk

memusuhi atau menghina suatu agama.20 Yang dimaksud penodaan agama

dalam penelitian ini adalah perbuatan designer yang menodakan agama dengan

cara mendesain alassandal dengan kaligrafi surah Al-Ikhlas yang di dalamnya

terdapat lafdz Allah.

4. Putusan PN Gresik No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk. Direktori Putusan :

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.21

Putusan PN Gresik No. 461/Pid.B/PN.Gsk. berisi tentang penodaan agama

yang dilakukan oleh designer tersebut.

18

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), vi.

19

Andi Amzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 164.

20

Kementerian Agama RI, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam…, 7.

21

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Hukum Pidana dan Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 2.

(21)

13

I. Metode Penelitian\

Metode penelitian adalah metode yang akan diterapkan dalam penelitian

yang akan dilakukan. Berikut metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini

antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research),

yaitu penelitian yang menekankan sumber informasinya dari buku-buku

hukum, jurnal, dokumen atau arsip hukum dan literatur yang berkaitan atau

relevan dengan objek penelitian.

2. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan adalah pendekatan studi kasus. Pendekatan kasus

menggunakan putusan hakim sebagai sumber bahan hukum.22

3. Data yang Dihimpun

Data yang berhasil dihimpun dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Deskripsi Kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Gresik No.

461/Pid.B/2015/PN.Gsk. tentang Penodaan Agama.

b. Dasar pertimbangan Majelis Hakim

c. Dasar putusan yang digunakan oleh Majelis Hakim

d. Sanksi Hukum yang diputuskan majelis Hakim

22

Dyah Octorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum: Legal Research, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 119.

(22)

14

4. Sumber Data

Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi

mengenai apa yang seyogianya diperlukan sumber-sumber penelitian atau

dalam penelitian hukum disebut bahan hukum. Antara lain:

a. Sumber primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya punya otoritas. Bahan-nahan hukum primer terdiri dari

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.23 Bahan hukum primer dalam

penulisan ini diambil dari KUHP dan Putusan, yaitu Putusan Pengadilan

Negeri Gresik No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk.

b. Sumber sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan

undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan

seterusnya.24 Bahan hukum sekunder antara lain:

1) Munajat Makhrus, Hukum Pidana Isam di Indonesia, Yogyakarta; Teras,

2009

23

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), 141.

24

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: PT>. Raja Grafindo Persada, 1994), 13.

(23)

15

2) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,

2005

3) A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam,

Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000

4) Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan

Penerapannya, Jakarta: PT> Raja Grafindo Persada, 1997.

5) Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah memahami Hukum

Pidana, Jakarta: Kencana, 2014

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan adalah dengan pengumpulan data literatur, yaitu

penggalian bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan bahasan sanksi

pidana. Bahan-bahan pustaka yang digunakan di sini adalah buku – buku yang

ditulis oleh para pakar atau ahli hukum terutama dalam bidang hukum pidana

dan hukum hukum pidana Islam.

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak lansung

ditunjukkan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen, atau dilakukan

melaui berkas yang ada. Dokumen yang diteliti adalah putusan Pengadilan

Negeri Gresik tentang Tindak pidana Penodaan Agama dalam putusan No.

461/Pid.B/2015/PN.Gsk dan hasil wawancara yang didapat dari Majelis Hakim

dalam memutuskan perkara tersebut.

(24)

16

Data yang didapat dari dokumen dan sudah terkumpulkan dilakukan

analisa, berikut tahapan-tahapannya:

a. Editing , yaitu mengadakan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang

diperoleh secara cermat baik dari data primer atau sekunder untuk

mengetahui apakah data tersebut sudah cukup baik dan dapat segera

disiapkan untuk keperluan proses berikutnya,25 yakni tentang penistaan

agama dalam putusan No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk. ditinjau dari Hukum

Pidana Islam.

b. Organizing, yaitu menyusun data secara sistematis mengenai Tindak pidana

penodaan agama dalam putusan No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk. ditinjau dari

Hukum Pidana Islam.

c. Analizing, yaitu tahapan analisis terhadap data, mengenai hukuman Tindak

pidana penodaan agama dalam putusan No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk.

ditinjau dari hukum pidana Islam.

7. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analisis dengan menggunakan pola pikir induktif, yaitu mengemukakan

dalil-dalil atau data-data yang bersifat khusus yakni tentang Tindak pidana

Penodaan Agama dalam putusan No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk. kemudian

25

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 1`26.

(25)

17

ditarik kepada permasalahan yang lebih bersifat umum yakni tindak pidana

Penodaan Agama dalamHukum Pidana Islam

J. Sistematika penulisan

Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka penulis

membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar isi skripsi.

Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah,

batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan

hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab dua merupakan landasan teori tentang penodaan agama menurut hukum

pidana positif dan hukum pidana Islam yang akan dijadikan landasan analisis

masalah, Yang meliputi :pengertian, macam-macam dasar hukum, unsur-unsur

dan sanksi.

Bab tiga memuat gambaran singkat tentang kasus tindak pidana penodaan

agama, dasar hukum pertimbangan hakim tentang tindak pidana penodaan agama,

amar putusan Pengadilan Negeri Gresik No. 461/Pid.B/2015/PN.Gsk. tentang

tindak pidana penodaan agama.

Bab empat merupakan analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Gresik

(26)

18

hakim tentang tindak pidana penodaan agama dalam Putusan No.

461/Pid.B/2015/PN.Gsk. dan Tinjauan hukum pidana Islam terhadap Putusan No.

461/Pid.B/2015/PN.Gsk. tentang tindak pidana penodaan agama.

