TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
MANCING BERHADIAH DI PEMANCINGAN GUNUNG
SEKAR SAMPANG MADURA
SKRIPSI
Oleh
MUHAMMAD FAIZA FAHMI FURQONI
NIM. C02212030
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian untuk menjawab sebuah rumusan masalah bagaimana praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar Madura dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap akad jual beli dengan praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar Madura. Dengan objek jual beli (ikan) yang masih berada didalam kolam berair keruh dan tidak secara terang-terangan ditunjukkan kepada pemancing sehingga pemancing hanya bisa berspekulasi atau mengandalkan untung-untungan saja. Hal inilah yang secara normatife hukum Islam menjadi sebuah permasalahan, karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah jual beli yang telah ada.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu data yang diperoleh dengan hasil pengamatan langsung dilapangan. Selain melakukan pengamatan (observasi),
dilakukan juga interview kepada pihak pengelola, pengunjung, dan masyarakat disekitar lokasi
pemancingan. Penelitian ini menggunakan analisis induktif, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis data atas fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dari fakta-fakta tersebut ditarik kesimpulan umum atas sebuah Analisa. Sifat penelitian ini adalah prespektif, yaitu mengumpulkan seluruh hasil penelitian, kemudian meninjau hasil tersebut dari sudut pandang Hukum Islam, sehingga pendekatan yang dipakai adalah pendekatan normative.
Berdasarkan metode yang digunakan, maka tertangkap bahwa jual beli ikan dengan praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar tidak sesuai dengan Hukum Islam, karena terdapat unsur gharar (kesamaran) terhadap objek jual beli yaitu ikan yang diperjual belikan masih berada didalam kolam sehingga pemancing hanya mengandalkan keberuntungan
saja. Mengenai konsep hadiah yang ditawarkan juga tidak bisa diterapkan sebagai akad Ju’َ alah,
karena tidak ada kesesuaian diantara keduanya, baik syarat maupun rukun yang tidak terpenuhi.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ...v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DATAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ...1
A... Lata r Belakang ...1
B. ... Iden tifikasi dan Batasan Masalah ...6
I. ... Sist ematika Pembahasan ... 15
BAB II AKAD JUAL DAN HADIAH MENURUT HUKUM ISLAM ... 17
A.... Ket entuan Umum mengenai Akad ... 17 1. ... Pen
entuan Mengenai Jual Beli ... 22 1. ... Pen
gertian Hibah dan Hadiah ... 34 D... Das
ar Hukum Hibah dan Hadiah ... 37 E. ... Had
iah Dalam Perspektif Ju’a>lah... 38 F. ... Ket
entuan Umum Mengenai Gharar ... 40 G... Das
BAB III PELAKSANAAN JUAL BELI IKAN DENGAN PRAKTIK MANCING
BERHADIAH DI PEMANCINGAN GUNUNG SEKAR SAMPANG MADURA ... 46
A... Ga mbaran Umum Tentang Kelurahan Gunung Sekar ... 46 B. ... Seki
las Tentang Kolam Pemancingan Gunung Sekar ... 47 1. ... Seja
rah Berdirinya ... 47 2. ... Pela
ksanaan Praktik pemancingan di Pemancingan Gunung
Sekar ... 49 3. ... Iven
taris ... 50 4. ... Pela
ksanaan pemancingan berhadiah di Pemancingan Gunung
Sekar ... 51 C. ... Prak
B... Tinj auan Hukum Islam Terhadap Praktik pemancingan Berhadiah di Gunung Sekar Sampang Madura ... 64
BAB V PENUTUP ... 69
A. ... Kesi mpulan ... 69 B. ... Sara
n ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya
manusia selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain. Salah satunya
dalam bidang muamalah, dalam hal mua>malah itu sendiri Islam telah
memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang harus ditaati dan
dilaksanakan. Jadi praktik mua>malah harus sesuai dengan yang sudah
ditetapkan syari’at Islam.1
Dalam mengadakan klarifikasi aspek-aspek hukum Islam, para
fuqaha membatasi pembicaraan hukum mua>malah dalam urusan
keperdataan yang menyangkut hubungan kebendaan. Dalam hukum
mua>malah dibicarakan pengertian benda dan macam-macamnya,
hubungan manusia dengan benda dan macam-macamnya, hubungan
manusia dengan benda yang menyangkut hak milik, pencabutan hak milik
perikatan-perikatan tertentu, seperti jual beli, utang-piutang, sewa-menyewa
dan sebagainya.2 Mua>malah dengan pengertian pergaulan hidup tempat
setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungan dengan orang lain yang
menimbulkan hak dan kewajiban itu merupakan bagian terbesar dalam hidup
manusia.
2
Oleh karenanya, agama Islam menempatkan bidang muamalat ini
sedemikian pentingnya. Oleh karena itu, hukum Islam mengadakan
aturan-aturan bagi keperluan itu membatasi keinginan-keinginan hingga
mungkinlah manusia memperoleh maksudnya tanpa memberi mudharat
kepada orang lain. Seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
َلحأو
َ
اب ِ رلاَمرحوَعْيبْلاَه
َ
Artinya
:
“Dan allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al
-Baqarah ayat 275)3
Islam memperbolehkan melakukan jual beli, tetapi tidak
memperbolehkan adanya pemakaian terhadap riba. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah adanya suatu jual beli yang bersih serta sesuai dengan
syariat Islam. Selain itu dalam jual beli juga harus memperhatikan aspek
keadilan bagi para pelaku jual beli tersebut. Sebab keadilan merupakan salah
satu tujuan dibentuknya suatu hukum. Keadilan tersebut dapat berarti telah
terpenuhinya suatu porsi masing-masing pelaku jual beli tersebut, sehingga
tidak terjadi adanya perselisihan tentang bagaimana porsi masing-masing
pelaku jual beli. Jual beli juga harus dilakukan atas dasar sukarela. Baik
sukarela untuk melakukan jual beli maupun sukarela terhadap barang atau
objek jual beli. Tentunya sukarela tersebut harus masih dalam lingkup
syariat Islam. Harus ada suatu kejujuran, transparansi, keadilan dan saling
menguntungkan. Sesuai dengan syariat Islam ialah memenuhi persyaratan
3
persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual
beli sehingga bila syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai
dengan syariat Islam.4
Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
meningkatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual beli itu diangap telah
terjadi antara dua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai
sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu
belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Jika kebendaan yang
dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak
saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahanya
belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya. Jika
barang-barang tidak dijual menurut tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah atau
ukuran, maka barang-barang itu tetap atas tangungan si penjual hingga
barang ditimbang, dihitung atau diukur. Jika sebaliknya
barang-barang dijual menurut tumpukan, maka barang-barang-barang-barang itu adalah atas
tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur. 5
Namun demikian yang sangat mendasar dalam jual beli ialah rukun
jual beli itu sendiri. Zaman sekarang sangatlah kompleks,
kebutuhan-kebutuhan manusia semakin lengkap, hal ini didorong dari adanya perilaku
manusia yang selalu berkembang dari zaman ke zaman. Di samping itu,
manusia juga memiliki kebutuhan yang seperti menjadi sebuah kebiasaan
4 Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 26.
