• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persandingan Satu Naskah Undang-Undang PPh | TDS Solution

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persandingan Satu Naskah Undang-Undang PPh | TDS Solution"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

265

264

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 September 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH

KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Repubiik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

(2)

267

266

1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPREASI ORANG PRIBADI.

Pasal 1

penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat inal.

Pasal 2

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: a. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan

Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau

b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.

Pasal 3

Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat inal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat pembayaran.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh

koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 5

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 9 Februari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 32

(3)

269

268

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH

KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI

I. UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, terhadap penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat inal yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang Pribadi.

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat inal dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.

Tujuan dari pengenaan pajak yang bersifat inal tersebut adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dan sekaligus meningkatkan efektivitas dan eisiensi pengenaan pajak serta mendorong berkembangnya perkoperasian di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Yang dimaksud dengan “penghasilan berupa bunga simpanan” adalah imbalan berupa bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan anggota koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi anggota.

Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha.

Pasal 2

Contoh perhitungan Pajak Penghasilan atas bunga simpanan:

1. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 240.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 0% x Rp 240.000,00 = Rp 0,00

2. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp 245.000,00 untuk masa Januari, maka PPh terutang 10% x Rp 245.000,00 = Rp24.500,00

3. Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp 500.000,00 dengan rincian: Bulan Januari RP 250.000,00

ulan Februari RP 150.000,00 Bulan Maret RP 100.000,00

Maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x Rp 250.000,00 = Rp 25.000,00 dan untuk bulan Februari dan Maret RP 0,00

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1987

(4)

271

270

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga obligasi;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

1. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.

2. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat inal. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila

penerima penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah:

a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan

(5)

273

272

b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

Pasal 3

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah:

a. bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:

1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan

2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,

dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;

b. diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:

1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan

2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,

dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan;

c. diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:

1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan

2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda bagi wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,

dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi; dan

d. bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebesar:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009

1) 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010; 2) 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013; dan 3) 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.

Pasal 4

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh:

a. penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/ atau

b. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4175), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 7

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(6)

275

274

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 33

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Bunga Obligasi yanq sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, terhadap penghasilan berupa Bunga Obligasi dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat inal yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan berupa Bunga Obligasi.

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat inal dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan berupa Bunga Obligasi.

(7)

277

276

Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, meningkatkan efektivitas dan eisiensi pengenaan pajak, serta untuk mendorong berkembangnya perdagangan Obligasi di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Obligasi dengan kupon” dikenal dengan istilah interest bearing debt securities.

Yang dimaksud dengan “masa kepemilikan” dikenal dengan istilah holding period.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “bunga berjalan” dikenal dengan istilah accrued interest.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “Obligasi tanpa bunga” dikenal dengan istilah non-interest bearing debt securities.

Huruf d

Cukup Jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4982

(8)

279

278

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2009

TENTANG

BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DIKECUALIKAN DARI

OBJEK PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Bantuan atau Sumbangan termasuk zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan; Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009

MEMUTUSKAN: Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek Pajak penghasilan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 2

Zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah zakat yang diterima oleh: a. badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan

oleh Pemerintah; dan b. penerima zakat Yang berhak.

Pasal 3

Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang akui di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal I adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:

a. lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan b. penerima sumbangan yang berhak.

Pasal 4

Bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan.

Pasal 5

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(9)

281

280

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 35

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009

TENTANG

BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK

PAJAK PENGHASILAN

I. UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasiian, bantuan atau Sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan keagamaan, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pengaturan mengenai hal-hal yang tidak termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan ini bertujuan untuk meningkatkan iman dan takwa para pemeluk agama dan perlakuan yang sama (equal treatment) bagi setiap pemeluk agama di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dan pihak lain baik langsung maupun tidak langsung.

Pasal 2 Cukup jelas.

Pasal 3 Cukup jelas.

(10)

283

282

Pasal 4 Cukup jelas.

Pasal 5 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4984

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia

(11)

285

284

Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI.

Pasal 1

Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat inal.

Pasal 2

Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 4

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 9 Februari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA.

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 36

(12)

287

286

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH

WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI

I. UMUM

Besarnya tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2c) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penetapan mengenai besarnya tarif tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2d) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pengaturan Pajak Penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri secara khusus ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi kepada Wajib Pajak dan Pemerintah, dan mendorong pertumbuhan serta menggairahkan investasi dalam negeri antara lain dalam bentuk penyertaan modal langsung pada perseroan terbatas.

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2009

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4985

(13)

289

288

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 71 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta mendukung program pengadaan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3891);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ ATAU BANGUNAN.

(14)

291

290

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Pemerintah:

a. Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3634);

b. Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3891);

diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah, dan ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (5) dan ayat (6), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 4

(1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.

(2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, kecuali:

a. dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;

b. dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.

(3) Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak terutang tahun pajak sebelumnya. (4) Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor

Pelayanan Pajak Pratama atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.

