K
K
O
O
N
N
S
S
E
E
P
P
S
S
I
I
E
E
N
N
E
E
R
R
G
G
I
I
H
H
I
I
J
J
A
A
U
U
Sistem Penyediaan & Pemanfaatan Energi Yang Berkelanjutan Tujuan Nasional: Pembangunan Berkelanjutan • RUU Pemanfaatan Energi• Kewajiban ET & Komitmen EPE • Penyuluhan, Kampanye • Insentif/Disinsentif • Pemberlakuan • Penyertaan Modal •Community Based • CDM, Mikro Kredit • Partisipatif a.l. DSM, teknologi
tepat guna • Sebesar-besar produksi dalam negeri •Legislasi •Regulasi •Edukasi •Perpajakan •Standarisasi •Pendanaan •Partisipasi - Peralatan - Konstruksi & Konsultansi • DPR • Pemerintah • Produsen Energi • Konsumen Energi • Unsur Pendukung - Industri - Jasa Metoda (M) Obyek (O) Subyek (S) Sistem Penyediaan & Pemanfaatan Energi Saat ini UNFCCC Kyoto Protocol AFTA 2003 APEC 2020 Otoda Global Regional Nasional
Pengaruh Lingkungan Strategis POLA PIKIR POLA PIKIR
PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN ENERGI BERKELANJUTAN PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN ENERGI BERKELANJUTAN
-UUD 1945
-Tap MPR No 9/2001 ttg Pembaharuan Agraria & Pengelolaan SDA
Paradigma Nasional
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE)
2 ET : Energi Terbarukan EPE : Efisiensi Pemanfaatan
Energi
Alur Pikir
Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Berkelanjutan (“Energi Hijau”)
Energi Surya Sumberdaya Energi Panas Bumi Hidro Energi Angin Biomassa Kalor Mekanis Energi Samudera Cahaya Terbarukan
Fosil (Tak Terbarukan)
Rumah Tangga Industri Transportasi Komersial Bangunan & Konstruksi Regional : Pemda Sektoral : Gas dan Bahan Bakar Cair serta Padat
Konsumen Produsen Energi
Pemanfaatan Energi
Pendukung : Industri dan Jasa Penunjang
Teknologi Bersih
Teknologi Konversi yang Efisien Budaya yang Hemat Energi
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE)
5
Kolektor surya Modul fotovoltaik Otec Sel tunam/fuel cell Generator Turbin ØAir Øangin ØKukus/stem ØGas Ketel kukus/steam Motor bakar Konversi kimia Listrik
KONSEPSI ENERGI HIJAU
1. LATAR BELAKANG1.1 Kondisi Saat Ini
1. Energi fosil khususnya minyak bumi merupakan sumber energi utama dan sumber devisa
negara. Kenyataan menunjukkan bahwa cadangan energi fosil yang dimiliki Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan cadangan dunia. Sementara itu, konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk yang menyebabkan masalah penyediaan energi di masa datang.
2. Potensi energi terbarukan sangat besar seperti biomasa, panas bumi, energi surya,
energi angin, energi samudera namun sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat kecil. Hal ini terutama disebabkan harga energi terbarukan belum kompetitif bila dibandingkan dengan harga energi fosil. Belum kompetitifnya energi terbarukan disebabkan di antaranya oleh penerapan kebijaksanaan harga energi yang selama ini diperlakukan.
3. Pemberlakuan kebijakan subsidi harga energi yang cukup lama, menyebabkan pula
pemakaian energi di semua sektor relatif tidak efisien. Hal ini terlihat dari intensitas energi yang masih tinggi. Pada tahun 1998 mencapai 392 TOE/juta US $, sedangkan rata-rata ASEAN adalah 364 TOE/juta US$, dan rata-rata negara maju adalah 202 TOE/juta US$.
4. Teknologi pemanfaatan energi fosil selama ini relatif tidak ramah lingkungan, sehingga
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Kesadaran masyarakat akan lingkungan semakin tinggi, sehingga teknologi energi yang tidak ramah lingkungan akan ditinggalkan, sedangkan teknologi energi yang ramah terhadap lingkungan akan menjadi salah satu pilihan untuk dimanfaatkan. Namun demikian pertimbangan aspek lingkungan saja dalam pemilihan teknologi energi tidak cukup. Pemilihan teknologi harus didasarkan juga pada aspek ekonomi dan efisiensinya, sehingga jenis teknologi energi yang dipilih adalah yang paling optimal ditinjau dari segi aspek ekonomi dan lingkungan.
5. Untuk merespon kondisi keenergian tersebut di atas, pada bulan Juni 2002 Direktorat
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi bersama stakeholders telah meluncurkan inisiatif energi
hijau, yaitu perpaduan konsep antara energi terbarukan, energi efisien dan energi bersih agar dapat tercipta pembangunan energi berkelanjutan sehingga dapat mendukung pembangunan berkelanjutan.
1.2 Lingkungan Strategis
6. Adanya perubahan lingkungan strategis di tingkat nasional, regional dan global seperti
otonomi daerah, diberlakukannya AFTA 2003, APEC 2020, dan Kyoto Protocol, akan mempengaruhi paradigma dalam penyediaan dan pemanfaatan energi di masa mendatang.
7. Perkembangan dunia yang sangat berpengaruh terhadap arah pembangunan energi
adalah globalisasi terutama diterapkannya perdagangan bebas (trade liberalization) AFTA pada
tahun 2003 dan APEC tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Dengan diterapkannya perdagangan bebas akan mendorong terjadinya persaingan antara sesama negara, baik antara negara maju dengan negara maju, negara maju dengan negara berkembang maupun antara negara berkembang dengan negara berkembang lainnya.
Implikasinya adalah daya saing semua produk Indonesia harus ditingkatkan, agar dapat berkompetisi di pasaran dalam negeri dan internasional dan dapat mengurangi masuknya impor produk-produk dari luar negeri.
