• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

1

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP,

JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

Oleh :

Tresna Sukmawati Suhartini C64104020

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP,

JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Tresna Sukmawati Suhartini C64104020

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(3)

SKRIPSI

Judul Skripsi : DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

Nama Mahasiswa : Tresna Sukmawati Suhartini Nomor Pokok : C64104020

Disetujui, Dosen pembimbing

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Ita Carolita, M.Si

NIP. 131 471 372 NIP. 300 001 380

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, yang selalu membimbing setiap langkah penulis sehingga skripsi dengan judul ” Deteksi Ekosistem Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah dengan Citra Satelit ALOS” dapat terselesaikan.

Skripsi ini dibuat agar dapat mengkaji daerah Ekosistem Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan data komposit Citra Satelit ALOS dan data survey lapangan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kesabaran kepada

penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Orangtua, kakak-kakak (A yudi dan A iman) serta adik-adikku tercinta Riani dan Trini atas semua do’a, semangat dan dukungannya.

3. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Ita Carolita, M. Si selaku komisi pembimbing yang selalu bersabar dalam membimbing dan memberikan pengetahuannya.

4. Teman-teman seperjuangan (mas guruh, mas edi dan mbak nita dari UNDIP), Agus, Bang Ganjar, Hary, Afif atas saran, kritik dan kerjasamanya.

5. Bapak Arief dari BPKSA atas bantuan dan sarannya selama di lapangan. 6. Sahabat – sahabatku Ikeu, Fitri, Intan, Die2, Dini, Afin, Mita dan Ndari

atas semua dukungannya serta kenangan indah yang tak terlupakan. 7. Andia Yudha Pranata atas semua motivasi dan kasih sayangnya. 8. Teman-teman ITK ’41 dan Warga Departemen ITK serta semua pihak

yang telah memberi masukan, dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak – pihak yang berkepentingan, dan dapat digunakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar belakang... 1 1.2 Tujuan ... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Pengertian ekosistem... 3 2.2 Ekositem mangrove... 3

2.3 Sistem penginderaan jauh ... 6

2.4 Penginderaan jauh vegetasi mangrove ... 10

2.5 Analisis indeks vegetasi ... 11

2.6 Citra Satelite ALOS (Advanced Land Observing Satellite)... 14

2.6.1. Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) ... 16

2.6.2. Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) ... 17

2.7.3. Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)... 18

2.7 Citra Satelit SPOT-5 ... 19

3. METODE PENELITIAN... 21

3.1 Keadaan umum lokasi penelitian ... 21

3.1.1. Kondisi geografis ... 21

3.2 Alat dan bahan ... 22

3.3 Metode ... 23

3.4 Pengolahan Citra Satelit... 26

3.4.1 Pre-processing ... 26

3.4.2 ALOS data fusion... 26

3.4.2.1 ALOS Pan-Sharpen... 26

3.4.3 Penajaman citra ... 28

3.4.3.1 Optimum Index Factor (OIF)... 29

(6)

3.4.4 Klasifikasi citra... 31

3.5 Analisis data lapangan ... 31

3.5.1 Pengambilan data penutupan kanopi mangrove... 31

3.6 Analisis korelasi data citra terhadap data lapangan ... 32

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

4.1 Karakteriristik fisik dan kimia perairan... 33

4.1.1 Suhu air ... 34 4.1.2 Salinitas... 34 4.1.3 pH... 35 4.2 Pengolahan citra... 36 4.3 Pre-processing... 37 4.3.1 Koreksi geometrik... 37 4.4 ALOS Pan-Sharpening... 38

4.5 Klasifikasi terbimbing (Supervised Clasification)... 40

4.6 Penajaman citra untuk vegetasi mangrove... 41

4.6.1 Optimum Index Factor (OIF)... 41

4.6.2 Analisis vegetasi mangrove ... 48

4.6.2.1 Analisis vegetasi mangrove ALOS AVNIR ... 49

4.6.2.2 Analisis vegetasi mangrove ALOS Pan-Sharpen... 63

5.KESIMPULAN DAN SARAN... 77

5.1 Kesimpulan... 77

5.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA... 79

LAMPIRAN... 81

(7)

DAFTAR TABEL

No.

1. Karakteristik satelit ALOS··· 15

2. Karakteristik sensor PRISM ··· 16

3. Karakteristik sensor AVNIR··· 17

4. Karakteristik sensor PALSAR ··· 18

5. Sensor HRG (High Resolution Geometric)··· 19

6. Sensor HRS (High Resolution Stereoscopic) ··· 19

7. Sensor vegetasi ··· 20

8. Pengelompokkan kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan NDVI (Kadi, 1996 dalam Susilo, 2000) ··· 30

9. Transformasi indeks vegetasi··· 30

10.Nilai karakteristik fisik dan kimia··· 32

11.Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS AVNIR··· 42

12.Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS AVNIR ··· 42

13.Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR ··· 44

14.Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen ··· 44

15.Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen··· 44

16.Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen··· 46

17.Nilai histogram tiap kelas transformasi GNDVI ALOS AVNIR ··· 50

18.Nilai histogram tiap kelas transformasi IPVI ALOS AVNIR ··· 52

19.Nilai histogram tiap kelas transformasi RVI ALOS AVNIR ··· 53

20.Nilai histogram tiap kelas transformasi DVI ALOS AVNIR ··· 56

(8)

22.Hasil analisis ragam transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS AVNIR

··· 62

23.Nilai histogram tiap kelas transformasi NDVI ALOS Pan-Sharpen··· 64

24.Nilai histogram tiap kelas transformasi GNDVI ALOS Pan-Sharpen··· 66

25.Nilai histogram tiap kelas transformasi IPVI ALOS Pan-Sharpen··· 68

26.Nilai histogram tiap kelas transformasi RVI ALOS Pan-Sharpen··· 69

27.Nilai hasil indeks vegetasi ALOS Pan-Sharpen dari algorithma tiap stasiun73 28.Hasil analisis ragam transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS Pan-Sharpen··· 75

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Komponen dasar penginderaan jauh ··· 9

2. Mekanisme reflektansi dalam penginderaan jauh ··· 10

3. Satellite ALOS··· 15

4. Pencitraan dan satelit sensor PRISM ··· 16

5. Pencitraan dan satelit sensor AVNIR··· 17

6. Pencitraan dan satelit sensor PALSAR ··· 18

7. Satellite SPOT-5··· 19

8. Karakteristik spektral citra satelit ALOS dan citra lainnya ··· 20

9. Peta lokasi penelitian ··· 22

10.Diagram alir tahap penelitian··· 24

11.Diagram alir pengolahan citra untuk tutupan vegetasi mangrove··· 25

12.Titik pengambilan data tutupan mangrove di dalam transek··· 31

13.Grafik nilai suhu air di tiap stasiun ··· 34

14.Grafik nilai salinitas di tiap stasiun··· 35

15.Grafik nilai pH di tiap stasiun··· 36

16.Mosaic Citra ALOS sensor PRISM (Pankromatik)··· 37

17.(a) Citra SPOT-5 (b) Citra ALOS AVNIR hasil rektifikasi dengan citra SPOT-5 (c) Citra ALOS PRISM hasil rektifikasi dengan Citra ALOS AVNIR (RGB 123)··· 38

18.ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM (RGB 321)39 19.ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM (RGB 321) setelah diperbesar (zoom)··· 40

(10)

21.Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR ··· 43

22.Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen··· 45

23.Citra komposit RGB 231 ALOS ··· 47

24.Transformasi NDVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap ··· 49

25.Transformasi GNDVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap ··· 49

26.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi GNDVI ALOS AVNIR 51 27.Transformasi IPVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap ··· 52

28.Transformasi RVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap ··· 53

29.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi IPVI ALOS AVNIR ··· 54

30.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi RVI ALOS AVNIR ··· 55

31.Transformasi DVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap··· 56

32.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi DVI ALOS AVNIR ··· 57

33.Grafik regresi linear tutupan mangrove terhadap nilai transformasi indeks vegetasi citra ALOS AVNIR ··· 61

34.Transformasi NDVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap ··· 63

35.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi NDVI ALOS Pan-Sharpen 65 36.Transformasi GNDVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap··· 66

37.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi GNDVI ALOS Pan-Sharpen 67 38.Transformasi IPVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap··· 68

39.Transformasi RVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap ··· 69 40.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi IPVI ALOS Pan-Sharpen 70 41.Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi RVI ALOS Pan-Sharpen 71 42.Grafik regresi linear tutupan mangrove terhadap nilai transformasi indeks

vegetasi citra ALOS Pan-Sharpen··· 74

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

1. Peta batas kawasan Cilacap, Jawa Tengah··· 81

2. Posisi titik tiap stasiun ··· 81

3. Gambar peta posisi tiap stasiun··· 83

4. Foto wilayah mangrove Cilacap ··· 84

5. Tabel uji annova tiap persamaan regresi ALOS Pan-Sharpen dan ALOS AVNIR………. 85

(12)

1. PENDAHULUAN

1. 1. Latar belakang

Wilayah pesisir merupakan salah satu zona yang banyak manfaatnya. Namun, sampai saat ini pengelolaannya masih belum optimal sehingga semakin banyak kerusakan yang terjadi, baik secara alami maupun oleh kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang merupakan tiga ekosistem wilayah pesisir yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap aktivitas daratan di sekitarnya dengan berbagai manfaat yang bisa diambil dari ekosistem tersebut. Ketiga ekosistem tersebut dapat diketahui kondisinya dengan menggunakan pemetaan (penginderaan jauh) dan Sistem Informasi Geografis, dalam hal ini menggunakan Citra Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) dari Jepang.