4
atau disebut hobi. Contohnya adalah para pemancing. Mereka ini memiliki
hobi atau kebiasaan dengan memancing dikarenakan adanya kemungkinan
rasa jenuh atau suntuk terhadap kesibukan yang terjadi di kehidupan sekitar
pemancing tersebut. Sehingga pemancing akan mencari tempat ketenangan.
Dengan adanya kegiatan memancing yang tempatnya jauh dari keramaian,
maka akan menimbulkan seperti kenyamanan dalam hati pemancing. Karena
tidak banyaknya beban pikiran yang dibawanya ketika memancing.
Sekarang telah muncul berbagai fasilitas-fasilitas yang disediakan
oleh individu lain sebagai wadah penyaluran hobi berbasis komersial.
Contohnya seperti pemancingan. Pemancingan dapat digunakan sebagai
sarana penyaluran hobi kegiatan memancing atau bahkan untuk tujuan
komersial bagi pemilik pemancingan tersebut, model pemancingan ini
menjadi seperti sebuah tempat penjualan jasa penyaluran hobi. Artinya
pemancingan menyediakan sebuah ruang untuk penyaluran hobi memancing
bagi masyarakat. Pemancingan tersebut menjadi sebuah kegiatan bisnis
untuk mendapatkan penghasilan, untuk sekedar menambah nafkah untuk
keluarga.
Di Madura sekarang ini telah banyak bermunculan tempat
pemancingan, karena begitu banyaknya pemancingan yang ada maka timbul
suatu persaingan di antara tempat pemancingan-pemancingan yang telah
ada. Salah satunya adalah pemancingan Gunung Sekar yang terletak di desa
Gunug Sekar Kecamatan Sampang, Kabupaten Sampang. Pemancingan
5
pemancing. Akan tetapi pada pelaksanaannya, pemancingan tersebut
memberikan salah satu produk yang menurut kacamata normatif hukum
Islam berisiko melanggar asas-asas atau prinsip-prinsip dalam melakukan
jual beli dalam lingkup Muamalat. Artinya pembeli tersebut tidak
mengetahui bagaimana kondisi ikan tersebut, Apakah ikan tersebut ada atau
tidak, karena dengan kondisi yang keruh serta ada ikan mascot yang
diperlombakan.
Dalam praktiknya, pemancingan menawarkan produk sistem
pemancingan ikan berhadiah. Yaitu pemancing membeli tiket seharga Rp
10.000,- untuk memancing sejumah ikan non mascot, sedangkan jika
pemancing hendak mengikuti perlombaan tersebut, pemancing wajib
membayar uang tambahan sebesar Rp. 10.000,-. Jadi total Rp 20.000,- uang
yang harus di bayarkan untuk mengikuti perlombaan serta memancing
ikan-ikan non mascot. Jika pemancing mendapatkan ikan-ikan mascot, pemancing
akan mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp. 300.000,- per ikan mascot.
Namun pengertian dari hadiah yang sesungguhnya adalah hibah atau
kado adalah pemberian uang, barang, jasa dan lain-lain yang dilakukan tanpa
ada kompensasi balik seperti yang terjadi dalam perdagangan, walaupun
dimungkinkan pemberi hadiah mengharapkan adanya imbal balik, ataupun
dalam bentuk nama baik (prastise) atau kekuasaan.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
6
pemancingan Gunung Sekar Sampang Madura, merupakan suatu yang dapat
dikatakan perlu adanya analisa khusus terkait hukum Islam.
Yang membuat penulis tertarik untuk meneliti adalah pemilik atau
pihak manajemen tidak memperlihatkan di awal ikan mana yang dijadikan
mascot tersebut, disisi lain kondisi air juga keruh. Hal tersebut membuat
pemancing berfikir apakah memang ada ikan mascot di kolam pemancingan
tersebut atau tidak.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan Latar Belakang di atas dapat diidentifikasi
masalah-masalah berikut:
1. Pelaksanaan praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar
Sampang Madura.
2. Akad jual beli dengan praktik mancing berhadiah di pemancingan
Gunung Sekar Sampang Madura.
3. Munculnya pemancingan berhadiah di pemancingan Gunung Sekar
Sampang Madura.
4. Produk-produk yang ditawarkan di pemancingan Gunung Sekar
Sampang Madura.
5. Hukum praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar
7
Berdasarkan identifikasi yang telah dikemukakan di atas, agar
penelitian terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dibahas, maka
penulis memberi batasan permasalahan pada:
1. Pelaksanaan akad jual beli ikan dengan praktik mancing berhadiah di
pemancingan Gunung Sekar Sampang Madura.
2. Tinjauan Hukum Isam terhadap pelaksanaan akad jual beli ikan dengan
praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar Sampang
Madura.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar,
Sampang Madura?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik mancing berhadiah
di pemancingan Gunung Sekar, Sampang Madura?
D. Kajian Pustaka
Skripsi Arif Muntaha yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Ikan di Tirtoadi Mlati Sleman”. Skripsi ini
8
kolam secara tebasan.6 Namun dalam skripsi yang penulis bahas lebih
menekankan kepada akad yang digunakan dalam jual beli ikan dengan judul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Ikan Di Tirtoadi
Mlati Sleman”
Skripsi Fitri Yulia Shofiati yang berjudul “Jual Beli Ikan Dengan
Sistem Harian Berhadiah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam (Studi di
Pemancingan Moro Seneng Pugeran Maguwoharjo Sleman)”. Skripsi ini
menjelaskan tentang pelaksanaanya yaitu pemilik pemancingan menawarkan
produk pemancingan sistem harian, pemancing memulai memancing pada
pukul 08.00-17.00, sebelum masuk pemancing diharuskan membayar tiket
masuk sebesar Rp 13.000,- dengan diberi ikan jenis Bawal sebanyak satu
kilogram, tetapi ikan harus dilepaskan lagi ke kolam yang telah ditentukan.
Untuk hasil daripada memancing sepenuhnya menjadi risiko pemancing.7
Dalam skripsi yang penulis bahas ini menekankan kepada hukum Islam
terkait akad jual beli ikan dengan praktik mancing Dengan Sistem Harian
Berhadiah Tinjauan Sosiologi Hukum Islam.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan praktik mancing berhadiah di
pemancingan Gunung Sekar, Sampang Madura.
6 Arif Muntaha, berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Ikan di
Tirtoadi Mlati Sleman”. (Skripsi—Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2012).
