RUANG
#10
P E M E R I N T A H
VOL. 1 : SISTEM
Amalia Defiani - Bambang Eryudhawan - Fath Nadizti - Hendro Sangkoyo - Indrawan Prabaharyaka - Ivan Nasution - Patrick Tantra - Rofianisa Nurdin - Sherly de Yong - Tiara Anggita - Yulia Nurliani Lukito - Yusni Aziz
2
3 ruang | kreativitas tanpa batas
RUANG #10:
PEMERINTAH
Vol. 1: SISTEM
Sherly de Yong
Patrick Tantra
Yulia Nurliani Lukito
Amalia Deiani
Yusni Aziz
Roianisa Nurdin
Ivan Nasution
Fath Nadizti
Indrawan Prabaharyaka
Tiara Anggita
Kontrak sosial kepada sebuah entitas yang mengatur hak dan kewajiban tiap individu dan masyarakat dengan sistem hukum membentuk sebuah entitas yang sering kita sebut pemerintah.
Pemerintah menjadi kata yang berpolemik sejak Indonesia berusaha mencari bentuk negaranya. Sebelumnya, Moh. Hatta mencetuskan kata “pengurus” (n orang mengurus) yang berdasar kepada nilai-nilai kolektivisme – gotong royong dan usaha bersama. Sehingga, “pengurus” merupakan bagian dari rakyat. Sementara kata “penguasa” atau “pemerintah” membawa nilai individualisme yang patut dilindungi. Pemerintah menjadi sebuah kedudukan superior yang tercerai dengan rakyat. Hal ini membawa berbagai permasalahan terkait sistemik dan narasi yang terbentuk di ruang-ruang kota.
Permasalahan-permasalahan ini dipertanyakan, dikritisi, dan dideinisikan kembali oleh kontributor-kontributor pada
edisi 10 ini. Ruang bersyukur mendapat masukan dari berbagai macam latar belakang disiplin keilmuan. Penyelenggara negara, praktisi arsitektur dan perencana kota, akademisi, seniman, aktivis, pengamat, serta pecinta arsitektur dan kota menawarkan beragam sudut pandang untuk membedah kompleksitas permasalahan tadi. Campuran antara bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ataupun bahasa Indonesia-Inggris memperkaya kemungkinan-kemungkinan yang membebaskan, bukan malah memenjarakan. Semoga artikel-artikel ini memancing kita dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan.
Dalam edisi ini, kedelapan belas artikel yang terkumpul dapat dituturkan dalam dua kelompok besar. Beberapa artikel menyoroti soal visi dan peranan ideal beberapa komponen-komponen penyusun negara, kritik terhadap praktek-praktek hubungan diantara mereka hingga ide berkolaborasi dan bersinergi dalam sebuah “sistem”. Sementara sebagian lain menawarkan “narasi” dalam membaca praktek-praktek yang berlangsung, seperti realita lapangan yang seolah berjarak dengan visi, fenomena-fenomena politis keruangan atau pengaturan pengalaman ruang-ruang kota yang membentuk manusia.
Kategori “Sistem” akan dibuka oleh Sherly de Yong, yang membahas tentang sebuah mekanisme kekuasaan untuk mengatur perilaku individu-individu di dalam sebuah organisasi masyarakat melalui artikelnya “Panoptisisme dan Pemerintahan”. Sementara Patrick Tantra melihat sistem kota dari sudut pandang ICT (nformation and Communications Technology) dalam artikel “Government, Citizenship and Smart Cities”. Kemudian Yulia Nurliani Lukito mengedepankan tentang “Sinergi Antara Arsitek dan Pemerintah” dalam studi kasus pada aliran Konstruktivisme
yang berkembang di Rusia. Sedangkan Amalia Deiani memaparkan argumen mengenai peranan visi dalam arah
kebijakan pemerintah pada studi kasus Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Bandar Udara Baru Karawang dalam artikel berjudul “Sistem Multi-bandara di Indonesia: Tinjauan dari Sudut Pandang Kebijakan”. Tim Ruang juga berkesempatan mewawancara Bambang Eryudhawan dari Pusat Dokumentasi Arsitektur, yang saat ini turut aktif memperjuangkan RUU Arsitek, untuk membagi pandangan dan pengalamannya dalam bergerak bersama pemerintah.
Selanjutnya, Ivan Nasution dalam artikel “Komunikasi Politik Media Sosial” mengedepankan tentang peranan media dalam spektrum politik di Indonesia, terutama media sosial sebagai ruang publik baru di era Internet. Fath Nadizti, dalam “Praktek Berarsitektur: Sebuah Krisis Jati Diri”, memotret dilema peran dan posisi arsitek dalam proyek pemerintah pada studi kasus pengembangan kawasan Old Oak Common dan Park Royal, London Barat. Tim Ruang juga mewawancarai Hendro Sangkoyo, Pendiri Sekolah Ekonomika Demokratika, mengenai kiprah sekolah tersebut sejak didirikannya di tahun 2007. Kemudian, Indrawan Prabaharyaka dan Tiara Anggita menutup wacana tentang “Sistem” mengritik dikotomi pemerintah dan rakyat melalui artikel yang berjudul “Kita adalah Pemerintah / pemerintah / pemerintahan”.
Dalam euforia memaknai kebebasan bicara dan berwacana secara lantang di ruang publik, fenomena di atas sedikit banyak memberi andil dalam melahirkan beragam subkultur yang memperkaya kehidupan di ruang kota. Meski pada akhirnya, bagaimana kita memaknai kehadiran mereka, akan kembali lagi kepada keberpihakan kita kepada nilai-nilai yang mereka bawa.
Selamat memilih sudut pandang, selamat menikmati Ruang!
PEMBUKA
Panoptisisme dan Pemerintahan Sherly de Yong
Governance, Citizenship and Smart Cities
Patrick Tantra
Sinergi Antara Arsitek Dan Pemerintah Yulia Nurliani Lukito
Sistem Multi-Bandara di Indonesia: Tinjauan Dari Sudut Pandang Kebijakan
Amalia Deiani
Kopi Pagi Bersama Bambang
Eryudhawan: Ada Apa Dengan RUU Arsitek?
Yusni Aziz & Roianisa Nurdni
Komunikasi Politik Media Sosial Ivan Nasution
Praktek Berarsitektur: Sebuah Krisis Jati Diri
Fath Nadizti
Hendro Sangkoyo: Tentang SDE Dan Gerilya Pemulihan Krisis
Yusni Aziz
Kita Adalah Pemerintah / Pemerintah / Pemerintahan
Indrawan Prabaharyaka & Tiara Anggita
AMALIA DEFIANItelah bekerja selama kurang lebih 7 tahun sebagai Perencana Fasilitas Bandar Udara dan Penyusun Peraturan Perundang-undangan di Direktorat Bandar Udara, Kementerian Perhubungan. Ia berlatar belakang Arsitektur di Institut Teknologi Bandung, Indonesia dan dual degree Magister Sistem dan Teknik Transportasi di Universitas Gadjah Mada Indonesia dan Master of Transport Planning dari Institute for Transport Studies, University of Leeds, Inggris.
FATH NADIZTI, alumnus program double-degree Arsitektur ITS dan Saxion Hogeschool Belanda tahun 2013. Aktif di Bandung bersama komunitas dan kegiatan action research. Melanjutkan program magister Urban Studies di University College London karena rasa ingin tahu terhadap politik kehidupan berkota.
INDRAWAN
PRABAHARYAKA is a
researcher who has been working for urban and sanitation sector. Past experiences includes UNESCO-IHE and international NGOs based
in Indonesia. Recently, he worked as Program Coordinator for the National Task Force for Water and Sanitation (Pokja AMPL Nasional), a cross-institutional government organization under the Ministry of National Development Planning. Currently, he is a PhD researcher in Munich Center for Technology in Society, Technische Universität München (TUM). AD FN IP IN PT RN
K O N T R I B U T O R
IVAN NASUTION lulus dari arsitektur ITB, kemudian bekerja di Park+Associates Architect. Setelah menyelesaikan penelitian di Berlage Institute Rotterdam pada tahun 2011, kini ia menjadi research associate di Centre for Sustainable Asian Cities, NUS.
PATRICK TANTRAis
interested in how context shapes the built environment and in a holistic approach to resolving design problems. He recently obtained his MSc in Smart Cities and Urban Analytics at the Bartlett, Center for Advanced Spatial Analysis (CASA)- UCL. He also holds architectural degrees from Curtin University and a Postgraduate Diploma from the Bartlett. Currently, he is developing a London open data platform at CASA and working freelance on private architecture projects. He is
also the Vice Chief Oficer for the
Indonesian Institute of Architects-European Union chapter (IAI-EU).
YUSNI AZIZ, alumnus dari double-degree bachelor program kerjasama antara ITS dan Saxion Hogeschool of Applied Sciences. Kemudian menyelesaikan riset di Berlage Institute pada tahun 2013. Saat ini menjadi pengajar di UPH, dan melakukan riset pribadi.
N A R A S U M B E R
HENDRO SANGKOYO lulus dari jurusan arsitektur ITB, dan melanjutkan studinya tentang Perencanaan Wilayah dan Kota, dan Kajian Asia Tenggara; yang kemudian disambungnya dengan dengan Planning Theory and Comparative Politics di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Sempat mengajar di Cornell, Universitas Melbourne, Institut Teknologi Indonesia dan Royal Melbourne Institute of Technology. Saat ini sibuk dengan School of Democratics Economics (SDE) yang ia dirikan bersama rekannya di tahun 2007.
