• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Abortus

Abortus adalah kehamilan yang berhenti prosesnya pada umur kehamilan di bawah 20 minggu, atau berat fetus yang lahir 500 gram atau kurang (Chalik, 1998).

Sedangkan Llewollyn & Jones (2002) mendefenisikan abortus adalah keluarnya janin sebelum mencapai viabilitas, dimana masa gestasi belum mencapai 22 minggu dan beratnya kurang dari 500 gram.

WHO merekomendasikan viabilitas apabila masa gestasi telah mencapai 22 minggu atau lebih dan berat janin 500 gram atau lebih.

1.1 Mekanisme Terjadinya Abortus

Mekanisme terjadinya abortus dimulai dengan proses perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing di dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkannya.

1.2 Penyebab Abortus

Secara umum abortus dapat disebabkan oleh : Wanita itu sendiri

(maternal) yaitu : abnormalitas traktus genitalis, trauma, infeksi rubella, infeksi chlamydia, penyakit-penyakit vaskular, kelainan endokrin, penyakit sistemik,

(2)

dengan baik dapat meningkatkan resiko keguguran (Edmonds, 1992 dalam Bennett & Brown, 1999).

Kejadian abortus meningkat pada wanita hamil yang berumur 30 tahun atau 35 tahun, hal ini disebabkan meningkatnya kelainan genetik seperti mutasi dan kelainan maternal pada usia tersebut (Chalik, 1998). Menurut Llewellyn-Jones (2002) frekuensi abortus meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas. Apabila terdapat riwayat abortus, maka kemungkinan terjadi abortus pada kehamilan yang selanjutnya akan meningkat (Henderson dan Jones, 2006).

Janin : seperti kelainan kromosom, kelainan ovum, blighted ovum, abnormalitas

pembentukan plasenta.

Sperma : sperma yang mengalami translokasi kromosom apabila

berhasil menembus zona pellusida dari ovum akan menghasilkan zigot yang memiliki material kromosom yang tidak normal sehingga dapat menyebabkan keguguran. Penyebab eksternal: radiasi, obat-obatan dan bahan kimia.

Penyebab lain yang tidak diketahui.

Setengah dari kasus abortus disebabkan oleh abnormalitas janin dengan jumlah sisanya sebagian diakibatkan oleh sebab- sebab yang tidak diketahui dan oleh berbagai penyebab lain (Bennett & Brown, 1999).

1.3 Klasifikasi Abortus

Samapraja (2008 dalam Erlina, 2008) menyatakan bahwa ada 2 jenis keguguran yaitu keguguran yang dikenali dan keguguran yang tidak dikenali. Keguguran yang dikenali terjadi pada wanita yang telah mengetahui dan membuktikan dirinya hamil. Sedangkan keguguran yang tidak dikenali terjadi

(3)

7

pada wanita yang belum mengetahui dirinya hamil, hal ini dapat terjadi pada wanita yang menstruasinya datang terlambat.

Berdasarkan proses terjadinya abortus dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu abortus spontan dan abortus provokatus (buatan). Abortus provokatus terbagi ke dalam dua jenis yaitu abortus provokatus terapeutik dan abortus provokatus kriminalis. Selain itu dikenal juga istilah-istilah seperti: Abortus imminens atau abortus mengancam. terjadi perdarahan dari uterus, hasil konsepsi masih berada di dalam uterus, tanpa adanya dilatasi serviks.

Abortus insipiens terjadi perdarahan dari uterus dengan disertai dilatasi serviks yang meningkat, rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah tetapi hasil konsepsi masih berada di dalam uterus.

Abortus servikalis, keluarnya hasil konsepsi dari uterus dihalangi oleh ostium uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga hasil konsepsi terkumpul di dalam kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi lebih besar dengan dinding yang menipis.

Abortus Incompletus, terjadi pengeluaran sebagian hasil konsepsi. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum, dapat menyebabkan perdarahan yang banyak sehingga menyebabkan syok. Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan. Abortus kompletus, seluruh hasil konsepsi sudah dikeluarkan, ostium uteri menutup dan uterus mengecil.

(4)

Missed Abortion, keadaan dimana janin sudah meninggal, tetapi tetap berada dalatn rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih.

Abortus Habitualis, abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut- turut. Abortus infeksiosus, abortus yang disertai infeksi pada genetalia

Abortus Septik, abortus infeksiosus berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke dalam peredaran darah atau peritoneum.