7 Fitri Yulia Shofiati, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Ikan Dengan Sistem Mancing
9
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum islam terhadap akad jual beli
dengan praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar,
Sampang Madura
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini mencakup kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Untuk memberikan sumbangan dan pemikiran dan ilmu
pengetahuan terkait hukum Islam terhadap akad jual beli ikan yang
nantinya berguna untuk mendapatkan data secara obyektif melalui
metode ilmiah dalam memecahkan setiap masalah yang ada khususnya
masalah yang berkaitan dengan hukum Islam terhadap akad jual beli
ikan dengan praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar
Sampang Madura
2. Kegunaan Praktis
Untuk menambah wawasan pengetahuan dan bahan tambahan
bagi perpustakaan atau bahan informasi kepada seluruh pihak yang
berkompeten mengenai analisis hukum Islam terhadap akad jual beli
ikan dengan praktik mancing berhadiah di pemancingan Gunung Sekar
Sampang Madura.
10
Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka
perlu sekali adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional
dalam penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah
dan tujuannya.
Adapun judul skripsi ini adalah Tinjauan Hukum Islam terhadap
akad jual beli ikan dengan praktik mancing berhadiah di pemancingan
Gunung Sekar Sampang Madura. Dan agar tidak terjadi kesalapahaman di
dalam memahami judul skripsi ini, maka perlu kiranya penulis uraiakan
tentang pengertian judul tersebut sebagai berikut :
Hukum Islam : Tata cara hidup mengenai doktrin syariat
dengan perbuatan yang diperintahkan
maupun yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan Islam yang di landasi
oleh al-qur’an, al- Hadist, dan pendapat
ulama-ulama yang berkaitan dengan jual beli.
Akad : Pertalian antara ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh terhadap objek perikatan.8
Mancing Berhadiah : Suatu bentuk perlombaan yang
diperuntukkan untuk pemancing, agar
mendapatkan ikan besar atau mascot. Dan jika berhasil mendapatkan nya, maka akan mendapatkan hadiah/imbalan dari pihak manajemen/ pemilik. Di pemancingan Gunung Sekar Sampang Madura ini, pemancing yang berhasil akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp. 300.000,-.
H. Metode Penelitian
11
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research)
yaitu data yang diperoleh dengan dengan hasil pengamatan langsung di
lapangan. Yaitu pemancingan Gunung Sekar, Sampang Madura.
1. Data yang dikumpulkan
Adapun data yang perlu dikumpulkan sebagai berikut:
a. Teknik Pelaksanaan Pemancingan berhadiah diPemancingan Gunung
Sekar Sampang Madura.
b. Hasil manajemen tentang Pelaksanaan Pemancingan berhadiah di
Pemancingan Gunung Sekar Sampang Madura.
c. Pengelolaan Pemancingan berhadiah di Pemancingan Gunung Sekar
Sampang Madura.
2. Sumber Data
Untuk mendapatkan sumber data yang tepat, maka dari segi
jenisnya dibagi menjadi dua :
a. Data Primer, yaitu data yang didapat langsung dari pemilik dan para
pemancing di pemancingan Gunung Sekar Sampang Madura.
b. Data Skunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen,
baik berupa literatur-literatur dan lain-lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
12
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan.9
a. Observasi
Yaitu pengamatan dan pencatatan secara langsung dan
sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki di lapangan. Dalam
pencatatannya juga kemudian dilakukan pertimbangan sehingga
dapat memberikan penilaian dalam suatu skala bertingkat.10
b. Wawancara
Wawancara merupakan proses pengumpulan data dengan
cara tanya jawab secara lisan, dapat digunakan secara tatap muka
atau langsung. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang hanya memuat
garis besar yang akan ditanyakan.11 Untuk respondennya ialah pihak
pemilik pemancingan dan pembeli atau pemancing yang berjumlah 5
orang.
c. Dokumentasi
Yaitu proses menganalisa data yang bersumber dari data yang
ada, dianalisis dan dideskripsikan yang bermula bersifat khusus
kemudian disimpulkan dengan bersifat umum.
4. Teknik Pengolahan Data
9 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Ttp), 224. 10Ibid, 272.
13
Pada Jenis penelitian kualitatif ini, pengolahan data tidak harus
dilakukan setelah data terkumpul atau pengolahan data selesai. Dalam
hal ini, data sementara yang terkumpulkan, data yang sudah ada dapat
diolah dan dilakukan analisis data secara bersamaan. Pada saat analisis
data, dapat kembali lagi ke lapangan untuk mencari tambahan data yang
dianggap perlu dan mengolahnya kembali. Pengolahan data dalam
penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengklasifikasikan atau
mengkategorikan data berdasarkan beberapa tema sesuai fokus
penelitannya.12
Pengolahan data pada penelitian ini terdiri dari :
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Langkah-langkah
yang dilakukan adalah menajamkan analisis, menggolongkan atau
pengkategorisasian ke dalam tiap permasalahan melalui uraian
singkat, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasikan data sehingga dapat ditarik dan diverifikasi.
Data yang direduksi antara lain seluruh data mengenai
permasalahan akad pemancingan berhadiah ini.
b. Penyajian Data
14
Setelah data di reduksi, langkah analisis selanjutnya adalah
penyajian data. Penyajian data merupakan sebagai sekumpulan
informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
c. Verifikasi
Tahap ini merupakan tahap penarikan kesimpulan dari
semua data yang telah diperoleh sebagai hasil dari penelitian.
Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk mencari
atau memahami makna/arti, keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur
sebab akibat atau proposisi. Sebelum melakukan penarikan
kesimpulan terlebih dahulu dilakukan reduksi data, penyajian data
serta penarikan kesimpulan atau verifikasi dari kegiatan-kegiatan
sebelumnya.
Dalam penelitian ini, penulis memberikan verifikasi yang
menyatakan bahwa dalam penerapan akad mancing berhadiah di
Pemancingan Gunung Sekar Sampang Madura tersebut belum
memenuhi rukun dan syarat akad itu sendiri. Karena dalam akad
harus ada kejelasan dan tidak mengandung dari unsur gharar.
Namun butuh penelitian lebih dalam lagi untuk membuktikan
verifikasi tersebut.
15
Secara umum penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu
mendeskripsikan bagaimana bentuk praktik akad mancing berhadiah
tersebut dengan kacamata hukum menganalisis setiap fakta yang
dikemukakan dan fakta yang ditemukan dibandingkan dengan data yang
diperoleh. Dengan demikian, penelitian ini bukanlah bersifat menguji
teori (eksplanatori). Teori hukum yang ada dan dibantu dengan teori
sosial yang relevan dijadikan sebagai bekal untuk menggambarkan dan
menjelaskan tinjauan hukum islam nya dalam praktik akad mancing
berhadiah tersebut.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan merupakan suatu penjabaran secara
deskriptif tentang hal-hal yang peneliti tulis dalam skripsi ini yang secara
garis besar terdiri dari lima bab.
BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini diuraikan tentang
permasalahan secara umum yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini dibahas tentang jual beli,
hadiah, jua>lah dan gharar yang meliputi pengertian, dasar hukum, rukun
16
BAB III DATA PENELITIAN. Pada bab ini menggambarkan lokasi
penelitian, yaitu pemancingan Gunung Sekar, Sampang Madura, meliputi
sejarah lokasi pemancingan berhadiah, profil pemancingan Gunung sekar
Sampang Madura dan produk-produk yang ditawarkan oleh tempat
pemancingan Gunung Sekar.
BAB IV ANALISIS PENILAIAN. Yaitu menjelaskan analisis
hukum Islam terhadap akad jual beli ikan dengan praktik mancing berhadiah
di pemancingan Gunung Sekar Sampang Madura.
BAB V PENUTUP. Yang meliputi kesimpulan dari pada seluruh
pembahasan dilanjutkan dengan saran-saran sebagai masukan untuk
17
BAB II
AKAD JUAL BELI DAN HADIAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Ketentuan Umum mengenai Akad
1. Pengertian Akad
Kata akad berasal dari kata bahasa Arab دقاع yang berarti,
membangun atau mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran,
menyatukan1. Bisa juga berarti kontrak (perjanjian yang tercacat).
Secara etimologi akad adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari
dua segi.2
Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua
segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah
segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual-beli,
perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum di atas adalah sama
dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah. Pengertian akad secara khusus
1 A. Warson Al- Munawir, Kamus Arab Indonesia al- Munawir (Yogyakarta: Ponpes al- Munawir, 1987), 1023.
18
adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya
secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.3
2. Dasar Hukum Akad
Adapun dasar-dasar akad diataranya terdapat pada Q.S Al- Maiadah
ayat 1 yang berbunyi:
dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang kan dibacakan
kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan bebrburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”
Dalam kaidah fiqiyah juga dijelaskan mengenai ahal-hal yang
berkenaan dengan akad, seprti yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah:
نْيد ق ا ع ت عْلا ا ضر دوقعْلا لْص ْْ ا
Dasar dari akad adalah keridaan
هن أ اب هرْي غ كل م يف ف رَص ت ي ا د ح َ ْو ي َ
19
Tiada seorang pun boleh melakukan tindakan-tindakan hukum atas
milik orang lain tanpa seizin si pemilik harta.
3. Syarat dan Rukun Akad
a. Syarat-syarat akad
Ada beberapa syarat yang berkaitan dengan akad yaitu4:
1). Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang
disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak
memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi atas
dua bagian:
2). Syarat Objek akad
Yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan objek akad.
Objek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam
akad jual-beli, objeknya adalah barang yang yang diperjual belikan
dan harganya. Dalam akad gadai objeknya adalah barang gadai dan
utang yang diperolehnya, dan lain sebagainya.
3). Syarat subjek akad
Syarat-syarat yang berkaitan dengan subjek akad. Dalam
hal ini, subjek akad harus sudah a>qil (berkal), tamyi>z (dapat
membedakan), mukhta>r (bebas dari paksaan). Selain itu, berkaitan
dengan orang yang berakad, ada tiga hal yang harus diperhatikan
20
yaitu: Kecakapan (ahliyah), Kewenangan (wila>yah), Perwakilan
(waka>lah).
4). Syarat kepastian hukum (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam
jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiya>r jual-beli, seperti
khiya>r syarat, khiya>r aib, dan lain-lain.
b. Rukun-Rukun Akad
Memperhatikan pandangan para fuqaha>’, maka dalam masalah
ini penulis dapat menggaris bawahi bahwa jika kerelaan tidak tampak,
maka diukurlah dengan petunjuk bukti ucapan (ija>b qabu>l) atau
dengan perbuatan yang dipandang, ‘urf (kebiasaan) sebagai tanda
pembelian dan penjualan.
Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut5:
1). Orang yang berakad (‘aqid), contoh: penjual dan pembeli. Al-
aqid adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat
penting karena tidak akan pernah terjadi akad manakala tidak ada
aqid.
2). Sesuatu yang diakadkan (ma’qu>d ‘alaih), contoh: harga atau
barang. (al- ma’qu>d ‘Alaih) adalah objek akad atau benda-benda
yang dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas.
Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang
21
dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad pernikahan, dan
dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan seperti dalam masalah
upah-mengupah dan lain-lain.
3). Shighat, yaitu ija>b dan qabu>l. Sighat akad adalah sesuatu
yang disandarkan dari dua belah pihak yang berakad, yang
menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya
suatunakad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan,
isyarat, dan tulisan.
Menurut beberapa ulama, lafadz (ija>b qabu>l) ada beberapa
syarat:
a). Kedua pelaku akad saling berhubungan dalam satu tempat,
tanpa terpisah yang dapat merusak.
b). Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal.
c). Ija>b dan qabu>l harus tertuju pada suatu obyek yang
merupakan obyek akad.
d). Adanya kemufakatan walaupun lafadz keduanya berlainan
e). Waktunya tidak dibatasi, sebab jual beli berwaktu seperti
sebulan, setahun dan lain-lain adalah tidak sah.
4. Macam-macam akad
Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad
yang didasarkan atas sudut pandang masing-masing, yaitu:
a. Berdasarkan ketentuan Syara’6;
22
1). A>qd sahi>h, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang
telah ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan
syarat sebagaimana telah disebutkan di atas, maka akad tersebut
masuk dalam kategori akad sahih.
2). A>qd ghairu sahi>h, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur
dan syaratnya. Dengan demikian, akad semacam ini tidak
berdampak hukum atau tidak sah.
b. Berdasarkan penamaannya7;
1). Akad yang sudah diberi nama oleh syara’, seperti jual-beli,
hibah, gadai, dan lain-lain.
2). Akad yang belum dinamai oleh syara’, tetapi disesuaikan
dengan perkembangan zaman.
c. Berdasarkan zatnya8;
1). Benda yang berwujud (al-‘ain), yaitu benda yang dapat
dipegang oleh indra kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain
sebagainya.
2). Benda tidak berwujud (ghair al-‘ain), yaitu benda yang
tidak dapat kita indra dengan indra kita, namun manfaatnya
dapat kita rasakan, seperti informasi, lisensi, dan lain
sebagainya.
