• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01339

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01339"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TUMBUH KEMBANG dalam NILAI-NILAI KULTURAL KORUPTIF

Sri Harini Dwiyatmi, SH,MS.-1

ABSTRAK

Korupsi yang tidak kunjung berhenti malah makin hari makin menampakkan perkembangan, sangatlah memprihatinkan semua kalangan yang hidup dibumi Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama dari Pancasila ini semestinya menjadi benteng untuk tidak dilakukan korupsi oleh insan-insan Pancasila karena takut akan Tuhan tetapi malah justru sebaliknya korupsi menjadi marak di negeri ini, malah korupsi bertumbuh kembang. Korupsi merupakan perilaku tidak berke-Tuhan-an. Mengapa? Kegalauan tentang korupsi yang tak kunjung berhenti ini memaksa semua anak negeri berpikir dan mencoba berusaha, merenung apa gerangan yang menjadikannya seolah perbuatan korupsi sebagai perbuatan biasa. Kegaulauan ini akhirnya berhenti disuatu rasa-gagasan, apakah karena adanya nilai-nilai kultural yang koruptif bertumbuh kembang dalam keseharian sehingga korupsi nampak biasa, terasa bukan sebagai perbuatan yang mengingkari sila pertama dari Pancasila. Kebiasaan ini menjadikan melakukan korupsi terasa tak menakutkan.

ABSTRACT

The never ending problem of corruption in Indonesia that is growing day by day is the common concern shared among the people of this country. Ironically the country declared its first principle of the national ideology (Pancasila) as the acknowledgement of the power of the almighty God. The first principle of Pancasila was intent to be the fortress against the evil act such as corruption. The never ending problem had forced many people to think about the cause of the corrupt culture and the solution to this problem.

Keywords: Corruption, culture, Pancasila, corruption culture.

PENDAHULUAN

Nilai-nilai kultural sering dimaknai sebagai kearifan lokal yang senantiasa bermakna positif, karena sebagai pedoman hidup berperilaku dalam masyarakat. Seperti kearifan lokal pranata adat sasi dalam suatu komunitas anak negeri. Pranata ini menunjuk pada nilai-nilai sebagai aturan untuk memelihara lingkungan hidup, sehingga lingkungan hidup menjadi lestari, semakin bermanfaat bagi komunitas di mana pranata itu hidup. Sebagaimana juga kultur mudik di hari raya idul fitri sebagai suatu keharusan yang tidak bisa dihindari lagi untuk pulang kampung menengok sanak saudara serta salingkunjung dan bermaaf-maafan tidak lagi merupakan milik sekelompok kecil komunitas di Indonesia bahkan seolah sudah menjadi milik masyarakat Indonesia tanpa mengenal batas keyakinan. Dan masih begitu banyak nilai-nilai kultural sebagai kearifan lokal sebanyak suku bangsa yang ada di

1

(2)

Indonesia. Ini merupakan kekayaan luar biasa sebagai penanda kemajemukan Indonesia raya. Sikap Negara terhadap nilai-nilai kultural bisa ditunjukkan pada bagaimana Negara menyikapi terhadap nilai-nilai kultural tersebut yang tertuang dalam berbagai peraturan perundangan, misalnya tentang kedudukan masyarakat adat terhadap hutan sebagaimana nampak pada:

1. Pasal 18 B ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengamanatkan sebagai berikut:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

2. Dalam Undang-undang no. 5 Tahun 1960 ( UUP. Agraria)

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa dengan itu dari masyarakat - masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan Peraturan Peraturan lain yang lebih tinggi”

3. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 memberikan pernyataan tentang masyarakat adat sebagai berikut: Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pasal tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Misalnya perhatian terhadap masyarakat adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang terdapat di sekitarnya. Masyarakat adat memiliki keragaman yang dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok memposisikan mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam dengan menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alam. Sedangkan kelompok lain, termasuk pemerintah orde baru, mereka dianggap sebagai penghambat utama dari perkembangan kemajuan khususnya dari segi ekonomi.