(5) Rumah Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

(15)

293

292

“Pasal 5

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah:

a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c;

c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau

e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.”

Pasal 6 dihapus.

4. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008

“Pasal 8

(1) Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat inal.

(2) Dihapus.”

Pasal II

1. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila:

a. melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari 2009 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan

b. penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

2. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(16)

295

294

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 4 November 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 November 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 164

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU

BANGUNAN

I. UMUM

Cara pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dikaitkan dengan saat penandatanganan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan pengalihan hak oleh notaris atau pejabat yang berwenang, atau mengaitkan dengan pembayaran yang dilakukan oleh bendaharawan atau pejabat pemerintah yang melakukan pembayaran ternyata telah meningkatkan kepatuhan bagi orang pribadi atau badan yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Untuk lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dipandang perlu mengubah ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999, yang semula bersifat tidak inal menjadi bersifat inal bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan serta dalam rangka mendukung program pengadaan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana perlu diberikan tarif yang lebih rendah untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana.

(17)

297

Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi dan badan atau yang dipotong atau dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan tersebut. Bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri adalah 1% (satu persen) untuk pengalihan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana, dan sebesar 5% (lima persen) untuk pengalihan lainnya.

Ayat (2)

Besarnya nilai pengalihan sebagai dasar perhitungan besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan, atau dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang, adalah nilai yang tertinggi antara nilai menurut akta dengan nilai menurut Nilai Jual Objek Pajak untuk penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan dalam tahun pajak terjadinya pengalihan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperoleh nilai yang paling mendekati nilai yang sebenarnya.

Dalam hal pengalihan kepada Pemerintah, maka besarnya nilai pengalihan adalah berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008

Ayat (3)

Cukup jelas Ayat (4)

Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar, maka untuk memperoleh besarnya Nilai Jual Objek Pajak, orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan wajib meminta surat keterangan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dan/atau bangunan untuk tahun pajak yang bersangkutan kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan tersebut berada.

Pada dasarnya semua pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), namun untuk keadilan diberikan pengecualian dari pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan.

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas

(18)

299

298

tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah dengan pembayaran ganti rugi yang akan digunakan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, yaitu jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lokasi pembangunan sarana kepentingan umum tersebut memerlukan persyaratan khusus misalnya untuk pelabuhan laut diperlukan tanah tertentu untuk memenuhi persyaratan sebagai pelabuhan seperti kedalaman laut, arus laut, pendangkalan dan lain sebagainya.

Huruf c

Apabila orang pribadi melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, organisasi sejenis lainnya, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, maka keuntungan karena pengalihan tersebut bukan merupakan Objek Pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan. Termasuk dalam pengertian hibah adalah wakaf.

Huruf d

Apabila badan melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008

yayasan, organisasi sejenis lainnya, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, maka keuntungan karena pengalihan tersebut bukan merupakan Objek Pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan. Termasuk dalam pengertian hibah adalah wakaf.

Huruf e

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, bukan merupakan Objek Pajak.

Angka 3

Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bersifat inal bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan tanpa melihat jenis usaha atau kegiatan yang dilakukan.

(19)

301

300

Ayat (2)

Cukup jelas Pasal II

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4914

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 80/PMK.03/2009

TENTANG

SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG

BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN

PENGEMBANGAN, YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan Lembaga atau Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia

(20)

303

302

Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/ atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

(2) Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.

(3) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya.

(4) Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan,

penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;

b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan;

c. pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal.

Pasal 2

(1) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengadaan sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

(21)

305

304

Pasal 4

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 April 2009

MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 80/PMK.03/2009 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 81/PMK.03/2009

PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 81/PMK.03/2009

TENTANG

PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

(22)

307

306

4. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran;

5. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut;

b. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi :

1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian;

2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;

c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;

d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya;

e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; dan f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah

industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri.

Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 81/PMK.03/2009 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 81/PMK.03/2009 MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA.

Pasal 1

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu :

a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang, yang meliputi : 1. cadangan piutang tak tertagih untuk:

a) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; b) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah;

c) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;

d) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

2. cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit, yaitu cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi :

a. Koperasi simpan pinjam; dan

b. PT Permodalan Nasional Madani (Persero);

(23)

309

308

Pasal 2

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir a) ditetapkan sebagai berikut :

a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertiikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara; b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam

perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;

c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah : a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan

b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.

(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.

(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.

(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.

(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 3

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir b) ditetapkan sebagai berikut :

a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertiikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan Pemerintah berdasarkan prinsip syariah;

b. 5 % (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;

c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

(2) Besamya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah : a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan

b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.

(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.

(24)

311

310

(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. (6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 4

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir c) ditetapkan sebagai berikut :

a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk Sertiikat Bank Indonesia;

b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

(2) Besamya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah : a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan

b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.

(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.

(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.

(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. (6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 5

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir d) ditetapkan sebagai berikut : a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk

Sertiikat Wadiah Bank Indonesia;

b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah : a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan

b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.