23
B. Ketentuan Umum Mengenai Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Pada umumnya, orang memerlukan benda yang ada pada
orang lain (pemiliknya) dapat dimiliki dengan mudah, akan tetapi
terkadang pemiliknya tidak mau memberikannya. Adanya syari’at jual
beli menjadi wasilah (jalan) untuk mendapatkan keinginan tersebut,
tanpa berbuat salah. Jual beli (al-bai”) menurut bahasa artinya menjual,
mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai’
merupakan sebuah kata yang mencakup pengertian dari kebalikannya
yakni al-syira>’ (membeli). Dengan demikian kata al-bai’ disamping
bermakna kata jual sekaligus kata beli.9
Adapun pengertian jual beli menurut istilah (terminologi)
yaitu tukar menukar barang atau barang dengan uang yang dilakukan
dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
dasar saling merelakan.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Landasan hukum diperbolehkannya jual beli yaitu berdasarkan
al-Qur’an, sunnah dan ijma’.
a. Al-Qur’an
Dasar hukum jual beli dalam al-Qur‟an dintaranya terdapat dalam
ayat:
24
1). Surat al-Baqarah ayat 275
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)10
2). Surat al-Baqarah ayat 198
11 َْ
م ب ر ْنم أْ ف ا ْوغ تْ ت ْ أ ٌ ا ج ْم ْي ل ع سْي ل
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu...” (QS. Al Baqarah: 198)
25
Diantara hadisth yang menjadi dasar jual beli yaitu hadisth
yang diriwayatkan oleh HR. Bazzar dan Hakim:
بْس ْلا َ ا ل س ْمَل س هْي ل ع ىَل ص ي َ لا ْ أ , ر عفا ر نْب ة عا فر ْن ع
12
ررْ م عْي ب لك هد ي لجَرل ا م ع
لا ق
: لا ق؟ ي ا
“Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Nabi SAW. ditanya tentang
mata pencaharian yang paling baik. Nabi SAW menjawab: seseorang
bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR.
Bazzar dan Hakim).
b. Ijma’
Ulama sepakat bila jual beli itu hukumnya boleh dan terdapat
hikmah didalamya. Pasalnya, manusia bergantung pada barang yang
ada di orang lain dan tentu orang tersebut tidak akan memberinya
tanpa ada imbal balik. Oleh karena itu, dengan diperbolehkannya jual
beli maka dapat membantu terpenuhinya kebutuhan setiap orang dan
membayar atas kebutuhannya itu.
Berdasarkan landasan hukum diatas, jual beli diperbolehkan
dalam Agama Islam karena dapat mempermudah manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya asalkan jual beli tersebut dilakukan
atas dasar suka sama suka dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
26
3. Rukun dan Syarat Jual- Beli
Disyari’atkannya jual beli adalah untuk mengatur kemerdekaan
individu dalam melaksanakan aktifitas ekonomi dan tanpa disadari secara
spontanitas akan terikat oleh kewajiban dan hak terhadap sesama pelaku
ekonomi yang mana semua itu berdasarkan atas ketentuan al-Qur’an dan
hadis sebagai pedoman dalam ajaran Islam.
Dengan jual beli, maka aktivitas dalam dunia mu’amalah manusia
akan teratur, masing-masing individu dapat mencari rizki dengan aman
dan tenang tanpa ada rasa khawatir terhadap suatu kemungkinan yang
tidak diinginkan. Hal tersebut dapat terwujud bila jual beli tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu terpenuhinya syarat dan
rukun jual beli.
Adapun rukun jual beli ada 3, yaitu A>qid (penjual dan pembeli),
Ma’qu>d Alaih (obyek akad), dan Sighat (lafad ija>b qabu>l). 13
a. Aq>id (penjual dan pembeli) yang dalam hal ini dua atau beberapa
oran melakukan akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang
melakukan akad ialah:
1). Baligh dan berakal, Disyari’atkannya aqidain baligh dan berakal
yaitu agar tidak mudah ditipu orang maka batal akad anak kecil, orang
gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak pandai mengendalikan
harta, bisa dikatakan tidak sah. Oleh karena itu anak kecil, orang gila
Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik”. (QS. An-Nisaa : 5)14
2). Kehendaknya sendiri (tanpa paksaan)
Adapun yang dimaksud kehendaknya sendri, bahwa dalam
melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak
melakukan suatu tekanan atau pakasaan kepada pihak lainnya,
sehingga pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan
lagi disebabkan oleh kemauannya sendiri, tapi adanya unsur
paksaan. Jual beli yang demikian itu adalah tidak sah. Sebagaimana
firman Allah:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)
3). Keduanya tidak mubazir
Keadaan tidak mubazir, maksudnya para pihak yang
mengikatkan diri dalam perbuatan jual beli tersebut bukanlah
manusia boros (mubazir), karena orang boros dalam hukum
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap dalam bertindak,
maksudnya dia tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum
walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya
sendiri.
b. Ma’qu>d Alaih (objek akad)
Syarat-syarat benda yang dapat dijadikan objek akad yaitu: suci,
memberi manfaat menurut syara’, tidak digantungkan pada sesuatu,
tidak dibatasi waktu, dapat diserahterimakan, milik sendiri, dan
diketahui.
c. Sighat (lafad ija>b qabu>l)
Jual beli dianggap sah, jika terjadi sebuah kesepakatan (sighat)
baik secara lisan (sighat qouliyah) maupun dengan cara perbuatan
(sighat fi’liyah). Sighat qouliyah yaitu perkataan yang terucap dari
29
proses serah terima barang yang diperjualbelikan yang terdiri dari
proses pengambilan dan penyerahan.
Akad sendiri artinya ikatan kata antara penjual dan pembeli.
Umpamanya: “aku jual barangku kepadamu dengan harga sekian” kata
penjual, “aku beli barangmu dengan harga sekian” sahut pembeli.
Perkataan penjual dinamakan ijab dan perkataan pembeli dinamakan
qabul.
Menurut Imam Syafi‟i jual beli bisa terjadi baik dengan
kata-kata yang jelas maupun kinayah (kiasan) dan menurut beliau itu tidak
akan sempurna sehingga mengatakan “sungguh aku telah beli padamu.
4. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi:
a. Ditinjau dari segi hukumnya15
1). Jual beli sahi>h
Jual beli sahi>h karena jual beli tersebut sesuai dengan
ketentuan syara’, yaitu terpenuhinya syarat dan rukun jual beli
yang telah ditentukan, barangnya bukan milik orang lain dan tidak
terikat khiya>r lagi.
2). Jual beli bati>l
Yaitu jual beli yang salah satu rukunnya tidak terpenuhi
atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan.
Misalnya, jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila atau
30
barang-barang yang diharamkan syara’ (bangkai, darah, babi dan
khamar).
3). Jual-Beli Fa>sid
Menurut Ulama Hanafi yang dikutip dari bukunya Gemala
Dewi yang berjudul Hukum Perikatan Islam di Indonesia bahwa
jual beli fa>sid dengan jual beli batal itu berbeda. Apabila
kerusakan dalam jual beli terkait dengan barang yang dijualbelikan,
maka hukumnya batal, misalnya jual beli benda-benda haram.