Pada umumnya wilayah pantai daerah tropika, termasuk Indonesia ditumbuhi vegetasi hutan mangrove seluas 3.806.119 Ha (Saparinto, 2007). Di muara-muara sungai yang besar areal mangrove ini dapat menjadi sangat luas. Mangrove merupakan salah satu ekosistem penting dan sebagian besar garis pantai Indonesia merupakan dataran rendah dan tertutupi hutan mangrove yang hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea level). Menurut Saparinto tahun 2007,

hutan mangrove di Cilacap, Jawa Tengah merupakan mangrove terluas di Pulau Jawa yang masih tersisa dengan keadaan rusak sekitar 18.931 ha di Pulau Jawa (34,65%).

(13)

Sehingga untuk mengetahui luasan wilayah pesisir pantai dan untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan mangrove, dikembangkan sistem informasi yang berbasis teknologi tinggi, dalam hal ini sistem informasi yang digunakan untuk wilayah pesisir dan perairan yang mendeteksi hutan mangrove dengan menggunakan sistem penginderaan jauh melalui citra satelit yang kemudian dapat diinterpretasikan dalam bentuk peta.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kemampuan Citra Satelit ALOS dalam mendeteksi mangrove dengan menggunakan berbagai indeks vegetasi (NDVI, IPVI, GNDVI, DVI, dan RVI).

(14)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian ekosistem

Suatu ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang tersusun dari bagian-bagian yang hidup dan tidak hidup, yang saling berinteraksi (Nybakken, 1992). Nybakken (1992) juga menambahkan bahwa bagian-bagian komponen dan sistem secara keseluruhan berfungsi berdasarkan suatu urutan kegiatan yang menyangkut energi dan pemindahan energi. Setiap individu memiliki pola penyebaran tertentu dalam suatu ekosistem. Di alam ada tiga pola penyebaran individu, yaitu penyebaran seragam, penyebaran mengelompok, dan penyebaran acak (Odum, 1971).

Menurut Nybakken (1992), ekosistem ada yang terdiri dari satu komunitas dan ada yang terdiri dari banyak komunitas. Masing-masing komunitas terdiri dari banyak populasi produsen, konsumen, dan pengurai. Pemindahan energi suatu ekosistem dapat melalui berbagai jalur. Setiap jalur pemindahan energi dari suatu sumber tumbuhan melalui serangkaian konsumen tertentu disebut rantai makanan dan kombinasi dari semua rantai makanan dalam suatu ekosistem disebut jaringan makanan. Oleh karena itu, jaringan makanan adalah suatu ringkasan dari semua jalur yang dilalui oleh energi yang bergerak dari tingkatan ke tingkatan berikutnya melalui suatu komunitas atau ekosistem.

2.2. Ekosistem mangrove

Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tumbuhan yang hidup di antara laut dan daratan. Sehingga hutan mangrove

(15)

dinamakan juga hutan pasang. Hutan mangrove dapat tumbuh pada pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati yang diatasnya ditumbuhi lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007). Komunitas ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang keras (Bengen, 2002).

Mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga dalam 8 famili yang berbeda dengan genera paling penting atau dominan adalah genera Rhizophora, Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia

(Nybakken, 1992). Ekosistem mangrove mempunyai beberapa peran baik secara fisik, kimia maupun biologi yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu : sebagai pelindung dan penahan pantai, sebagai penghasil bahan organik, sebagai habitat fauna mangrove, sebagai sumber bahan industri dan obat-obatan, dan sebagai kawasan pariwisata dan konservasi.

Mangrove bisa tumbuh dan berkembang di perairan asin dan di substrat yang terkadang anoksik, hal ini disebabkan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Hutchings dan Saenger (1987) menyebutkan tiga cara mangrove beradaptasi, yaitu:

1) Salt Extrusion/Salt Secretion; mangrove menyerap air bersalinitas tinggi

kemudian mengekskresikan garam-garaman melalui sistem yang terdapat dalam “salt gland” di daun.

2) Salt Eclusion; akar mangrove mencegah garam-garaman masuk dengan

cara menyaring garam-garaman tersebut.

3) Salt Accumulation; mangrove mengakumulasi garam-garaman (Na dan

(16)

gugur setelah akumulasi garam melewati batas karena kelebihan garam dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah mangrove. Mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di substrat berlumpur dan perairan pasang yang menyebabkan kondisi anaerob, hal ini disebabkan

mangrove memiliki akar-akar khusus yang berfungsi sebagai penyangga sekaligus penyerap oksigen dari udara di permukaan air secara langsung. Tipe perakaran mangrove menurut Aksornkoae (1993) adalah:

1) Akar tongkat (akar tunjang; akar egrang; prop root; stilt root), akar ini

merupakan modifikasi dari cabang batang yang menancap pada substrat. 2) Akar lutut (knee root), akar ini adalah modifikasi dari akar kabel yang

tumbuh ke arah substrat dan melengkung agar menancap pada substrat. 3) Akar cakar ayam (akar pasak; akar napas; pneumatophore), bentuknya

berupa akar yang muncul dari akar kabel yang mencuat ke atas setinggi 10-30 cm dari permukaan substrat.

4) Akar papan (buttress root), akar ini mirip dengan akar tongkat akan

tetapi bentuknya melebar dan melempeng.

5) Akar gantung (aerial root), akar gantung adalah akar yang tidak

bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada

Rhizophora, Avicennia, dan Acanthus.

Pada umumnya genera mangrove mempunyai satu atau lebih tipe akar adaptasi. Keistimewaan mangrove lainnya adalah pada umumnya bersifat vivipari, artinya perkembangan calon embrio buah dimulai di dalam biji saat masih di pohon induk. Menurut Hutchings dan Saenger (1987) adaptasi tersebut

(17)

dapat mempercepat perakaran, pengaturan garam, keseimbangan ion,

perkembangan daya apung, dan memperpanjang waktu untuk memperoleh nutrisi dari pohon induk (nutritional parasitism). Spesies yang ditemukan di tepi pantai

(menuju ke darat) yang berelevasi lebih tinggi biasanya menghasilkan propagul berukuran lebih kecil.

Kegiatan eksploitasi yang berlebihan dan alih fungsi hutan mangrove mengakibatkan degradasi kawasan hutan mangrove yang ditunjukkan secara nyata dengan semakin berkurangnya luasan hutan mangrove terutama di Pulau Jawa termasuk wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Eksploitasi dan degradasi hutan mangrove mengakibatkan terjadinya perubahan ekosistem kawasan pantai, seperti intrusi air asin, abrasi pantai, punahnya berbagai jenis flora, fauna dan biota tertentu, menurunnya keanekaragaman hayati serta kerusakan habitat yang meluas sampai daratan (Saparinto, 2007).

2.3. Sistem penginderaan jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang berada di permukaan bumi melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan objek atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Informasi tersebut didapat dari analisis data yang dikumpulkan oleh sensor dari jarak jauh yang dipasang pada wahana yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lainnya.

