• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN CIREBON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN CIREBON"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN CIREBON

III.1 Tinjauan Umum Sosio Budaya Cirebon

Secara geografis Cirebon merupakan bagian dari Jawa Barat, dengan luas wilayah 5.642.569 km. Wilayah yang kini dikenal dengan nama Cirebon dahulunya adalah bekas Karisedanan Cirebon. Di tengah-tengahnya berdiri Gunung Ciremai serta deretan bukit karang yang bersifat wadas atau kapur1..

Secara administratif wilayah Cirebon berada diperbatasan beberapa wilayah, yaitu kabupaten Indramayu di bagian Utara, Kabupaten Ciamis dan Kuningan di bagian Selatan, sisi Barat Laut Kabupaten Subang, Sumedang, Majalengka dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Letak dataran di wilayah ini memanjang dari Barat ke Laut Tenggara dan terbagi atas dua dataran yaitu dataran rendah yang disebut daerah pantai dan pegunungan. Dataran rendah terletak sepanjang pantai utara yaitu kecamatan Gegesik, Kapetakan, Arjawinangun, Klangenan, Weru, Astanajapura, Lemahabang, Karangsembung, Waled, Ciledug dan Losari, sedangkan dataran tinggi yang terdiri atas pegunungan serta bukit-bukit kapur terbagi atas wilayah Beber, Sumber, Palimanan, Plumbon, Ciwaringin, Susukan dan Slangit.

Ciri khas dari kebudayaan masyarakat pesisir adalah terbuka. Posisi ini merupakan sumbangan penting sehingga mewujudkan kebudayaan Cirebon yang sangat khas, yaitu pola budaya ekonomi perdagangan, memiliki jiwa bahari, religius dan menjadikan keraton sebagai pusat kebudayaan sekaligus kekuasaan.

Akibat pola budaya tersebut, maka masyarakat di wilayah ini memiliki ciri khas tersendiri dengan wilayah pesisir lain, baik dalam tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, contohnya adalah terbentuk ekspresi-ekspresi yang sangat khas, antaralain dalam tata bahasa, kosa kata, dialek, kesenian dan aktivitas ritual religinya.

1

.Bentuk-bentuk yang dihasilkan dari deretan bukit kapur ini diasosiasikan pada hal-hal yang misterius sehingga menjadi sumber inspirasi bagi para seniman Cirebon dalam mengekspresikan karya seni yang dihasilkan diantaranya adalah salah satu motif khas Cirebon yang dikenal dengan motif Wadasan.

(2)

III.2 Kebudayaan Cirebon

Kebudayaan masyarakat Cirebon adalah konsep budaya masyarakat pesisir atau disebut pula budaya bahari. Istilah budaya pesisir2 atau budaya bahari merujuk pada suatu tipe kebudayaan yang hidup, tumbuh dan terus berkembang. Sebelum masuknya agama-agama atau pengaruh dari India yang masuk ke wilayah ini, ada kemungkinan tatanan kehidupan masyarakat di wilayah ini telah mengalami suatu tatanan yang teratur walaupun masih sederhana.

Seperti kebudayaan bersahaja lainnya, bangsa Indonesia sebelum datangnya kebudayaan India dapat dikatakan mempunyai cara berpikir yang kompleks, yakni bersifat keseluruhan dan emosional, serta amat dikuasai oleh perasan, yang sangat rapat dengan pengaruh kebudayaan agama, kepercayaan kepada ruh-ruh dan tenaga-tenaga gaib yang meresapi seluruh kehidupannya. (Sutan Takdir Alisyahbana, dalam Budaya Bahari, 2004:198)

Kebudayaan masyarakat di wilayah pantai atau pesisir akhirnya berkembang dengan pengaruh dari berbagai budaya pendatang, di antaranya India yang memberikan pengaruh Hindu dan Budha, kemudian pendatang dari daratan Arab yang membawa pengaruh Islam.