BAMBANG
ERYUDHAWAN seorang
arsitek lulusan ITB yang sempat menjabat sebagai anggota dewan BPPI, Ketua IAI Jakarta tahun 2000-2006, dan ketua tim sidang pemugaran DKI Jakarta. Aktif menerbitkan beberapa publikasi, salah satu yang teranyar adalah 100 Tahun SD Kartini Semarang (1913 - 2013)
SHERLY DE YONG menyelesaikan pendidikan di Jurusan
Desain Interior Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra Surabaya. Ia pernah bekerja sebagai konsultan desainer di sebuah perusahaan desain interior di Singapura. Saat ini menjadi dosen jurusan Desain Interior Univesitas Kristen Petra. Di tahun 2012, menjadi mahasiswa pascasarjana Teori, Sejarah, dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
YULIA NURLIANI LUKITO teaches at the Department of Architecture, UI, where she got her bachelor degree in architecture. She obtained her master in History and Theory of Architecture from Graduate School of Design, Harvard University, and her doctorate degree from RWTH Aachen University in Germany. Her research interests are mainly philosophy of design, history and theory of architecture, modernity and vernacular architecture.
TIARA ANGGITA is an urban development enthusiast who has been working for the Directorate of Housing and Human Settlement, the Ministry of National Development Planning for the last 3 years. She earned her bachelor degree in Urban and Regional Planning from Bandung Institute of Technology. She has been working for strategic national housing projects such as self-help housing (perumahan swadaya) and slum up-grading, where she is actively involved
in the policy making processes with different global/local actors.
R U A N G
Editorial Board :
Ivan Kurniawan Nasution Mochammad Yusni Aziz
Roianisa Nurdin
web : www.membacaruang.com
facebook : /ruangarsitektur
twitter : @ruangarsitektur
tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com
email : akudanruang@yahoo.com segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk
keperluan tertentu harus atas izin penulis.
PANOPTISISME DAN
PEMERINTAHAN
Panoptisisme memanfaatkan unsur psikologis penataan ruang dan arsitektur untuk menerapkan kuasa. Penguasaan terhadap individu melalui mekanisme pemantauan searah dan arsitektur yang dibentuk sedemikian rupa inilah yang membentuk konsep panoptisisme. Lalu, bagaimana panoptikon ini bisa berdampak di dalam tata ruang?
ESAI INDONESIA
Foucault, Panoptikon, Sistem pemerintahan
8
edisi #10: Pemerintah
8
edisi #10: Pemerintah
Michel Foucault, seorang pemikir strukturalis, membicarakan ide kuasa pendisiplinan (disciplinary power) dalam bukunya yang berjudul Discipline and Punish [1]. Kuasa pendisiplinan menurutnya adalah sebuah mekanisme kekuasaan untuk mengatur perilaku individu-individu dalam sebuah organisasi masyarakat. Ia bukanlah sebuah pemaksaan pendisiplinan masyarakat seperti pada prinsip kapitalisme demi produktivitas ekonomi semata. Melainkan penerapan kuasa melalui penataan ruang arsitektur dan kota yang akan mempengaruhi waktu, aktivitas, dan perilaku manusia di dalamnya.
Lalu bagaimanakah bentuk penerapan kuasa melalui penataan ruang ini?
Foucault membahas sebuah teknik dan mekanisme pengawasan yang disebut dengan panoptisisme (Panopticism) [1]. Panoptisisme memanfaatkan unsur psikologis penataan ruang dan arsitektur untuk menerapkan kuasa. Misalnya, seorang anak tertangkap basah oleh ibunya sedang bermain saat waktunya untuk belajar. Setelah kejadian ini, anak tadi akan merasa selalu diawasi oleh ibunya setiap kali dia hendak bermain saat waktunya untuk belajar, padahal belum tentu sang ibu melakukan itu. Perasaan sang anak ini bisa dikatakan perasaan psikologis dari panoptikon.
Lalu bagaimanakah sebenarnya bentuk panoptisisme ini?
Sebelumnya, kita akan melihat terlebih dahulu sejarah dan konsep panoptikon yang merupakan inspirasi dari panoptisisme. Kata “panoptisisme” yang diusulkan
oleh Foucault terinspirasi dari rancangan penjara Panoptikon oleh seorang ilsuf
9 ruang | kreativitas tanpa batas
10
edisi #10: Pemerintah
10
edisi #10: Pemerintah
Lalu, bagaimana panoptikon ini bisa berdampak di dalam tata ruang?
Seperti pada kasus penjara panoptikon, teknik penataan ruang tertentu (melalui penyekatan, pencahayaan, orientasi, hirarki ruang, letak menara penjaga, dan lain-lain) bisa membuat narapidana yang ada di dalamnya merasa selalu diawasi terus menerus, padahal belum tentu ada orang yang mengawasi di dalam menara penjaga. Pengawasan secara psikologis sekaligus efektif inilah yang melahirkan panoptikon. Dari sekilas gambaran mengenai teori panoptisisme Foucault, penulis akan membedah fenomena panoptisisme dan tata ruang dan keterkaitannya dengan pemerintahan.
Panoptisisme, Arsitektur dan Pemerintahan
Sebelum memahami prinsip panoptisisme Foucault, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu pandangan Foucault tentang kuasa (power), pengetahuan (knowledge), dan disiplin (discipline), serta kaitannya terhadap ruang (space) dan panoptisisme.
11 ruang | kreativitas tanpa batas
jumlah yang disyaratkan, (3) tidak terkonsentrasi pada satu individu atau kelas, (4) tidak mengalir hanya dari yang-lebih kepada yang-kurang berkuasa, tetapi lebih kepada yang berasal dari bawah, dan (5) memiliki dinamika tersendiri dan disengaja. Hubungan antar kuasa bisa diungkapkan dalam hubungan antara orang tua dan anak, sepasang kekasih, pengusaha dan karyawan [1]. Dalam setiap interaksi antar manusia, kekuasaan menyaratkan negosiasi. Dan setiap individu memiliki tempatnya
dalam sistem hirarki, tanpa mengacuhkan keleksibelan hubungan hirarki tersebut.
Ada tiga teori dan ide utama mengenai kuasa. Pertama, konsep kuasa bukanlah sebuah “benda” atau “kapasitas” yang bisa dimiliki baik oleh negara atau individu tertentu, melainkan sebuah “hubungan” antara individu dan golongan lain yang hanya muncul ketika dijalankan. Foucault mengajukan sebuah hipotesa bahwa kuasa diperluas dengan adanya tubuh sosial (social body). Tidak ada kebebasan (freedom) yang luput dari hubungan kuasa, tetapi penolakan (resistance) muncul di manapun ada kuasa (power). Penolakan ini muncul pada setiap tingkat, termasuk pada tingkat rendah [3].
Kedua, Foucault mengkritik model yang melihat bahwa kuasa itu sepenuhnya berada pada negara atau admistratif dan badan eksekutif yang memerintah negara. Menurutnya pada praktiknya, keberadaan sebuah negara tergantung dari
operasi kompleks beribu-ribu hubungan kuasa pada setiap tingkatan dari tubuh sosial. Dan yang ketiga, kuasa haruslah produktif secara sosial dan bukanlah penindasan terhadap individu, kelas sosial atau insting natural. Dengan ini kuasa akan menghasilkan jenis pengetahuan dan penataan budaya tertentu [3].
Selain ketiga makna dari kuasa tadi, mekanisme dari kuasa yang membentuk tipe-tipe dari berbagai macam pengetahuan juga penting. Hal ini bertujuan untuk menginvestigasi dan mengumpulkan informasi dari aktivitas manusia dan wujudnya. Pengetahuan yang dikumpulkan dengan cara ini akan membentuk latihan-latihan kuasa. Pengetahuan tidak memisahkan masyarakat, ilmu, atau negara pada sisi yang berlainan, melainkan suatu kesatuan kuasa-pengetahuan (power-knowledge). Kuasa dan pengetahuan beroperasi hampir secara bergantian. Hal ini didiskusikan secara sadar oleh Foucault dengan menggunakan istilah yang ditulis dengan tanda penghubung, dan ini menemukan lebih banyak perbedaan diantara dua kategori ini.
Foucault selalu mereleksikan dan mendiagnosis masa kini dengan mempelajari
12
edisi #10: Pemerintah
12
edisi #10: Pemerintah
dijadikan sebagai obyek dan sasaran kekuasaan.
Ia lalu mengajukan hubungan antara kuasa-pengetahuan secara bertahap: (1) disciplinary power, yang dalam sejarah menggantikan bentuk lama dari kekuasaan yang berdaulat, fokusnya kepada penciptaan dan kontrol individu dengan melatih badan dan perilaku. (2) Biopower yang berfokus pada kehidupan, kematian dan kesehatan dari keseluruhan populasi. (3) Governmentality yang memungkinkan penggabungan kekuasaan ke dalam mekanisme yang menunjukkan jalan untuk perilaku orang di dalam tubuh sosial [3]. Istilah yang terakhir meninggalkan diskusi mengenai kuasa, malah lebih mendiskusikan soal kebebasan, kebenaran dan subyek, dan cara untuk memandu diri sendiri dan mengatur orang lain.