Sensor yang dipergunakan memperoleh data kenampakan muka bumi melalui energi elektromagnetik yang merupakan hasil pemancaran dan pantulan

(18)

dari objek. Penginderaan jauh menggunakan gelombang elektromagnetik dari matahari sumber tenaga alamiah. Di samping itu juga kepekaan tiap sensor berbeda, dalam merekam objek terkecil yang masih dapat dikenali dan dibedakan terhadap objek lain atau terhadap lingkungan sekitarnya. Kemampuan sensor untuk menyajikan gambaran objek terkecil ini disebut Resolusi Spasial yang merupakan petunjuk bagi kualitas sensor. Semakin kecil objek yang direkam olehnya, semakin baik kualitas sensornya (Sutanto, 1986).

Berdasarkan atas proses perekamannya, sensor dibedakan atas sensor fotografik dan sensor elektronik. Pada sensor fotografik proses perekamannya berlangsung dengan cara kimiawi. Tenaga elektromagnetik diterima dan direkam pada lapisan emulsi film yang bila diproses akan menghasilkan foto. Jika

pemotretannya dilakukan dari pesawat udara atau wahana lainnya, fotonya disebut foto udara. Bila pemotretannya dilakukan di antariksa, fotonya disebut foto satelite atau foto orbital. Jadi, dalam proses ini film berfungsi sebagai penerima tenaga dan sekaligus sebagai alat perekamannya (Sutanto, 1986).

Interpretasi citra satelite memerlukan delapan unsur interpretasi, yaitu : ukuran, bentuk, bayangan, panjang gelombang, warna, tekstur, pola objek dan keadaan. Data yang diperoleh dari penginderaan jauh bersifat multispektral (dari berbagai spektrum), multilevel (dari berbagai ketinggian) dan multi temporal (data yang diperoleh waktunya berurutan).

Penginderaan jauh mempunyai beberapa komponen yang saling berhubungan (Lillesand dan Kiefer, 1990) yaitu:

• Sumber energi yang berupa energi elektromagnetik yang berasal dari matahari dan buatan.

(19)

• Atmosfer, yang merupakan media lintasan dari energi elektromagnetik. • Interaksi antara energi dan objek .

• Sensor, yaitu alat yang mendeteksi energi elektromagnetik dari suatu objek dan merubahnya ke dalam bentuk sinyal yang dapat diproses dan direkam. • Perolehan data, dapat dilakukandengan cara manual yaitu dengan

inerpretasi secara visual dapat pula dilakukan secara digital (menggunakan komputer).

• Pengguna data.

Empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa

menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan

mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan otomatis dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra.

(20)

Gambar 1. Komponen dasar penginderaan jauh

Seluruh sistem penginderaan jauh memerlukan sumber energi baik aktif (misalnya, sistem penginderaan jauh radar) maupun pasif (misalnya, sistem penginderaan jauh satelit secara optik). Spektrum elektromagnetik merupakan berkas dari tenaga elektromagnetik yang meliputi sinar gamma, x, ultraviolet, tampak, inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio. Spektrum

elektromagnetik yang biasa digunakan dalam penginderaan jauh adalah sebagian dari spektrum ultraviolet (0,3 - 0,4mm), spektrum tampak (0,4 – 0,7mm), spektrum inframerah dekat (0,7 - 1,3 mm), spektrum inframerah thermal (3 - 18 mm), dan gelombang mikro (1mm-1m).

Interaksi tenaga dengan objek sesuai dengan asas kekekalan tenaga, maka terdapat tiga interaksi, yaitu dipantulkan, diserap, dan ditransmisikan / diteruskan. Besarnya tenaga yang dipantulkan, diserap, ditransmisikan akan berbeda pada tiap penutupan lahan. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila nilai tenaga yang dipantulkan pada suatu tempat sama dengan tempat lain maka dapat diasumsikan tempat tersebut memiliki karakteristik penutupan lahan yang sama.

(21)

Gambar 2. Mekanisme reflektansi dalam penginderaan jauh (www.geocities.com)

2.4. Penginderaan jauh vegetasi mangrove

Penginderaan jauh vegetasi mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove tumbuh di daerah pesisir dan mempunyai zat hijau daun (klorofil). Sifat optik menyerap spektrum sinar merah dan sangat kuat

memantulkan spektrum inframerah. Klorofil fitoplankton yang berada di laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove karena sifat air yang menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan inframerah tapi bahan-bahan ini tidak menyerap sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat dibedakan. Cara membedakan vegetasi mangrove dan non-mangrove dengan melihat jaraknya dengan pantai. Vegetasi keduanya kadang terpisah oleh objek lain seperti perumahan, tambak, tanah kosong (Susilo, 2000).

Berdasarkan sifat hasil pantulan gelombang elektromagnetik pada objek, maka untuk pengamatan vegetasi dengan satelit menggunakan band-band yang

bekerja pada panjang gelombang elektromagnetik dengan nilai pantulan yang tinggi.

(22)

Vegetasi merupakan salah satu struktur penyangga terbesar di dalam unit ekologis biosfer. Penginderaan jauh saat ini menjadi perangkat penting untuk memantau perubahan yang sangat cepat di dalam biosfer termasuk perubahan tutupan vegetasi. Salah satu sensor yang dapat digunakan untuk memantau perubahan tutupan vegetasi adalah MODIS (Moderate resolution imaging

spectrometer). Pemantauan vegetasi dapat dilakukan dengan jalan transformasi

spektral melalui pembuatan citra NDVI (normalized difference vegetation index).

Interpretasi citra merupakan perbuatan atau kegiatan yang mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti penting objek tersebut. Interpretasi citra dalam pemetaan species pohon, kerapatan dan ukuran pohon serta penentuan umur. Studi citra yang sistematik akan melibatkan pertimbangan karakteristik dasar citra yaitu : bentuk, ukuran, pola bayangan, rona, tekstur, dan situs (Sutanto, 1986).

Lillesand dan Kiefer (1990) menerangkan bahwa dimensi pohon yang dapat diukur dengan citra adalah : tinggi pohon total, penutupan tajuk, dan jumlah pohon per hektar. Dimensi ini hanya bisa diukur apabila pohon tampak pada citra, baik pohon yang dominan maupun yang kodominan. Kerapatan tajuk

didefinisikan sebagai proporsi dari areal yang ditutupi oleh tajuk pohon.

2.5. Analisis indeks vegetasi

Analisis indeks vegetasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kerapatan kanopi mangrove yang didasarkan pada adanya respon objek penginderaan jauh pada kisaran spektrum radiasi merah dengan inframerah dekat. Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Indeks vegetasi yang diperoleh merupakan

(23)

nilai-nilai yang memberikan gambaran tentang tingkat kehijauan vegetasi. Analisis indeks vegetasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah NDVI atau

Normalized Difference Vegetation Index.

NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index merupakan metoda

standar dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi pada data satelit. NDVI dapat digunakan sebagai indikator biomasa dan tingkat kehijauan

(greenness) relatif. Formula untuk menghitung nilai NDVI adalah:

NDVI = (kanal NIR - kanal Red) / (kanal NIR + kanal Red)

Nilai index mempunyai rentang -1,0 hingga 1,0. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7, diatas nilai ini menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi. Data dari bermacam sensor satelit yang dapat digunakan dalam formulasi ini, antara lain:

* Landsat TM/ETM — kanal 3 (0,63-0,69 µm) dan 4 (0,76-0,90 µm) * NOAA AVHRR — kanal 1 (0,58-0,68 µm) dan 2 (0,72-1,0 µm) * Terra MODIS — kanal 1 (0,62-0,67), dan 2 (0,841-0,876)

Perilaku vegetasi tergantung dari interaksinya dengan radiasi matahari dan faktor cuaca lainnya, serta ketersediaan unsur hara kimiawi dan air dalam tanah (atau air dalam lingkungan perairan laut). Daun tumbuhan berwarna hijau memantulkan dan meneruskan radiasi sangat rendah pada panjang gelombang visible (0,4 – 0,7 µm) karena sebagian besar telah diserap oleh klorofil untuk proses fotosintesis. Sebaliknya radiasi yang dipantulkan dan dipancarkan akan me-ningkat pada panjang gelombang near infrared-NIR (0,7 and 1,0 µm) karena kurangnya penyerapan partikel atau pigmen seluler dan juga karena adanya

(24)

hamburan pada interface dinding sel mesofil. Intensitas radiasi yang dipantulkan

oleh vegetasi umumnya lebih besar daripada radiasi yang dipantulkan oleh kebanyakan material anorganik, sehingga vegetasi nampak lebih terang pada panjang gelombang near-infrared.

Perbedaan yang mencolok pada jumlah radiasi yang dipantulkan dan di pancarkan di antara panjang gelombang visible dan near-infrared inilah yang

mendasari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh secara kontinyu untuk memantau perubahan-perubahan komunitas vegetasi secara kuantitatif. Hasil identifikasi dan pemantauan ini merupakan informasi yang sangat bermanfaat untuk pengelolaan hutan mangrove.