8. Dengan adanya era perdagangan bebas seperti diuraikan di atas, selain dapat membuka
peluang bagi produk-produk Indonesia di pasaran internasional, juga membuka peluang untuk ekspor jasa dan teknologi energi. Peluang ini perlu diantisipasi secara lebih mendasar, mengingat sampai saat ini pemikiran ke arah itu belum mendapat perhatian yang memadai.
9. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom maka wewenang pengembangan energi yang tadinya berada dalam kewenangan Pemerintah Pusat beralih kepada Pemerintah Daerah. Oleh karena itu kebijaksanaan energi harus mempertimbangkan keselarasan antara kepentingan daerah dan nasional.
10. Berdasarkan PP No. 25 tahun 2000 tersebut, Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan
untuk mengeluarkan kebijaksanaan diversifikasi energi, konservasi energi, intensifikasi energi dan harga energi.
11. Kegiatan-kegiatan pembangunan di sektor energi, sejak dari penyediaan sampai kepada
pemanfaatannya, berpotensi merusak fungsi lingkungan hidup. Kerusakan yang ditimbulkannya dapat mencakup kawasan lokal, regional, bahkan global dan yang tidak kalah penting adalah dampaknya pada perubahan iklim.
12. Perubahan iklim dunia, yang diyakini oleh sebagian besar pakar lingkungan dunia sebagai
salah satu dampak pemanasan global, merupakan suatu isu kerusakan lingkungan hidup yang dapat disebabkan terutama karena pemanfaatan energi oleh manusia di muka bumi ini. Dalam
masalah pemanasan global ini, Indonesia telah meratifikasi United Nation Framework Convention
on Climate Change melalui Undang Undang No. 6 tahun 1994. Dengan demikian, pembangunan
bidang energi harus benar-benar memperhatikan aspek lingkungan hidup yang mengacu pada Undang-undang No.6 tahun 1994 tentang Konvensi Perubahan Iklim, Undang-undang No.23 tahun 1997, Pengendalian Pencemaran Udara (Program Langit Biru), prosedur Amdal dan Penataan Ruang, sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat tercapai.
13. Kesadaran masyarakat akan lingkungan semakin tinggi, sehingga teknologi energi yang
tidak ramah lingkungan akan ditinggalkan, sedangkan teknologi energi yang ramah terhadap lingkungan akan menjadi salah satu pilihan untuk dimanfaatkan. Namun demikian pertimbangan aspek lingkungan saja dalam pemilihan teknologi energi tidak cukup. Pemilihan teknologi harus didasarkan juga pada aspek ekonomi dan efisiensinya, sehingga jenis teknologi energi yang dipilih adalah yang paling optimal ditinjau dari segi aspek ekonomi dan lingkungan.
1.3 Konsepsi Energi Hijau
14. Penyediaan dan pemanfaatan energi yang berkelanjutan dilaksanakan untuk mendorong
tercapainya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Mengingat pentingnya penyediaan dan pemanfaatan energi berkelanjutan tersebut, maka perlu disusun konsepsi energi hijau yang mengintegrasikan pemikiran-pemikiran dan program-program yang berkaitan dengan penyediaan dan pemanfaatan energi yang berkelanjutan.
15. Konsepsi energi hijau adalah sistem penyediaan dan pemanfaatan energi di tanah air merupakan satu kesatuan konsep penyediaan energi untuk masa kini dan masa mendatang, untuk memenuhi kebutuhan energi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan energi generasi mendatang dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan definisi Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan nasional saat ini serta mampu mengkompromikan kebutuhan generasi mendatang.
16. Untuk mewujudkan Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Berkelanjutan diperlukan
kemandirian, antara lain :
(a) kemandirian finansial, yaitu sektor energi hijau yang tidak memerlukan bantuan pendanaan
dari sektor lain. Pembiayaannya dapat dilakukan sendiri.;
(b) kemandirian teknologi, yaitu makin meningkatnya kemampuan teknologi nasional dalam
penyediaan barang dan jasa sehingga kandungan lokal teknologi nasional dalam sistem energi makin besar.
(c) kemandirian Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu makin meningkatnya kemampuan SDM
dalam negeri dalam bidang energi.
2. RUANG LINGKUP
17. Energi hijau merupakan perpaduan antara pemanfaatan energi terbarukan yang
maksimal, pemanfaatan energi yang efisien, dan penggunaan teknologi energi bersih untuk mendukung penyediaan energi berkelanjutan.
2.1 Energi Terbarukan
18. Energi terbarukan adalah energi yang pada umumnya sumberdaya non fosil yang dapat
diperbaharui dan apabila dikelola dengan baik maka sumberdayanya tidak akan habis. Jenis energi terbarukan meliputi biomasa, panas bumi, energi surya, energi hidro, energi angin dan samudera.
19. Di lihat dari tingkat perkembangannya, pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia,
dapat dibedakan pada tiga tingkat perkembangan, yaitu :
(a) sudah dikembangkan secara komersial (biomassa, panas bumi dan tenaga air); (b) sudah dikembangkan tetapi masih terbatas (surya, angin); dan
(c) perkembangannya baru pada tahap penelitian(energi samudara).
20. Energi biomasa meliputi kayu, limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik
dari industri dan rumah tangga, kotoran manusia dan hewan. Biomasa dikonversi menjadi energi dalam bentuk bahan bakar cair, gas, panas, dan listrik. Teknologi konversi biomasa menjadi bahan bakar cair dan gas antara lain teknologi pirolisa (bio oil), esterifikasi (bio diesel), teknologi fermentasi (bio etanol), anaerobik digester (biogas), dan gasifikasi. Sedangkan teknologi konversi biomasa menjadi energi panas dan listrik antara lain teknologi pembakaran, dan gasifikasi.
21 Indonesia sebagai negara agraris mempunyai potensi energi biomassa yang cukup
besar. Diperkirakan potensi seluruh energi biomassa setara dengan 50.000 MW. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama digunakan dan termasuk energi tertua yang peranannya
cukup besar khususnya di daerah perdesaan. Diperkirakan ± 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari biomassa. Energi yang dihasilkan telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk kebutuhan rumah tangga (memasak dan industri rumah tangga), penggerak mesin penggilingan padi, pengering hasil pertanian dan industri kayu, pembangkit listrik pada industri kayu dan gula.