Apabila kerusakan kerusakan itu pada jual beli itu menyangkut
Yaitu jual beli dimana barang atau bendanya secara
global tidak diketahui dengan syarat ketidakjelasannya itu
bersifat menyeluruh. Tetapi apabila sifat ketidakjelasannya
sedikit, jual belinya sah, karena itu tidak akan membawa
perselisihan. Ulama Hanafi mengatakan sebagai tolak ukur
untuk unsur majhul itu diserahkan sepenuhnya kepada, urf
(kebiasaan yang berlaku bagi pedagang dan pembeli).
b). Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat
31
Misalnya ucapan penjual kepada pembeli, “saya jual
motor saya ini kepada engkau bulan depan setelah gajian”.
Jual beli seperti ini batal menurut jumhur dan fa>sid
menurut ulama Hanafi. Menurut ulama Hanafi, jual beli ini
dianggap sah pada saat syaratnya terpenuhi atau tenggang
waktu yang disebutkan dalam akad jatuh tempo.
c). Menjual barang yang tidak ada di tempat atau tidak dapat
diserahkan pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak
dapat dilihat oleh pembeli.
b. Ditinjau dari segi objeknya
Ditinjau dari segi benda yang dijadiakan objek jual beli, bahwa jual
beli dibagi menjadi tiga bentuk yaitu18:
1). Jual beli benda yang kelihatan.
Yaitu pada saat melakukan akad jual beli, benda atau barang
yang diperjualbelikan ada di depan pembeli dan penjual.
2). Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
Yaitu jual beli salam (pesanan) atau jual beli barang secara
tangguh dengan harga yang dibayarkan dimuka, atau dengan kata
lain jual beli dimana harga dibayarkan dimuka sedangkan barang
dengan kriteria tertentu akan diserahkan pada waktu tertentu. Dalam
salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahan
seperti berikut:
32
a). Jelas sifatnya, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang
maupun diukur.
b). Jelas jenisnya, misalnya jenis kain, maka disebutkan jenis
kainnya apa dan kualitasnya bagaimana.
c). Batas waktu penyerahan diketahui.
3). Jual beli benda yang tidak ada
Yaitu jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena
barangnya tidak tentu atau masih Jual beli benda yang tidak ada
gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut merupakan barang
curian salah satu pihak.
c. Ditinjau dari subjeknya (Pelaku Akad)
1). Akad jual beli dengan lisan
Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang
dilakukan dengan mengucapkan ijab qa>bul secara lisan. Bagi orang
yang bisu diganti dengan isyarat karena isyarat merupakan
pembawaan alami dalam menampakkan kehendaknya Akad jual beli
dengan perantara.
2). Akad jual beli dengan perantara
Akad jual beli yang dilakukan dengan melalui utusan,
perantara, tulisan atau surat menyurat sama halnya dengan ijab qobul
dengan ucapan. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli
yang tidak berhadapan dalam satu majlis. Dan jual beli ini
33
3). Akad jual beli dengan perbuatan
Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang
tanpa ija>b qabu>l. Seperti seseorang mengambil rokok yang sudah
bertuliskan label harganya. Jual beli demikian dilakukan tanpa sighat
ija>b qabu>l antara penjual dan pembeli, bahwa hal ini dilarang
sebab ija>b qabu>l sebagai rukun jual beli, tetapi menurut Mazhab
Hanafiah membolehkan karena ija>b qabu>l tidak hanya berbentuk
perkataan tetapi dapat berbentuk perbuatan pula yaitu saling
memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang.
5. Objek jual beli
a. Syarat-syarat Objek Jual-Beli
1). Suci atau mungkin dapat disucikan sehingga tidak sah
penjualan benda-benda najis seperti arak, anjing, babi, dan yang
lainnya, Rasulullah Saw, bersabda19:
َىل ص ه ل ْوس ر عم س هَنا ا م ْ ع ه يض ر ه دْ ع نْب ربا ج ْن ع
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi
dan berhala.” (mutafaqqun alaih).
34
Dalam riwayat lain, Nabi menyatakan, “Kecuali anjing untuk
berburu” boleh diperjualbelikan. Menurut Syafi’iyah, haramnya
arak, bangkai, anjing dan babi adalah karena najis, sedangkan
berhala bukan karena najis, tetapi karena tidak ada manfaatnya.
2). Memberi manfaat menurut syara’, maka dilarang jual beli
benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’,
seperti menjual babi, kala, cicak dan sebagainya .
3). Jangan ditaklikan, maksudnya adalah tidak dikaitkan atau
digantungkan kepada hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, kujual
motor ini kepadamu.
4). Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual mobil ini
kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah,
sebab jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh
yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara’.
5). Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat. Tidaklah sah
menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi.
Barang-barang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh
kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, karena
terdapat ikan-ikan yang sama.
6). Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan
tidak seijin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi
miliknya. Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus
35
jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak. Jadi untuk
keabsahan jual beli, maka benda yang dijadikan objek jual beli
(ma’qud ’alaih) harus memenuhi syarat-syarat berikut: barang
harus suci atau dapat disucikan, bermanfaat, dapat diserahkan,
tidak dibtasi waktunya, milik sendiri, dapat diketahui jumlahnya
maupun takarannya.
C. Pengertian Hibah dan Hadiah
Pemberian dalam bahasa Arab disebut al-Hibah. Kata hibah adalah
bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Qur’an beserta kata
derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi,
dan jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugerahi.20
Hibah merupakan pemberian sesuatu kepada yang lain untuk
dimiliki zatnya tanpa mengharapkan penggantian atau balasan
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Taqiy al-Din Abi Bakr Ibnu
Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayat al-Akhyar bahwa hibah
Pemilikan tanpa penggantian.
Sedangkan jumhur ulama mendefinisikan hibah sebagaimana yang
dikutip oleh Nasrun Haroen21 ialah Akad yang mengakibatkan pemberian
tanpa ganti rugi, yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada
orang lain secara sukarela.
20Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 466
21
36
Adapun hadiah berasal dari kata Hadi terambil dari akar kata yang
terdiri dari huruf-huruf ha’, dal, danya. Maknanya berkisar pada dua hal.
Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk. Dari sini lahir kata Hadi
yang bermakna penunjuk jalan, karena dia tampil di depan. Kedua,
menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hidayah (4J'^A)
yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna
menunjukkan simpati. 22
Hadiah sering juga disebut hibah. Ada juga yang mengatakan bahwa
hadiah termasuk dari macam-macam hibah. Menurut Ensiklopedi Hukum
Islam, hadiah dikategorikan dalam bentuk hibah. Sedangkan menurut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hadiah merupakan pemberian (kenang-
kenangan, penghargaan, penghormatan).23
Menurut istilah fikih, hadiah didefinisikan sebagai berikut:
1. Zakariyya Al-Anshari, Hadiah adalah penyerahan hak milik harta
benda tanpa ganti rugi yang umumnya dikirimkan kepada penerima untuk
memuliakannya.”24 Sedangkan Sayyid Sabiq mengatakan hadiah itu
seperti hibah dalam segi hukum dan maknanya.