(3)

NILAI-NILAI KULTURAL YANG KORUPTIF

Merajalelanya korupsi hingga hari ini menjadikan penulis mencoba menelusur lewat rasa yang akhirnya melahirkan dugaan dalam pikiran-gagasan (dalam bahasa jawa: ngudarasa) jangan-jangan kita tumbuh kembang dalam nilai-nilai kultural yang koruptif? Jangan-jangan iya..karenanya penulis mencoba untuk menginventarisir kebiasaan-kebiasaan sebagai nilai kultural yang ternyata bersifat kuroptif yang selama ini tidak kita sadari bahkan sebagai hal yang sebaliknya. Berikut disajikan beberapa nilai-nilai kultural yang bersifat koruptif yang tidak disadari secara penuh, sebagai sesuatu hal yang biasa bahkan seringkali dianggap malah baik:

1. Dalam suatu syair lagu langgam Jawa yang artinya kurang lebih begini: ada seorang janda tinggal di depan rumah seorang perjaka ganteng. Janda ini rupanya naksir atau menggoda di perjaka ganteng itu. Jika melihat perjaka ini ia selalu senyum-senyum penuh arti seperti ada maksud dan diperjaka ganteng ini cuek jual mahal. Kemudian si janda cantik ini melancarkan jurus mengirim kue ke orang tua si perjaka tidak hanya satu dua kali tetapi sering dengan harapan ingin kenalan bahkan dekat dengan si perjaka ini. Mengirim kue sering-sering ke orangtua siperjaka yang akhirnya tahu maksud si janda cantik ini, bukankah ini nsuap?

2. kebiasaan memberikan upeti kepada pajabat kerajaan di masa lalu bagi Negara kecil sebagai jajahan ataupun yang mengakui kebesaran kerajaan lain, pemberian upeti ini seperti sebagai suatu kewajiban yang tidak boleh dilewatkan, agar pemberi upeti sebagai kerajaan kecil dibantu pada saat yang dibutuhkan. Seolah ada kewajiban menjaga hubungan baik dengan memberikan upeti, bukankah ini gratifikasi atau suap?

3. menyuap anak kecil yang susah makan dengan iming-iming akan di ajak pergi ke tempat yang disukai si anak, iming-iming akan dibelikan permen enak atau makanan atau mainan yang disukai si anak agar mau makan, bukankan ini suap?

4. ketika seseorang mempunyai anak yang bermasalah, kemudian bertamu ke gurunya dengan dating ke rumah minta agar anaknya diperhatikan dan sebagainya dengan membawa buah tangan dan sejenisnya, bukankah ini suap?

5. bersepakat dengan mahasiswa untuk mengakhiri jam pelajaran/kuliah sebelum waktunya selesai dianggap sebagai hal biasa, bukannya ini embrio dari korupsi?

Hal-hal tersebut diatas sangat berbeda bila kita membawa buah tangan ketika menengok orang sakit, ketika seseorang kesusahan, buah tangan itu bukanlah duap atau gratifikasi karena tidak dalam kontek hubungan tertentu yang bisa mempengaruhi sikap dan keputusan pihak yang diberi buah tangan itu. Berbeda dengan lima contoh di atas pemberian itu dalam suatu konteks hubungan antara yang memberi dan diberi dengan harapan akan adanya sikap tertentu yang diharapkan terwujud dengan pemberian-pemberian tersebut? Inilah yang penulis maksud sebagai kultur yang koruptif, betapa telah merasuk ke sanubari kita karena tertanam sedemikian rupa sehingga tidak kita sadari sebagai sesuai yang sebenarnya amat merusah dan memberi kebiasaan sebagai yang baik dalam kehidupan sesehari kita. Jangan-jangan ini yang menumbuhkembangkan koruptor di masa kecilnya sehingga kemudian dirasakan sangat biasa karena mindsetnya telah terbentuk secara turun temurun. Kalau hal ini dilakukan secara berulang, dalam studi hukum disebut kemudian mewujud dalam perilaku berulang maka ini akan menjadi hukum yang diikuti terus menerus tanpa disadari bahwa ini sesuatu hal yang buruk yang membentuk sikap batin yang terwujud dalam perilaku tidak malu melakukan atau menerima sesuatu seperti lima contoh di atas.

(4)

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan nilai kultural itu? Dalam literature dapat diperoleh beberapa petunjuk antara lain oleh :

1. Laurence Friedman2, yang menjelaskan perihal bahwa di dalam Sistim Hukum terdapat tiga komponen yaitu komponen struktural, komponen substansi dan komponen kultur atau sering juga disebut sebagai budaya hukum. Pada hemat penulis dalam budaya hukum inilah terdapat nilai-nilai kultural yang dianggap baik, sebagai pedoman tingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Komponen budaya hukum ini justru yang akan sangat berpengaruh terhadap dua komponen lain dalam sistim hukum yang dijelaskan oleh Laurence Friedman tersebut. Lebih lanjut dijelaskan apa sebenarnya budaya hukum itu, adalah sikap publik dan nilai-nilai merupakan keseluruhan factor yang menentukan bagaimana sistim hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Dengan demikian nilai cultural itu akan mendapat tempat dalam hati masyarakat dan menjadi pedoman berperilaku pada suatu perbuatan tertentu.