Pada periode sebelum Islam masuk, kebudayaan di daerah pesisir sebelumnya diwarnai oleh kebudayaan Hindu yang dibawa dari India. Hal ini berakibat pada bentuk-bentuk pemujaan dan tradisi mengkultuskan roh-roh sebagai manifestasi kepatuhan mereka terhadap alam. Hal ini terjadi pula pada salah satu produk kebudayaan, yaitu kesenian. Pada awalnya keberadaan kesenian di wilayah Cirebon merupakan wujud dari persembahan rakyat pada cara kehidupan keagamaan. Sebelum kebudayaan Hindu masuk, penduduk di sekitar Cirebon memuja segala manifestasi alam yang di sekitarnya. Mereka mempercayai bahwa alam memiliki roh nya sendiri, yang selalu hadir, mengamati dan menjaga kehidupan mereka (Cerbon, 1982:18).

Kepercayaan mayoritas penduduk sebelum Hindu adalah animisme, dan semua bentuk kesenian akhirnya menjadi media komunikasi dengan roh termasuk bentuk, elemen atau dekorasi yang digunakan, kesemuannya memiliki perlambangan spiritual serta makna keagamaan. Dalam kegiatan upacara tersebut sering terlihat gerakan-gerakan atau tarian yang bersumber pada mitos serta refleksi atas cara hidup

2

.Secara etimologi pesisir merujuk pada kondisi geografis yang berbatasan langsung dengan pantai. Primadi Tabrani menyebutnya ‘manusia kepulauan’ untuk menggambarkan kelompok manusia dengan jiwa bahari dan teknologi maritim, selanjutnya istilah pesisir digunakan pula dalam konotasi manusia atau kelompok manusia sehingga lahir sebuat ‘wong gunung’ dan berlawanan dengan ciri ‘manusia benua’ yang sulit bersatu dan indivudualis, dalam ‘Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon’ (2004

(3)

mereka sehari-hari, serta persembahan-persembahan yang akhirnya memiliki fungsi sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap kekuatan atau roh-roh yang ada di alam.

Kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural di alam dan kekuatan arwah para nenek moyang yang dianggap sebagian orang adalah takhayul memang tak dapat dilepaskan begitu saja sebagai ciri dari masyarakat Indonesia. Karena kepercayaan manusia Indonesia pada takhayul bukanlah hal yang baru. Sampai sekarang bagi sebagian masyarakat menganggap pembakaran kemenyan dalam upacara-upacara adat merupakan hal yang sakral dan suci. (Sofia Rangkuti 2002:31)

Masa berikutnya adalah masuknya agama Hindu, saat masyarakat Cirebon mulai berinteraksi dengan kerajaan Pajajaran. Agama Hindu dipandang sebagai ajaran yang sangat ritualistik, mempercayai reinkarnasi, serta adanya tatanan dalam masyarakat dan agama, sedangkan pada bentuk kesenian, seni berperan sebagai media atau sarana untuk menyembah para dewa.

Setelah masa Hindu pada abad 15, terjadi tumpang tindih pada bentuk kesenian di Cirebon, di dalamnya terkandung unsur Hindu dan Islam yang sangat khas. Berbagai bentuk kesenian juga telah dimanfaatkan oleh para Wali Sanga dalam upaya menyebarkan agama Islam, hal ini digunakan untuk mengambil hati nurani pengikutnya.

Namun pada kenyataannya perkembangan kebudayaan yang terjadi di wilayah ini sebenarnya sangat kompleks, karena dasar animisme dan dinamisme masyarakat pesisir telah lahir menjadi kebutuhan dasar dan naluri yang berkembang dalam kehidupan sosial dan spriritualnya. Agama Islam yang berkembang saat itu serta merta tidak menghapus seluruh peninggalan ajaran yang sebelumnya, yaitu Budha dan Hindu.

Peran Sunan Kalijaga sangat penting dimana ia melakukan penyesuaian terhadap bentuk-bentuk kesenian, seperti memadukan perlambangan dan ungkapan baru sesuai dengan kebutuhan rohani dan artistik masyarakat Cirebon.

Perkembangan selanjutnya adalah Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Cirebon serta menjadi identitas bagi masyarakat Cirebon. Hal ini terjadi akibat peristiwa migrasi pertama orang Jawa ke daerah ini, bersamaan dengan maraknya persebaran agama Islam di wilayah Pulau Jawa.