Bentuk kuasa pendisiplinan (disciplinary power) mendukung diskusi teoritis panoptisisme, karena kedisiplinan (disciplinary) merupakan dasar dari teknik dan prinsip mekanisme ini. Kuasa pendisiplinan pertama kali berkembang pada pada akhir abad ke-18, dengan menggantikan bentuk kuasa berdaulat. Sistem kuasa ini
dianut masyarakat feudal yang memiliki igur otoritas seperti raja, imam, atau ayah
yang ditunjuk sebagai pemegang kuasa [3]. Menurut Foucault, bentuk kuasa ini
menyebabkan ineisiensi dalam pengaturan perilaku populasi di Eropa.
Kedisiplinan (Discipline), merupakan sebuah “teknologi” yang bertujuan untuk menjaga seseorang berada di dalam pengawasan. Hal ini termasuk cara mengontrol tindakan, perilaku, dan bakat seseorang, juga cara meningkatkan kinerjanya, kapasitasnya, dan menempatkannya pada posisi yang paling berguna (teknologi produktif). Teknologi ini mengeksploitasi manusia sebagai obyek dan sasaran kekuasaan, seperti yang dikatakan oleh Timothy Rayner:
“Sebuah ‘anatomi politik’ yang juga sebuah ‘mekanisme kekuasaan’ lahir; yang berarti seseorang dapat mengendalikan tubuh orang lain bukan hanya agar mereka dapat melakukan keinginanannya, tetapi agar mereka dapat bergerak sebagai satu keinginan, dengan
teknik, kecepatan, dan eisiensi yang ditentukan.”[4, pp. 148-9]
13 ruang | kreativitas tanpa batas
pemerintahan, terutama dalam kendali dan pembentukan teritori sebuah kota. Pemerintah saat itu beranggapan bahwa distribusi ruang, dari mulai pola penataan
kota sampai kepada ruang yang paling privat, merupakan hal yang paling eisien
dalam mengontrol sebuah kota dan teritorinya.
Perkembangan teknologi, terutama dalam konstruksi rel dan listrik, dan urbanisasi yang meningkat, pada abad ke-19, mempengaruhi pola keterkaitan kuasa dan ruang tadi. Pembentukan ruang di kota bukan lagi menjadi domain dari kuasa pemerintahan dan para arsitek, namun tergantikan oleh insinyur, teknisi, dan pembangun yang dapat mengontrol teritori, komunikasi, dan kecepatan [5]. Kuasa yang dibentuk dari pola penataan ruang tidak lagi dipegang oleh pemerintahan, namun beralih kepada masyarakat.
Pengorganisasian ruang dimulai dengan sebuah prinsip ‘berpagar’ (enclosure) yang mengunci seseorang pada ruang institusionalnya. Misalnya, penjahat di penjara atau anak-anak di sekolah. Prinsip ini menciptakan partisi-partisi kecil, yang membagi manusia dalam ‘peringkat-peringkat’ dan ‘kelas-kelas’nya. Pembagian ini nantinya memerlukan desain arsitektur yang menjaga ruang-ruang sosial ini tetap
terorganisir secara isik.
Teknik mekanisme kuasa yang kedua berhubungan dengan organisasi aktiitas dan
perilaku. Pertama, mengembangkan sebuah jadwal bagi sekelompok orang untuk hadir pada saat yang bersamaan demi menjalankan tugas. Kemudian bentuk dari
aktiitas grup ini diatur, orang-orang tadi dilatih untuk menampilkan gerakan yang
sama secara bersamaan. Ketiga, digunakan metode pelatihan tubuh dan gestur
untuk menyempurnakan pergerakan tadi agar tubuh menjadi semakin eisien di dalam aktiitas yang dilakukan [3]. Kesuksesan dari teknik kuasa pendisiplinan ini
semakin terjamin dengan adanya tambahan dari pengawasan.
Arsitektur dapat membentuk pola aktivitas orang-orang melalui penataan ruang, pengarahan, dan pembagian sesuai aktivitas masing-masing melalui mekanisme panoptikon. Penataan ruang bisa mengukuhkan keberadaan kuasa untuk mengakomodasi aktivitas-aktivitas tersebut. Hal ini memerlukan sebuah keteraturan hirarkis dengan kuasa yang jelas dan terwujud dalam kebudayaan masyarakat. Misalnya, hirarki penataan ruang pada bangunan religius yang mengatur posisi masing-masing dalam aktivitas religius, dengan sendirinya akan mengatur hubungan hirarkis antara umat dan pemimpin umat.
14
edisi #10: Pemerintah
14
edisi #10: Pemerintah
(1) penataan isik dari elemen bangunan dan (2) perubahan sifat material. Elemen
bangunan dapat berupa penentuan posisi, pemisahan, atau persembunyian. Sementara itu, sifat material dapat berupa tekstur, warna, dan jenis material.
Pada hal pertama, arsitek dan desainer dapat memanfaatkan struktur isik
untuk mengontrol (mengarahkan atau melarang) perilaku / kegiatan tertentu pada ruang yang tersedia. Misalnya, seperti penggunaan pagar untuk mencegah seseorang mengakses daerah terlarang. Pada hal kedua, arsitek dan desainer dapat
memanfaatkan sifat isik desain untuk memberi efek psikologis seseorang untuk
membentuk perilaku. Misalnya, dengan menggunakan warna-warna tertentu untuk mempengaruhi suasana hati pengguna. Selain kedua pola ini, ada juga pola pengawasan melalui perancangan tata ruang dan teknologi untuk menfasilitasi atau membatasi aktivitas atau jarak pandang sekelompok orang [6].
Penggunaan metode arsitektur kontrol ini cukup banyak dipraktekkan dalam arsitektur. Misalnya, desain bangku-bangku taman yang memiliki lengan di tengah-tengah bangku untuk mencegah orang tidur. Ataupun, penggunaan jendela pada tempat tinggi di ruang kelas untuk memaksimalkan pencahayaan yang masuk, namun mencegah para murid untuk terganggu dengan peristiwa di luar jendela [6].
Pencegahan kejahatan melalui desain lingkungan merupakan salah satu contoh aplikasi dari arsitektur kontrol. Ada 3 strategi utama, yaitu kontrol akses, pengawasan dan penguatan teritori. Contohnya, bangunan yang mengadaptasi sistem ini dapat dibangun sedemikian rupa sehingga orientasi jendela dan pintu dari ruang yang berpenghuni akan mengarah pada lingkungan sekitar. Hal dapat memaksimalkan pengawasan dari orang yang berlalu lalang (eyes on the street).
Bangunan panoptikon yang dibangun oleh Jeremy Bentham merupakan salah satu contoh aplikasi desain arsitektur kontrol. Panoptikon dalam hal ini tidak dipandang sebagai sebuah penjara, melainkan sebuah prinsip umum kontruksi, pengawasan, dan mesin optik untuk sekelompok manusia. Ide panoptikon ini digunakan untuk
mendapatkan kontrol atas apa yang kelihatan (isik narapidana) dan tidak kelihatan
(psikologi dari narapidana). Panoptisisme memberi pengelihatan sepenuhnya kepada seseorang dan menghalangi penglihatan yang lain terhadapnya.
Mekanisme arsitektur panoptikon ini membentuk kuasa menjadi lebih efektif dan ekonomis dalam meningkatkan moral publik, penyebaran edukasi dan
pengembangan ekonomi. Selain susunan bangunan panoptikon secara isik, sistem
15 ruang | kreativitas tanpa batas
desain isiknya sehingga tercipta sistem mekanisme kuasa pendisiplinan yang lebih eisien. Bangunan panoptikon ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan
panoptisisme, siapa yang memiliki kuasa dan tidak, serta memberikan batasan yang jelas mengenai siapa yang diawasi dan siapa yang mengawasi.
Arsitektur dalam hal ini sangat terkait dengan panoptisisme dan pemerintahan,
dengan tiga komponennya, penataan isik elemen bangunan, material, dan
pengawasan. Komponen ini dapat digunakan untuk melihat kuasa pendisiplinan di dalam sebuah desain. Pemerintahan bisa memanfaatkan pengawasan panoptikon ini ke dalam masyarakat. Dan arsitektur juga membantu pemerintahan di dalam pengawasan. Sebagai contohnya, pola penataan atrium / plaza yang terbuka bisa memberi kesempatan bagi orang-orang untuk mengawasi dan diawasi. Bangunan jika dirancangan dengan menggunakan prinsip panoptisisme, akan memberikan dampak kuasa melalui adanya pengawasan pasif. Atau pengawasan aktif melalui penggunaan peletakan CCTV di jalan-jalan protokol selain membantu pengawasan kemacetan, juga memantau tindak kejahatan yang mungkin bisa terjadi di jalanan. Pada satu sisi, hal ini dapat membantu pemerintahan untuk mengawasi masyarakat melalui tata ruang. Namun, di sisi lain, privasi individu bisa dilanggardengan pemanfaatan yang tidak tepat. Di beberapa negara yang sudah maju, mekanisme panoptisisme ini dinilai sebagai mekanisme yang melanggar privasi masyarakat.