Spectral signature kanopi tanaman lebih kompleks dan tidak sama dengan

spectral signature dimiliki oleh daun hijau tunggal yang diukur pada kondisi iluminasi yang di kontrol. Ketika properti spektral daun tetap konstan dalam satu musim, spektral kanopi dapat berubah secara dramatis dengan berubahnya

proporsi tanah dan vegetasi serta bervariasinya susunan arsitektur komponen tanaman itu sendiri. Indeks Vegetasi (IV) dapat memberikan informasi tentang tingkat kehijauan vegetasi (termasuk tanaman dengan spektral kanopi yang kompleks) berdasarkan biomassa tanaman. Secara visual IV dapat membedakan objek vegetasi dan non vegetasi (contoh-nya tanah) dengan cara menghitung perbedaan, ratio atau kombinasi linear panjang gelombang visible dan NIR yang dipantulkan.

Menurut Schowengerdt, 1997 dalam Arhatin, 2007 menyebutkan bentuk sederhana dari rasio antara kanal near-infrared dan red adalah Ratio Vegetation

(25)

Index (RVI) = NIR/Red dan Normalised Difference Vegetation Index (NDVI) = (NIR-red)/(NIR+Red) dengan nilai indeks vegetasi tinggi memberi gambaran bahwa di areal yang diamati memiliki tingkat kehijauan tinggi, seperti areal hutan rapat dan lebat. Sebaliknya nilai indeks vegetasi yang rendah mengindikasikan bahwa di areal tersebut memiliki tingkat kehijauan yang rendah atau lahan vegetasi rendah atau kemungkinan bukan objek vegetasi.

2.6. Citra satelite ALOS (Advanced Land Observing Satellite)

ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Satellite adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS yang diluncurkan pada tahun 2006 adalah satelit pemantau lingkungan yang biasa dimanfaatkan untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan survey sumber daya alam. Selain Indonesia, Jepang juga mengajak Thailand sebagai mitra proyek ALOS di Asia.

Satelit ALOS ini membawa 3 jenis sensor, yaitu PALSAR, PRISM dan AVNIR-2. Khususnya sensor Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) mempunyai keistimewaan dapat menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam maupun siang hari (Gambar 3). Resolusi untuk high resolusion mode dan ScanSAR masing-

masing 10 meter dan 100 meter. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM (Digital Elevation Model), Interferometry untuk mendapatkan

informasi pergeseran tanah, kandungan biomass, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, pencarian pesawat dan kapal

(26)

dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju : pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dan ketinggian yang lebih tepat. ALOS diluncurkan dari Pusat Ruang Angkasa Tanagashima, Jepang pada tahun 2006.

Gambar 3. Satellite ALOS Berikut merupakan karakteristik dari Satelit ALOS: Tabel 1. Karakteristik satelit ALOS

Alat Peluncuran Roket H-IIA

Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Berat Satelit 4000 Kg

Power 7000 W

Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun

Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period 46 hari sub-cycle 2 hari

Tinggi Lintasan 692 km di atas equator

Inclinasi 98,2 °

(27)

2.6.1. Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM)

Panchromatic Remote-sensing Instrumen for Stereo Mapping (PRISM)

adalah instrumen penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m dan memiliki kemampuan untuk mengambil obyek yang sama pada permukaan bumi dari 3 posisi yang berbeda dengan lintasan yang sama, yaitu maju ke depan, tegak, dan miring-mundur ke belakang sehingga terbentuk pengamatan stereoskopis yang ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Pencitraan dan satelit sensor PRISM

Berikut merupakan tabel informasi karakteristik dari satelit PRISM : Tabel 2. Karakteristik sensor PRISM

Panjang Gelombang 0,52 - 77 µm

Banyaknya optik 3 buah (Forward, Nadir, Backward) Base To High Ratio 1,0 (Forward dengan Backward)

S/N Di atas 70

MTF 0,2 lebih

Resolusi Spasial 2,5 m

35 km (Triplet Mode Lebar Cakupan

70 km (hanya pengambilan tegak) 28.000/kanal (lebar cakupan 70 km) Jumlah Detektor

14.000/kanal (lebar cakupan 35 km) Sudut Pengambilan 1,5 Derajat

Panjang Bit 8 Bit

(28)

2.6.2. Advanced Vicible and Near-Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)

Advanced Vicible and Near-Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)

merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor ini digunakan untuk tujuan pemetaan dan klasifikasi penutup/penggunaan lahan skala regional, dengan memiliki kemampuan “cross track pointing” untuk pemantauan bencana alam yang gambarannya dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Pencitraan dan satelit sensor AVNIR

Berikut merupakan tabel dari karakteristik sensor AVNIR pada ALOS: Tabel 3. Karakteristik sensor AVNIR

Kanal 1: 0,42 – 0,50 µm Kanal 2: 0,52 – 0,60 µm Kanal 3: 0,61 – 0,69 µm Kanal Observasi Kanal 4: 0,76 – 0,89 µm S/N > 200 Kanal 1-3 : > 0,25 MTF Kanal 4 : > 0,20 Resolusi 10 m (Nadir)

Lebar cakupan 70 km (Nadir)

Jumlah Detektor 7000 / Kanal Sudut Pengambilan -44 to +44 Derajat

Panjang Bit 8 Bit

(29)

2.6.3. Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) PALSAR merupakan salah satu literature ALOS dengan sensor aktif untuk pengamatan cuaca dan permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari JERS-1 SAR. Sensor PALSAR yang

diperlihatkan pada Gambar 6 mempunyai sebuah beam literatur dalam elevasi dan scan SAR mode.

Gambar 6. Pencitraan dan satelit sensor PALSAR

Berikut merupakan tabel yang menggambarkan sensor PALSAR citra ALOS:

Tabel 4. Karakteristik sensor PALSAR

Polarimetric Mode Fine ScanSAR

(Experimental mode) Frekuensi 1270 MHz (L-BAND) Lebar Kanal 28 / 14 MHz Polarisasi HH atau VV/HH +HV atau VV+VH HH atau VV HH+HV+VH+VV Resolusi

Spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look)

100 m (multi

look) 30 m

Lebar

Cakupan 70 km 250 - 350 km 30 km

Incidence

Angle 8-60 derajat 18 - 43 derajat 8 - 30 derajat < - 23 dB (70 km) < - 25 dB < - 29 dB NE Sigma 0

< - 25 dB (60 km)

Panjang Bit 3 bit / 5 bit 5 bit 3 bit / 5 bit Ukuran

Antena AZ : 8,9 m x EL : 2,9 m Sumber : JAXA

(30)

2.7. Citra Satelit SPOT-5

Satelit SPOT-5 (System Pour I’Observation de la Terre) merupakan

kelanjutan dari program seri satelit remote sensing komersial Perancis. Satelit

yang dikembangkan oleh CNES (Centre National d’Etude Spatials) suatu badan keruang-angkasaan Perancis yang bekerjasama dengan beberapa organisasi di Eropa ini diluncurkan pada tanggal 3 Mei 2002 dengan orbit Sun-synchronous,

ketinggian 832 km di atas equator, ukuran scene 60 km x 60 km, sudut inklinasi

98°, periode orbit 101 menit, dan repeat cycle setiap 26 hari yang satellitenya

ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Satellite SPOT-5 (www.image.search.yahoo.com) Satelit ini dilengkapi dengan beberapa sensor (Prahasta, 2008) :

Tabel 5. Sensor HRG (High Resolution Geometric)

Band Keterangan Spectral Domain Resolusi Spasial

1 Hijau 0,50 -0,59 µm 10 meter

2 Merah 0,61 -0,68 µm 10 meter

3 NIR 0,79 -0,89 µm 10 meter

4 SWIR 1,58 -1,75 µm 20 meter

Pan Visible (hijau-merah) (mode P) 0,48 -0,71 µm 5 atau 2,5 meter

Tabel 6. Sensor HRS (High Resolution Stereoscopic)

Band Keterangan Domain Spectral Resolusi Spasial Pan Visible (hijau-merah) (mode P) 0,49 -0,69 µm 10 meter

(31)

Sensor ini dilengkapi dengan kemampuan untuk mendapatkan citra-citra digital stereopair secara simultan untuk produksi Digital Elevation Model (DEM)

Tabel 7. Sensor Vegetasi

Band Keterangan Domain Spectral Resolusi Spasial 1 B0, Biru 0,43 -0,47 µm 1165 meter

2 B2, Merah 0,61 -0,68 µm 1165 meter 3 B3, NIR 0,79 -0,89 µm 1165 meter

4 SWIR 1,58 -1,75 µm 1165 meter

Berikut merupakan perbedaan karakteristik spectral citra satelit ALOS dengan citra satelit lainnya :

Sumber : JAXA

(32)
(33)

33

III. METODE PENELITIAN

3.1. Keadaan umum lokasi penelitian 3.1.1. Kondisi geografis

Wilayah kabupaten Cilacap merupakan wilayah potensi pertanian dengan ketinggian tanah antara 6-9 m di atas permukaan laut. Luas wilayah kabupaten Cilacap secara keseluruhan adalah 225.360.840 hektare meliputi 24 Kecamatan yang terdiri dari 282 Desa dengan batas wilayah sebelah utara adalah kabupaten Banyumas dan kabupaten Brebes, sebelah timur adalah kabupaten Kebumen, sebelah selatan adalah Samudera Hindia, sebelah barat adalah kabupaten Ciamis dan kota Banjar, Jawa Barat.