22. Energi angin dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik antara lain untuk listrik perdesaan, pompa air dan pengisian baterai (battery charging) , dan keperluan mekanik
antara lain untuk pemompaan air dan aerasi tambak ikan/udang. Potensi energi angin secara
umum relatif kecil karena kecepatan angin pada umumnya relatif rendah berkisar antara 3-5 m/detik. Tetapi di beberapa daerah tertentu khususnya di Kawasan Timur Indonesia, kecepatan anginnya lebih dari 5 m/detik. Diperkirakan potensi energi angin setara dengan 450.000 MW. Meskipun secara umum kecepatan angin rendah, namun sudah memadai untuk pembangkit listrik skala kecil yang sesuai dipasang di daerah perdesaan dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik perdesaan. Sedangkan untuk daerah-daerah yang kecepatan anginnya tinggi, maka pembangkit listrik skala besar akan dimungkinkan untuk dikembangkan. Pembangkit Listrik Tenaga Angin saat ini relatif masih sedikit, diperkirakan ± 0,5 MW telah terpasang khususnya untuk listrik perdesaan.
23. Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang relatif baik
dengan radiasi harian matahari rata-rata 4,8 kWh/m2. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut maka ada 2 teknologi yang sudah diterapkan yaitu teknologi energi surya thermal dan energi surya fotovoltaik.
24. Energi surya thermal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya),
pengering hasil pertanian dan perikanan, pemanas air. Energi surya thermal untuk memasak dan pengering hasil-hasil pertanian dan perikanan sangat terbatas, sedangkan sebagai pemanas air sudah mencapai tahap komersial. Energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan, pompa air, televisi, telekomunikasi dan lemari pendingin di Puskesmas dengan
kapasitas total ±5 MW. Pemanfaatan energi surya khususnya dalam bentuk SHS (Solar Home
Systems) sudah mencapai tahap semi komersial.
25. Tenaga air dibagi dalam air skala besar, mini, dan mikro. Belum ada ketentuan secara jelas
mengenai pembagian skala tersebut, setiap negara mempunyai ukuran yang berbeda. Namun secara umum hidro skala besar mempunyai kapasitas di atas 10 MW, mini berkapasitas 200 kW sampai 10 MW, dan mikro berkapasitas sampai 200 kW.
26. Potensi tenaga air di seluruh Indonesia secara teoritis diperkirakan sekitar 75.000 MW
yang tersebar pada 1.315 lokasi. Tenaga air merupakan salah satu potensi sumber energi yang cukup besar dan pemanfaatannya masih di bawah potensinya. Dari potensi tersebut diperkirakan sebesar 34.000 MW dapat dikembangkan untuk pusat pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas cukup besar yaitu 100 MW ke atas.
27. Pemanfaatan tenaga air skala besar untuk pembangkit tenaga listrik sampai dengan tahun
2000 mencapai 4.208 MW atau hanya sekitar 5,6 % dari potensi yang ada. Namun demikian, potensi tenaga air yang berada di Pulau Jawa telah dikembangkan secara optimal, yaitu telah
dikembangkan sekitar 2.389 MW atau 53 % dari potensi total yang ada.Sedangkan untuk mini dan
mikrohidro potensinya sekitar 460 MW, dan yang sudah dimanfaatkan sekitar 64 MW yang pada umumnya dimanfaatkan untuk melistriki daerah perdesaan setempat.
28. Panas bumi dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung sebagai pemansa dan pengering hasil pertanian/perkebunan, sterilisasi media tanam jamur, pemandian air panas untuk pariwisata, dll. Sedangkan pemanfaatan tidak langsung, uap panas bumi dikonversi menjadi listrik.
29. Sebagai daerah vulkanik, potensi panas bumi cukup baik dan terdapat di sepanjang
pulau Sumatra, Jawa-Bali, NTT, NTB menuju kepulauan di Laut Banda, Halmahera dan Pulau Sulawesi. Berdasarkan penelitian bahwa di sepanjang jalur tersebut terdapat 70 daerah sumber energi panas bumi yang mempunyai prospek untuk dikembangan dengan potensi total sebesar 19.658 MW dengan perincian 5.331 MW di P. Jawa, 9.562 MW di P. Sumatra dan sisanya sebesar 4.765 MW tersebar di Sulawesi dan kepulauan lainnya. Dari potensi tersebut, energi panas bumi yang sudah dimanfaatkan saat ini relatif masih kecil yaitu 802 MW ( 4%). Pengembangan panas bumi masih mengalami hambatan terutama dikarenakan jarak sumber panas bumi yang jauh dari pusat pengguna, harga uap yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan energi konvensional,dan kedalaman sumber yang melebihi 1000 m.
30. Secara umum potensi energi samudera cukup baik namun masih memerlukan
penelitian secara mendalam mengenai potensinya belum tuntas. Energi yang dapat dimanfaatkan dari samudera terdiri atas beberapa jenis yaitu energi gelombang, energi pasang surut, dan energi yang berasal dari perbedaan suhu air laut.
31. Energi yang terkandung dalam gelombang cukup besar, yaitu rata-rata pada garis depan
gelombang besarnya sekitar 20-70 kW/m. Dengan kata lain, pantai sepanjang 1 km dapat menerima daya sekitar 20-70 MW. Jika daya tersebut dikonversikan menjadi listrik dengan efisiensi 50% maka akan dihasilkan listrik sebesar 10-35 MW. Pada saat ini sedang dikaji proyek percontohan pembangkit listrik tenaga gelombang di pantai Baron Yogyakarta dengan kapasitas 1,1 MW. Meskipun potensi energi pasang surut dan perbedaan suhu secara umum cukup memberikan harapan yang baik, namun penelitian lebih lanjut perlu terus dilakukan.