(27)

18

BAB II

KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA

PENODAAN AGAMA

A.Konsep Jarimah Ta’zi>r

1. Definisi

Pada dasarnya kata jari>mah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau

dosa.1

Kata jari>mah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif

sebagai tindak pidana atau pelanggaran.

Diantara macam jari>mah adalah Jari>mah ta’zi>r. Secara bahasa ta’zi>r

bermakna al-Man’u (pencegahan). Menurut istilah, ta’zi>r bermakna at-Ta’di>b

(pendidikan) dan at-Tanki>l (pengekangan). Adapun yang dimaksud dengan

ta’zi>r menurut terminologi fikih Islam adalah tindakan edukatif terhadap

pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi h{{{{{add dan kafarat atau dengan

kata lain, ta’zi>r adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh

hakim atas pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang

hukumannya belum ada. Mengingat persyaratan dilaksanakannya hukuman

masih belum terpenuhi dalam tindakan-tindakan tersebut.2

Hakim diperkenankan mempertimbangkan baik bentuk ataupun hukuman

yang akan dikenakan. Bentuk hukuman dengan kebijaksanaan ini diberikan

1

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 14.

2

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (H. Ali), Jilid 10 (Bandung: Al-Ma’arif, 1990), 151.

(28)

19

berdasarkan metode yang digunakan pengadilan ataupun jenis tindak pidana

yang dapat ditunjukkan dalam undang-undang. Pelanggaran yang dapat

dihukum dengan metode ini adalah yang mengganggu kehidupan, harta serta

kedamaian dan ketentraman masyarakat.3

Sanksi ta’zi>r ditetapkan sesuai dengan tingkat kejahatannya. Kejahatan

yang besar mesti dikenai sanksi yang berat, sehingga tercapai tujuan sanksi,

yakni pencegahan. Begitu pula dengan kejahatan kecil, akan dikenai sanksi

yang dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa.4

Penetapan kadar sanksi ta’zi>r asalnya merupakan hak bagi Khalifah.

Meskipun demikian sanksi ta’zi>r boleh ditetapkanberdasarkan ijtihad seorang

qa>d{i. Meskipun semua perkara ditetapkan oleh Khalifah, akan tetapi tatkala

Khalifah menetapkan sanksi ta’zi>r, ia tidak boleh keluar dari hukum shara’.

Dari sini jelas, bahwa tatkala Khalifah menetapkan sanksi ta’zi>r tertentu, ia

wajib terikat dengan sanksi yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. atas

perbuatan tersebut.

2. Macam-macam Ta’zi>r

a) Sanksi ta’zi>r yang berkaitan dengan badan.

1) Hukuman mati

3

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), 259.

4

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, (Moch Anwar, et al.), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), 1603.

(29)

20

Hukuman mati untuk jarimah ta’zi>r hanya dilaksanakan dalam

jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat sebagai

berikut:5

a. Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh

hukuman-hukuman hudud selain hukuman-hukuman mati.

b. Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap

masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di

muka bumi.

2) Hukuman dera (jilid)

Hukuman jilid merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum

Islam dan juga merupakan hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana

hudud dan ta’zi>r. Mengenai jumlah hukuman jilid Abu hanifah

berpendapat tidak lebih dari 3 kali jilid. Sedangkan Ibn Qudamah

menyebutkan bahwa batas terendah tidak dapat ditentukan, melainkan

diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai dengan tindak pidananya.

b) Sanksi ta’zi>r yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang.

1) Hukuman penjara

Hukuman ini dapat dikenakan kepada perbuatan yang dinilai berat

dan berbahaya. Hal ini karena hukuman ini dikategorikan sebagai

5

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam…. 260.

(30)

21

kekuasaan hakim, yang karenanya- menurut pertimbangan kemaslahatan-

dapat dijatuhkan bagi tindak pidana yang dinilai berat.

Hukuman penjara terbagi dalam dua jenis, yaitu hukuman penjara

terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas. Hukuman penjara yang

terbatas adalah hukuman yang dibatasi lamanya hukuman yang

dijatuhkan. Para ulama berpendapat lama hukuman terbatas ini dua bulan

atau tiga bulan dan hukuman terendah, mereka sepakat satu hari.

Sedangkan hukuman penjara yang tidak terbatas dapat berlaku sepanjang

hidup, sampai mati atau sampai si terhukum bertaubat.6

2) Hukuman pengasingan (buang)

Hukum buang ini dijatuhkan kepada pelaku jari>mah yang

dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain, sehingga pelakunya harus

dibuang. Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masa pengasingan.

Menurut madzhab Imam Syafi’i, “masa pengasingannya ditentukan

dibawah satu tahun. Menurut madzhab Imam Malik, dibenarkan ta’zi>r

lebih dari satu tahun jika hal tersebut dipandang perlu sebagai salah satu

ta’zi>r (sanksi disiplin).7

c) Sanksi ta’zi>r yang berkaitan dengan harta.

1) Hukuman denda

6

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),… 163.

7

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, (Fadli Bahri), (Jakarta: Darul Falah, 2006), 391.