Pada akhirnya bentuk-bentuk kesenian yang ada di Cirebon terlihat khas, karena di dalamnya masih memperlihatkan jejak-jejak kebudayaan dari masa

(4)

sebelumnya, walaupun terlihat tumpang tindih, namun menjadikan ciri yang sangat khas, yaitu hasil dari sebuah sintesa berbagai kebudayaan besar. Seni pertunjukan yang ada di Cirebon akhirnya menjadi sarana yang paling efektif dalam penyebaran agama Islam, karena dalam penyajiannya dirasakan sangat halus serta substansi dari ajaran tersebut langsung mengena pada masyarakat Cirebon di masa tersebut.

III.3 Fungsi dan Jenis Seni Pertunjukan Tradisi di Cirebon

Pada awalnya fungsi kesenian di wilayah Cirebon selalu berkait dengan kegiatan religi dan suatu bentuk persembahan rakyat pada cara kehidupan keagamaan. Bentuk seni pertunjukan yang ada di Cirebon, pada umumnya merupakan refleksi dari masyarakatnya terhadap kekuatan yang ada di alam semesta.

Dengan latar belakang budaya animisme dan Hindu - Budha, kesenian berfungsi sebagai sarana dalam melakukan ritual-ritual dan upacara-upacara persembahan. Setelah Islam masuk, fungsi kesenian bergeser, dan terjadi penyesuaian dalam berbagai aspek. Akhirnya kesenian berkembang dan mulai memiliki peran sebagai perangkat sosial dan keagamaan.

Kini bentuk kesenian tradisional di Cirebon, sifatnya berupa tontonan yang bersifat tuntunan, walaupun nilai mistik keagamaan dan unsur-unsur magis yang sakral tidak pernah lepas dari setiap pertunjukannya.

Pada perkembangannya kesenian di Cirebon lahir dengan bentuk yang beragam dan hasil interaksi dari berbagai unsur kebudayaan. Bentuk kesenian tradisi yang tercatat hingga kini berjumlah limapuluh jenis, dan terbagi atas delapan kategori, yaitu :

1. Karawitan jenisnya adalah Tabu Renteng dan Gamelan Gede 2. Teater, jenisnya Mastres dan Tarling Drama

3. Pedalangan, jenisnya Wayang Kulit Purwa, Wayang Wong, Wayang Golek Purwa, Wayang Cepak,Wayang Beber dan lainnya.

4. Musik, jenisnya Tarling, Jidor, Genjring santri dan lainnya

5. Sastra, jenisnya Kecawan, Macapat, Kidung, Jawokan dan Pantun 6. Seni Rupa, seperti Lukis kaca, Sungging,Tatah, Ukir Kedok,Ukir Kayu

7. Seni Tari, jenisnya Tari Topeng, Tari Baksa, Tari Angklung,Tari Ronggeng Bugis dan lainnya

(5)

8. Seni Pertunjukan, seperti Gejring Akrobat, Sintren dan Lais, Dombret, Ronggeng Umbul, Debus dan Berokan serta masih banyak lagi.

Dari uraian di atas, ternyata bentuk kesenian yang ada di Cirebon dapat digolongkan menjadi dua bagian besar, yaitu seni pertunjukan dan seni rupa. Untuk seni rupa diantaranya adalah seni lukis kaca, salah satu seniman yang berhasil adalah Rastika. Ciri khas lukisannya adalah memberikan efek bayangan yang disebut pepes, adanya pertemuan tiga warna gradasi yang disebut papag, serta arsir titik-titik yang disebut tawuran.

Gambar III.1 Aktivitas melukis di atas kaca (sumber : Cirebon, Times Edition,1995)

Seni rupa jenis ke dua adalah gerabah yang berada di Sitiwinagun, Siti berarti tanah dan Winangun berarti mengolah. Menurut cerita yang yang berkembang di Cirebon, keberadaan seni gerabah di wilayah ini dibawa dari Baghdad oleh Syarif Abdurrahman yang disebut Pangeran Panjunan. Bentuk gerabah di wilayah ini memiliki kemiripan dengan gerabah dari masa prasejarah. Berdasarkan peta prasejarah, ternyata dari Cirebon sampai wilayah Barat dilewati aliran sungai yang memungkinkan tumbuhnya wilayah pembuatan keramik (Rokhmin Dahuri dkk, 2004 : 164)

Untuk seni pertunjukan, terdapat lima jenis kesenian tradisi, yaitu wayang, berokan, rudat dan tari topeng Cirebon. Seni wayang yang berada di wilayah ini salah satunya adalah wayang cepak atau wayang menak, bentuknya seperti wayang golek, namun pada bagian kepalanya terdapat bentuk yang seperti dipapak atau dipangkas. Sedangkan wayang kulit adalah wayang yang ditatah dari kulit, dari aspek bentuk, wayang kulit masih dianggap sebagai tradisi Hindu.