Persantunan
Beberapa bagian dalam artikel ini telah dipublikasikan dengan judul “The meaning of panopticism in architecture deterministic” dalam buku “Recent Trends in Social and Behaviour Sciences: Proceedings of the International Congress on Interdisciplinary Behaviour and Social Sciences 2013” (2014) yang ditulis bersama Murni Rachmawati and Josef Prijotomo.
Referensi
[1] Foucault, M. (1977). Discipline and Punishment: The Birth of the Prison. Billing & Sons, London.
[2] Leach, N. (1997). Rethinking Architecture: A cultural reader theory. Routledge, London.
[3] O’Farrel, Clare. (2006). Michel Foucault. Sage Publication, London.
[4] Rayner, T. (2001). Biopower and Technology: Foucault and Heidgger’s Way of Thinking. http://sydney.edu.au/contretemps/2may2001/rayner.pdf diakses 1 Juni 2014
16
edisi #10: Pemerintah
16
edisi #10: Pemerintah
“Panoptisisme
memberi penglihatan
sepenuhnya
kepada seseorang
dan menghalangi
penglihatan yang
lain terhadapnya.”
GOVERNANCE, CITIZENSHIP
AND SMART CITIES
The birth of the “Smart City” as the new urban para-digm should not be seen only as the governments
and corporations’ quest of increased eficiency, but
also as a chance for citizen empowerment through the open data movement.
ESSAY ENGLISH
Governance, Smart Cities, ICT
18
edisi #10: Pemerintah
18
edisi #10: Pemerintah
The military–industrial complex
The quest for improving eficiency in governments is not a new phenomenon. The
German sociologist, Max Weber wrote extensively on how the organisational model pioneered by the 19th-century Prussian army, founded upon clear
command structures and highly competent oficers and soldiers, became the
model for many government organisations and businesses.
The adoption of this management structure permits long-term stability and
predictability. The quest for order and eficiency was transferred to 20th-century
civil society through the standardisation of operations, educational curricula and in professions such as law, medicine and science. Likewise, rationalised time
No matter how impoverished a person, as long as they know their position and duties they are less likely to revolt.
(Bismarck in Wilson, 1989)
Introduction
Cities are complex entities that are intrinsically crammed with a multitude of interdependencies and contradictions. In recent years, advancements in Information and Communications Technology (ICT) have made possible a new urban paradigm: The Smart City. Supposedly, once cities are equipped with networked ICT, their governments are on a better footing to make sense of the complexity and formulate the public good that is better aligned with its citizens’ needs.
The reasoning often used by governments and corporations to justify the smart
city paradigm is the quest for increased eficiency. Historically, the improvement in eficiency has been achieved by militarising the bureaucratic structures that
underpin societies and later on to corporations. The similarity caused the boundaries between politics and consumerism to blur, and making it possible to place both merchandise and politics under the tenets of consumption.
To remain relevant, the deinition of public good must be reconstituted and placed
within the contemporary construct. Here, the vital link lies with the formation of a
stronger civil society in a networked city context. Moreover, and while the
19 ruang | kreativitas tanpa batas
Figure 1. Emperor William II reviews Prussian troops (Röchling 1894)
and activities also found a place in business practices that proited from its
implementation.
From the 1980s, Western democratic governments and the corporations operating in their realms gradually drifted away from the militarised models. A phenomenon that is also marked by a shift from manual labour to machine automation and the preference for short-term results. The immediate effect causes large institutions to splinter and the fragmentation of many people’s lives. In these societies, people are geared towards relocating rather than settling in, resulting in highly individualist societies that inhibits traditional communities from forming.
Shopping for democracy
A direct comparison can be drawn between the Wal-Mart superstore model
20
edisi #10: Pemerintah
aisle upon aisle of goods and everything that is purchasable is available in an instant. In the rare cases that contact between a consumer and salespersons happen, these occasions are typically sanitised from mediation and persuasion. Similar parallels can be observed with many governments and political parties. In these organisations, the decision on what policies to adopt becomes limited to global imaging and marketing. These are the instances where the line between consumption and politics is blurred.
In the smart city paradigm, corporate hand in dispensing public goods on behalf of governments is contested by for many. So what is this public good? In economics,
the public good is deined as a good that can be used by everyone and where
use by one individual does not reduce its availability to others. In philosophy and
politics, the public good refers to mutual beneit at the societal level.
Up to the 19th century, the provision of the public good has largely been the domain of governments. They were the only organisations that are suitably
equipped with the management structure and inancial resources to deliver it eficiently to a large population. As corporations have become more important
and equally- if not even more powerful, they can enter into complex arrangements with governments to provide the public good. As societies become increasingly connected through ICT networks another alternative is possible. A shift towards citizen empowerment.
Mostly what is sought by the act of purchasing the good is no longer the good’s function nor its materiality. Instead, what is desired is its potency and potential. When applied to the politics, this makes it possible— and acceptable—for politicians to emphasise selling ideas and making promises rather than acting substantively.
(Sennett, 2007) [image:22.420.151.386.399.553.2]
21 ruang | kreativitas tanpa batas
Citizen empowerment via the open data
infrastructure
In his book ‘Against The Smart City’, Adam Greenield opined that the smart city
model envisaged by corporations to be self-serving. For corporations, the city dweller’s participation is limited only to generating data that can be captured, analysed and acted upon by administrators. On the other hand, it would be presumptuous to assume that citizen participation automatically leads to public good. If citizens are empowered, and a genuinely open society created, then what type of information is shared and who decides?
In the most extreme cases, the kind of bigotry and fundamentalist ideas spread
through the internet using the same networked infrastructure and ICT justiies
the control that must be exerted to maintain collective security. These are just some instances that highlight the underlying tension between freedom of speech and state control. Hence, there are still scope for further deliberations on the balance between initiatives that are considered “top-down” — coming from the government to that which are considered “bottom-up” — initiated by the citizen.
When Tim Berners-Lee invented the World Wide Web (WWW) in 1989, it was
intended as a platform for global information sharing. To our beneit, his creation
was not patented and was made open without any royalties due. His position contrast to that of corporate ICT initiatives, which takes advantage of the free
infrastructure, but seek proits from licences they issue in return for the use their
patented products. To be in keeping with the spirit of openness championed by Berners-Lee, information ought to be considered as a form of public good, thus freely available. One form in which this approach has manifested into is the Open Data movement.
At the moment, much of the vital work done to encourage information sharing
happens around the creation of a global standard. The non-proit organisation,
Creative Commons, creates a variety of licenses that work alongside existing copyright rules and provide people the legal foundation to share, use and build upon licensed work. This protects the people who use the work, so they do not have to worry about copyright infringement.
“Open data is deined as data that can be freely used, reused and
redistributed by anyone—subject only, at most, to the requirement to
attribute and share-alike.”
22
edisi #10: Pemerintah
Millions of works have been licensed using Creative Commons, which is relected
by the ubiquity of its logo on the World Wide Web. While there are many positive aspects to the open data movement, the initiative is not without its pitfalls. As seen in Karnataka, India, open data can also be used to disempower citizens. In this example, a pro-poor initiative to digitise land titles was exploited by the rich to access previously restricted data and re-appropriate the lands of the poor instead.
Outcomes
Examples of work that are spurred by the open data movement can be represented by a number of non-corporate initiatives encompassing diverse
ields. Part of the city of London’s open data initiative, the London Datastore
[image:24.420.70.387.131.243.2]is a website created by the Greater London Authority (GLA) that functions as a repository for London-related data. It was set up with the intention to give citizens open access and let them use it for any purpose, free of charge. They anticipated that by making it freely accessible, raw data can be turned into more useful information.
Figure 3. Creative Commons logo (Creative Commons n.d.)
[image:24.420.86.388.407.557.2]23 ruang | kreativitas tanpa batas
An initiative from the construction industry, the WikiHouse is an open-source platform for designing and sharing house designs that anyone can use to manufacture and assemble a house in days, with no construction skills. All design information shared in the WikiHouse commons is shared under a Creative Commons License.
New forms of inancing are also made possible by networked ICT. Crowdfunding
is the practice of funding a project or venture to raise money from the public, typically via the Internet. The model usually brings together three parties: the project instigator, supporters and an organisation that functions as the moderator and platform for bringing the parties together.
[image:25.420.4.420.128.408.2]The miniaturisation and affordability coupled by the explosion of information also nurture many tech-related grass root movements. The maker movement, for instance, is a subculture representing a technology-based extension of DIY. Makers can be engaged in various pursuits ranging from electronics to traditional
24
edisi #10: Pemerintah
arts and crafts. The emphasis of this subculture is on the sharing and reuse of designs that are published online and in maker-oriented publications. The movement runs counter to the generic mass-produced products by empowering individuals to become craftsmen and making it possible for consumers also to become producers.
Conclusion
The discourse surrounding the smart city is still in the process of being formulated, and, therefore, there is still a broad scope of opportunities for shaping it in the right direction. Critics are right to beckon caution when it comes down to adopting the corporation’s brand of smart city paradigm, but future initiatives should not discount their contribution altogether. While there is a danger that in smart cities, citizens may become mere idle data producers, the answer to the
issue should not be about having to select rigidly between a proit-making or non-proit initiative to deliver public good. The two need not be in contrast. Instead,
[image:26.420.84.374.114.321.2]both corporations and civic society have a role to play in advancing the public good. The argument should instead be about whether to adopt an open or closed system. In an open system, external interactions are taken into account and thus, both top-down and bottom-up urban initiatives can exist together. Within this framework governments still have a vital role to play; to channel public money to build the network infrastructure and then to regulate its use.