2.2 Pemanfaatan energi yang efisien
32. Pemanfaatan energi yang efisien adalah peningkatan efisiensi energi melalui penggunaan
teknologi dan budaya hemat energi. Pemanfaatan energi yang efisien dapat dicapai melalui kegiatan :
a) Penggunaan teknologi hemat energi dalam penyediaan baik dari sumber terbarukan
maupun tak terbarukan.
b) Penerapan budaya hemat energi dalam pemanfaatan energi.
yang penerapannya meliputi perencanaan, pengoperasian, dan pengawasan dalam pemanfaatan energi.
33. Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya intensitas energi Indonesia relatif
tinggi. Pada tahun 1998 mencapai 392 TOE/Juta US$, sedangkan rata-rata ASEAN adalah 364 TOE/Juta US$, dan rata-rata negara maju adalah 202 TOE/Juta US$.
34. Potensi penghematan energi di semua sektor cukup besar yaitu antara 10% -30%.
Dengan cara ini penghematan yang dapat dicapai sekitar 10-15%, sedangkan apabila dengan menggunakan investasi penghematan dapat mencapai 30%.
2.3 Energi yang Bersih
35. Energi yang bersih yaitu pemanfaatan energi dengan suatu teknologi tertentu yang
mampu meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan seperti teknologi batubara bersih
(clean coal technology), teknologi pembakaran rendah polusi, penukar panas dan dapur
berefisiensi tinggi, sel bahan bakar (fuel cell), dan nuklir.
36. Salah satu teknologi batubara bersih adalah gasifikasi batubara yang mempunyai
efisiensi sekitar 50%-60%. Di Indonesia, teknologi ini masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Sedangkan teknologi batubara bersih lainnya yang sudah diterapkan di PLTU
Freeport adalah FGD (Flue Gas Desulphurization). Teknologi pembakaran rendah polusi antara
lain fluidized bed yang menggunakan batubara di Indonesia belum dikembangkan, namun yang menggunakan biomasa dengan kapasitas kecil sudah digunakan pada beberapa pabrik teh sebagai pengering. Untuk teknologi penukar panas dan dapur berefisiensi tinggi belum diterapkan di Indonesia, sedangkan teknologi fuel cell juga masih dalam tahap penelitian, dan nuklir masih dimanfaatkan untuk keperluan penelitian.
3. VISI DAN MISI
3.1 Visi
37. Visi energi hijau adalah terwujudnya penyediaan dan pemanfaatan energi yang efisien,
bersih, handal, terjangkau dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
3.2 Misi
38. Berdasarkan visi tersebut di atas, misi energi hijau adalah :
a) Menjaga kesinambungan ketersediaan energi nasional (security of supply) yang
berkelanjutan;
b) Memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan.
c) Mendorong pemanfaatan teknologi yang efisien dan bersih.
d) Mendorong terciptanya budaya hemat energi.
e) Meningkatkan penguasaan teknologi energi hijau yang andal, aman, akrab lingkungan,
dan efisien.
f) Mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
4. TUJUAN DAN SASARAN
39. Tujuan energi hijau adalah untuk mewujudkan penyediaan dan pemanfaatan energi
40. Sasaran yang hendak dicapai adalah :
a) meningkatnya ketahanan nasional di dalam pengelolaan sistem energi, khususnya untuk
pemenuhan kebutuhan energi masa kini dan masa mendatang (security of supply).
b) terjaminnya penyediaan sumberdaya energi yang berkelanjutan; sehingga dapat
menjamin pola penyediaan yang dapat dipertahankan sehingga dapat mendukung terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu pemakaian energi terbarukan 78,500 juta SBM pada tahun 2010;
c) tercapainya pola pemanfaatan energi yang efisien, beragam, aman, andal dan akrab
lingkungan. Agar pemakaian energi makin efisien, diharapkan terjadi penurunan intensitas penggunaaan energi sebesar 1% per tahun.
5. STRATEGI
41. Untuk mencapai tujuan dan sasaran energi hijau diperlukan strategi sebagai berikut :
a) Menetapkan harga energi sesuai dengan keekonomiannya.
b) Mendorong pengembangan infrastruktur energi hijau
c) Memprioritaskan penggunaan energi terbarukan setempat
d) Menerapkan prinsip-prinsip hemat energi dalam manajemen energi
e) Menerapkan teknologi energi bersih
f) Membudayakan sikap hidup hemat energi.
g) Meningkatkan peran stakeholder dalam pemanfaatan energi hijau
h) Meningkatkan kerjasama di tingkat nasional, regional, dan internasional terutama dalam
rangka akses informasi, pendanaan, dan alih teknologi.
i) Mendorong penggunaan barang dan jasa dalam negeri di bidang energi hijau.
j) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang energi hijau
k) Meningkatkan usaha penunjang energi hijau di dalam negeri
l) Meningkatkan akses masyarakat terhadap energi.
6. KEBIJAKAN 6.1 Fokus Kebijakan
42. Agar strategi energi hijau dapat terlaksana maka perlu disusun kebijakan-kebijakan sebagai berikut :
a. Kebijakan pemanfaatan energi terbarukan
b. Kebijakan investasi
c. Kebijakan Insentif
d. Kebijakan Harga Energi
e. Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia
f. Kebijakan Informasi
g. Kebijakan Harga Energi
h. Kebijakan Standardisasi dan Sertifikasi
i. Kebijakan Penelitian dan Pengembangan
j. Kebijakan Kelembagaan
a. Kebijakan Pemanfaatan Energi Terbarukan
43. Untuk mendukung penyediaan energi yang berkelanjutan, pemanfaatan energi
terbarukan khususnya untuk pembangkitan tenaga listrik ditingkatkan dengan memprioritaskan penggunaan energi primer terbarukan untuk pembangkitan tenaga listrik. Untuk itu setiap perusahaan pembangkit tenaga listrik diwajibkan untuk menggunakan sumber energi primer terbarukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a) sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) dari total kapasitas terpasang bagi
pembangkit tenaga listrik baru; dan
b) sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) dari total energi yang diproduksi bagi
pembangkit tenaga listrik yang sudah terpasang.