(6)

Kedudukan pertunjukan wayang kulit tergeser oleh wayang papak, karena Sunan Kalijaga melakukan perubahan pada pertunjukannya, dengan mengaitkan keberadaan Wali Sanga sebagai sarana dakwah.

Wayang papak lebih menekankan pada misi dakwah, yaitu i’tibar, artinya memberikan pelajaran tentang hidup, sikap dan perilaku saat sedang mengalami persoalan hidup serta penyelesaiannya yang diambil dari cerita atau babad. Berikut beberapa gambar wayang cepak atau papak.

Gambar III.2 Wayang Golek

Cepak tokoh ‘Raja Halus’

(Sumber : Icons of Art, 2006) Gambar III.3 Wayang Golek Cepak tokoh ‘Dewi Munigar’ (sumber : Anne Ritcher, 1993) Gambar III.4 Wayang Golek Cepak tokoh ‘Sekar Pandan’ (sumber : Anne Ritcher, 1993) Gambar III.5 Wayang Golek Cepak

Tokoh Raja dan Panakawan

(Sumber : Ensiklopedia WayangPurwa I)

(7)

Gambar III.6 Wayang Golek

Bentuk dan tokoh wayang golek di wilayah Jawa memiliki kesamaan dari aspek bentuk cerita dan tokohnya. Cerita yang disajikan pada umumnya berdasarkan mengacu pada

riwayat-riwayat yang ada pada masa Hindu dan Islam. (sumber : Anne Ritcher, 1993)

Bentuk kesenian wayang kulit di Cirebon sebenarnya memiliki kesamaan dengan wayang kulit di daerah lain, berikut di bawah ini gambar wayang kulit Cirebon.

Gambar III.7 Wayang Kulit ’Sekar

Pandan’

(Sumber : Shadow Theatre in Java)

Gambar III.8 Wayang Kulit tokoh ’Semar’

(Sumber : Shadow Theatre in Java)

Gambar III.9 Wayang Kulit ’Monster’ (Sumber : Shadow Theatre

in Java)

Berikut beberapa perangkat gamelan peninggalan Sunan Kali Jaga yang digunakan dalam pertunjukan wayang di Cirebon :

(8)

Gambar III.10 Rebana peninggalan Sunan Kali Jaga

(sumber : Keraton Kasepuhan Cirebon, dokumentasi penulis)

Gambar III.11 Perangkat gamelan (sumber : Keraton Kasepuhan Cirebon,

dokumentasi penulis)

Sedangkan kesenian rudat berwujud tarian atau gerakan yang berpadu dengan aliran dzikir pujian kepa Allah SWT dan diiringi dengan tabuhan ’genjring’. Kesenian ini disertai dengan tarian kuda Lumping yang mengejewantahkan sikap kavaleri sahabat Husein cucu Rasul ketika berperang melawan musuh-musuhnya di medan perang Karbala. Ia digambarkan ulet, kebal, sakti sehingga mampu makan beling dan api yang yang menunjukkan betapa hebatnya pasukan tersebut.

Gambar III.12

Pertunjukan Rudat di Cirebon

(Sumber : Gelar Produk dan Apresiasi seni dan Budaya,2005)

Bentuk kesenian lainnya adalah Berokan, yaitu kesenian yang wujudnya berbentuk tiruan kepala singa jantan dengan badan meniru bentuk raksasa Syiwa-Durga sambil meniupkan terompet atau sempritan, yang mengeluarkan suara-suara khas. Pada awalnya kesenian Berokan diciptakan oleh para wali untuk mendukung dakwah Islam kepada masyarakat dengan tujuan menyadarkan masyarakat agar tidak takut terhadap Barong salah seorang calon arang di Bali yang sering meneror

(9)

masyarakat. Hal ni terkait dengan kepercayaan masyarakat Cirebon pada saat itu akan adanya mahkluk gaib yang bernama buta ijo.