(31)

22

Sanksi denda ini bisa merupakan hukuman pokok yang dapat

digabungkan dengan sanksi lainnya. Hanya saja syariat tidak

menentukan batas tertinggi atau terendah bagi hukuman denda in dan hal

ini diserahkan kepada hakim sesuai dengan keadilan dan tujuan

pemberian hukuman denda dengan mempertimbangkan jarimah-jarimah,

pelaku dan kondisinya.8

2) Hukuman penyitaan/perampasan

Jika harta didapat dengan jalan tidak halal, atau tidak digunakan

sesuai dengan fungsinya, seperti piasu untuk membunuh, maka dalam

keadaan demikian dapat diterapkan sanksi ta’zi>r dengan merampas harta

tersebut oleh Ulil Amri sebagai hukuman terhadap perbuatannya.9

3) Hukuman penghancuran barang

Dalam Al-Qur’an sendiri tidak dijelaskan ketentuan penghancuran

harta meskipun berkaitan dengan h{add. Meskipun demikian ada ulama

berpendapat bahwa itla>f al-ma>l itu bukan dengan cara menghancurkan,

melainkan diberikan kepada fakir miskin bila harta tersebut halal

dimakan.10

d) Sanksi-sanksi ta’zi>r lainnya yang ditentukan oleh Ulul Amri demi

kesmaslahatan umum.

8

A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam… 213.

9

Ibid., 215.

10

Ibid., 212.

(32)

23

Disamping hukuman-hukuman yang telah disebutkan, terdapat hukuman

ta’zi>r lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai berikut:11

1) Peringatan keras

2) Dihadirkan di hadapan sidang

3) Nasihat

4) Celaan

5) Pengucilan

6) Pemecatan

7) Pengumuman kesalah secara terbuka.

B.Tindak Pidana Penodaan Agama Menurut KUHP

1. Definisi

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bahwa penodaan agama adalah:12

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan

penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau

melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai

kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana

menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

11

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam…. 268.

12

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

(33)

24

Penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal dari

Undang-undang Nomor 1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama ini memusatkan perhatiannya yaitu hendak melindungi

agama (ketentraman orang beragama) terhadap penodaan/penghinaan agama

atau ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama.

UU No.1 Tahun 1965 ini lahir antara lain karena suasana politik dan

keamanan waktu itu dengan hadirnya gerakan separatis DI/TII, Kahar Muzakar

di Sulawesi Selatan dan Daud Beureuh di Aceh yang berlatar belakang agama.

Kebijakan Soekarno yang pada saat itu dianggap tidak mengakomodir

kepentingan umat Islam memunculkan pemberontakan di berbagai daerah.

Dimulai dengan gerakan politik Darul Islam (DI/TII) yang diproklamasikan

pada 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa

Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa

Barat.\

Dalam perkembangannya, DI/TII menyebar hingga di beberapa wilayah

terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan Aceh.

Gerakan DI/TII di Sulawesi dimotori oleh Abdul Kahar Muzakkar. Ia seorang

prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berpangkat Letnan Kolonel

atau Overste pada masa itu. Ia tidak menyetujui kebijakan pemerintahan

(34)

25

dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai

pembangkang dan pemberontak.

Sedangkan pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan proklamasi

Daud Beureuh bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di

bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.

Pemberontakan Aceh berawal dari penolakan Daud Beureuh atas rencana

Jakarta menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara ke dalam satu provinsi.

Karena tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Soekarno, tahun 1953 ia

memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia

pimpinan S.M. Kartosoewirjo.

Gerakan di atas adalah benih pemicu lahirnya UU no. 1 Tahun 1965 ini,

tetapi yang menjadi sebab langsung keluarnya undang-undang ini adalah

meningkatnya ketegangan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan

Nahdhatul Ulama (NU) di pertengahan tahun 1960-an. Menteri Agama waktu

itu, Saifuddin Zuhri, mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan

Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 mengenai Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama. Penetapan ini kemudian dikukuhkan sebagai

undang-undang melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang

Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai

(35)

26

UU No. 1 tahun 1965 mengenai Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama ini dibuat untuk mengamankan negara dan masyarakat,

cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana penyalahgunaan atau

penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Berdasarkan hal

tersebut, maka pemerintah saat itu lewat sidang MPRSnya mengesahkan

perundang-undangan tentang Pencegahan Penodaan Agama nomor 1 tahun

1965.13

Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 pada pasal 4 menyisipkan satu

pasal dalam KUHP yang terdapat dalam Pasal 156 a KUHP berbunyi:14

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa

dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

b. Dengan maksud agar supaya orang yang tidak menganut agama apapun

juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal ini pasal sisipan dengan Penetapan Presiden era Orde Lama. Ada

pihak yang mempermasalahkan Penetapan Presiden ini dan mengajukan

gugatan ke Mahkamah Konstitusi tahun 2010, namun karena Penpres-Penpres

13

Siti Hanna, “Pencegahan Penodaan Agama (Kajian atas UU NO.1 TAHUN 1965)”,Religia Vol. 13, No. 2, Oktober 2010, 160.

14

Andi Amzah, KUHP dan KUHAP… 63

(36)

27

sudah dipilah-pilah oleh MPRS Orde Baru dan penpres mengenai penodaan

agama ini telah dinyatakan dapat diterima, maka telah mendapat status

undang-undang.15

2. Unsur-unsur

Dalam penjelasan pasal demi pasal ini dikatakan :16

Cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan

dengan lisan,tulisan, ataupun perbuatan lain.

Huruf a : tindak pidana yang dimaksudkan di sini adalah semata-mata (pada

pokoknya) ditunjukkan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan

demikian maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara

objectief, zakelijk, dan ilmiah mengenai sesuatu agama, yang disertai dengan

usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang

bersifat permusuhan atau penghinaan bukanlah tindak pidana menurut pasal

ini.

Huruf b : orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping

mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila

pertama dari negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada temanya,

bahwa perbuatannya itu dipidanakan sepantasnya.

15

Andi Amzah, Delik-Delik Tertentu di Dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 249.

16

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2010), 151.