2. Dampak Psikologis Abortus : Kehilangan dan Berduka

Kehilangan (loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Setiap individu akan bereaksi terhadap kehilangan. Respon terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respon individu terhadap kehilangan sebelumnya (Potter dan Perry, 1997). Pengalaman kehilangan bayi pada tahap kehamilan adalah sangat mengecewakan bagi orang tua, dan berpotensi menimbulkan akibat-akibat psikologis yang merugikan (Henderson dan Jones, 2006). Peristiwa kehilangan dapat terjadi tiba-tiba atau bertahap. Pengalaman kehilangan bersifat unik bagi setiap individu.

Jenis-jenis kehilangan terdiri dari kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan yang dikenal, kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti, kehilangan suatu aspek diri, dan kehilangan hidup (Potter & Perry, 2005).

Berduka (grieving) adalah keadaan dimana individu dan keluarga mengalami kehilangan yang aktual atau potensial, kehilangan ini dapat berupa

(5)

9

orang, benda, fungsi, status, dan hubungan (Carpenito, 1984 dalam Rothrock, 2000).

Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang normal. Hal ini diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada setiap individu berdasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Intensitas dan durasi respon berduka bergantung kepada persepsi kehilangan, usia, keyakinan agama, perubahan kehilangan yang dibawa ke dalam kehidupannya, kemampuan personal untuk mengatasi kehilangan dan sistem pendukung yang ada (Sanders, 1998 dalam Bobak, 2005).

Menurut Kubler-Ross (dalam Potter dan Perry, 2005), respon berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut: Tahap pcngingkaran, reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, mengerti atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan seringkali individu tidak tahu harus berbuat apa. Tahap marah, pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau diri sendiri. Orang yang mengalami kehilangan juga dapat menunjukkan prilaku agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh perawat atau dokter tidak kompeten. Respon fisik antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

(6)

Tahap tawar-menawar, pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah-olah kehilangan itu dapat dicegah.Reaksi sering dinyatakan dengan kata-kata "seandainya saya hati-hati."

Tahap depresi, pada tahap ini individu menunjukkan sikap menarik diri,

kadang-kadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih, turunnya libido. Tahap penerimaan, Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke depan. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan yang damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

Sedangkan menurut Bowlby dan Park (1970) serta Davidson (1984) dalam Bobak (2005), tahap berduka dapat diidentifikasi menjadi empat dimensi berduka, yaitu:

Syok dan hilang rasa, dialami orang tua ketika mereka mengungkapkan perasaan

(7)

dapat

diinterupsi oleh letupan emosi. Pengambilan keputusan sulit dilakukan pada fase «

(8)

ini dan fungsi normal menjadi terganggu. Fase ini mendominasi selama 2 minggu pertama setelah kehilangan. Para orang tua mengatakan bahwa mereka seperti berada dalam mimpi buruk dan mereka akan bangun dan segala sesuatunya akan menjadi baik.

Mencari dan merindukan, dapat diidentifikasi sebagai perasaan gelisah, marah,

bersalah dan mendua (ambiguitas). Dimensi ini merupakan suatu kerinduan akan sesuatu yang dapat terjadi dan merupakan proses pencarian jawaban mengapa kehilangan terjadi. Fase ini terjadi saat kehilangan terjadi dan memuncak 2 minggu sampai 4 bulan setelah kehilangan. Orang tua mengatakan bahwa mereka begitu ingin memeluk bayinya, mereka bangun karena mendengar suara bayi menangis dan mereka mengalami mimpi yang mengganggu. Disorganisasi,

diidentifikasi saat individu yang berkabung mulai berbalik, dari menguji apa yang nyata menjadi sadar terhadap realitas kehilangan. Perasaan tertekan, sulit konsentrasi pada pekerjaan dan penyelesaian masalah, dan perasaan bahwa ia merasa tidak nyaman dengan kondisi fisik dan emosinya yang muncul. Fase ini memuncak sekitar 5 sampai 9 bulan dan secara perlahan menghilang. Banyak orang tua merasa bahwa mereka tidak akan pernah keluar dari rasa kehilangan, kehilangan pikiran mereka dan merasa nyeri secara fisik. Reorganisasi, terjadi bila individu yang berduka dapat berfungsi di rumah dan di tempat kerja dengan lebih baik disertai peningkatan harga diri dan rasa percaya diri. Individu yang berduka memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan baru dan menempatkan kehilangan tersebut dalam perspektif. Reorganisasi memuncak setelah tahun pertama.

(9)

12

Adapun jenis-jenis berduka adalah : Berduka normal, terdiri dari perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan seperti kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktifitas untuk

sementara.

Berduka antisipatif, yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum

kehilangan yang sesungguhnya terj adi.

Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap

berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berduka seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan individu tersebut dengan orang lain.

Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui

secara terbuka.