Dalam pengertian ini, Sayyid Sabiq tidak membedakan antara hadiah
dengan hibah dalam segi hukum dan segi makna. Hibah dan hadiah adalah
dua istilah dengan satu hukum dan satu makna. Sehingga ketentuan yang
22Abdul Aziz Dahlan, et al. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hlm. 540.
23Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005,
cet.3, hlm. 380.
37
berlaku bagi hibah berlaku juga bagi hadiah.
Muhammad Qal‘aji, Hadiah adalah pemberian sesuatu tanpa imbalan
untuk menyambung tali silaturrahim, mendekatkan hubungan, dan
memuliakan.25
Dalam pengertian ini, Muhammad Qal‘aji menegaskan bahwa dalam
hadiah tidak murni memberikan tanpa imbalan, namun ada tujuan tertentu
yakni ada kalanya untuk menyambung tali silaturrahim, mendekatkan
hubungan, dan memuliakan.
D. Dasar Hukum Hibah dan Hadiah
Dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkan hibah maupun hadiah
dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi serta Ijma’
Ulama’, antara lain:
1. Dalil Al-qur’an
Surat Al-baqarah ayat 177, Allah berfirman: Dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang
yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,... (QS.
al-Baqarah).26
2. As-sunnah
Nabi SAW bersabda: saling memberi hadiah kamu sekalia, karena
25Muhammad Qal‘aji,Mu‘jam lugatilfuqaha, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-ishdar ats-tsani,
juz 1, h. 493 atau www.shamela.ws, diakses pada tanggal 20 April 2017.
38
sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian.’
Baik ayat maupun hadits di atas, menurut jumhur ulama
menunjukkan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesama
manusia. Oleh sebab itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang
mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada yang
memerlukannya.27
E. Hadiah dalam Prespektif Ju’a>lah
Akad Ju’a>lah identik dengan sayembara, yakni pemberian
yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sebagai ganti yang
sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh orang tersebut
seperti halnya akad upah. Menurut ulama Ju’a>lah adalah keharusan
memberikan sejulmah harta yang telah diketahui jumlahnya sebagai ganti
yang sebanding dnegan perbuatan tertetu yang telah diketahui atau perbuatn
yang belum diketahui yang mengandung kesamaran28. Dasar dari Ju’alah
ini adalah Q.S Yusuf ayat 72:
29
ٌميع ۦ هبا ن أ ريع ب لْمحۦ هب ءا ج ن مل كل مْلٱ عا وص دقْف ن ْولا ق
Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”
Adapun yang menjadi rukun ji’alah yaitu30 :
27Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira, 2000, hlm. 324.
39
1. Lafadh, hendaklah dipergunakan lafadh yang jelas dan mengandung arti
izin kepada yang akan bekerja dan juga tidak ditentukan waktunya.
2. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh
juga orang yang lain yang mendapat persetujuan dari orang yang
kehilangan.
3. Pekerjaan, yaitu mencari barang yang hilang.
4. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang atau benda yang
tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru kepada umum:
“Barangsiapa yang mendapat barang atau bendaku, akan saya beri
uang sekian. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai
keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah
yang dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).
Adapun yang menjadi syarat ji’a>lah yaitu :
1. Pihak-pihak yang berji'a>lah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah
(ahliyyah al-tasarruf), yaitu berakal, baligh, dan rashid (tidak sedang
dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau
anak kecil.
2. Upah yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika
upahnya tidak jelas, maka akad ji’a>lah batal adanya, karena ketidak
pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil
saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah
yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
40
3. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah,
bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak
diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin,
praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap
asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’a>lah
4. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan
jumlahnya (ma'lu>m), di samping tentunya harus halal.
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang, bahwa
Ju’a>lah adalah perbuatan hukum yang bersifat suka rela. Dengan
demikian, pihak pertama yang menjanjikan upah atau hadiah, dan pihak
kedua yang melaksanakan pekerjaan dapat melakukan
pembatalan.Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan
pendapat.Madzhab Maliki berpendapat, bahwa Ju’a>lah hanya dapat
dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak
kedua.Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa pembatalan itu
dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu
belum selesai dilaiksanakan, karena pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar
suka rela. Namun, menurut mereka, apabila pihak pertama
membatalkannya, sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya,
maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengan
41
dilaksanakan atas dasar suka rela, tetapi kebijaksanaan perlu
diperhatikan.31
F. Ketentuan Umum Mengenai Ghara>r
Ghara>r menurut bahasa artinya ketidakpastian, tipuan atau
tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang
mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik
mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, maupun
kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan didalam akad tersebut.32
Secara istilah ghara>r merupakan suatu akad yang tidak
diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak. Menurut
ulama fikih , bentuk-bentuk ghara>r yang dilarang adalah:33
1. Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad
pada waktu terjadi akad.
2. Menjual sesuatu yang belum berada pada kekuasaan penjual.
3. Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran, alat pembayaran
atau jenis benda yang dijual.
4. Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual.
5. Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan objek.
6. Tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar.
7. Tidak adanya ketegasan tentang bentuk transaksi.
31 Ibid., 320.
42
8. Tidak adanya kepastian akad.
9. Kondisi objek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang
ditentukan dalam transaksi.
10.Adanya keterpaksaan.
Diatas telah dijelaskan tentang macam gharar yang
dilarang salah satunya adalah adanya ketidak jelasan tentang jenis
pembayaran, alat pemabayaran, atau benda yang dijual. Dalam proses jual
beli jika terdapat unsur penipuan yang tidak wajar, maka pihak yang
merasa tertipu boleh memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad
jual belinya sebab dalam jual beli tidak boleh merugikan diri sendiri atau
atau orang lain.
G. Dasar Hukum Ghara>r
Dalam syari’at Islam, jual beli ghara>r ini terlarang dan
diharamkan. Banyak dalil-dalil yang menjelaskan pengharaman jual beli ini.
Salah satunya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang
“Rasulullah Saw melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu, dan tempatnya).” (HR
Muslim)35
34Agustri, pengertian, Hukum, Contoh Jual Beli Tidak Jelas [Gharar], Haram atau
Halal?,http://www.sekolahoke.com/2012/11/Gharar-Dalam-Jual-Beli.html, diakses pada 20 April 2016.
mudharatnya apabila kita sebagai ummat beliau melakukan ataupun
melanggar larangan beliau karena ini akan menimbulkan sebuah perpecahan
di internal umat Islam sendiri dan akan menimbulkan kebencian karena telah
terjadi kecurangan antara penjual dan pembeli.