25 ruang | kreativitas tanpa batas
Bibliography
Bajarin, T., 2014. Why the Maker Movement Is Important to America’s Future. Times Magazine [online]. 19 May. Available from: http://time.com/104210/maker-faire-maker-movement/ [Accessed 25 April 2015]
Creative Commons, (n.d.). Creative commons: About [online]. Available from: http:// creativecommons.org/about [Accessed 25 April 2015]
Financial Conduct Authority (FCA), 2014. Crowdfunding [online]. Available from: http://www.fca.
org.uk/consumers/inancial-services-products/investments/types-of-investment/crowdfunding
[Accessed 25 April 2015]
Greenield, A., 2014. Practices of the Minimum Viable Utopia [CASA Lecture]. 3 December.
London: UCL.
Greenield, A., 2015. Make City Berlin 2015 interview Speedbird [online blog]. Available from:
https://speedbird.wordpress.com/ [Accessed 25 April 2015]
Kitchin, R., 2014. The Data Revolution: Big Data, Open Data, Data Infrastructures and Their Consequences, Thousand Oaks: SAGE Publications Ltd.
Lathrop, D., & Ruma, L., 2010. Open Government: Collaboration, Transparency, and Participation in Practice, Beijing ; Cambridge MA: O’Reilly Media.
London Data Store, (n.d.). London Data Store [online]. Available from: ttp://data.london.gov.uk/ [Accessed 25 April 2015]
MOOC List, (n.d.). MOOC List: About/ FAQ [online]. https://www.mooc-list.com/content/ about-faqs [Accessed 25 April 2015]
Open Knowledge Foundation, 2012. What is open data? [online]. Available from: http:// opendatahandbook.org/en/what-is-open-data/ [Accessed 25 April 2015]
Open Data Institute (ODI), 2015. Sir Tim Berners-Lee [online]. Available from: https://theodi. org/team/timbl [Accessed 25 April 2015]
Sennett, R. (Ed.), 2007. The Culture of the New Capitalism. New Haven & London: Yale University Press.
Sunstein, C.R., 2007. Republic.com 2.0. Princeton: Princeton University Press.
Waal, M.D., 2013. The City as Interface - How New Media are Changing the City. Rotterdam: NAI Publishers.
WikiHouse, (n.d.). Wikihouse: About [online]. Available from: http://www.wikihouse.cc/about/ [Accessed 25 April 2015]
Patrick Tantra
“Both
corporations
and civic
SINERGI ANTARA ARSITEK
DAN PEMERINTAH
Sejarah mencatat hubungan antara arsitektur dengan penguasa atau pemerintah dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar dan mempengaruhi masyarakat luas. Apa yang dapat kita pelajari dari Konstruktivisme di Rusia?
ESAI INDONESIA
Konstruktivisme, Peran Arsitek, Sinergi, Sistem Pemerintahan
28
edisi #10: Pemerintah
28
edisi #10: Pemerintah
“Beat the Whites with the Red Wedge” adalah karya El Lissitzky, 1919
Sejarah mencatat hubungan antara arsitektur dengan penguasa atau pemerintah dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar dan mempengaruhi masyarakat luas. Pada masa arsitektur modern mulai berkembang di Eropa, terdapat aliran Konstruktivisme yang berkembang di Rusia. Aliran Konstruktivisme yang berkembang sekitar tahun 1913 hingga 1920 ini menghasilkan karya seni dan bangunan yang kreatif, yang mengetengahkan bentuk geometris serta kedinamisan sebagai pencerminan era kemajuan teknologi dan estetika mesin.
Para seniman Konstruktivisme adalah pelopor pembaharuan di Rusia
atau dikenal dengan sebutan Russian avant-garde.
Para seniman dan desainer Konstruktivisme memiliki kesamaan visi dengan pemerintahan Bolsevik di Rusia pada saat itu yang menginginkan tatanan masyarakat baru yang bersifat optimis dan berdasarkan nilai-nilai komunal. Pemerintah pada akhirnya menobatkan Konstruktivisme sebagai seni resmi Negara Soviet sekaligus menjadi alat propaganda untuk program-program pemerintah.
29 ruang | kreativitas tanpa batas
Tokoh lain adalah seorang pemahat sekaligus arsitek bernama Vladimir Tatlin yang juga merupakan salah satu pelopor gerakan Konstruktivisme di Rusia. Setelah melakukan perjalanan ke Paris, Tatlin berpendapat bahwa seni harus bisa dinikmati oleh semua kalangan secara merata serta tidak boleh ada pembedaan seni untuk kaum borjuis atau kaum proletar. Karenanya Konstruktivisme berkembang menjadi seni terapan yang idenya merangkum pentingnya desain yang baik untuk kehidupan masyarakat eperti desain benda keseharian, patung, dan bangunan. Karenanya selain memakai kanvas, rancangan seniman dan desainer Konstruktivisme kebanyakan memakai media yang beragam seperti kayu, kaca, besi, dan baja.
Tatlin merancang sebuah monumen yang bernama Monument to the Third International yang rencananya akan dibangun melebihi tinggi menara Eiffel. Hal ini memperlihatkan ambisi Tatlin untuk memamerkan potensi kekuatan Rusia berupa ketajaman visi, kemampuan membangun, serta sumber alam dan manusia yang lebih bervariasi dibandingkan Perancis atau Negara Barat lain. Ukuran yang besar—bahkan rencananya dua kali ukuran Empire State Building di Amerika Serikat—menyimbolkan pemerintahan Rusia yang kuat dan dominan.
30
edisi #10: Pemerintah
Monumen ini memiliki garis rancangan yang tegas—rencananya menggunakan bahan baja—dan rangkaian elemen yang saling menopang serta membuat gerakan ke atas yang dinamis. Monumen ini juga menunjukkan komposisi asimetris dan menunjukkan gerakan spiral ke atas yang menyimbolkan perubahan masyarakat kearah yang lebih baik, produktif, dan saling menopang; seperti yang Tatlin inginkan bagi masyarakat Rusia di zaman modern.
Selama perang saudara di tahun 1918-1921 para pengikut gerakan Konstruktivisme mulai menggarap ruang publik dengan karya mereka sebagai pengejawantahan ide tentang masyarakat baru. Karena gerakan Konstruktivisme berorientasi ke masa depan atau bersifat futuristik, karya seniman dan perancang menggunakan material baru seperti besi, beton, dan kaca yang menunjukkan kemajuan teknologi. Para seniman dan desainer Konstruktivisme memiliki keinginan menjadikan karya mereka berguna untuk masyarakat. Beberapa seniman dan arsitek juga memiliki hubungan yang dekat dengan para tokoh pelopor sekolah desain modern Bauhaus di Jerman; El Lissitzky misalnya menjadi salah seorang pengajar di Bauhaus.
Di Jerman, pada saat yang hampir bersamaan dengan gerakan
Russian avant-garde, terdapat sebuah perkumpulan seniman, arsitek,
dan kalangan industrialis yang disebut dengan
The Deutscher Werkbund.
Terbentuknya perkumpulan ini menjadi sebuah momentum penting dalam perkembangan arsitektur modern dan penyatuan antara desain, arsitektur, dan industri. Tujuan awal pendirian perkumpulan yang didirikan pada tahun 1907 di Munich ini adalah menyatukan para profesional di bidang desain dengan kalangan industrialis, sehingga mampu meningkatkan daya saing produk-produk Jerman. Pemerintah sangat mendukung The Werkbund karena selama ini produk-produk Jerman dianggap belum bisa menyaingi produk-negara tetangga seperti Inggris dan Prancis. Sebagai pimpinan pertama The Werkbund adalah Hermann Muthesius yang pernah dikirim pemerintah Jerman ke Inggris untuk mempelajari gerakan Arts and Crafts, serta pengaruh desain terhadap perindustrian di Inggris.
31 ruang | kreativitas tanpa batas
Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari gerakan Konstruktivisme di Rusia adalah betapa arsitektur mampu mendukung sebuah pemerintahan karena arsitektur merupakan media yang mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan kesamaan visi antara pemerintah dan para seniman dan desainer serta semangat untuk mengisi sebuah era baru yaitu era modern yang penuh dengan perubahan, perkembangan cepat, dan kemungkinan-kemungkinan baru.
Walaupun monumen buatan Tatlin tidak pernah terealisasi, namun dunia menyaksikan betapa idealisme dari seorang arsitek dapat mencapai lapisan masyarakat yang luas di Rusia, bahkan juga mempengaruhi arsitektur modern melalui keunikannya. The Deutcher Werkbund juga memperlihatkan kerjasama yang kuat antara para profesional dengan pemerintah, sehingga daya saing produk nasional Jerman dapat menjadi lebih baik.
Tanpa kesamaan visi dan kerjasama yang kuat antara seniman,
arsitek dan pemerintah maka akan sulit menyatukan daya upaya
demi kemajuan bersama.