(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.

(25)

313

312

(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. (6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 6

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih koperasi simpan pinjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir a) ditetapkan sebagai berikut : a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar;

b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah : a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan

b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.

(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh koperasi simpan pinjam.

(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.

(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.

(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 7

(1) Besarnya cadangan khusus penyisihan pembiayaan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir b) ditetapkan sebagai berikut :

a. 2,5% (dua setengah persen) dari baki debet yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan;

b. 5% (lima persen) dari baki debet yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

c. 50% (lima puluh persen) dari baki debet yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan

d. 100% (seratus persen) dari baki debet yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah : a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan

b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan penilai.

(3) Jumlah baki debet yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok baki debet yang diberikan oleh PT Permodalan Nasional Madani (Persero).

(4) Kerugian yang berasal dari pembiayaan yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan khusus penyisihan pembiayaan. (5) Dalam hal jumlah cadangan khusus penyisihan pembiayaan seluruhnya atau

sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.

(6) Dalam hal jumlah cadangan khusus penyisihan pembiayaan dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

(26)

315

314

Pasal 8

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3 ditetapkan paling tinggi sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang.

(2) Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. (3) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian

tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. (4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 9

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 4 ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang.

(2) Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. (3) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian

tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. (4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 10

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 5 ditetapkan paling tinggi

sebesar 5% (lima persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang. (2) Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat

ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih. (3) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian

tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. (4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 11

Dalam hal Wajib Pajak secara bersamaan melakukan kegiatan usaha sewa guna usaha dengan hak opsi, pembiayaan konsumen, dan/atau anjak piutang, besarnya cadangan piutang tak tertagih yang dapat dibiayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan/atau Pasal 10 dihitung berdasarkan besarnya piutang untuk masing-masing usaha.

Pasal 12

(1) Besarnya cadangan premi tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 1 adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan.

(2) Cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan premi yang sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum merupakan penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.

(3) Cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

Pasal 13

(1) Besarnya cadangan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 1 adalah sebesar

(27)

317

316

100% (seratus persen) dari jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah dilaporkan dan sedang dalam proses, tetapi tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan.

(2) Cadangan klaim tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada akhir tahun pajak.

(3) Jumlah klaim yang sebenarnya dibayar oleh perusahaan asuransi kerugian dibebankan kepada perkiraan cadangan klaim tanggungan sendiri. (4) Dalam hal jumlah cadangan klaim tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.

(5) Dalam hal jumlah klaim tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut boleh dibebankan sebagai biaya.

Pasal 14

(1) Besarnya cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 2 ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.

(2) Kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun dari cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya dalam tahun yang bersangkutan.

(3) Apabila terjadi pembayaran klaim kepada tertanggung jumlah tersebut dibebankan kepada perkiraan cadangan premi.

Pasal 15

Besarnya cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c adalah 80% (delapan puluh persen) dari surplus yang diperoleh Lembaga Penjamin Simpanan dari kegiatan operasional selama 1

(satu) tahun yang diakumulasikan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.

Pasal 16

(1) Besarnya cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d adalah yang sebenamya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya reklamasi. (2) Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha

pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber daya mineral.

(3) Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya reklamasi dengan jumlah biaya reklamasi yang sebenarnya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.

Pasal 17

(1) Besarnya cadangan biaya penanaman kembali untuk perusahaan yang melakukan usaha kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah yang sebenarnya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya penanaman kembali.

(2) Cadangan biaya penanaman kembali untuk perusahaan yang melakukan usaha kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

(3) Apabila setelah berakhirnya masa kontrak terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya penanaman kembali dengan jumlah biaya penanaman kembali yang sebenamya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.

Referensi

Dokumen terkait

Kepada rekanan yang akan mengajukan sanggahan tertulis diberikan waktu sanggahan selama 3 (tiga) hari. kerja terhitung sejak dikeluarkan surat pengumuman pemenang

[r]

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara dengan melakukan wawancara kepada pihak terkait yaitu Manajer SDM dan sales adapun pertanyaan wawancara yang diberikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau informasi bagi manajemen Salwa House Kafe mengenai beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan konsumen sehingga

HUBUNGAN HUKUM HUMANITER DENGAN HAK ASASI MANUSIA “MENURUT ALIRAN INTEGRATIONIS DAN ALIRAN SEPARATIS”1. OLEH:

Setelah melakukan PPL, praktikan dapat mengambil beberapa pelajaran, antara lain: a.) praktikan mendapat pengetahuan mengenai proses tata kerja, interaksi, dan proses

Dalam hubungan itu, temuan lapangan yang dilaporkan Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menunjukkan bahwa justru fakta akan proses pemiskinan dan

- Referensi Personil Tenaga Ahli dari Pengguna jasa (Ahli Teknik Sipil / Team Leader, Ahli Geologi, Ahli Kelautan). 6 Bukti status