(37)

28

Tindak pidana pertama yang dalam pasal 156a KUHP tersebut terdiri

atas:17

a. Unsur subjektif : dengan sengaja

b. Unsur-unsur objektif :

1. Di depan umum;

2. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;

3. Yang bersifat penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang

dianut di Indonesia.

Tindak pidana kedua yang diatur dalan pasal 156a KUHP tersebut terdiri

atas:

a. Unsur-unsur subjektif :

1. Dengan sengaja;

2. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang

bersendikan ke-Tuhanan Yang Mahaesa;

b. Unsur-unsur objektif :

1. Di depan umum;

2. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.

Unsur sengaja oleh pembentuk undang-undang telah ditempatkan di depan

unsur-unsur yang lain dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a

KUHP, maka kesengajaan pelaku juga harus ditujukan terhadap unsur-unsur

17

P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus; Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara… 477.

(38)

29

yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP tersebut.

Unsur-unsur itu adalah

1. Di depan umum

2. Mengeluarkan perasaanatau melakukan perbuatan

3. Yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

4. Terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Unsur objektif pertama dari tindak pidana pertama yang diatur dalam

Pasal 156a KUHP ialah di depan umum. Adapun mengenai pengertian di muka

umum adalah forum yang tidak terbatas. Misalnya ada pertemuan massal

tetapi substansinya tidak dibicarakan terlebih dahulu, tidak ada batasn-batasan

tertentu kemudian menyampaikan tanpa tanpa ada koridor-koridor yang

disepakati terlebih dahulu. Pengertian di muka umum tersebut termsuk

menulis di media massa, facebook, tweeter.18

Unsur objektif kedua adalah mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan. Itu berarti perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP dapat

dilakukan oleh pelaku, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.

Unsur objektif ketiga adalah bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaaan. Tentang perasaan atau perbuatan mana, yang dapat dipandang

sebagai perasaan atau perbuatan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan

atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, undang-undang

18

Kementerian Agama RI, Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam... 23.

(39)

30

ternyata tidak memberikan penjelasannya, dan menyerahkan kepada para

hakim untuk memberi penafsiran mereka dengan bebas tentang perasaan atau

perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai bersifat bermusuhan,

penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.19

Itu berarti bahwa di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku

harus dapat dibuktikan:20

a. Bahwa pelaku telah “menghendaki” mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan.

b. Bahwa pelaku “mengetahui” perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan

yang ia lakukan itu telah terjadi di depan umum.

c. Bahwa pelaku “mengetahui” perasaan yang ia keluarkan itu sifatnya

bermusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan.

d. Bahwa pelaku :mengetahui” perasaaan bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan itu telah ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di

Indonesia.

3. Contoh Kasus

a. Kaceng Cs

Kasus yang dikaitkan langsung dengan pasal ini yaitu kasus yang

terjadi dan sudah diputus oleh pengadilan negeri Purwakarta dengan

19

P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-delik Khusus; Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara… 479.

20

Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2014), 207.

(40)

31

putusan nomor 19/Pid/Tol/1979, tanggal 13 Desember 1979. Perbuatan

tersebut adalah: “perbuatan penodaan terhadap sesuatu agama (agama

Islam) yang dianut di Indonesia, yaitu mereka (tertuduh) telah

melaksanakan sumpah dengan cara menginjaki dan mengencingi Kitab Suci

Al-Qur’an. Perbuatan tersebut melanggar pasal 55 yo. 156a KUHP dan

Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1695. 21

Namun hakim dalam persidangan menyatakan para terdakwa dalam

kasus tersebut lepas dari segala tuntutan karena adanya unsur paksaan dari

pihak pemeriksa. Hal ini terjadi ketika dalam persidangan pemeriksa

menyuruh para terdakwa bersumpah dengan cara menginjaki dan

mengencingi kitab suci Al-Qur’an, sebagai suatu sarana untuk

membuktikan bahwa mereka tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan

kepada mereka.

b. Arswendo Atmowiloto

Kasus ini terjadi dan sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat dengan putusan tanggal 8 April 1991 nomor

09/IV/Pid.B/1991/PN.Jkt.Pst. Terdakwa Arswendo Atmowiloto selaku

pemimpin redaksi surat kabar mingguan Tabloid Monitor pada bulan

oktober 1990 telah memuat naskah “Ini Dia 50 Tokoh yang dikagumi

pembaca kita”, yang gagasan dan naskah dibuatnya sendiri dimana

21

Juhaya S.Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1993), 46.

(41)

32

dicantumkan nama Nabi Muhammad saw. pada peringkat 11 yang dimuat

dan disiarkan dalam surat kabar Mingguan Tabloid Monitor No. 225/IV

tanggal 15 Oktober 1990, halaman 15.22

Terdakwa menggunakan istilah peringkat, hal ini berarti terdakwa

bermaksud membuat suatu perbandingan bahwa antara nama-nama yang

tercantum dalam tabel tersebut antara satu dengan yang lain ada perbedaan

tinggi dan rendah. Dari uraian tersebut, Hakim dalam persidangan

menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 156a

huruf a KUHP dan menghukum dengan hukuman penjara selama 5 (lima)

tahun.

4. Pendapat para ahli

a. Ismuhadi

Pasal 156a KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap ketertiban

umum, didasarkan pada suatu keinginan untuk melindungi rasa ketentraman

dari orang-orang beragama. Sebagai suatu delik terhadap ketertiban umum,

maka konsekwensinya adalah bahwa hal tersebut menimbulkan suatu delik

agama, yang hanya mengemukakan suatu sanksi pidana, apabila

kepentingan umum terganggu karenanya. Jadi, bukanlah agamanya yang

dilindungi oleh peraturan tersebut, melainkan kepentingan/ketertiban

umumlah yang harus dilindungi. Sehingga, pemidanaannya baru dapat

22

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya, (Jakarta: PT> Raja Grafindo Persada, 1997), 79.