***
Referensi:
Frampton, Kenneth. Modern Architecture: A Critical History (World of Art). Fourth edition. London: Thames & Hudson, 2007.
Yulia Nurliani Lukito
“Beberapa hal yang
dapat kita pelajari dari
gerakan Konstruktivisme
di Rusia adalah betapa
arsitektur mampu
ruang | kreativitas tanpa batas
33
SISTEM MULTI-BANDARA DI
INDONESIA: TINJAUAN DARI
SUDUT PANDANG KEBIJAKAN
Perkembangan radikal transportasi udara menciptakan banyak pemasalahan baru. Sementara itu, pertumbuhan beban lalu lintas udara dan sulitnya mengatasi kelebihan kapasitas menjadi permasalahan terberat di Indonesia. Lalu, bagaimanakah strategi membagi beban kapasitas Jakarta yang menempati posisi ke-12 kota dengan bandara tersibuk di dunia tahun 2014?
ESAI INDONESIA
Multi-bandara, Kebijakan, Pengembangan kawasan, KKOP
34
edisi #10: Pemerintah
34
edisi #10: Pemerintah
Bandar udara yang disingkat dengan bandara merupakan pintu gerbang suatu daerah atau bahkan negara. Karenanya, peran perencanaan dan desain kawasan bandara akan berpengaruh besar pada pertumbuhan kawasan secara berkesinambungan.
Perkembangan radikal transportasi udara menciptakan banyak pemasalahan baru, seperti kebutuhan atas pengamanan ruang udara atau Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP)[1], ketersediaan lahan untuk pengembangan, serta akses menuju area metropolitan [1]. Seiring dengan kondisi area perkotaan yang semakin jenuh, bandar udara mengalami kesulitan dalam pengembangannya.
Sistem multi-bandara yang diartikan sebagai kumpulan bandar udara yang melayani lalu lintas (udara) pada suatu area metropolitan dapat menjadi pilihan solusi [2].
Pertumbuhan penumpang domestik dan internasional
[image:36.420.21.250.345.470.2]Pertumbuhan beban lalu lintas udara dan sulitnya mengatasi kelebihan kapasitas menjadi permasalahan terberat di Indonesia. Pada akhir kuartal pertama tahun 2015, pertumbuhan jumlah penumpang baik domestik maupun internasional naik masing-masing sebesar 8,35 persen dan dan 11,86 persen dibanding pertengahan kuartal tersebut [3] .
Gambar 1. Pertumbuhan penumpang domestik kuartal pertama 2015 (dalam persen)
[image:36.420.276.402.347.455.2](Sumber data: http://hubud.dephub.go.id)
Gambar 2. Pembagian total penumpang domestik kuartal pertama 2015 (dalam persen)
35 ruang | kreativitas tanpa batas
Pada kuartal pertama 2015, terjadi peningkatan jumlah penumpang domestik di beberapa bandar udara pengumpul[2]. Peningkatan yang tertinggi terjadi di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar (Gambar 1). Sementara itu, Bandara Soekarno-Hatta memiliki jumlah penumpang domestik terbesar, yaitu mencapai 1,5 juta orang atau 29,03 persen dari total penumpang domestik (Gambar 2). Angka ini diikuti oleh Bandara Juanda, Surabaya dengan 501,7 ribu orang atau 9,78 persen. Jumlah total penumpang angkutan udara domestik pada saat itu mencapai 15,3 juta orang, atau naik 13,07 persen dari periode sama pada tahun sebelumnya[3].
Sementara itu, pada waktu yang sama, perbandingan persentase pertumbuhan jumlah penumpang internasional di beberapa bandar udara pengumpul juga mengalami peningkatan. Jumlah penumpang terbesar ada pada Bandar Udara Juanda, Surabaya, namun terdapat penurunan persentase pertumbuhan penumpang pada Bandar Udara Ngurah Rai, Bali sebesar 4,86 persen (Gambar 3). Jumlah penumpang internasional terbesar melalui Bandara Soekarno-Hatta mencapai 554,6 ribu orang atau 49,99 persen dari seluruh penumpang internasional, disusul Ngurah Rai sebanyak 316,9 ribu orang atau 28,56 persen (Gambar 4).
Gambar 4. Pembagian total penumpang
internasional kuartal pertama 2015 (dalam persen)
[image:37.420.21.383.344.471.2](Sumber data: http://hubud.dephub.go.id)
Gambar 3. Pertumbuhan penumpang internasional kuartal pertama 2015 (dalam persen)
36
edisi #10: Pemerintah
36
edisi #10: Pemerintah
Membagi beban Jakarta
Jakarta menempati posisi ke-12 kota dengan bandara tersibuk di dunia tahun 2014 (Tabel 1) [4]. Beban simpul lalu lintas udara di Indonesia terpusat di Bandara Soekarno-Hatta didominasi oleh penerbangan domestik, sekitar 88 persen dari total penerbangan[4].
Pada tahun 2010, pertumbuhan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta sudah mencapai empat kali lipat jumlah penumpang pada tahun 2000, sekitar 44 juta penumpang per tahun. (Gambar 5) Angka ini jauh melebihi kapasitas terminal yang hanya sanggup menampung 22 juta penumpang per tahun [6]. Kelebihan kapasitas ini mengakibatkan banyak permasalahan baik di sisi darat maupun sisi udara bandara[5].
Kapasitas penumpang dapat ditingkatkan hingga 70 juta penumpang per tahun dengan beberapa strategi, diantaranya penambahan landas pacu ketiga
[image:38.420.140.317.100.242.2]yang dikonigurasikan secara close-paralel dengan landas pacu utara yang ada, pengembangan terminal 3, dan pembangunan Terminal 4 (lokasi di timur Terminal
[image:38.420.130.326.417.530.2]Gambar 5. Pertambahan jumlah penumpang di Bandara Soekarno-Hatta (Sumber: JICA, 2011)
37 ruang | kreativitas tanpa batas
1). Strategi ini sudah dimulai dengan pengembangan Terminal 3, sementara itu pengembangan landas pacu mengalami kesulitan dalam hal pembebasan lahan. Sehingga, muncul keraguan apakah pengembangan bandara yang sudah jenuh bisa memberikan solusi atas kebutuhan penambahan kapasitas. Oleh karena itu, diperlukan solusi lain selain pengembangan di lokasi eksisting.
Sudut pandang kebijakan
Pada tahun 2010, pemerintah Republik Indonesia menandatangani perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Jepang terkait pengembangan kawasan Jabodetabek. Studi rencana induk pengembangan infrastruktur di kawasan ini dibuat oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan sembilan sektor prioritas yang diantaranya terkait fasilitas bandar udara serta rencana induk pengembangan bandara [7]. Salah satu hasil studi JICA menyangkut tidak optimalnya fungsi bandara-bandara sekitar Jakarta untuk penerbangan komersial berjadwal. Hal ini menunjukkan tidak memungkinkannya bandara-bandara terdekat, seperti Halim Perdana Kusuma, Pondok Cabe, dan Curug, untuk menjadi alternatif pengembangan sistem multi-bandara (Gambar 6).
Studi pra-kelayakan yang telah dilakukan oleh JICA bersama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada tahun 2011 menunjuk beberapa kawasan
potensial. Diantara hasilnya, alternatif lokasi W tidak sesuai karena konlik ruang
[image:39.420.37.349.318.527.2]udara dan termasuk KKOP. Sementara itu, dengan adanya Undang-Undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka
38
edisi #10: Pemerintah
38
edisi #10: Pemerintah
dengan sendirinya alternatif lahan E2 dan E3 yang merupakan areal persawahan digugurkan sebagai lahan pengembangan. Lahan E1 jelas terletak di area hutan lindung, sehingga tidak bisa dialihfungsikan. Sehingga, yang paling memungkinkan ialah pengalihfungsian area E4 yang sekarang masih berfungsi sebagai kawasan hutan produksi (Gambar 7) [7].
Terkait alih fungsi kawasan lahan hutan produksi, diperlukan justiikasi tertulis dari
Kementerian Perhubungan kepada Kementerian Kehutanan perihal penggantian lahan hutan untuk kepentingan umum yang juga akan melibatkan Perum Perhutani. Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu penetapan lokasi oleh Menteri Perhubungan, setelah sebelumnya memasukkan pengembangan wilayah Karawang ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional [8].
[image:40.420.71.420.236.537.2]Pembangunan bandara baru tersebut direncanakan berkapasitas sekitar 90 juta penumpang per tahun dengan empat landas pacu. Tahapan konstruksi pertama diusulkan dimulai pada tahun 2019 dengan mengakomodasi dua landas pacu
39 ruang | kreativitas tanpa batas
close-paralel dan terminal penumpang dengan kapasitas 30 juta penumpang per tahun. Selain itu, perlu adanya kajian pengaruh Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Majalengka, yang direncanakan akan beroperasi pada tahun 2017, kepada lalu lintas yang ada.
Permasalahan utama selain komitmen pemerintah untuk realisasi usulan ini yaitu aksesibilitas dan transportasi intermodal yang memerlukan kajian lebih lanjut. Pembebasan lahan dan kesiapan infrastruktur untuk moda transportasi alternatif mutlak diperlukan sebagai penunjang pengembangan kawasan.