2. Nilai-nilai budaya3 merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu :

1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas) 2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut

3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).

3. Nilai sosial4 merupakan salah satu nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarkat, di mana nilai sosial ini berorientasi pada hubungan antara manusia dengan yang lainnya dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai sangat berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan suatu kehidupan manusia. Nilai berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan, kepercayaan yang bersumber dari berbagai sistem nilai.

4. Nilai5 menurut Simon adalah seperangkat keyakinan dan sikap-sikap pribadi seseorang tentang kebenaran, keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran, objek atau prilaku yang berorientasi pada tindakan dan pemberian arah serta makna pada kehidupan seseorang. Sementara Znowski menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan seseorang tentang

2

Lawrence H. Friedman, “On Legal Development”, Rutgers Law Review, Th. 1969, hlm. 27-30, dalam Hukum dan Masyarakat, Pusat Study Hukum dan Masyarakat, Unair, Surabaya .

3

http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-nilai_budaya, dikunjungi tgl 20 Jan 2014, pk. 17.39

4

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130404050907AAQXgeN, dikunjungi tgl 20 Jan 2014, pk. 17.38

5

(5)

sesuatu yang berharga, kebenaran atau keinginan mengenai ide-ide, objek, atau prilaku khusus. Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.

Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu :

Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas) Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut

Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).

Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi. Sistem budaya merupakan tingkatan tingkat yang paling tinggi dan abstrak dalam adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai – nilai budaya itu merupakan konsep – konsep mngenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai , berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.

Korupsi Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah:

Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pengertian korupsi menurut para ahli6 adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Tidakkah kita melihat akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan dari koran maupun media elektronik yang banyak sekali memberitakan beberapa kasus korupsi di beberapa daerah di Indonesia yang oknumnya kebanyakan berasal dari pegawai negeri yang seharusnya mengabdi untuk kemajuan bangsa ini. Dalam tulisan yang singkat ini saya akan mencoba mengulas saecara singkat tentang pengertian korupsi yang berdasarkan pada undang-undang dan para ahli. Semoga bermanfaat.

Apa yang penulis paparkan pada beberapa contoh tentang nilai kultural koruptif tersebut diatas sangatlah konform dengan pengertian dan konsep nilai yang merupakan pendapat para pakar yang penulis sitir di atas. Nilai-nilai ataupun pemahaman yang dipaparkan sebagai contoh tersebut berarti akan terus bertumbuh kembang menghantarkan para anak bangsa untuk tidak mudah untuk menyadari bahwa hidup dalam suatu kultur yang menghantar pada perilaku koruptif. Karena nilai-nilai kultural itu sebagaimana yang diuraikan di atas merupakan seperangkat keyakinan dan sikap-sikap pribadi seseorang

6

(6)

tentang kebenaran, keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran, objek atau prilaku yang berorientasi pada tindakan dan pemberian arah serta makna pada kehidupan seseorang. Jadi tidaklah heran jika misalnya kasus Hambalang atau wisma atlet agar dananya turun maka meminta bantuan pihak-pihak yang mempunyai pernan, atau bahkan pihak-pihak yang merasa mempunyai pernan itu menawarkan diri untuk membantu asal ada upeti. Sekilas adalah wajar karena ditolong maka ada ucapan terima kasih sudah ditolong atau beberapa persen dibagi-bagi agar waktu yang akan dating bisa mendapat proyek lagi. Jadi memberikan bingkisan terima kasih atau upeti merupakan perilaku yang dikenal sejak dahulu kala sebagai hal yang wajar, sebagai keharusan karena sudah ditolong. Ataupun bisa dalam rupa iming-iming akan memberikan x % bila tendernya bisa dapat. Pada hemat penulis inilah contoh-contoh perilaku koruptif. Betapa sudah mendarah daging sehingga dilakukan tanpa merasa dosa, sudah ada contoh orang-orang yang ditindak tetap saja bertumbuh dan berkembang. Jadi hal ini bahkan menjadi suatu nilai sosial yang berorientasi pada hubungan antara manusia dengan yang lainnya dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang dianggap luhur padahal anggapan ini semu. Nilai sangat berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan suatu kehidupan manusia. Nilai berada dalam hatinurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan, kepercayaan yang bersumber dari berbagai sistem nilai. Bagaimana mengubahnya memang sebuah perjuang yang tidak mudah karena telah mersasuk dalam hatinurani, kata hati sebagai suatu keyakinan. Nilai cultural itu dipelajari dengan metode / teori klasifikasai nilai-nilai, keyakinan atau sikap dapat menjadi suatu nilai apabila keyakinan tersebut memenuhi tujuh kriteria sebagai berikut7:

1. menjunjung dan menghargai keyakinan dan perilaku seseorang 2. menegaskan didepan umum , apabila cocok

3. memilih dari berbagai alternatif

4. memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya 5. memilih secara bebas

6. bertindak

7. bertindak denngan pola konsisten.

Jikalau ada metode mempelajari nilai-nilai hingga menjadi suatu keyakinan ujungnya melahirkan suatu perilaku berdampak koruptif, maka secara teoritik keyakinan penulis, bisa pula dilakukan cara pembelajaran yang sebaliknya untuk memberikan penyadaran bahwa anggapan yang selama ini baik ternyata merupakan media penyemai perilaku koruptif dengan cara sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto8 yaitu dengan mengubah struktur sosial masyarakat. Di mana dalam struktur masyarakat itu terdapat kaidah, lapisan sosial, kelompok sosial, dan lembaga kemasyarakatan. Aspek-aspek ini haruslah diolah demikian rupa agar bisa diinsertkan nilai-nilai yang tidak koruptif.

Sebagai penutup olah rasa-gagasan atas merajalelanya korupsi mencari sebab dasar mengapa tak kunjung henti agaknya memang tidak bisa hanya melulu melalui penegakan hukum seperti saat ini tanpa disertai pembangunan dan pembaharuan struktur sosial dan sistem hukum yang dikerjakan semua pihak mustahil dapat diberantas. Gagasan ini bagai butiran debu, namun harus dikemukakan agar semua tersadar bersama bahwa bertumbuh-kembang dalam nilai-nilai kultural yang koruptif dan bangkit !!!!

7

Op.cit

8

(7)

DAFTAR BACAAN

Lawrence H. Friedman, “On Legal Development”, Rutgers Law Review, Th. 1969, hlm. 27-30, dalam Hukum dan Masyarakat, Pusat Study Hukum dan Masyarakat, Unair, Surabaya

Soerjono Soekanto, 2000, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, h..

http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-nilai_budaya, dikunjungi tgl 20 Jan 2014, pk. 17.39

http://irham93.blogspot.com/2013/11/pengertian-korupsi-menurut-undang.html

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20130404050907AAQXgeN, dikunjungi tgl 20 Jan 2014, pk. 17.38

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi adalah proses penyampaian kebijakan pencegahan malaria, kejelasan isi kebijakan antara pelaksana kebijakan dan sasaran kebijakan pencegahan

belpikir kritis mahasiswa. Strategi Penemuan Terbimbing yang paling optimal meningkatkan aktivitas, motivasi dan ketrampileq b e r i k i r L~itis dilakukan dengan

Rekan kerja merupakan orang yang berhubungan dengan karyawan dalam hal pekerjaan, dengan adanya rekan kerja yang baik maka akan memberikan situasi kerja yang kondusif, sedangkan

1. Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana keterampilan berbicara mahasiswa yang menggunakan metode Braindis-Buzz Group untuk meningkatkan keterampilan berbicara

Tin compounds, inorganic 2 mg/m 3 Informasi umum SELENOUS ACID 7783-00-8 0.2 mg/m 3 Tidak ada SELENOUS ACID 7783-00-8 Form liquid 0.2 mg/m 3. penampakan Tidak ada informasi

44 Diar Herawati Effendi Universitas Islam Bandung Food Security and Halal Issues Yes. STEM (Science, Technology, Engineering

(Teguh Woyono: 2010, 104) Apakah mereka peduli dengan tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia yang bertaqwa, memiliki akhlak mulia,

Laporan Tugas Akhir ini mengkaji tentang masalah potensi wisata yang terdapat di Pasar Jumat Karanganyar, strategi pengembangan Pasar Jumat Karanganyar, dan