(42)

33

dipertimbangkan apabila pernyataan-pernyataan tersebut mengganggu

ketentraman orang-orang beragama, dan demikian membahayakan

ketertiban umum.23

b. Albert Aries

Dalam menangani kasus dugaan penodaan agama kepolisian harus

berpegang pada mekanisme yang diatur khususnya yaitu Penetapan

Presiden No 1 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan agama dan atau

penodaan agama yang masih berlaku sebagai hukum positif. Pemindaan

atau delik pasal 156a itu belum dapat dipakai dulu sebelum melewati

mekanisme yang diatur dalam Penpres No 1 tahun 1965, peringatan dulu,

kemudian jika setelah diperingatkan tetapi tindakan tersebut diulang

kembali. Selain itu harus dipertimbangkan juga permintaan maaf apakah

sudah disampaikan dan apakah tindakan itu diulangi kembali.24

c. Andi Amzah

Menurut Andi Hamzah, dilihat dari maksud pembuat undang – undang,

pasal 156a merupakan alternatif. Artinya salah satu saja yang dibuktikan

untuk dapat dipidananya pembuat. Dalam hal ini yang dilindungi disini

ialah kebebasan baragama dan melaksanakan agama tanpa gangguan dari

orang lain. Jika dicermati perumusan pasalnya dan juga maksud pembuat

23

Ismuhadi, Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia, (Skripsi--Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008), 68.

24

Anonim, “UU penodaan agama dianggap diskriminatif dan tak sesuai HAM”, http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37820572, diakses pada tanggal 24 April 2017.

(43)

34

pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa terdapat dua tindak pidana

yaitu pertama, dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dan kedua dengan

sengaja dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga

yang bersendikan ke – Tuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, jika

hakim berpendapat pasal tersebut dirumuskan secara kumulatif, maka

terhadap penodaan agama dapat dikenakan Pasal 156 KUHP.25

C.Tindak Pidana Penodaan Agama Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian

Sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menghormati agama Islam,

tidak menghina, atau menggugat sesuatu darinya. Karena itu, tidak seorangpun

diperbolehkan menggugat agama ini atau merendahkannya. Tidak boleh pula

membicarakannya dengan perkataan yang mengandung unsur penghinaan,

olok-olok atau ejekan. Setiap apa yang merupakan olok-olok atau cemoohan,

maka itu merupakan kekufuran dan dapat mengkafirkan pelakunya.26

Setiap orang yang menyerukan sesuatu yang mengandung celaan terhadap

salah satu akidah Islam dari akidah kaum Muslim – dan jika celaan tersebut

25

Dangin Purian, “Aspek Hukum Pidana Penistaan Agama (Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP)”, https://http716.wordpress.com/2016/11/21/aspek-hukum-pidana-penistaan-agama-pasal-156-kuhp-dan-pasal-156a-kuhp/, diakses pada tanggal 25 April 2017.

26

Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, Jaga Agamamu Jangan Sampai Murtad Tanpa Sadar,

(Abu Abdillah Cirebon), Cet 2, (Banyumas: Buana Ilmu Islami, 2016), 196.

(44)

35

dapat mengkafirkan pelakunya, maka ia akan dikenakan sanksi riddah atau

murtad.27

Makna riddah menurut bahasa adalah kembali dari meninggalkan sesuatu

menuju sesuatu yang lainnya. Sedangan menurut shara’ adalah putusnya Islam

dengan niat, ucapan, atau perbuatan. Berikut definisi riddah menurut para

ulama fiqh:

a. Imam An-Nawawi

Riddah ialah memutus keislaman dengan dibarengi niat (ucapan) dan

perbuatan kufur, baik dimaksudkan untuk menghina, menentang, maupun

meyakini (kekufuran tersebut). Adapun perbuatan yang berakibat pelakunya

dianggap kafir adalah bermaksud menghina agama secara terang-terangan

atau secara tegasmenolak agama tersebut, seperti melemparkan mushaf

Al-Qur’an ke tempat yang kotor dan sujud kepada berhala atau matahari.

b. Zainuddin Al-Malibari

Riddah adalah seorang mukallaf yang memutuskan keislamannya

melalui perbuatan kufur, sedangkan dia melakukannya dalam keadaan tidak

dipaksa lagi mengerti.28

c. Asy Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazy

27

Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, (Syamsuddin Ramadlan), (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), 306.

28

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in… 1549.

(45)

36

Riddah menurut bahasa adalah kembali dari meninggalkan sesuatu

menuju ke sesuatu yang lainnya. Sedangkan menurut shara’ adalah

putusnya islam dengan niat, ucapan, atau perbuatan, misalnya sujud kepada

berhala, baik sujud atas dasar menertawakan.29

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa riddah adalah keluarnya seseorang dari islam menuju

kekafiran dengan ucapan, perbuatan, maupun niat dan keyakinan yang di

dalamnya terdapat kekufuran.

2. Jenis-jenis riddah

Jarimah riddah terbagi dalam tiga jenis diantaranya:

a. Dengan perbuatan atau menolak perbuatan

Keluar dari Islam dengan perbuatan terjadi apabila seseorang

melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Islam dengan menganggapnya

boleh atau tidak haram, baik ia melakukannya dengan sengaja atau

melecehkan Islam, menganggap ringan atau menunjukkan kesombongan.