Daerah utara kabupaten Cilacap merupakan daerah perbukitan yang merupakan lanjutan dari rangkaian Bogor, Jawa Barat dengan puncaknya Gunung Pojoktiga (1.347 m), bagian selatan merupakan dataran rendah termasuk Pulau Nusa Kambangan yang memiliki Cagar Alam di dalamnya. Kondisi iklim pada umumnya termasuk beriklim tipe B ( Smith dan Ferguson ) curah hujan 10 tahun terakhir adalah 2711,65 mm/th, dengan jumlah hari hujan 147,4 hari, bulan basah dengan curah hujan lebih dari 200 mm / bulan, bulan lembab dengan curah hujan antara 100-200 mm / bulan , bulan kering dengan curah hujan kurang dari 100 mm /bulan,temperatur diwilayah bagian barat bervariasi sesuai dengan ketinggian tempat, yaitu antara 20 0C – 28 0C, sedangkan temperatur udara di wilayah cilacap bagian tengah, timur dan selatan antara 28 0C – 31 0C, Serta banyak di pengaruhi udara laut.

(34)

Gambar 9. Peta lokasi penelitian

Penelitian lapangan (ground check) dilakukan pada tanggal 08 – 14 Mei

2008 di tiga lokasi yang berada di Desa Tritih, Desa Sapuregel dan Desa Motehan. Tiap lokasi mengambil 9 titik stasiun kecuali di desa motehan sebanyak 12

stasiun. Peta lokasi penelitian tiap lokasi ditunjukkan pada lampiran 3 dan peta batas kawasan pada Lampiran 1, serta foto saat di lapangan pada Lampiran 4.

3.2. Alat dan bahan

Alat-alat yang digunakan meliputi : seperangkat Personal Computer (PC),

flashdisk, printer, perangkat lunak (software) untuk pemrosesan data (image

processing), interpretasi dan layout data, Global Positioning System (GPS), data

citra satelit SPOT-5, data citra Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite)

(35)

35

Januari 2007 dari LAPAN-JAXA (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan Peta Rupa Bumi wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Alat-alat dan bahan yang diperlukan dalam pengambilan data lapangan meliputi : Peta lokasi pengambilan data, Spherical Densiometer, Global

Positioning System (GPS), Refraktometer, pH-meter, thermometer, transek,

Perahu motor untuk menjangkau daerah pengambilan data, dan binokuler dengan

titik pengambilan data pada Lampiran 2.

3.3. Metode

Pengumpulan data menggunakan data primer maupun sekunder dan pengolahan data citra vegetasi mangrove. Dalam penelitian ini dilakukan integrasi data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Alur kegiatan penelitian ini meliputi pemasukan data (input data), penyusunan data

baik spasial maupun analisis. Input data berasal dari pengukuran lapangan, data citra, peta-peta dan data sekunder yang telah dikumpulkan.

(36)

Gambar 10. Diagram alir tahap penelitian Pengumpulan

data lapangan

Analisis data

1. Analisis spasial peta tematik

2. Analisis regresi

1.Data ALOS AVNIR

2.Data fusion (pan-sharpening PRISM & AVNIR) Koreksi geometrik, koreksi

radiometrik Citra satelit ALOS lokasi penelitian Peta keberadaan ekosistem Mangrove % Penutupan kanopi mangrove Formula (NDVI, GNDVI, IPVI, DVI, RVI) Klasifikasi Supervised

(37)

37

Gambar 11. Diagram alir pengolahan citra untuk tutupan vegetasi mangrove

Training Area 1. Darat 2. Laut 3. Mangrove Klasifikasi Supervised Formula (ALOS) Formula

if i1>= a and i1< b then 1 else if i1>= b and i1< c then 2 else if i1>= c and i1< d then 3 else if i1>= d and i1< e then 4 else if i1>= e then 5 else null

(pemberian nilai pada kelas tergantung pada rentang nilai histogram dan kebutuhan)

1= sangat jarang, 2=jarang, 3=sedang, 4=lebat, 5=sangat lebat

Penggabungan citra: Band1=hasil klasifikasi supervised Band2=hasil formula

Layout

kelas 1. Darat 2. Laut 3.Mangrove sangat jarang 4. Mangrove jarang 5. Mangrove sedang 6. Mangrove lebat 7. Mangrove sangat lebat

(38)

3.4. Pengolahan citra satelit

Pengolahan citra satelit terdiri dari tiga tahapan, yaitu pre processing,

penajaman citra dari vegetasi mangrove dan klasifikasi. 3.4.1. Pre-processing

Citra satelit ALOS yang telah diperoleh tidak sepenuhnya digunakan dalam analisis, untuk itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping).

Pemotongan citra ini bertujuan untuk membatasi daerah sesuai lokasi penelitian. Setelah pemotongan citra, dilakukan pemulihan citra yang terdiri atas dua proses yaitu koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.

Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor – faktor yang menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian histogram (histogram adjustment). Koreksi geometrik bertujuan

untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak objek. Distorsi ini dihasilkan oleh faktor seperti variasi tinggi satelit, ketegakan dan kecepatan satelit (Lillesand and Kiefer, 1990). Setelah koreksi geometrik dilakukan maka didapat citra yang sesuai dengan posisi sebenarnya di bumi.

3.4.2 ALOS data fusion 3.4.2.1 Pan-Sharpenning

Image fusion merupakan kombinasi dua atau lebih dari image/citra yang

berbeda untuk menghasilkan image baru dengan menggunakan berbagai algorithma. Pan-Sharpenning merupakan salah satu jenis image data fusion.

Data citra berwarna dengan resolusi rendah digabungkan dengan data monokrom yang beresolusi tinggi yang hasilnya adalah sebuah image data citra berwarna dengan resolusi tinggi.

(39)

39

Menurut Prahasta (2008) data fusion merupakan menggabungkan atau mengkombinasikan (fusi) data (dengan cakupan wilayah yang sama) yang berasal dari berbagai/rekaman sensor satelit (dan dengan resolusi-resolusi spasial yang berbeda) merupakan cara yang sangat efektif dan efisien dalam memberdayakan sumber-sumber basis data spasial secara optimal. Salah satu dari sekian banyak bentuk dari aktifitas ini adalah Pan-sharpen yang mengkombinasikan citra digital

pankromatik (band tunggal yang beresolusi spasial lebih tinggi) dengan citra digital multi-spektral (beberapa band berwarna tetapi memiliki resolusi spasial lebih rendah). Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah citra digital mutispektral dengan resolusi yang sama dengan pankromatik. Hasilnya digunakan sebagai alat bantu pada interpretasi citra digital secara visual.

Image data sebaiknya tercatat dengan akurasi level tinggi terlebih dahulu menggunakan fusion algorithma, diantaranya :

1. HSV (or HSI) Sharpenning

Hue Saturation Intensity (Hue Saturation Value) menggunakan resolusi

rendah image RGB (Red Green Blue). Band pankromatik disesuaikan dan diganti untuk intensity band. Gambar HSI di convert kembali ke tempat RGB.

2. Color Normalized (Brovey) Sharpenning

Digunakan untuk mendapatkan teknik Sharpenning dengan menggunakan kombinasi matematika image berwarna dan data resolusi tinggi.