Berduka juga dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan (Bobak, 2005) yaitu:

Berduka ringan (uncomplicated bereavement), yaitu merasakan kesedihan

tetapi masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan meskipun tidak dengan antusiasme dan energi sebesar sebelum kehilangan. Seseorang yang mengalami berduka ringan tidak mengalami depresi dan merasa lebih baik seiring waktu.

Berduka Berat (complicated bereavement), kesulitan yang dialami individu

dalam berduka atau eksaserbasi masalah-masalah sebelumnya yang menjadi semakin berat selama proses berkabung, seperti:

(10)

Mengalami gejala cemas dan depresi yang mempengaruhi fungsi sosial/keluarga, pekerjaan dan kesehatan fisik.

Memiliki pikiran bunuh diri terus-menerus, yang hampir menjadi konstan atau mengungkapkan keinginan yang serius untuk bunuh diri atau mengembangkan suatu rencana untuk bunuh diri.

Berhenti pada fase mencari dan merindukan yang terbukti oleh rasa marah yang persisten, rasa bersalah atau pemikiran obsesif tentang kehilangan.

Penyalahgunaan bahan kimiawi pengubah perasaan secara berlebihan.

Mengalami kesulitan dalam berhubungan (dengan pasangan, anak-anak, keluarga, dan orang lain).

Wanita yang mengalami abortus beresiko mengalami depresi 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami abortus (Neugebauer, et al, 1997 dalam Amir, 2005). Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan individu tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas, dan tidak dapat dimengerti orang lain.

Proses berduka membuat individu mengalami gejala berduka (Bobak, 2005) yaitu:

Efek fisik yaitu letih, selera makan hilang, masalah tidur, kurang tenaga, berat

badan menurun/meningkat, nyeri kepala, pandangan kabur, sulit bernafas, palpitasi, gelisah.

Efek emosional dan psikologis yaitu menyangkal, rasa bersalah,

(11)
(12)

gagal menerima kenyataan, terpaku pada kematian, konfusi waktu (time confusion), iritabilitas (mudah tersinggung).

Efek sosial yaitu menarik diri dari aktivitas normal, isolasi (emosi dan fisik) dari

pasangan, keluarga dan teman-teman.

Stres pada wanita yang mengalami abortus dapat disebabkan karena wanita tersebut tidak mengetahui apa yang terjadi pada janinnya dan prosedur perawatan yang mengharuskan wanita tersebut beristirahat di tempat tidur tanpa penjelasan lebih lanjut (Llewellyn-Jones, 2005).

Pada wanita yang mengalami abortus untuk pertama kalinya akan timbul kekhawatiran bahwa mereka tidak dapat memiliki anak lagi. Rasa marah juga dapat timbul setelah kehilangan kehamilan. Perasaan ini dapat ditujukan pada diri wanita itu sendiri ataupun kepada orang-orang disekitamya termasuk kepada profesional kesehatan (Henderson & Jones, 2006).

Worden (1991 dalam Bennett & Brown, 1999) mengidentifikasi empat tahap tugas individu yang berduka yaitu menerima realitas kehilangan, menerima sakitnya rasa duka, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan melanjutkan kehidupan (reorganisasi).

3. Koping

3.1 Pengertian

Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan keinginan yang akan dicapai dan respon terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi diri individu (Mustikasari, 2007).

(13)

15

Keliat (1999) mendefenisikan koping sebagai cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam.

Sedangkan menurut Lazarus (1985, dalam Mustikasari, 2006) koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal khususnya yang melelahkan atau melebihi sumber individu.

3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koping

Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu meliputi (Fachri, 2009):

Kesehatan fisik, kesehatan merupakan hal yang penting karena selama dalam

usaha mengatasi stres, individu dituntut untuk mengarahkan tenaga yang cukup besar.

Keyakinan atau pandangan yang positif, keyakinan menjadi sumber daya

psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of

control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan

(helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping yang berfokus

pada masalah.

Keterampilan memecahkan masalah, keterampilan ini meliputi kemampuan

untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan altematif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai dan akhirnya

(14)

Keterampilan sosial, ketnampuan ini meliputi kemampuan berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

Dukungan sosial, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan

kebutuhan

informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitamya.

Materi, dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang, atau layanan

yang biasanya dapat dibeli.

3.3 Klasifikasi Koping

Menurut Lazarus dan Folkman (1985, dalam Keliat, 1999) koping dapat dikaji dari berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial yaitu: Koping

berorientasi pada masalah (tugas), mencakup penggunaan kemampuan kognitif

untuk mengurangi stres, memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, dan memenuhi kebutuhan. Perilaku berorientasi tugas memberdayakan seseorang untuk secara realistik menghadapi tuntutan stresor. Tiga tipe umum perilaku yang berorientasi pada tugas adalah perilaku menyerang, perilaku menarik diri, dan perilaku kompromi.