44. Kewajiban tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara membangun pembangkit sendiri
atau membeli dari perusahaan pembangkit tenaga listrik lain yang berada di wilayah Indonesia.
b. Kebijakan Investasi
45. Investasi di bidang energi hijau perlu terus ditingkatkan secara lebih merata dengan
memberi kesempatan seluas-luasnya seadil-adilnya bagi kalangan swasta, koperasi BUMN, dan BUMD. Selain itu, Pemerintah Daerah perlu didorong agar dapat menciptakan iklim investasi energi hijau agar dapat menarik investor dari dalam dan luar negeri.
46. Untuk mendorong investasi di bidang energi hijau perlu adanya beberapa kebijakan di
antaranya adalah :
a) Penciptaan iklim investasi yang memberikan rangsangan dalam segi finansial, moneter
dan fiskal;
b) Pemberian insentif investasi berupa mekanisme sistem investasi yang kondusif dan suku
bunga rendah ;
c) Meningkatkan sistem dan mekanisme kemitraan di antara stakeholder dalam penyediaan
c. Kebijakan Insentif
47. Pada saat ini, kegiatan di bidang energi hijau masih belum menarik. Untuk itu agar
kegiatan di bidang energi hijau dapat ditingkatkan perlu adanya berbagai insentif secara adil dan konsisten. Insetif yang diperlukan di antaranya adalah :
(a) Pemberian insentif pajak berupa penangguhan, keringanan dan pembebasan pajak
pertambahan nilai, serta pembebasan pajak bea masuk kepada perusahaan yang bergerak di bidang energi hijau
(b) Penghargaan kepada pelaku yang berprestasi dalam menerapkan prinsip program enegi
hijau
(c) Penghapusan pajak barang mewah terhadap peralatan energi hijau
48. Pemberian insentif fiskal dan non fiskal tertentu diatur melalui suatu Peraturan
Pemerintah.
d. Kebijakan Harga Energi
49. Salah satu penghambat belum berkembangnya energi hijau secara optimal adalah
adanya kebijakan subsidi harga energi yang selama ini diterapkan. Untuk itu agar energi hijau dapat bersaing dengan harga energi konvensional perlu ditempuh kebijakan yang menyangkut harga energi, di antaranya adalah :
a). Menghapus subsidi harga energi secara bertahap dan terencana
b). Memberlakukan kebijakan depletion premium, dan pemberlakuan carbon tax.
e. Kebijakan Standardisasi dan Sertifikasi
50. Standardisasi, sertifikasi dan akreditasi melalui benchmarking dengan Lembaga/industri
unggulan terus dikembangkan dan ditingkatkan agar dapat meningkatkan daya saing produk dan jasa Indonesia. Kebijaksanaan penerapan standar dengan penandaan dan labeling untuk produk-produk teknologi energi diterapkan dan disebarluaskan.
51. Dengan terciptanya standardisasi nasional diharapkan dapat memberikan rasa aman
pada konsumen, penghematan menyeluruh pada produsen dan dapat dijadikan llandasan oleh pemerintah dalam pembuatan peraturan.
52. Standardisasi akan diarahkan pada sistem manajemen mutu (ISO seri 9000) dan sistem
manajemen lingkungan (ISO seri 14000). Standar yang disusun berdasarkan pedoman perumusan yang pada umumnya mengacu kepada pedoman penyusunan standar yang berlaku internasional; tidak dibenarkan membuat ketentuan (standar wajib dan aturan teknis) yang dapat
menghambat aliran barang dari satu negara ke negara lainnya; dan menerapkan code of good
practices yang harus dinotifikasi oleh WTO.
53. Kegiatan standardisasi tidak dapat dipisahkan dengan akreditasi dan sertfikasi. Kegiatan
sertifikasi mempunyai fungsi yang penting terutama untuk memberikan kemudahan dalam pasar global; jaminan kualitas dalam perdagangan produk dan jasa; dan sebagai alat proteksi bagi masuknya produk bermutu rendah/tidak memenuhi standar.
f. Kebijakan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
54. Kualitas sumberdaya manusia ditingkatkan secara berkesinambungan untuk
mengantisipasi perkembangan yang makin menuntut kecanggihan teknologi, efisiensi dan produktivitas yang tinggi serta kearifan di dalam menangani masalah energi terutama proses penguasaan dan alih teknologi.
55. Peningkatan kualitas mutu sumberdaya manusia dilakukan melalui pendidikan dan
latihan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan industri yang terkait. Penguasaan iptek di bidang energi hijau perlu ditingkatkan sehingga mampu mengembangkan industri energi hijau dalam negeri yang tangguh dan meningkatkan profesionalisme sumberdaya manusia di bidang jasa dan teknologi energi yang mampu bersaing di pasaran internasional.
56. Untuk meningkatkan kualitas SDM, Pemerintah Daerah perlu melakukan kerjasama dan
memanfaatkan sarana-prasarana pelatihan Daerah lainnya serta diperlukan Kebijaksanaan Pemerintah sehingga dapat dihasilkan SDM yang berkualitas dan memenuhi standar nasional dan internasional.
g. Kebijaksanaan Sistem Informasi
57. Keberadaan dan fungsi pengelolaan informasi energi hijau secara berkesinambungan
terus ditingkatkan dan diterapkan terutama untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik dalam pembangunan energi hijau dan meningkatkan daya saing.
58. Data dan informasi yang efektif dan efisien perlu disusun dan dikelola secara terpadu.
Untuk itu perlu diciptakan Pusat Pengelolaan Data Energi Hijau (GreenEnergy Data Management
Center) yang mampu mengumpulkan, mencatat dan menghimpun informasi yang berkaitan
dengan masalah energi hijau dan unsur yang terkait dengannya. Hubungan antara pusat dan Daerah serta antar Daerah diperlukan adanya koordinasi sistem informasi secara terpadu.
h. Kebijakan Penelitian dan Pengembangan
59. Penelitian dan pengembangan di bidang energi hijau diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan nasional di bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dalam rangka pengembangan industri yang berkaitan dengan masalah jasa dan teknologi energi hijau melalui kerjasama dengan lembaga atau industri Litbang unggulan.