Contohnya seperti melecehkan urusan agama baik berupa perkara wajib

atau perkara sunnah, atau mempermainkan atau menghinanya, atau

29

Muhammad bin Qosim al-Ghazy, Terjemah Fathul Qorib, (Achmad Sunarto), Jilid 2, (Surabaya: Al-Hidayah, 12), 171.

(46)

37

melemparkan mushaf Al-Qur’an ke tempat kotor, atau

mengiinjak-nginjaknya sebagai bentuk merendahkan dan penghinaannya padanya.30

Adapun yang dimaksud dengan menolak melakukan perbuatan adalah

keengganan seseorang untuk melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh

agama (Islam), dengan diiringi keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak

wajib. Contohnya seperti enggan melaksanakan shalat, zakat, puasa, atau

haji karena merasa semua itu tidak wajib.31

b. Dengan ucapan (perkataan)

Keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan keluarnya ucapan seseorang

yang berisi kekafiran. Contohnya adalah seseorang berbicara dengan ucapan

kufur, atau kesyirikan tanpa dipaksa, baik diucapkan dengan serius,

bermain-main atau dengan bergurau. Jika ia berbicara dengan ucapak kufur,

maka ia divonis keluar dari Islam, kecuali jika ia ucapkan hal itu dalam

keadaan dipaksa.32

c. Dengan i’tikad atau keyakinan.

Disamping itu, keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan i’tikad atau

keyakinan yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Contohnya seperti

seseorang yang meyakini langgengnya alam, atau keyakinan bahwa Allah

30

Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minjahul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim, (Andi Subarkah), (Solo:Insan Kamil, 2008), 895.

31

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam…. 121.

32

Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, Jaga Agamamu Jangan Sampai Murtad Tanpa Sadar,.. 14.

(47)

38

itu mahkluk, atau keyakinan bahwa Al-Qur’an itu bukan dari Allah. Adapun

keyakinan semata-mata tidak menyebabkan seseorang menjadi murtad

(kafir), sebelum diwujudkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan.33 Seperti

dalam kaidah berikut:34

Artinya: setiap orang yang melakukan perbuatan yang diharamkan (Islam) disertai dengan keyakinan halal melakukannya, maka ia telah keluar dari Islam.

Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar

larangan-larangan syariat Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak

dilarang, maka ia telah keluar darai Islam. Penghalalan yang diharamkan,

jika disertai alasan yang kuat (ta’wi>l) dan ketidaktahuan/kebodohan hukum

yang sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam.

Ketidaktahuan/kebodohan itu bermacam-macam. Jika orang yang hidup

di suatu negeri yang terisolir dari negeri-negeri kaum muslimin. Tidak

ditemui di dalamnya kecuali orang-orang kafir. Maka orang seperti ini

dimaklumi ketidaktahuannya. Adapun orang yang hidup di tengah-tengah

kaum muslimim dan hidup di negeri kaum muslimin, ia mendengar

Al-33

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam…. 123.

34

Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqih Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),

(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004),162.

(48)

39

Qur’an, mendengarkan hadits-hadits dan ucapan para ulama, maka yang

semacam ini tidaklah dapat dimaklumi akan ketidaktahuannya.35

3. Unsur-unsur

Unsur-unsur jarimah riddah itu ada dua macam, yaitu:

a. Kembali (keluar) dari Islam

Keluar dari Islam bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara, yaitu

dengan ucapan, perbuatan, dan keyakinan seperti yang disebutkan

jenis-jenis riddah di atas.

b. Adanya niat yang melawan hukum

Untuk terwujudnya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku perbuatan

itu sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada

kekafiran, padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan atau ucapannya itu

berisi kekafiran. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perbuatan

yang mengakibatkan kekafiran, tetapi ia tidak mengetahui bahwa perbuatan

tersebut menunjukkan kekafiran, maka ia tidak termasuk kafir atau

murtad.36

4. Sanksi

Hukuman untuk jarimah riddah ada tiga macam, yaitu hukuman pokok,

hukuman pengganti, dan hukuman tambahan.

35

Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, Jaga Agamamu Jangan Sampai Murtad Tanpa Sadar,.. 28.

36

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam…. 126.

(49)

40

a. Hukuman pokok

Hukuman pokok untuk jarimah riddah adalah hukuman mati dan

statusnya sebagai hukuman h{add. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi

saw.:

ُﻮُﻠُـْـﺎَﻓ َُ ِد َلﺪَ ْﻦَ َﻠَﺳَو َِْﻠَ ُﻪﺒ ﻰﻠَﺻ ِﻪﺒ ِلﻮُﺳَر َلﺎََـﻓ ٍسﺎ َ َﻦْﺒ ْﻦَ

Artinya : Oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang

mengganti agamanya, bunuhlah!" (H.R.Bukhori : 6411)37

Hukuman mati dalam kasus pemurtadan telah disepakati tanpa

keraguan lagi oleh keempat mazhab Hukum Islam. Namun kalau seseorang

dipaksa mengucapkan sesuatu yang berarti murtad sedangkang hatinya

tetap beriman, maka dalam keadaan itu dia tidak akan dihukum murtad.38

Hukuman mati ini adalah hukuman yang berlaku umum untuk setiap

orang yang murtad, baik ia laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.

Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapatbahwa perempuan tidak

dihukum mati karena murtad, melainkan dipaksa kembali kepada Islam,

dengan jalan ditahan dan dikeluarkan setiap hari untuk diminta bertaubat

dan ditawarai untuk kembali ke dalam Islam. Apabila ia menyatakan Islam

maka ia dibebaskan. Akan tetapi apabila ia tidak mau menyatakan Islam

37

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram; Kumpulan Hadits Hukum Panduan Hidup Muslim Sehari-hari, (Abu Firly Bassam Taqiy), (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2009), 323.