Gambar III.13 Boneka Berokan tampak

Samping

(Sumber : koleksi penulis, 2007) Boneka Berokan dari Gambar III.14 muka

(Sumber : koleksi penulis, 2007)

Gambar III.15 Suasana Arakan

Berokan

(Sumber : Times Edition, 1995)

Bentuk seni pertunjukan lain adalah tari topeng yang berkembang hampir di seluruh wilayah Jawa dan pesisir. Kesenian ini tumbuh dan berkembang di Cirebon pada abad ke 10 sampai dengan abad ke 11, bersamaan dengan masa perkembangan agama Islam di wilayah ini dan digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga.

Selanjutnya pertunjukan ini berkembang pesat di kalangan masyarakat sekitar abad ke-15 di Cirebon. Setelah topeng berkembang di masyarakat, maka kesenian ini mulai dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat perayaan ritual, seperti perkawinan, pelepas nadar atau kaulan, ruwatan dan lainnya.

Gambar III.16 Tari Topeng Cirebon (sumber: Indonesian Heritage, 1996)

(10)

Gambar III.17 Aktivitas membuat Kelengkapan Topeng (sumber: dokumentasi penulis,2006)

III.4 Riwayat Panji Sebagai Dasar Tari Topeng Cirebon

Jika ditinjau dari bentuk tuanya, pertunjukan tari topeng pada masa kelahirannya berperan sebagai sarana ritual yang bersifat religius. Dan pertunjukannya berlangsung dalam lingkungan kerajaan. Dalam perkembangannya, pertunjukan ini memiliki fungsi sebagai berikut :

Tabel III.1 Sifat, Fungsi dan Jenis Kesenian Topeng di Cirebon

Sifat Fungsi Jenis

Sakral Keagamaan Sebagai simbol perwujudan representasi suatu komunitas

1. Komunal; hajatan desa untuk kepentingan bersama.

2. Bebarang, inisiatif dari senimannya untuk mengadakan pertunjukan, umumnya saat musim paceklik (kemarau)

Profan/Keduniawian Seni hiburan karena estetika, kekuatan visual, dinamika

musik dan gerak

Individual; hajatan yang dilakukan perorangan atau keluarga, contoh: mitoni,

kaulan (sumber : dirangkum dari berbagai sumber)

Kandungan dalam pertunjukan topeng pada dasarnya menggambarkan siklus kehidupan manusia, dari bayi beranjak ke masa kanak-kanak, masa dewasa hingga masa dimana seorang manusia telah mencapai kedudukan. Dalam siklus kehidupan tersebut terkandung tiga unsur hidup dalam manusia, yaitu perkawinan, perjalanan atau pengembaraan serta pertempuran.

(11)

kelima tokoh dalam tarian tersebut, ternyata tidak dapat dilepaskan dari hikayat Panji yang diduga telah ada sejak tahun ± 1350 pada zaman kejayaan Majapahit.

Kisah Panji menceritakan tentang pangeran dan putri dari empat negara yaitu Kediri, Kahuripan, Daha dan Singasari, empat negara tersebut dipimpin oleh raja yang saling bersaudara. Saat itu Raden Panji menolak perjodohan dengan Puteri Chandra Kirana, puteri dari kerajaan Daha, karena ia sudah memiliki Anggraini, namun Anggraini dibunuh dan Panji mengembara dengan menyamarkan diri sebagai Panji Kelana Edan. Dalam pelariannya ia bertemu dan jatuh cinta pada Kuda Semirang yang ternyata ia adalah putri Chandra Kirana yang menyamar menjadi laki-laki.

Panji diartikan sebagai yang pertama, yang berasal dari kata siji atau satu dalam bahasa Jawa. Panji menggambarkan mahluk yang baru lahir ke dunia, gambaran seorang bayi yang tak berdaya. Hal tersebut terlihat pada gerakan tari yang kecil – kecil dan diam. Pernikahan Panji dengan Chandra Kirana membuat bersatunya keempat kerajaan Jawa dan pusatnya di Jenggala atau Kahuripan.

Tokoh kedua adalah Pamindo, tokoh ini yang menggambarkan masa kanak-kanak. Ia digambarkan adalah Gunung Sari dari Kerajaan Daha. Tokoh Pamindo pada wayang dikisahkan sebagai Raden Kuda Panulis. Sedangkan di daerah lain yaitu Losari-Cirebon, Pamindo diidentikan dengan tokoh Sutera Winangon.