60. Pola pendekatan dilaksanakan secara serempak yang dimulai dengan memprioritaskan
masalah litbang yang berkaitan dengan :
a) teknologi energi terbarukan,
b) teknologi energi efisien;
c) teknologi energi bersih; dan
d) penggunaan produksi barang dan jasa dalam negeri (local content)
yang tangguh dan mempunyai daya saing tinggi melalui kerja sama dengan Lembaga atau industri litbang unggulan.
i. Kebijakan Kelembagaan
61. Fungsi lembaga yang menangani energi hijau perlu diperkuat. Untuk itu diperlukan
kebijakan beberapa kebijakan di antaranya :
a) Mengembangkan dan memperkuat jejaring energi hijau pada tingkat nasional, regional
dan internasional;
b) Penyebarluasan informasi tentang energi hijau melalui kampanye, pendidikan dan pelatihan, percontohan, dll.
6.2 Instrumen Kebijakan
62. Instrumen kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pembangunan energi
berkelanjutan adalah peraturan perundang-undangan; harga energi dan pendidikan dan persuasi.
63. Berdasarkan pengalaman selma ini, instrumen peraturan perundang-undangan yang
paling efektif adalah insentif perpajakan. Instrumen perpajakan yang memberikan insentif ke arah tercapainya sasaran energi hijau antara lain adalah : kredit investasi yang berbunga rendah, penangguhan pembayaran pajak pertambahan nilai, pembebasan bea masuk peralatan energi
hijau, dan tax holiday.
64. Untuk mendukung pengembangan energi hijau, instrumen kebijakan lainnya yang perlu
dilakukan adalah melalui instrumen harga energi, yaitu menerapkan harga energi sesuai dengan keekonomiannya dengan mempertimbangkan biaya lingkungan (ekternality). Selain itu
penerapan depletion premium, dan pemberlakuan carbon tax perlu juga dipertimbangkan.
65. Instrumen kebijakan pendidikan dan persuasi ditujukan untuk membuka inisiatif
masyarakat dalam mengimplementasikan energi hijau.
6.3 REGULASI
66. Untuk mengimplementasikan energi hijau perlu ada regulasi energi hijau yang
menyangkut regulasi (pengaturan) aspek bisnis, aspek keteknikan, dan aspek kewenangan pengaturan.
Regulasi Aspek bisnis
67. Tujuan Pengaturan aspek bisnis adalah untuk mengimplementasikan konservasi energi
dengan harga terjangkau (cost effective) sehingga akan mendukung lingkungan yang bersih
serta meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan serta teknologi energi bersih secara komersial yang aman dan akrab lingkungan.
68. Obyek yang diatur dalam pengaturan aspek bisnis adalah konsumen, produsen peralatan
energi industri penunjang, pengembang. Sedangkan aspek yang diatur adalah menyangkut perlindungan konsumen; pengusahaan; usaha penunjang; dan perlindungan lingkungan.
69. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara umum
telah mengakomodasi hak-hak konsumen yang sifatnya universal. Perlindungan Konsumen dilakukan melalui standardisasi produk dan instalasi/sistem energi untuk memberi jaminan bagi konsumen akan kualitas dan keselamatan produk, baik produk energi maupun produk
peralatan/sistem energi yang diproduksi dalam negeri maupun luar negeri, yang berhubungan dengan energi hijau.
70. Perumusan standar tersebut dilakukan dibawah koordinasi Direktorat Jenderal Listrik dan
Pemanfaatan Energi. Setiap pelaku usaha wajib menetapkan “standar mutu dan pelayanan” sesuai dengan indikator mutu dan pelayanan yang ditetapkan.
71. Setiap usaha penyediaan dan pemanfaatan Energi Hijau dapat dilakukan oleh badan
usaha BUMN, BUMD, Koperasi dan Swasta yang memiliki izin usaha. Pelaksanaan usaha harus memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Menteri Teknis, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta harus memenuhi persyartan administratif. Regulasi ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim kondusif bagi pengusahaan tersebut.Persyaratan teknis dan administrasi dibedakan atas perusahaan yang memproduksi listrik dan non listrik.
72. Kemudahan ini meliputi kemudahan memperoleh informasi yang menyangkut kebutuhan
dalam melakukan studi kelayakan investasi serta prosedur pelaksanaannya.
73. Usaha penunjang adalah usaha yang menunjang kegiatan yang berkaitan dengan
penyediaan dan pemanfaatan energi hijau terdiri dari usaha jasa penunjang dan industri penunjang. Usaha jasa penunjang ini meliputi kegiatan konsultasi, pembangunan dan pemasangan instalasi, pengujian instalasi, peralatan dan produk, pengoperasian dan pemeliharaan instalsi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta usaha lain yang terkait. Industri penunjang meliputi kegiatan memproduksi peralatan energi dan pemanfaatan energi sebagai komponen untuk mebangun instalasi. Pengaturan usaha penunjang ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa perencanaan, pembangunan, pemasangan, pengoperasian dan pemeliharaan instalasi serta penggunaan produk dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan sesuai lingkup kegiatannya.
74. Dalam upaya peningkatan penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan, pada tahap
awal untuk jangka waktu tertentu, harga energi listrik maupun non listrik yang berasal dari energi terbarukan mendapat perlakukan khusus berupa insentif untuk harga jual listrik berbahan bakar asal energi terbarukan dan subsidi untuk harga beli bahan bakar asal energi terbarukan.
75. Setiap usaha penyediaan dan pemanfaatan energi hijau harus melakukan dan
mengutamakan perlindungan lingkungan. Penyegaran sumber-sumber energi terbarukan yang telah dimanfaatkan dalam upaya menjaga keseimbangan ekologi harus termasuk dalam program usaha yang bersangkutan.