Jika kita kaitkan kepada kehidupan kita sekarang, kita mungkin
akan di belit oleh masalah hukum yang memang telah di tegakkan di sekitar
kita. Tetapi jika kita kaitkan ke kehidupan akhirat, kita akan mendapatkan
belasan dari Allah SWT sesuai dengan kalam Allah di al-Qur’an pada surah
Al-Zalalah ayat 8 :
niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”36
Ghara>r merupakan suatu kegiatan yang memilki potensi untuk
membuat kita meraup untung sebanyak-banyaknya, oleh karenanya manusia
bisa terlena ke dalam jual beli ini. Dan nabi Muhammad saw merupakan
sosok nabi terakhir yang di turunkan untuk menyempurnakan akhlak-akhlak
manusia yang kurang sesuai dengan syari’at Islam. Dan melarang ummatnya
44
melakukan jual beli ghara>r karena pada masa jahiliyah jual beli ini marak
terjadi pada ummat Islam sampai saat ini. Larangan berbuat ghara>r juga
disebutkan dalam al-Qur’an surah An-Nisa ayat 29, yang berbunyi:
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama
sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu.37”
Menurut Maraghi di dalam ayat ini terdapat isyarat adanya berbagai faedah38:
1. Dasar halalnya perniagaan adalah saling meridhai antara pembeli dan
penjual. Penipuan, pendustaan dan pemalsuan adalah hal-hal yang
diharamkan.
2. Segala yang ada di dunia berupa perniagaan dan apa yang tersimpan
didalam maknanya seperti kebatilan yang tidak kekal dan tidak tetap,
hendaknya tidak melalaikan orang berakal untuk mempersiapkan diri
demi kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal.
3. Mengisyaratkan bahwa sebagian besar jenis perniagaan mengandung
makna memakan harta dengan batil. Sebab pembatasan nilai sesuatu dan
menjadikan harganya sesuai dengan ukurannya berdasar neraca yang
lurus hampir-hampir merupakan sesuatu yang mustahil. Oleh sebab itu,
45
disini berlaku toleransi jika salah satu diantara dua benda pengganti lebih
besar dari pada yang lainnya, atau yang menjadi penyebab tambahnya
harga itu adalah kepandaian pedagang di dalam menghiasi barang-barang
dagangannya, dan melariskannya dengan perkataan yang indah tanpa
46
BAB III
PELAKSANAAN JUAL BELI IKAN DENGAN MENGGUNKAN
PRAKTIK MANCING BERHADIAH DI PEMANCINGAN GUNUNG
SEKAR SAMPANG MADURA
A. Gambaran Umum tentang Keluarahan Gunung Sekar
Kelurahan Gunung Sekar berada disebelah selatan Kantor Kecamatan
Sampang. Batas-batas Wilayah Kelurahan Gunung Sekar adalah sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Desa Panyepen
Sebelah Selatan : Kelurahan Karang Dalam
Sebelah Barat : Desa Tanggumong
Sebelah Timur : Kelurahan Dalpenang
Berdaskan sensus penduduk pada akhir bulan juni tahun 2012 dapat
diketahui bahwa jumlah penduduk Kecamatan Gunung Sekar, Kabupaten
Sampang berjumlah seluruhnya 3604 Jiwa terdiri dari 1792 laki-laki dan 1812
perempuan. Keadaan perekonomian Kecamatan Gunung Sekar dapat dikatakan
cukup dan hampir di antara mereka tidak dijumpai hidup di bawah garis
kemiskinan. Kecamatan Gunung Sekar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari memiliki beraneka ragam pekerjaan sebab daerah tersebut adalah
wilayah pinggiran kota sehingga banyak orang-orang yang berdatangan ingin
mengadu nasib di wilayah Kecamatan Gunung Sekar, mengingat wilayah
47
ikut membantu dalam peningkatan perekonomian masyarakat Gunung Sekar
dan menjadi hasil tumbuhan. Penduduk Gunung Sekar adalah mayoritas
memeluk agama Islam dan sedikit sekali masyarakat yang memeluk agama
Kristen dan Budha. Bagi penduduk yang menganut agama Islam, Kristen, dan
Budha, dikenal sebagai masyarakat yang taat menganut agamanya. Pendidikan
yang ada di Gunung Sekar sangat baik sebab didukung oleh wilayah yang
strategis, ekonomi yang cukup, serta keadaan kesadaran masyarakat Gunung
Sekar akan pentingnya pendidikan, untuk mengisi masa depan putra putrinya,
sebab dirasa pentingnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat Gunung Sekar
sebagai bekal masa yang akan datang, sebab wilayah Gunung Sekar adalah
masyarakatnya sudah komplek yang penuh dengan kompetensi.1
B.Sekilas tentang Kolam Pemancingan Gunung Sekar
1. Sejarah Berdirinya Kolam Pemancingan Gunung Sekar
Kolam pemancingan Gunung Sekar adalah suatu bentuk usaha
yang menyediakan penyewaan kolam pemancingan dalam bentuk obyek
atas dasar perjanjian dengan akad ijarah, dikarenakan banyaknya para
peminat dalam penyewaan kolam pemancingan, mulai dari kaum
masyarakat yang yang yang ekonominya rendah sampai kaum
masyarakat yang ekonominya yang berkecukupan, sebagai tempat
menghilangkan rasa penat setelah beraktifitas, atau sebagai hiburan.
1 Data Monografi Desa Gunung Sekar, Bulan Januarri 2017 (Sampang: Pem Kab Sampang, 2017).
48
sehingga membuat penyewaan kolam pemancingan Gunung Sekar dapat
berdiri sebagai suatu bentuk usaha.
Pada awalnya kolam pemancingan lestari yang dimiliki oleh
Aminudjin Ja’far ini hanyalah sebuah lahan biasa yang difungsikan
sebagai ladang jagung. Namun sayangnya beberapa musim menjadi
petani jagung, Bapak Aminudjin seringkali menemui kendala. Mulai dari
masalah pupuk sampai jeleknya lahan pertanian yang mengakibatkan
hasil panen jagung selalu tidak sesuai dengan harapan atau kurang
maksimalnya hasil panen. Dari hal itulah Bapak Aminudjin Ja’far
mempunyai ide untuk menggali ladang 2jagungnya sampai menyerupai
kolam ikan buatan sebelum akhirnya ide tersebut berkembang hingga
Bapak Aminudjin Ja’far berhasil membuka sebuah usaha penyewaan
kolam pemancingan seperti saat ini.
Usaha penyewaan kolam pemancingan ini dibuka pada tanggal 8
agustus 2005, bermula dari sebuah ide untuk meningkatkan penghasilan
dibidang ekonomi, jenis usaha perseorangan (pribadi) yang bersifat
komersiel, yaitu mencari keuntungan semata namun, selain untuk
meningkatkan perekonomiannya juga dapat meningkatkan perekonomian
masyarat sekitar dengan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat
sekitar kolam pemancingan Gunung Sekar ini terletak di Desa Gunung
Sekar.