Tarian ini berada di posisi kedua, dalam bahasa Jawa mindo artinya kedua. Tarian-tarian yang hadir setelah Panji disebut sebagai tarian horizontal, yang mewakili empat arah mata angin semesta dan keempat tarian ini merupakan wujud dari aspek pusat yang transenden, dan ruang pertamanya adalah posisi yang ditempati oleh Gunung Sari dari arah Timur.

Tokoh ketiga adalah Rumyang, dalam wayang tokoh ini diidentikkan dengan Sadewa dan Somantri. Pada topeng Cirebon Rumyang merupakan tarian bagian ketiga. Rumyang digambarkan sebagai Candra Kirana, dewi yang menjelma menjadi manusia, dan melakukan penyamaran sebagai Panji Semirang dan berperilaku laki laki.

Penokohan Rumyang hampir sama dengan Panji, kedua pasangan ini dianggap sebagai pasangan suami istri sejak di dunia atas. Asal kata Rumyang sendiri berasal dari ramyang-ramyang artinya mulai terang (Toto Amsar Suanda, 1989:24).

Keadaan mulai terang atau carangcang tihang dalam bahasa Sunda artinya baru setengah terlihat. Rumyang digambarkan sebagai manusia yang sudah mulai

(12)

terang dalam melihat kehidupan dunia, walaupun terlihat ragu-ragu dalam gerakannya namun cenderung membuat gerakan yang terlihat menolak atau membuang .

Arah ruang Rumyang sendiri ada di utara, dalam konsep primordial, alam semesta dunia dibagi menjadi dua wilayah yang berlawanan yaitu Timur-Utara, Barat-Selatan. Rumyang menggambarkan masa remaja, dia melambangkan anak sulung perempuan namun memiliki asas seperti laki-laki. Itulah alasannya tarian ini menampilkan tokoh laki-laki walaupun ia adalah perempuan.

Gerak dalam tarian ini merefleksikan perjalanan serta penyamaran Candrakirana, sehingga sepanjang tariannya ia tak pernah sedikitpun menanggalkan kedoknya, agar penyamaran yang ia lakukan berhasil.

Tokoh keempat adalah Patih yang selalu bergerak di area luar. Ia diidentikan sebagai Raja Soca Windu, musuh keluarga Panji. Sedangkan dalam wayang dianggap sebagai Raden Setiaki dan Gatot Kaca. Tarian ini menggambarkan pertikaian Tumenggung Magangdiraja, calon menantu Raja Bawarna yang berupaya untuk menaklukkan Jingga Anom. Dalam tarian ini didapati pula unsur dialog, sehingga tarian ini tampak seperti cukilan fragmen tari. Sosok Patih digambarkan sebagai lambang kedewasaan jaman. Ia berada di arah Barat-Selatan atau sebagai pihak luar, duniawi, pihak musuh, kematian, kasar dan kelelakian.

Tokoh kelima adalah Klana, dalam cerita wayang ia diidentikan dengan Rahwana atau Dasamuka. Klana atau Kelana digambarkan karakter yang penuh dinamika dengan hasrat jasmani dan duniawi. Terkadang ia disebut Menak Jingga karena melambangkan nafsu yang terkekang manusia. Sosok Klana menggambarkan raja yang gagah perkasa bernama Kelana Budanegara, ia tergila-gila pada puteri Dewi Tunjung Ayu.

Kisah lain menyebutkan Kelana adalah Raja Blambangan yang ingin mempersunting Dewi Sekartaji dari kerajaan Jenggala, yang tak lain adalah Candra Kirana, pasangan Panji. Jika kelima karakter topeng tersebut ditempatkan dalam satu pola kosmologi, maka penempatan, posisi serta arah dari lima karakter tersebut adalah sebagai berikut :

(13)

Bagan III.1 Posisi Tokoh dalam Tari Topeng dalam Kosmologi ’Buana Panca Tengah’

(sumber : dirangkum dari Jakob Soemardjo)

III.5 Konsep Mandala pada Tari Topeng

Dalam pertunjukan topeng terdapat lima karakter yaitu Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung, dan Klana. Setiap karakter dalam topeng menempati posisi dan arah masing-masing, dan penempatan posisi tersebut dapat dipetakan dalam suatu konsep Mandala. Posisinya adalah Panji-Pusat, Pamindo-Timur, Rumyang-Utara, Patih-Barat, Klana-Selatan.