Fusion i = (MULTi/MULTi Sum)x PAN

Dimana i (=1,2,3..) merupakan band particular dalam MS Image dan MULTi

(40)

Setiap band di Image Color dikalikan dengan rasio data resolusi tinggi dibagi dengan jumlah color bands. Fungsi otomatis dari color bands sampai ukuran pixel dengan resolusi tinggi menggunakan nearest neighbor, bilinnear,

atau cubic convolution technique. Hasil keluaran gambar RGB akan mendapatkan

nilai pixel dari input data resolusi tinggi. 3. PC Spectral Sharpenning

Digunakan untuk Sharpen SpectralImage data dengan data resolusi tinggi

menggunakan prinsip transformasi komponen hasil data multispectral. PC band 1 digantikan dengan band resolusi tinggi dengan skala yang sesuai dengan PC band 1 sehingga tidak ada distorsi informasi spectral. Kemudian, digunakan untuk transform kembali.

Data multispectral otomatis memperbaiki nilai pixel resolusi tinggi menggunakan

nearest neighbor, bilinnear, atau cubic convolution technique.

4. Gram Schmidt Algoritm

Merupakan Kodak/ RSI yang memiliki algoritma Sharpenning. Algorithma ini merupakan dasar dalam persamaan rotasi di alam untuk PCA.

Hasilnya sama dengan PCA – melihat khusus nilai bobot vegetasi. Pada penelitian ini menggunakan algoritma Gram Schmidt.

(3.2)

Dalam penelitian ini digunakan Gram Schmidt Algoritm karena algoritma

(41)

41

3.4.3. Penajaman Citra

Proses penajaman citra merupakan proses penggabungan informasi dari dua citra secara spektral melalui band rationing (menghitung perbandingan nilai

digital piksel setiap saluran).

3.4.3.1 Optimum Index Factor (OIF)

Penajaman citra dengan metode ini dilakukan untuk mengetahui tiga kombinasi kanal yang bagus untuk kenampakan mangrove secara visual. OIF yang dipilih merupakan kombinasi kanal yang memiliki nilai OIF paling tinggi, karena akan menampilkan lebih banyak warna yang lebih banyak memberikan informasi. Algorithma untuk OIF adalah (Chavez et al,1982 in Arhatin, 2007):

OIF =

Σ

S

k

/

Σ

Abs

(rj)

(3.3)

Dimana :

Sk = standar deviasi untuk kanal k

Abs(rj) = nilai absolut koefisien korelasi antara dua dari tiga kanal

3.4.3.2 Penajaman citra untuk vegetasi mangrove

Pengolahan citra untuk mendapatkan nilai kerapatan mangrove

menggunakan transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) yang

prinsipnya memisahkan spektral reflektansi vegetasi dari spektral reflektansi tanah dan air yang melatarbelakanginya. Formula NDVI pada ALOS yang peka terhadap vegetasi dan kanal 3 yang peka terhadap tanah dengan persamaan sebagai berikut:

NDVI = (IR-R)/(IR+R) (3.4)

Keterangan: IR : Nilai digital pada citra kanal Inframerah dekat R : Nilai digital pada citra kanal Merah

(42)

Nilai kerapatan mangrove ditentukan berdasarkan nilai indeks vegetasi (NDVI) sedangkan penetapan selang kelas kerapatan vegetasi mangrove ditampilkan pada tabel 8 berikut :

Tabel 8. Pengelompokkan kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan NDVI (Kadi, 1996 dalam Susilo, 2000)

<0,1 Vegetasi sangat jarang 0,1 – 0,2 Vegetasi jarang

0,2 – 0,3 Vegetasi sedang 0,3 – 0,4 Vegetasi lebat

>0,4 Vegetasi sangat lebat

Selain NDVI, transformasi lain yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada tabel 9.

Tabel 9. Transformasi indeks vegetasi

No Formula Tipe Indeks Vegetasi Referensi

1 Ratio Vegetation

Index

Tucker, 1979 in Arhatin, 2007

2 Difference Vegetation

Index

Richardson and Wiegand in

Arhatin, 2007 3 Green normalized difference vegetation index 4 Infrared Percentage Vegetation Index

5 NDVI = NIR – Red

NIR+ Red Normalized difference vegetation index Kadi, 1996 in Susilo 2000 Red NIR RVI = d NIR DVI =2.4 −Re Green NIR Green NIR GNDVI + − =

(

NDVI 1

)

2 1 IPVI = +

(43)

43

3.4.4 Klasifikasi citra

Citra yang telah ditransformasikan dengan algoritma-algoritma tersebut selanjutnya diklasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokkan nilai reflektansi dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised classification).

3.5 Analisis data lapangan

Analisis data yang diambil adalah data yang diambil langsung dari lapangan dan analisis data di komputer dengan rumus.

3.5.1 Pengambilan data penutupan kanopi mangrove

Pengambilan data penutupan kanopi mangrove dilakukan secara manual dengan alat Spherical Densiometer, dengan mengukur persentase penutupan

mangrove di setiap titik pengambilan data.

1 2

3

4 5

Gambar 12. Titik pengambilan data tutupan mangrove di dalam transek

Tiap titik pengambilan data/ stasiun diambil 5 titik untuk mengambil nilai persentasenya, kemudian jumlah persentase keseluruhannya dibagi 5 untuk diperoleh nilai persentase dari tiap stasiun. Nilai persentase yang dihasilkan kemudian akan dikorelasikan dengan nilai tutupan dari citra.

(44)

3.6 Analisis korelasi data citra terhadap data lapangan

Analisis yang digunakan dalam mengetahui korelasi antara data citra terhadap data lapangan adalah menggunakan analisis regresi linear dengan persamaan :

Y = β0 + β1 X+ β2 X 2 + ... + βq X q + ε (3.5)

Dimana : Y = Nilai digital indeks kehijauan pada citra X = Nilai tutupan mangrove

β0 = variable intersep

βι ; i= 1,2,3, …q adalah parameter pengaruh variable bebas (X)

kuantitatif terhadap variable respons (Y).

ε = error, yang diasumsikan berdistribusi secara bebas normal, dengan nilai rata-rata nol, dan ragam σ2

Analisis ragam dengan hipotesis: H0 : nilai data citra = data lapangan H1 : nilai data citra ≠ data lapangan α : 0.5

(45)

45

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik fisik dan kimia perairan

Suhu, salinitas dan pH merupakan parameter-parameter yang

mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Suhu dan salinitas termasuk karakteristik fisik dan data yang diambil untuk kimianya adalah pH. Nilai parameter-parameter tersebut pada saat di lapangan disajikan pada tabel 10 :

Tabel 10. Nilai karakteristik fisik dan kimia

Stasiun Suhu Air Salinitas pH tanah

1 31 25 5,73 2 30 28 5,65 3 30 23 6,99 4 29 28 6,77 5 28 25 8,74 6 28 25 8,82 7 28 30 8,36 8 28 29 8,54 9 27 28 6,69 10 27 25 5,55 11 27 25 5,5 12 28 24 5,12 13 28 26 4,76 14 29 24 4,98 15 29 24 5,18 16 30 25 5,7 17 29 25 5,47 18 31 25 5,83 19 30 21 5,34 20 27 22 4,79 21 29 21 5,29 22 28 19 5,12

(46)

23 28 19 5,08 24 29 18 5,15 25 29 25 5,26 26 29 21 5,44 27 29 23 5,51 28 29 20 5,55 29 30 20 5,45 30 29 21 5,46 4.1.1 Suhu air

Suhu merupakan faktor fisik yang penting untuk mangrove. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu air dari tiap stasiun berkisar antara 27-31

oC (Gambar 12). Kisaran suhu ini masih baik untuk mangrove karena umumnya

mangrove di daerah tropic dapat bertahan dengan rata-rata temperature di atas 25oC. Suhu air di Indonesia umumnya berkisar antara 28-38 oC, suhu dekat pantai biasanya lebih tinggi dibandingkan suhu di lepas pantai karena dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi air dan udara seperti alih panas, penguapan dan hembusan angin (Saparinto, 2007).

(47)

47

Gambar 13. Grafik nilai suhu air di tiap stasiun

4.1.2 Salinitas

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan salinitas air di tiap stasiun berkisar antara 18 - 30 o/oo (Gambar 13). Mangrove tumbuh baik di daerah dengan

salinitas berkisar 10 - 30 o/oo . Salinitas di Cilacap memiliki nilai yang berbeda

dari tiap titik pengambilan data, perbedaan salinitas ini terjadi karena adanya massa air tawar yang berasal dari Sungai Citandui menuju muara sekitar segara anakan. Sehingga, sebagian massa air bersalinitas rendah pada saat menuju Samudera Hindia dalam jumlah besar (Tim ekosistem mangrove, 1986). Peta lokasi penelitian menunjukkan letak pengambilan data di stasiun 3 dekat dengan muara Sungai Citandui tersebut. Sehingga nilai salinitas di sekitar wilayah tersebut menurun dibanding di stasiun lainnya.