Sudut pandang lain
Penerapan sistem multi-bandara juga dapat dilihat dari sudut pandang
40
edisi #10: Pemerintah
40
edisi #10: Pemerintah
Evaluasi kelaikan inansial dan ekonomis ini dapat ditinjau dari identiikasi beneits
and costs (keuntungan/manfaat dan biaya yang dikeluarkan) juga analisis revenue (pendapatan) dari setiap pengeluaran pada proyek [1]. Dengan adanya proyek ini, penumpang maupun masyarakat sekitar akan mendapat manfaat langsung dan tidak langsung.
Seperti proyek pembangunan lainnya, perencanaan dan desain akan melibatkan banyak faktor teknis. Namun, pertimbangan tentang KKOP (Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan), pembagian area keamanan, dan faktor lingkungan[6] merupakan hal yang spesiik bagi perencanaan bandara. Dalam hal ini perencana
dan perancang berperan besar untuk mengembangkan kawasan sesuai dengan identitas daerahnya tanpa mengorbankan fungsi dan kenyamanan. Perencanaan ini dapat menjadi bagian dari suatu sistem multi-bandara yang bersinergi.
Dalam hal perencanaan kawasan, perencana akan bertindak sesuai dengan arahan pemangku kebijakan. Walau selama ini, belum ada keterlibatan pengguna secara langsung terkait kebijakan pengembangan kawasan bandara, dikarenakan rumitnya proses perencanaan bandara itu sendiri. Keterlibatan pihak lain seperti penguasa ekonomi pun belum terlihat langsung pada pengembangan bandara umum, karena saat ini mayoritas pendanaan masih berasal dari sektor publik.
Ikhtisar
Sistem multi-bandara dapat menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan kurangnya kapasitas Bandara Soekarno–Hatta. Hasil studi pra-kelayakan oleh JICA dan Ditjen Perhubungan Udara menyatakan bahwa lokasi ideal untuk pengembangan bandara baru berada daerah Karawang. Untuk menindaklanjutinya diperlukan beberapa pemenuhan seperti penetapan lokasi secara resmi oleh
Menteri Perhubungan serta pengalihfungsian lahan. Secara inansial-ekonomis juga
diperlukan kajian lebih mendalam terkait beneits and costs juga analisis revenue dari pengeluaran proyek. Dari sudut pandang perencanaan infrastruktur, perencanaan
dan desain akan melibatkan banyak faktor teknis namun lebih spesiik kepada
faktor keamanan dan keselamatan penerbangan, lingkungan, dan pelayanan.
Catatan kaki
[1] Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP) dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009, Pasal 206 tentang Penerbangan.
[2] Deinisi tercantum pada Peraturan Menteri (PM) 69 tahun 2013, Pasal 17 tentang
41 ruang | kreativitas tanpa batas
[3] Pada tahun 2014, total penumpang tercatat sebanyak 13,5 juta orang. Jumlah penumpang terbesar ada di Bandara Soekarno-Hatta yang mencapai 4,5 juta orang atau 29,52 persen dari seluruh penumpang domestik diikuti Bandara Juanda sebanyak 1,5 juta orang atau 10,08 persen.
[4] Dominasi penerbangan domestik di Indonesia adalah imbas dari maraknya penerbangan berbiaya murah atau LCC (Low-Cost Carrier); untuk referensi lebih lanjut perihal pengaruh LCC pada pasar domestik [5].
[5] Bandar udara dibagi menjadi dua bagian secara fungsi pelayanan yaitu sisi udara yang bersinggungan langsung atau dekat dengan pesawat udara (mis: landas pacu, landas hubung, dan landas parkir) dan sisi darat yang berhubungan dengan penumpang dan atau manusia (mis: bangunan terminal penumpang, terminal kargo, bangunan operasional, dll.)
[6] Faktor keamanan penerbangan semakin menjadi perhatian sejak kasus 9/11 sedangkan faktor lingkungan adalah isu yang marak seiring dengan tren bangunan hijau dan sustainability (keberlangsungan hidup).
Referensi
[1] Horonjeff, R., McKelvey, F. X., Sproule, W. J., dan Young S. B., 2010. Planning and Designing of Airports. New York; Chicago; San Fransisco: McGraw-Hill.
[2] de Neufville, R., 1995. Management of Multiple-Airport system: A development strategy.
Journal of Air Transport Management, 2 (2), pp. 99-110.
[3] Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 2015. Jumlah penumpang moda transportasi udara meningkat. Informasi Terkini per 5 Mei 2015, tersedia pada alamat: http://hubud. dephub.go.id/?id/news/detail/2549
[4] ACI Media Releases, 2015. ACI World releases preliminary world airport trafic and
rankings for 2014, tersedia pada alamat:
http://www.aci.aero/News/Releases/Most- Recent/2015/03/26/ACI–World-releases-preliminary-world-airport-trafic-and-rankings-
for-2014–DXB-becomes-busiest-airport-for-international-passenger-trafic-[5] O’Connell, J. F dan Williams, G., 2005. Passengers’ perceptions of low cost airlines and full service carriers: A case study involving Ryanair, Aer Lingus, Air Asia and Malaysia Airlines.
Journal of Air Transport Management, 11(4), pp. 259-272. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j. jairtraman.2005.01.007
[6] ITOCHU Corporation, SHIMIZU Corporation, Japan Airport Terminal Co., Ltd., Nikken Sekkei Ltd, Nikken Sekkei Research Institute, and Japan Economic Research Institute Inc., 2012. Study on Soekarno Hatta International Airport Expansion and Upgrading Project in Jakarta in The Republic of Indonesia: Final report. [pdf] diakses dari: http://www.meti.go.jp/ meti_lib/report/2012fy/E001969-2.pdf
[7] Japan International Cooperation Agency (JICA), 2012. Project for the Master Plan Study on Multiple-Airport Development for Greater Jakarta Metropolitan Area in the Republic of Indonesia: Final Report Summary. [pdf] diakses dari: http://open_jicareport.jica.go.jp/ pdf/12067872_01.pdf
42
edisi #10: Pemerintah
42
edisi #10: Pemerintah
Amalia Deiani
“Sistem
multi-bandara dapat
menjadi alternatif
untuk mengatasi
permasalahan
KOPI PAGI BERSAMA
BAMBANG ERYUDHAWAN
: ADA APA DENGAN RUU
ARSITEK ?
Melalui sebuah diskusi singkat bersama Yusni Aziz dan
Roianisa Nurdin, Bambang Eryudhawan menuturkan
panjang lebar mengenai isi dan proses pengajuan RUU Arsitek Indonesia. Beberapa hal termasuk situasi apa saja yang akan diatur dan liku perjuangan yang telah ditem-puh untuk dapat mengesahkan RUU ini di dalam DPR. WAWANCARA
INDONESIA
RUU Arsitek, Pasar Bebas, Arsitek dalam Pemerintahan, Kritik Arsitektur
44
edisi #10: Pemerintah
44
edisi #10: Pemerintah
Pada hari Minggu pagi di kawasan Menteng, jarum jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang lima menit saat seorang pria melangkah ringan ke arah kami. Senyumnya lebar, matanya berbinar penuh semangat. Sambil menenteng helm sepedanya, ia lalu menjabat tangan kami satu persatu dengan hangat.
Sosok itu adalah Bambang Eryudhawan. arsitek lulusan ITB yang saat ini turut aktif memperjuangkan RUU Arsitek. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Ketua IAI Jakarta tahun 2000 – 2006, dan Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta. Di bidang pengetahuan, ia juga aktif menerbitkan beberapa publikasi, dan salah satu yang teranyar adalah 100 Tahun SD Kartini Semarang (1913 – 2013).
45 ruang | kreativitas tanpa batas
Dengan banyak pengalaman bergerak bersama pemerintah, kami percaya ia dapat membagi perspektif yang bermanfaat untuk para sahabat mengenai isu tersebut. Singkat setelah menyelesaikan sarapan bersama, kami segera memulai diskusi.
***
YUSNI (Y): Selamat pagi pak Bambang.
Kami mempunyai banyak pertanyaan mengenai RUU arsitek. Pertama mengenai kebutuhan Architect’s Act di Indonesia, kenapa itu diperlukan dan apa yang diatur di dalamnya?
BAMBANG ERYUDHAWAN (BE): Hari ini profesi arsitek masih menumpang kepada undang-undang jasa konstruksi untuk sesuatu yang sifatnya mengatur hubungan kerja. Padahal ia termasuk sebagai salah satu profesi kunci. Tahun depan juga sudah mulai masuk pasar bebas ASEAN, dan profesi ini adalah salah satu elemen yang akan diperdagangbebaskan. Kita perlu kuat dan tertib di dalam dahulu supaya bisa bersaing di luar.
Undang-undang arsitek itu adalah kelengkapan, bukan tujuan akhir. Sudah saatnya profesi-profesi kunci di Indonesia tidak hanya dilindungi tetapi juga jelas hak dan tanggung jawabnya.
Selain itu, kita mengharapkan UU arsitek mampu melindungi masyarakat dari praktik-praktik arsitektural yang tidak kompeten. Kami juga ingin memastikan adanya persaingan sehat antara para arsitek yang sudah kompeten. Jadi UU arsitek tidak hanya untuk profesi ini, tetapi juga untuk masyarakat dan negara.