76. Penegakan Hukum dalam aspek bisnis ini dilakukan melalui pemberian sanksi baik
berupa sanksi administratif dan/atau sanksi pidana akan dikenakan pada pelaku usaha penyediaan dan pemanfaatan energi hijau yang melanggar peraturan yang ditetapkan. Untuk itu inspeksi dilakukan terhadap instalasi penyediaan dan pemanfaatan energi serta produk energi hijau.
Regulasi Keteknikan
77. Tujuan regulasi keteknikan adalah untuk menjamin penyediaan dan pemanfaatan energi
hijau yang berkualitas, aman, andal, akrab lingkungan, serta meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi serta menyediakan teknologi ET dan energi bersih yang handal serta informasi mengenai waktu kelayakan penerapannya.
78. Obyek pengaturan keteknikan ini menyakut produsen; konsumen; litbang; industri dan jasa penunjang; dan pengembang. Sedangkan aspek yang diatur adalah standarisasi produk dan instalasi/sistem energi hijau; kompetensi tenaga teknik; penggunaan teknologi; Efisiensi pemanfaatan energi pada peralatan, lengkapan dan pemanfaat listrik/energi; Pengoperasian dan pemeliharaan; Manajer energi (kompetensi keharusan memiliki manajer energi); dan Konsumen energi besar, konsumen dengan jumlah penggunaan energi tertentu.
79. Tujuan dari kegiatan standardisasi produk dan instalasi/sistem energi adalah untuk
memberi jaminan akan kualitas produk, baik produk energi maupun produk peralatan/sistem energi yang diproduksi dalam negeri maupun luar negeri, yang berhubungan dengan energi hijau serta menjamin keamanan pelaksana, pengoperasi, pengguna serta masyarakat sekitar yang tidak langsung terlibat dalam kegiatan tersebut.
80. Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menyangkut kesehatan, keamanan, keselamatan
dan fungsi lingkungan hidup diberlakukan menjadi standar wajib. Dalam permberlakuan standar wajib harus mempertimbangkan kesiapan produsen, kesiapan lembaga sertifikasi/Laboratorium penguji, prosedur dan mekanisme.
81. Kompetensi Tenaga Teknik Energi Hijau adalah kemampuan tenaga teknik untuk
mengerjakan suatu tugas dan pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan penyediaan dan pemanfaatan Energi Hijau yang dilandasi oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja. Tenaga teknik Energi Hijau dibedakan atas tenaga teknik yang berhubungan dengan energi hijau untuk memproduksi listrik atau produksi non listrik, atau tenaga teknik yang berhubungan dengan peningkatan efisiensi pemanfataan energi. Standardisasi kompetensi teknik dilakukan agar dapat menunjang usaha penyediaan dan pemanfaatan Energi hijau melalui peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
82. Pengaturan dalam penggunaan teknologi bertujuan untuk memberi kesempatan bagi
perkembangan teknologi lokal untuk pada waktunya dapat bersaing dengan teknologi impor dengan memperhatikan serta mempertimbangan urgensi serta kepentingan nasional agar kemandirian nasional dalam konsep pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Pengaturan dilakukan melalui penyaringan teknologi impor berdasarkan pada prinsip kelayakan, kehandalan, kandungan lokal, masa operasi, dampak lingkungan, ekonomi dan sosial.
83. Tiap peralatan dan pemanfaat listrik/energi mencantumkan tingkat efisien pemanfaatan
energinya seperti pencantuman label efisiensi energi, sehingga konsumen mempunyai pilihan dalam penggunaan peralatan dan pemanfaat tersebut dimana kebenaran tingkat efisiensi tersebut didasarkan pada hasil uji laboratorium.
84. Dalam kegiatan penyediaan dan pemanfaatan energi hijau yang berhubungan dengan
ketenagalistrikan maka peraturan mengenai pengoperasian dan pemeliharaannya merujuk pada peraturan yang berlaku dibidang ketenagalistrikan.
85. Tujuan pengaturan mengenai keharusan memiliki manager energi adalah untuk
Regulasi Kewenangan Pengaturan
86. Kewenangan kelembagaan yang mengatur energi perlu dirumuskan. Kelembagaan yang
memegang fungsi penting bagi implementasi energi hijau adalah :
1). Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral selaku otoritas pembuatan kebijakan bidang energi
2). Departemen Keuangan selaku otoritas pembuatan kebijakan fiskal
3). Badan-badan dan Pusat-pusat Penelitian dan Pengembangan sebagai pelaku kegiatan penelitian dan pengembangan
4). Perguruan Tinggi dan Badan Diklat sebagai pelaku pelaksana pendidikan di bidang energi hijau
5). Industri sebagai pemasok, konsumen energi serta pengguna dan pengembang teknologi energi dalam arti sesungguhnya.
7. PROGRAM
87. Dalam upaya mewujudkan Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Berkelanjutan melalui
pengembangan Energi Hijau maka diadakan program yang berkesinambungan dan terarah yang terdiri dari Program Jangka Pendek yaitu program yang pelaksanaannya selesai dalam rentang waktu hingga 5 tahun dan Program Jangka Panjang yaitu program yang pelaksanaannya selesai dalam rentang waktu 20 tahun.
7.1 Program Jangka Pendek (5 tahun)
88. Program Jangka Pendek mempunyai target yang ditentukan dengan mempertimbangkan
kondisi-kondisi pendukung seperti tingkat kesadaran pelaku, kondisi ekonomi, perkembangan teknologi dll.