Tabel III.2 Arah dan Sifat dalam Karakter Topeng

Arah Karakter Sifat

Pusat Panji Lelaki – Perempuan , Surga Dunia Dunia atas – dunia Bawah)

Utara Rumyang Candrakirana

Perempuan bersifat lelaki

Selatan Klana Lelaki-Pejabat negara

Barat Patih Lelaki- Raja dunia

Timur Pamindo Gunung Sari

Lelaki bersifat perempuan (sumber : Jakob Sumardjo)

Berikut adalah cara pembacaan konsep Mandala serta pola oposisi dalam tari topeng Cirebon :

(14)

1. Posisi pusat ditempati Panji dan berada di tengah, diartikan bahwa semua nilai ada di dalamnya dan semua arah yang ada disekelilingnya, Timur-Barat, Utara-Selatan, selalu menuju ke arah tengah. Begitu pula unsur yang ada di Panji akan terlihat pada empat arah di sekelilingnya.

Bagan III.2 Skema Konsep Mandala (sumber : rekontruksi penulis)

2. Oposisi vertikal-horisontal adalah oposisi yang ditunjukan oleh arah Utara dan Selatan, ditempati Rumyang dan Klana serta Timur dan Barat ditempati Pamindo dan Patih. Cara pembacaan pada posisi horisontal adalah akan terdapat nilai sama dan nilai beda pada Pamindo dan Patih.

Bagan III.3 Skema Konsep Mandala (sumber : rekontruksi penulis)

Sedangkan pada posisi vertikal, nilai sama dan nilai beda ada pada Rumyang dan Klana. Memusat Horisontal U T B S U B T S

(15)

Bagan III.4 Skema Konsep Mandala (sumber : rekontruksi penulis)

3. Oposisi diagonal atas adalah oposisi yang ditunjukan oleh arah Utara-Barat dan diagonal bawah adalah Timur-Selatan. Pola seperti ini artinya ada nilai sama terdapat pada karakter Rumyang-Patih, dan nilai sama pada Pamindo-Klana. Kedua oposisi tersebut saling berhadapan. Dua arah diagonal yang saling berhadapan ini memiliki nilai yang saling berbeda. Arah yang diberi tanda (----) artinya kedua arah tersebut memiliki persamaan sekaligus perbedaan yaitu pada Rumyang-Pamindo dan Patih-Klana.

Bagan III.5 Skema Konsep Mandala (sumber : rekontruksi penulis)

Diagonal bawah Diagonal atas U B T S U T B S Vertikal

(16)

4. Oposisi berhadapan adalah oposisi yang ditunjukan pada posisi Timur-Selatan-Barat dan oposisinya adalah Utara. Sedangkan posisi Timur-Utara-Selatan beroposisi dengan Selatan. Cara pembacaan terhadap pola oposisi bawah adalah terdapat unsur nilai sama pada tiga arah Patih-Rumyang-Pamindo dan nilai bedanya ada di Klana, begitu pula sebaliknya, pada oposisi atas, nilai sama terdapat pada Patih-Klana-Pamindo, dan nilai beda terdapat pada Rumyang.

Bagan III.6 Skema Konsep Mandala (sumber : rekontruksi penulis)

Artinya terdapat nilai sama pada tiga posisi yaitu Barat-Utara-Timur, dan nilai yang terlihat berbeda ada pada Selatan.

Bagan III.7 Skema Konsep Mandala (sumber : rekontruksi penulis)

Artinya terdapat nilai sama pada tiga posisi yaitu Barat-Selatan-Timur, dan nilai yang terlihat berbeda ada pada Utara.

U T B S T B S U

(17)

Gambar

Gambar III.1 Aktivitas melukis di atas kaca  (sumber : Cirebon, Times Edition,1995)
Gambar III.2  Wayang Golek
Gambar III.7  Wayang Kulit ’Sekar
Gambar III.10     Rebana peninggalan Sunan Kali Jaga
+4

Referensi

Dokumen terkait