(48)

Gambar 14. Grafik nilai salinitas di tiap stasiun

4.1.3 pH

Berdasarkan hasil pengukuran pH di lapangan menunjukkan bahwa pH di tiap stasiun berkisar antara 4,76 – 8,82 (Gambar 14). nilai pH tersebut masih sesuai dengan pH untuk pertumbuhan mangrove, dimana ekosistem mangrove akan tumbuh baik pada pH dengan kisaran 5,0 – 9,0 (Saparinto, 2007).

Gambar 15. Grafik nilai pH di tiap stasiun

Ditunjukkan dari ketiga kondisi perairan di atas, dapat diketahui bahwa mangrove di perairan Cilacap berkondisi normal pada saat diadakan penelitian, sehingga penelitian dapat dilakukan tanpa asumsi-asumsi khusus.

(49)

49

Data Citra yang digunakan merupakan data citra satelit ALOS (Advanced

Land Observing Satelite) yang terdiri dari dua citra dengan sensor yang berbeda,

yaitu citra satelit dengan sensor AVNIR yang memiliki resolusi 10 x 10 m dan sensor PRISM yang memiliki resolusi 2,5 x 2,5 m. Citra ALOS dengan sensor PRISM untuk wilayah Cilacap terdiri dari dua Scene, yaitu bagian kiri dan kanan

sehingga perlu dilakukan mosaic (Gambar 16).

(a) (b) (c)

Gambar 16. Mosaic Citra ALOS sensor PRISM (Pankromatik) Citra pada scene (a) di mosaic dengan citra scene (b) menghasilkan gabungan keduanya yang kemudian dilakukan Cropping (pemotongan) citra

untuk membatasi daerah sesuai dengan lokasi penelitian (c). 4.3 Pre processing

Proses awal sebelum pengolahan data, dilakukan dahulu langkah-langkah koreksi citra :

4.3.1 Koreksi geometrik

Koreksi geometrik dilakukan dengan mengoreksi citra sensor AVNIR yang mengacu pada Citra Satelit SPOT-5 yang memiliki resolusi citra yang sama yaitu 10x10 m dan multispectral. Citra SPOT-5 ini sudah terkoreksi sebelumnya

(50)

terhadap Peta Rupa Bumi (RBI) wilayah Cilacap dari BAKOSURTANAL Skala 1: 50.000 pada Proyeksi SUTM 49 dengan DATUM WGS 84. Koreksi ini bertujuan untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak objek (Lillesand and Kiefer, 1990) seperti terlihat pada gambar 16.

(a)

(b) (c)

Gambar 17. (a) Citra SPOT-5 (b) Citra ALOS AVNIR hasil rektifikasi dengan citra SPOT-5 (c) Citra ALOS PRISM hasil rektifikasi dengan Citra ALOS AVNIR (RGB 123)

4.4 ALOS Pan-Sharpening

ALOS Pan-Sharpening merupakan salah satu proses dalam image data

fusion. Menurut Prahasta (2008) data fusion ini merupakan mengkombinasikan (fusi) data berbagai rekaman sensor satelit, salah satunya adalah dengan

(51)

51

mengkombinasikan antara citra multispektral dan citra pankromatik (Gambar 18 dan Gambar 19). Dalam hal ini AVNIR merupakan citra multispectral yang memiliki 4 band/kanal (berwarna) dan PRISM merupakan citra pankromatik. Sehingga dihasilkan satu citra yang memiliki resolusi tinggi dan multispektral.

Gambar 18. ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM

(RGB 321, NIR-Red-Green)

Berikut pada Gambar 19 diperlihatkan tidak adanya perubahan nilai

(52)

dengan nilai spektral yang ditunjukkan pada nomor : 1 = 40, 2= 220, 3=25, dan 4= 110.

Gambar 19. ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM

(RGB 321, NIR-Red-Green) setelah di perbesar (zoom)

(53)

53

Klasifikasi terbimbing ini dilakukan terhadap Citra ALOS yang sudah di fusi. Hasil klasifikasi tersebut dibagi menjadi 3 kelas yang berbeda yaitu kelas darat, laut dan mangrove yang ditampilkan pada Gambar 20.

Gambar 20. Klasifikasi terbimbing (Supervised Classification)

Keterangan : Laut Darat Mangrove

4.6 Penajaman citra untuk vegetasi mangrove

Penajaman citra untuk mengetahui vegetasi mangrove menggunakan analisis vegetasi mangrove dengan algorithma dan menggunakan Optimum Index Factor (OIF).

4.6.1 Optimum Index Factor (OIF)

Metode ini merupakan salah satu cara dalam penajaman citra (image

enhancement) yang dilakukan untuk menajamkan objek dalam citra. OIF ini

merupakan metode pemilihan kanal untuk pembuatan komposit citra yang membutuhkan tiga kanal pada filter red, green dan blue. Pemilihan kanal ini

(54)

dilakukan untuk mempermudah interpretasi secara visual dari citra dengan

kombinasi kanal untuk diklasifikasi secara digital. Hasilnya didapatkan tampakan yang lebih jelas pada citra sehingga dapat lebih mudah untuk diinterpretasikan kemudian. Nilai OIF tertinggi akan memperlihatkan tampakan warna yang lebih banyak, sehingga diharapkan dapat memberikan banyak informasi pada citra.

OIF yang didapatkan untuk ALOS AVNIR terdiri dari 6 kombinasi yang sama yaitu kombinasi dari kanal 1, kanal 2 dan kanal 3 dengan kombinasi kanal: 123, 132, 213, 231, 312 dan 321 dengan tabel matrik korelasi dan standar deviasi ditampilkan pada Tabel 11 dan Tabel 12.

Tabel 11. Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS AVNIR

Correlation matriks Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3

Kanal 1 1,000 0,500 0,984

Kanal 2 0,500 1,000 0,518

Kanal 3 0,984 0,518 1,000

Tabel 12. Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS AVNIR

Std. Deviasi Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3

Citra ALOS 49,228 39,524 50,457

Berikut merupakan tampilan hasil tiap kombinasi kanal pada citra ALOS AVNIR :

(55)

55

123 132

213 231

312 321

Gambar 21.Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR

Keterangan : kanal 1 = Green (λ 0,42 – 0,50 µm); kanal 2 = Red (λ 0,61 – 0,69

(56)

Tabel 13 berikut menunjukkan nilai hasil OIF pada tiap kombinasi kanal ALOS AVNIR :

Tabel 13. Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR No. Kombinasi Kanal Nilai OIF

1 123 69.5350 2 132 69.5350 3 213 69.5350 4 231 69.5350 5 312 69.5350 6 321 69.5350

Tabel nilai matrik korelasi dan standar deviasi pada citra ALOS Pan-Sharpen disajikan pada Tabel 14 dan 15 berikut :

Tabel 14. Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen

Correlation matriks Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3

Kanal 1 1,000 0,660 0,977

Kanal 2 0,660 1,000 0,656

Kanal 3 0,977 0,656 1,000

Tabel 15. Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen

Std. Deviasi Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3

Citra ALOS 31,288 41,354 31,156

Berdasarkan tabel matriks korelasi dan standar deviasi di atas, dapat diketahui 6 kombinasi kanal dari citra ALOS untuk menentukan nilai OIF yaitu

(57)

57

kombinasi dari kanal 1, kanal 2 dan kanal 3 dengan kombinasi kanal: 123, 132, 213, 231, 312 dan 321 dengan tampilan tiap kombinasi kanal terlihat pada Gambar 21.

123 132

213 231

312 321

Gambar 22.Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen

Keterangan : kanal 1 = Green (λ 0,42 – 0,50 µm); kanal 2 = Red (λ 0,61 – 0,69

(58)

Tampilan gambar tiap kombinasi kanal pada citra ALOS di atas,

kombinasi kanal RGB 231 merupakan kombinasi yang menunjukkan terlihatnya vegetasi mangrove yang ditunjukkan dengan warna merah gelap, hal ini

menunjukkan adanya pantulan dari air juga yang membuat tampilannya lebih gelap daripada vegetasi di daratan yang ditunjukkan dengan warna merah yang lebih terang, kemudian warna laut yang menunjukkan warna kebiruan sesuai dengan panjang gelombang yang memantulkan nilai pada spectrum biru pada kanal 1 (λ 0,42 – 0,50 µm).