Inisiatif Energi Hijau 16 a. Pemanfaatan Energi Terbarukan
q Pemanfaatan energi terbarukan pada sekurang-kurangnya 5% dari total kapasitas
terpasang pembangkit listrik
q Meningkatkan pasar energi terbarukan di daerah perdesaan maupun perkotaan
b. Investasi
q Mempromosikan program-program energi hijau kepada lembaga pendanaan, bank-bank,
dan lembaga penjamin di dalam dan luar negeri.
q Kerjasama dengan lembaga-lembaga pendanaan donor luar negeri
q Mengupayakan adanya kemudahan/kredit
q murah/mikrokredit
q Bantuan akses pada sumber pendanaan baik dari dalam maupun luar negeri
c. Insentif
q Menetapkan regulasi mengenai pemberian insentif, dalam bentuk insentif fiskal (PPN,
bea masuk, PPN-BM, dsb.)
q Menetapkan royalti energi hijau yang realistik dan mendorong pengembangannya
d. Harga Energi
q Melanjutkan penghapusan subsidi harga energi.
q Kebijakan Standardisasi/Sertifikasi
q Kebijakan Peningkatan Sumber Daya Manusia
e. Standardisasi dan Sertifikasi
q Penyusunan standard nasional peralatan energi hijau
q Pemberlakuan dan penerapan standard
q Melaksanakan sertifikasi barang dan jasa
q Penyusunan dan pemberlakuan standar kompetensi untuk pelaksana teknis
f. Sumberdaya
q Melaksanakan pelatihan dan pendidikan di dalam dan luar negeri, seminar, workshop,
bimbingan teknis, dll.
g. Informasi
q Menyusun pusat pengelolaan data energi hijau
q Menyebarluaskan informasi tentang pemanfaatan dan keunggulan teknologi energi hijau
melalui media cetak, elektronik, pameran, dan lain-lain untuk menarik minat masyarakat luas.
q Melaksanakan seminar, workshop, dll.
q Informasi program pengembangan teknologi energi hijau dimuat di website (growing
file).
h. Penelitian dan Pengembangan
q Penyusunan prioritas pengembangan teknologi energi hijau
q Memperluas sumber-sumber pendanaan untuk penelitian dan pengembangan energi
hijau
q Mengadakan program kemitraan antara lembaga penelitian dengan industri.
i. Kelembagaan
q Menciptakan jaringan kerjasama (networking) pengembangan energi hijau pada tingkat
nasional dan internasional
q Meningkatkan koordinasi antar lembaga di pusat dan daerah untuk pelaksanaan program
j.
Pengaturanq Menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan untuk memacu pemanfaatan
Energi Hijau, antara lain :
1. Rancangan Keputusan Bersama Menteri ESDM dan Menkeu mengenai insentif.
2. RUU Pemanfaatan Energi.
3. Keppres ttg. Pemanfaatan Energi Terbarukan Setempat.
4. Spesifikasi Produk Energi Terbarukan
7.2 Program Jangka Panjang (2020) :
90. Program jangka panjang antara lain merupakan lanjutan program jangka pendek, dan
program yang belum dapat dilaksanakan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun, yang meliputi antara lain kewajiban pemanfaatan energi terbarukan, komitmen energi efisiensi, dan harga energi. Program jangka panjang meliputi:
q Penerapan komitmen pelaku energi untuk NFFO (Non Fosil Fuel Obligation)
q Penerapan komitmen pelaku energi untuk melakukan efisiensi energi
q Terwujudnya Bank khusus untuk pembiayaan program-program Energi Hijau
q Memperkenalkan pajak karbon (Carbon Tax)
8. KELEMBAGAAN
91. Jejaring organisasi “Sektor Energi Hijau” dimaksudkan sebagai upaya perwujudan sinergi
dari semua pelaku (stakeholder) dalam mencapai target Program Energi Hijau. Adapun pelaku yang berperan dalam jejaring tersebut adalah :
8
8..1 1 Pemerintah ::
q Pembuat Kebijakan dan Regulasi :
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
cq. Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE)
cq. Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM), (khusus untuk Sumberdaya panas bumi)
q Penelitian, Pengembangan, dan Kajian
- Pusat Litbang Teknologi Energi dan Ketengalistrikan, Balitbang DESDM - Pusat Informasi Energi DESDM
- Pusat Teknologi Terapan Dirgantara, LAPAN
- Laboratorium Sumberdaya Energi (LSDE), BPP Teknologi - Direktorat Konversi dan Konservasi Energi, BPP Teknologi
q Pendidikan dan Latihan
Pusat Diklat Energi dan Ketenagalistrikan, Badiklat DESDM
q Pemanfaat Energi:
- Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi - Departemen Perindustrian dan Perdagangan
- Departemen Pendidikan Nasional c.q. Biro Perlengkapan dan Biro Kepegawaian
8.2 Pelaku Usaha
q BUMN :
- Pertamina (panas bumi)
- PT. PLN (Persero), (Panas bumi dan hidro) - Perum Jasa Tirta I dan II
- PT. Koneba (Jasa konsultansi Energi)
q
q SWASTA:IPP (Independent Power Producer)
8.3 Organisasi Non-Pemerintah, a.l :
q Masyarakat Energi Indonesia (MEI)
q Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI)
q Forum Komunikasi Masyarakat Hemat Energi (FKMHE)
q Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API)
q Asosiasi Hidro (c.q. Komite Nasional Bendungan Besar)
q Asosiasi Hidro Bandung
q Asosiasi Pengusaha Tenaga Surya (APSURYA)
q Forum Biodiesel Indonesia (FBI)
q Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA)
q Yayasan Bina Usaha Lingkungan (YBUL)
q Yayasan PELANGI
q Yayasan Dian Desa
9. POTENSI PELUANG DAN HAMBATAN
9.1 POTENSI PELUANG
q Rencana DPR untuk mengajukan RUU inisiatif mengenai energi
q Pelaksanaan otonomi daerah secara konsisten, sehingga otoritas publik yang berwenang
mengaplikasikan wawasan energi hijau berada dekat dengan sumber dan konsumen, sehingga lebih tanggap melakukan tugas-tugasnya
q Meningkatnya kesadaran lingkungan. Dengan adanya komitmen dunia antara lain tentang
Kyoto Protocol dengan program CDM (Clean Development Mechanism) dapat mendorong
pelaksanaan program energi hijau
9.2 POTENSI HAMBATAN
q Instrumen insentiv sulit diberikan tepat waktu, apabila pengelolaan keuangan negara tidak
memperhatikan pentingnya energi hijau.
q Sumber-sumber energi hijau akan berkurang, jika upaya melindungi kelestarian alam