38

Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 73.

(50)

41

maka ia tetap di tahan sampai ia mau menyatakan islam atau sampai ia

meninggal.

Disamping itu, Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa anak

mumayyiz yang murtad tidak dihukum mati dalam empat keadaan sebagai

berikut.39

1) Apabila islamnya mengikuti kedua orang tuanya, dan setelah ba>ligh ia

murtad. Dalam hal ini menurut qiyas, seharusnya ia dibunuh, tetapi

menurut istihsan ia tidak dibunuh karena shubhah.

2) Apabila ia murad pada masa kecilnya.

3) Apabila ia pada masa kecilnya Islam, kemudian setelah ba>ligh ia murtad.

Dalam hal ini ia tidak dibunuh, berdasarkan istihsan, karena ada

shubhah.

4) Apabila ia berasal dari negeri bukan Islam, yang ditemukan di negeri

Islam. Dalam hal ini ia dihukumi sebagai anak Islam, karena mengikuti

negara (Islam), sama halnya dengan anak yang dilahirkan di lingkungan

kaum muslimin.

Sebagai pengganti dari hukuman mati yang tidak diterapkan kepada

anak mumayiz dalam keempat keadaan tersebut, menurut Imam Abu

Hanifah, ia dipaksa untuk menyatakan Islam, seperti halnya perempuan,

dengan jalan ditahan atau dipenjara sebagai ta’zi>r.

39

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam…. 128.

(51)

42

Menurut ketentuan yang berlaku, orang yang murtad tidak dapat

dikenakan hukuman mati, kecuali setelah ia diminta untuk bertaubat.

Hukum meminta bertaubat itu wajib. Maksudnya, meminta orang yang

murtad agar bertaubat dan kembali ke haribaan Islam sebelum dibunuh.

Menurut mazhab Syafi’i, barangsiapa murtad dari Islam, maka dia diminta

sebanyak tiga kali untuk bertaubat.40

Sedangkan menurut mazhab Maliki, kesempatan untuk bertaubat itu

diberikan selama tiga hari tiga malam, terhitung sejak adanya putusan

murtad dari pengadilan, bukan sejak adanya pernyataan kufur atau

diajukannya perkara ke pengadilan.

Syarat pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku murtad adalah

tampaknya kekufuran pada orang yang murtad dan adanya pengakuan orang

tersebut terhadap fakta ini serta sikapnya yang berkeras kepada dalam

kekafiran. Selain itu, orang yang murtad itu sebelumnya adalah muslim,

sudah baligh, dan tidak dipaksa.41

b. Hukuman pengganti

Huhukuman pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua

keadaan sebagai berikut:42

40

Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i,

(D.A. Pakihsati), (Solo: Media Zikir, 2009), 473.

41

M. Abbas Aula, “Murtad dalam Khazanah Yurisprudensi Islam”, Dirosah Islamiyah, No. 1, Vol. 1, 2003, 81.

42

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam…. 130.

(52)

43

1) Apabila hukuman pokok gugur karena taubat maka hakim menggantinya

dengan hukuman ta’zi>r yang sesuai dengan keadaan pelaku perbuatan

tersebut. Dalam hal hukuman yang dijatuhkannya hukuman penjara

maka masanya boleh terbatas dan boleh pula tidak terbatas, sampai ia

tobat dan perbuatan baiknya sudah kelihatan.

2) Apabila hukuman pokok gugur karena shubhah, seperti pandangan Imam

Abu Hanifah yang menggugurkan hukuman mati dari pelaku wanita dan

anak-anak maka dalam kondisi ini pelaku perbuatan itu (wanita dan

anak-anak) dipenjara dengan masa hukuman yang tidak terbatas dan

keduanya dipaksa untuk kembali ke agama Islam.

c. Hukuman tambahan

Hukuman tambahan yang dikenakan kepada orang murtad ada dua

macam, yaitu sebagai berikut:

1) Penyitaan atau perampasan harta

Jika orang murtad meninggal sebelum kembali kepada Islam,

hartanya dibagi lima. Seperlimanya untuk mereka yang berhak

mendapatkan rampasan perang dan empat perlima diberikan kepada

seluruh kaum muslimin. Jika ahli waris orang murtad itu yang muslim

(53)

44

untuk memberikan bukti. Jika mereka mampu memberikan bukti,

hartanya diserahkan ahli waris mereka.43

2) Berkurangnya kecakapan untuk melakukan tas{arruf

Riddah tidak berpengaruh terhadap kecakapan untuk memiliki

sesuatu dengan cara apapun kecuali warisan, tetapi ia berpengaruh

terhadap kecakapan untuk men-tas{arruf-kan hartanya, baik harta tersebut

diperoleh sebelum murtad maupun sesudahnya.

43

Asmaji Muchtar, Fatwa-Fatwa Imam ASy-Syafi’i Masalah Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2014), 413.

(54)

45

BAB III

DESKRIPSI PERKARA TENTANG PENODAAN AGAMA PERKARA NOMOR

461/PID.B/2015/PN.GSK PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK

A.Gambaran Umum Pengadilan Negeri Gresik

Pengadilan Negeri Gresik adalah Pengadilan Negeri berstatus kelas 1B yang

berada di bawah lingkungan Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Wilayah hukumnya

meliputi daerah kota Gresik. Pengadilan negeri Gresik awal berdiri berada di Jl.