Ujung-ujungnya, kami juga berharap UU ini dapat memberikan semangat untuk arsitektur Indonesia yang lebih berkepribadian di tengah arus global yang makin menyeragamkan karakteristik kota.
Roianisa (R): Berkepribadian yang seperti apa?
BE: Pasca kemerdekaan, kita mengalami sebuah proses transisi dari masa penjajahan menjadi Indonesia. Nah, becoming atau menjadi Indonesia adalah sebuah proyek raksasa, yang tidak hanya menyangkut politik tetapi juga kebudayaan, dan termasuk arsitektur. Karya anak bangsa tahun 50-an hingga 70-an masih membicarakan menuju arsitektur Indonesia, tetapi saat ini seperti surut berbarengan dengan globalisasi yang makin menguat. Proyek menjadi Indonesia dicemooh, seakan mengada-ada. Padahal itu sangat penting di abad ke-21 ini.
46
edisi #10: Pemerintah
46
edisi #10: Pemerintah
orientasi itu. Tidak ada yang salah, tetapi kenapa rujukan karya-karya paruh pertama abad ke-20 diabaikan?
Kita serap saja esensinya. Saya lebih fokus bagaimana semua elemen itu dipadukan menjadi Indonesia. Seperti saat Maclaine Pont melakukan sintesis elemen-elemen arsitektur tradisional Nusantara untuk membangun kampus ITB. Proyek yang kemudian dilanjutkan Silaban dengan pendekatan tropisnya. Saya rasa ini perjalanan yang menarik, dan mudah-mudahan kita kembali ke rel yang sebenarnya, mencari arsitektur Indonesia.
Kembali lagi ke UU arsitek, ia nantinya bersifat melengkapi UU bangunan gedung, jasa konstruksi dan cagar budaya yang terlahir lebih dulu. Perdagangan bebas tidaklah adil, karena semuanya dianggap setara padahal kita masih belum sejajar dengan negara lain. Semoga UU arsitek dapat membantu menciptakan langkah strategis di dalam aspek ini.
47 ruang | kreativitas tanpa batas
Y: Ada 2 pasal dalam draft UU arsitek yang sangat jelas mengatur arsitek asing itu siapa, dan sanksi pelanggarannya. Dalam architects’ act Singapura tidak tercantum pasal-pasal yang mengatur arsitek asing sedetail itu. Apakah itu adalah bentuk kontrol arsitek asing yang akan masuk ke Indonesia?
BE: Asumsi saya mungkin di Singapura hal itu telah diatur dalam UU ketenagakerjaan. Sementara kita masih suka khawatir dalam masalah kontrol. Seperti di Bali misalnya, hampir tidak ada kontrol bagaimana arsitek asing dapat beroperasi. Padahal sudah ada PEMDA. Nah, berbeda dengan Singapura yang sudah mapan, kita masih banyak bocornya. Jadi pasal-pasal tersebut bertujuan untuk menambal kemungkinan yang akan terjadi. Sebenarnya bisa ditekankan di UU keimigrasian dan ketenagakerjaan, tetapi kami ingin menguatkan itu kembali.
Saya percaya untuk menghadapi pasar bebas, kita harus memperbanyak jumlah arsitek yang kompeten. Tetapi di sisi lain saya juga berharap dapat mengurangi jumlah sekolah arsitektur. Mereka sudah terlalu banyak, susah dikontrol. Akhirnya siapa saja bisa menjadi arsitek. Masih lebih banyak jumlah sekolah arsitektur di Indonesia daripada Amerika. Kita ingin sekolahnya sedikit saja, tetapi berkualitas dan memenuhi rasio. Semoga UU ini juga bisa mengarahkan ke kualitas dan jumlah sekolah arsitektur.
Y: Jadi ada rencana untuk mengaitkan UU arsitek dengan sistem edukasi arsitektur?
BE: Ada, salah satunya kami menyebutkan prerequisite arsitek ke depan adalah pendidikan selama 5 tahun. Tetapi kita tidak mengelaborasi lagi, kami akan menyerahkan itu ke mereka yang mengurusi pendidikan.
Y: Terkait dengan jumlah sekolah arsitektur, apakah Indonesia saat ini sudah terlalu banyak arsitek jika dibandingkan dengan jumlah penduduk atau sebenarnya masih kurang?
BE: Terlalu banyak arsitek, tapi terlalu sedikit yang kompeten. Nanti di UU arsitek akan dijelaskan siapa yang disebut sebagai arsitek. Kata arsitek akan dilindungi, not everybody can declare himself or herself as an architect, Jadi kalau tiba-tiba ada orang mengaku sebagai arsitek nanti akan ditanyai, “Kamu arsitek ? Coba lihat bukti-buktinya!”. Jika ternyata tidak memenuhi syarat, akan dipidana. Tapi tentu penegakannya tidak akan mudah. Negara ini luas, penduduknya banyak, masih banyak toleransi di dalam kultur. Namun cita-cita yang kami harapkan adalah seperti itu.
48
edisi #10: Pemerintah
48
edisi #10: Pemerintah
BE: Ide banyak, tetapi masih belum ada yang konkrit. Nanti akan institusi baru bernama “Dewan Arsitek”. Itu merupakan lembaga yang akan menetapkan siapa arsitek dan siapa yang bukan. Nanti juga mereka yang akan mengurusi pengaduan arsitek gadungan, dan bisa juga mempidanakan.
Y: Tetapi kemudian yang dikatakan tidak kompeten dalam berpraktik arsitektur itu kategorinya seperti siapa saja?
BE: Nanti dewan arsitek akan mengeluarkan surat tanda registrasi arsitek yang merupakan muara seorang calon arsitek setelah bersekolah 5 tahun, magang 2 tahun dan mengikuti ujian. Jika sudah menempuh itu, dan lulus, maka merekalah yang kompeten.
Perlu distrategikan dua tingkat kualitas, satu yang memenuhi standar internasional, satu lagi yang cukup memenuhi kebutuhan pasar domestik. Seingat saya Tiongkok menerapkan sistim itu. Tetapi bayangkan jika semua diharapkan di level yang sangat tinggi itu, misalnya mau bikin rumah tinggal di Kediri atau Ngawi dan konsumennya masyarakat menengah ke bawah. Why bother talking about urban design? Kita buat aturan setempat saja. Takutnya jika standarnya terlalu tinggi, jumlah tidak akan tercapai. Yang berarti supply-demand juga tidak bertemu. Jika tidak bertemu, nanti banyak praktik gadungan lagi. Jangan sampai itu terjadi.
Y: Kalau begitu bagaimana dengan situasi architecture without architects, orang-orang yang membangun dan merenovasi rumah sendiri. Apakah ada kontrol, karena bagaimanapun itu juga berdampak pada wajah kota?
49 ruang | kreativitas tanpa batas
BE: Banyak variasi di berbagai negara mengenai pengaturan pembangunan oleh non-arsitek, namun kami masih belum menemukan formula yang paling sesuai. Misalnya ada yang mengatakan jika rumahnya tidak lebih dari 200 meter persegi bisa dibangun oleh non arsitek. Tetapi jika sifatnya sudah bangunan publik, kompetensi menjadi sebuah keharusan.
Dan kemudian jika ada sekelompok non arsitek membuat desain, mungkin ada fase dimana arsitek kompeten mengintervensi untuk menilai apakah usulan mereka sudah memenuhi syarat keselamatan, kesehatan, dan sebagainya sesuai dengan UU bangunan gedung. Jadi ia tidak harus ada dari awal, tetapi bisa hadir di fase akhir sebagai pengurus perijinan sekaligus penanggung jawab.
R: Lantas, mengapa UU arsitek itu belum jadi sampai sekarang? Apa yang terjadi dalam prosesnya?
BE: Permasalahannya adalah masih banyak persepsi apakah arsitek harus diformalkan? Karena itu dukungan juga masih belum terlalu banyak dari orang pemerintahan. Ya, rencananya harusnya tahun ini sudah jadi karena kita sudah masuk MEA, pasar bebas ASEAN. Kawan-kawan dari luar juga sudah dilindungi oleh UU di negaranya masing-masing.
Y: Sudah berapa lama proses pembuatan RUU ini?
BE: Jika dari penggodokan ide, ada kawan senior bilang sudah dimulai sejak akhir 80-an. Proses mulai menyadari bahwa kita perlu. Kemudian tahun 1998 muncul UU Jasa Konstruksi dan 2002 lahir UU bangunan gedung.
Secara serius kami membicarakannya di DPR baru tahun 2004. Sebelumnya hanya wacana, tidak menjadi konkrit. Dalam perjalanan kami sering gagal, karena materi yang belum matang dan diantara arsitek juga banyak perbedaan pendapat. Seperti ada yang ingin memasukkan arsitektur tradisional di dalamnya, padahal UU ini kan lebih fokus pada siapa arsitek dan siapa yang bukan.
Y: Tapi lambatnya proses ini apakah juga karena minimnya arsitek yang bergerak di bidang pemerintahan?
BE: Tidak ada hubungannya menurut saya. Saya pikir lebih kearah minimnya persepsi pemerintah terhadap pentingnya peran arsitek dan arsitektur.
50
edisi #10: Pemerintah
50
edisi #10: Pemerintah
untuk jenjang jabatan. Tapi harapannya tentu kita harap