Koping berorientasi pada emosi (Mekanisme pertahanan ego), adalah perilaku

tidak sadar yang memberikan perlindungan psikologis terhadap peristiwa yang menegangkan. Mekanisme ini digunakan untuk membantu melindungi dari perasaan tidak berdaya. Kadang mekanisme pertahanan diri dapat menyimpang

(15)
(16)

Menurut Stuart (2007); Stuart & Sundeen (1995 dalam Mustikasari 2006) menggolongkan koping menjadi dua, yaitu :

Koping Adaptif, adalah koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,

belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang, dan aktifitas konstruktif.

Koping Maladaptif, adalah koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah

pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/ tidak makan, bekerja berlebihan, dan menghindar.

Respon maladaptif adalah respon kronis dan berulang atau pola respon sesuai dengan berjalannya waktu tidak menunjukkan sasaran adaptasi. Sasaran adaptasi dapat dikategorikan kedalam tiga area yaitu fisik, psikologis, dan sosial. Respon maladaptif yang membahayakan sasaran tersebut meliputi kesalahan penilaian dan koping yang tidak memadai (Lazarus, 1991 dalam Murwani, 2008).

3.4 Koping Terhadap Kehilangan/ Abortus

Cara seseorang berespon terhadap kehilangan bergantung kepada usia, jenis kelamin, budaya, agama, status sosial ekonomi, cara individu lain di lingkungannya berespon terhadap kehilangan dan koping individu tersebut terhadap kehilangan sebelumnya (Bobak, 2005).

Sedangkan Hidayat (2006) menyatakan bahwa koping seseorang terhadap kehilangan yang dihadapi dipengaruhi oleh :

(17)

18

Faktor Genetik, individu yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dengan

riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.

Kesehatan fisik, individu dengan kesehatan fisik yang baik serta pola hidup yang

teratur cenderung mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengatasi perasaan kehilangan dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan kesehatan fisik.

Kesehatan mental, Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang

mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan pesimis, akan sulit dalam menghadapi situasi kehilangan.

Pengalaman kehilangan di masa lalu, kehilangan atau perpisahan dengan orang

yang dicintai pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa.

Struktur kepribadian, individu dengan konsep diri yang negatif dan perasaan

rendah diri akan menyebabkan berkurangnya rasa percaya diri dan tidak objektif terhadap kehilangan yang dihadapi.

Adanya stresor perasaan kehilangan, stresor ini dapat berupa stresor yang nyata

ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti kehilangan biopsikososial.

Koping yang sering digunakan individu dengan respon kehilangan antara lain : pengingkaran, regresi, intelektualisasi, disosiasi, supresi dan proyeksi. Dalam keadaan yang patologis (maladaptif), koping yang digunakan sering secara

Referensi

Dokumen terkait

...Menteri Besar atau Ketua Menteri dilantik oleh raja atau Yang di-Pertua Negeri daripada kalangan Ahli Dewan Undangan Negeri (DUN) yang mendapat kepercayaan majoriti ahli

Dalam rangka kegiatan Sertifikasi Guru dalam Jabatan untuk guru-guru di lingkungan Departemen Agama (Depag), Panitia Sertifikasi Guru Rayon 15 telah melaksanakan Pendidikan dan

6.2.1.2 Jika Code Number runway adalah 1 dan non instrumen, runway threshold terletak tidak kurang dari 30 meter setelah suatu titik dimana pendekatan permukaan

Berikut hasil wawancara pada tahap pengecekan kembali penyelesaian. Berdasarkan hasil wawancara di atas, Subjek mampu melaksanakan tahap pengecekan kembali pada penyelesaian

Penyarian Cannabis sp menggunakan teknik maserasi dengan pelarut yang berbeda juga memberikan perbedaan profil fingerprint HPTLC (Gambar 3).. Perbedaan kelarutan cannabinoid

Pasal 153 ayat (6) Undang-undang Ketenagakerjaan yang memuat hak pekerja atau larangan yang tidak dapat dijadikan alasan PHK oleh pengusaha, yaitu pada pekerja

Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui pengaturan larangan impor beras saat musim panen di Indonesia melanggar ketentuan WTO atau tidak dan penyelesaian keberatan

Gambar 3.53 Sebaran salinitas air laut pada kedalaman 500 m yang diinterpolasi dari seluruh data suhu hasil pengukuran dengan sensor CTD pada bulan April 2012 (Sumber: Analisis