Panglima Sudirman Nomor 110 Gresik. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan

masyarakat, maka Gedung Pengadilan Negeri Gresik berpindah di jl. Permata

Nomor 6 Gresik.

Pengadilan Negeri Gresik adalah Pengadilan yang tergolong istimewa, karena

Pengadilan Negeri Gresik adalah satu-satunya Pengadilan Negeri berstatus kelas

1B yang mempunyai kewenangan Hubungan Industrial.

Pengadilan Negeri Gresik mempunyai visi dan misi sebagai berikut:1

Visi Pengadilan: “Terwujudnya Pengadilan Negeri Gresik Kelas 1B Yang Agung”

Misi Pengadilan:

1. Menjaga Kemandirian Pengadilan Negeri Kelas 1B

2. Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Pencari Keadilan

1

Pengadilan Negeri Gresik, “Visi dan Misi Pengadilan Negeri Gresik”, http://www.pn-gresik.go.id/index.php/menu-link/visi-dan-misi, diakses pada tanggal 14 April 2017

(55)

46

3. Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan di Pengadilan Negeri Gresik Kelas 1B

4. Meningkatkan Kredibilitas dan Transparansi di Pengadilan Negeri Gresik

Kelas 1B

B.Deskriptif Kasus Tentang Penodaan Agama Perkara Nomor

461/Pid.B/2015/PN.Gsk Putusan Pengadilan Negeri Gresik.

1. Kronologi Kasus

Terdakwa adalah Nanang Kurniawan yang bekerja sebagai desainer di PT.

Pradipta Perkasa Makmur sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang.2

Awal mula kejadian adalah sekira tanggal 28 Maret 2014 Nanang merubah

model alas sandal dari produk lain yang diberikan oleh Liem Long Hwa dengan

cara memfoto contoh bentuk alas sandal tersebut menggunakan kamera digital

kemudian memasukkan dan mengubah file foto alas sandal tersebut ke dalam

komputer dengan format JPEG menggunakan program adobe photoshop CS3.

Nanang atas inisiatifnya sendiri mendownload gambar kaligrafi dari hasil

pencarian di internet kemudian memasukkannya ke program Adobe Photosop

lalu di copy paste tersusun tumpuk atas bawah. Selanjutnya Nanang membuat

line garis batas mal/cetakan bentuk dasar sandal. Setelah itu Nanang menjiplak

ulang kaligrafi tersebut menggunakan kursor mouse agar resolusi gambarnya

besar dan aspek tujuan tiga dimensinya bisa keluar dan muncul. Setelah desain

2

(56)

47

jadi, Nanang menambahkan empat garis-miring-miring pada desain tersebut

dan menyimpan file dalam format JPEG.

Pada saat mendesain alas sandal dari gambar kaligrafi tersebut, Nanang

sudah mengerti jika kaligrafi yang diambil dari internet adalah berisi

ayat-ayat/surat yang ada dalam kitab suci Al-Quran, sedangkan maksud Nanang

memberikan perubahan dan penambahan pada desain tersebut supaya tidak

terlihat sama persis dengan kaligrafi aslinya. Setelah file desain dasar sandal

tersebut selesai, Nanang menyerahkan kepada direktur perusahaan Liem Long

Hwa berbentuk hardcopy (tercetak) pada kertas berjumlah 3 (tiga) desain yaitu

desain alas sandal dengan menggunakan motif dari kaligrafi yang terdapat

lafaz “Allah” dan juga mengajukan 2 (dua) desain yang lain yang modelnya

tidak sama.3

Lim Long Hwa menyetujuinya dan selanjutnya desain tersebut dikirim

oleh Nanang kepada Vivi Juliati Asalim melalui email perusahaan dan

selanjutnya dikirim ke Cina melalui email untuk dibuatkan Matras dengan

nomor artikel 2079. Setelah matras selesai, kemudian dibuat sandal

menggunakan matras Glacio oleh Kusianto. Setelah sandal Glacio disetujui

oleh saksi Liem Long Hwa kemudian sandal merk Glacio diproduksi dalam

jumlah banyak mulai bulan september 2014 sampai dengan Oktober 2015,

sebanyak 82.070 (delapan puluh dua ribu tujuh puluh) pasang dan terjual

3

Ibid, 8.

Gambar

gambar bagus.

Referensi

Dokumen terkait

Mereka tidak dapat memahami bahawa keputusan mungkin boleh dibuat dan seringkali dapat dicapai dengan cara lain, dengan keputusan yang sama baik, atau bahkan lebih

lembaga otoritas terkait seperti bank central dan guidelines tentang kerangka penerapan sistem ekonomi Islam dalam lembaga keuangan syariah di Singapura. 1.Kebijakan

Dinas Pendapat Daerah Kabuapaten Malang dapat memberikan Kepastian Hukum Pengenaan NPOPTKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) atas BPHTB (Bea Perolehan

sehingga tidak bisa menyatakan semangat kepada diri sendiri. 4) Konseli menganggap tugas- tugas yang ada adalah beban sehingga sering mengeluh dan mengerjakan

Pelaksanaan penelitian dilakukan di SDN Tahai Jaya-1 Kecamatan Maliku Kabupaten Pulang Pisau. Bahwa para siswa disana terkhusus kelas III masih banyak shalat

Berdasarkan uji validitas tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai r hitung dan setiap item pernyataan kuesioner lebih besar darl r tabel sebesar 0,304 dengan n = 44 dan α =

Penelitian ini menggunakan peneltian hukum empiris dan hasil penelitian menyatakan bahwa di masyarakat Dusun Waung Desa Sonoageng Kecamatan Prambon Kabupaten

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,