Tabel 16. Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen No. Kombinasi Kanal Nilai OIF

1 123 45.2673 2 132 45.2673 3 213 45.2673 4 231 45.2673 5 312 45.2673 6 321 45.2673

Berdasarkan rumus untuk mencari nilai OIF, OIF yang tinggi tersebut merupakan hasil dari nilai standar deviasi yang tinggi dan korelasi antar kanal yang rendah, dengan korelasi antar kanal yang rendah tersebut diharapkan akan mendapatkan informasi yang saling melengkapi (Arhatin, 2007).

Berdasarkan Tabel 13 dan Tabel 16 didapatkan hasil OIF untuk citra ALOS AVNIR dan ALOS Pan-Sharpen yang memiliki nilai OIF sama pada tiap citra. Hal ini menunjukkan pada kombinasi tersebut citra ALOS AVNIR dan

(59)

59

ALOS Pan-Sharpen tidak dapat menyajikan lebih banyak warna dan dapat memberikan informasi lebih banyak dengan metode OIF.

Apabila kombinasi kanal pada citra pada suatu objek dengan memasukkan kombinasi yang berbeda, maka objek tersebut akan berubah dan menunjukkan warna yang kontras pada kanal tertentu dan menunjukkan warna yang berlainan.

Kanal citra ALOS untuk mangrove, selain dengan menggunakan metode OIF ini bisa ditunjukkan dengan kombinasi komposit 321 dimana kanal 1 (λ 0,42 – 0,50 µm) yang menunjukkan nilai kehijauan pada vegetasi, kanal 2 (λ 0,61 – 0,69 µm), untuk pemisahan vegetasi yaitu membedakan antara vegetasi dengan tanah/ non vegetasi, kanal 3 (λ 0,76 – 0,89 µm) untuk mendefinisikan batas air-daratan dan tipe/kelas vegetasi.

Gambar 23. Citra komposit RGB 231 ALOS

Berdasarkan gambar di atas didapatkan informasi secara visual bahwa dari Citra ALOS dengan komposit RGB 231 menunjukkan bahwa warna merah tua

mangrov

laut

daratan

(60)

merupakan vegetasi mangrove dan letaknya dekat dengan laut yang ditunjukkan dengan warna gelap kebiruan, untuk daratan diinterpretasikan dengan warna merah lebih terang yang menunjukkan adanya vegetasi di daratan, kemudian warna putih menunjukkan objek awan. Selain objek yang tidak terdeteksi di bawahnya, awan disini juga mempengaruhi nilai digital dari objek, dimana nilainya akan lebih rendah dari yang seharusnya (Arhatin, 2007).

4.6.2 Analisis vegetasi mangrove

Dalam hal ini dilakukan dua penajaman Citra Vegetasi Mangrove untuk Citra Satelit ALOS sensor AVNIR dan untuk Citra ALOS yang sudah di Pan-Sharpen dengan transformasi formula NDVI (Normalized Difference Vegetation

Index), GNDVI (GreenNormalized Difference Vegetation Index), IPVI (Infrared

Percentage Vegetation Index), DVI (Difference Vegetation Index), dan RVI (Ratio

Vegetation Index).

Transformasi formula NDVI ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kerapatan mangrove di lapangan dengan NDVI dari citra. Tingkat

kerapatan kanopi mangrove dilakukan dengan analisis NDVI ini yang didasarkan pada adanya respon objek penginderaan jauh pada kisaran spectrum radiasi merah dan inframerah dekat yang memberikan gambaran tingkat kehijauan vegetasi mangrove (Arhatin, 2000). yaitu kanal 3 untuk merah dan kanal 4 untuk inframerah.

(61)

61

4.6.2.1. Analisis vegetasi mangrove ALOS AVNIR

Gambar 24.Transformasi NDVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap

Nilai NDVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.003663 sampai dengan 0.977273 (ditunjukkan pada Gambar 24). Namun, eksekusi transformasi untuk NDVI ini tidak berhasil.

(62)

Nilai transformasi untuk GNDVI pada citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.0044 sampai dengan 0.9714 yang ditunjukkan oleh Gambar 26 dengan nilai histogram tiap kelas disajikan pada Tabel 17. Pengkelasan GNDVI berdasarkan nilai histogram ini dilakukan dengan melihat beberapa puncak kelas yang berada di dalam histogram, tiap satu puncak kelas menunjukkan range nilai yang berbeda yang menunjukkan satu kelas objek pada citra, dalam hal ini untuk membedakan kelas objek mangrove berdasarkan tutupan mangrove. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7, nilai ini menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi (Arhatin, 2007).

Tabel 17. Nilai histogram tiap kelas transformasi GNDVI ALOS AVNIR

Kelas Nilai Histogram

1 0,004 – 0,2

2 0,2 – 0,3

3 0,3 – 0,5

4 0,5 – 0,7

(63)

63

(64)

Gambar 27.Transformasi IPVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap

Nilai IPVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.037037 sampai dengan 0.988636 yang dibagi dalam lima kelas berdasarkan nilai histogram dari transformasi IPVI (Gambar 27). Dengan melihat beberapa puncak kelas yang berada di dalam histogram, tiap satu puncak kelas menunjukkan range nilai yang berbeda yang menunjukkan satu kelas objek pada citra, dalam hal ini untuk membedakan kelas objek mangrove berdasarkan tutupan mangrove. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7. Tabel 18 menunjukkan rentang nilai tiap kelas mangrove pada citra ALOS AVNIR transformasi IPVI.

Tabel 18. Nilai histogram tiap kelas transformasi IPVI ALOS AVNIR

Kelas Nilai Histogram

1 (-0.1) - (-0.3)

2 (-0.3) - (-0.5)

3 (-0.5) - 0.7

4 0.7 - 0.85

(65)

65

Gambar 28.Transformasi RVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap

Nilai RVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.011494 sampai dengan 26 yang dapat dilihat pada Gambar 28 berdasarkan range nilai tiap kelas pada gambar, untuk tiap satu puncak histogram menunjukkan satu objek di citra dengan nilai rentang histogram tiap kelas mangrove terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Nilai histogram tiap kelas transformasi RVI ALOS AVNIR Kelas Nilai Histogram

1 0,01 - 1

2 1 - 2

3 2 - 10

4 10 - 25

(66)
(67)

67

(68)

Gambar 31.Transformasi DVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap

Nilai DVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 2.4 sampai dengan 255 yang dibagi menjadi lima kelas juga berdasarkan transformasi DVI yang dilihat dari nilai histogramnya pada Gambar 31 dengan range tiap kelas berdasarkan satu puncak histogram yang manunjukkan satu objek pada citra dalam hal ini objek mangrove, nilai transformasi tiap kelas mangrove pada transformasi ini ditunjukkan pada Tabel 20.

Tabel 20. Nilai histogram tiap kelas transformasi DVI ALOS AVNIR

Kelas Nilai Histogram

1 0 - 12

2 12 - 30

3 30 - 71

(69)

69

(70)
(71)

71

Berdasarkan gambar hasil klasifikasi mangrove tiap transformasi indeks vegetasi pada citra ALOS AVNIR (NDVI, GNDVI, IPVI, RVI, dan DVI) dapat dilihat bahwa kelas mangrove yang paling mendominasi di wilayah Cilacap, Jawa Tengah ini merupakan mangrove rapat yang ditunjukkan dengan warna merah pada legenda peta, sehingga mangrove di Cilacap ini dikategorikan masih bagus. Tabel 21 menunjukkan nilai hasil indeks vegetasi dari tiap algoritma indeks vegetasi di tiap stasiun pada citra ALOS AVNIR.

(72)

Tabel 21. Nilai hasil indeks vegetasi ALOS AVNIR dari algorithma tiap stasiun

Stasiun NDVI GNDVI IPVI DVI RVI

1 0.4783 0.5068 0.7746 93.5999 2.8824 2 0.3939 0.4154 0.6984 62.3999 2.3158 3 0.5294 0.4462 0.7231 86.3999 3.25 4 0.7647 0.6386 0.8272 156 7.5 5 0.7556 0.6632 0.8778 132 4.7999 6 0.7228 0.5325 0.8495 175.2 6.2143 7 0.6092 0.5556 0.8046 127.2 6.25 8 0.7442 0.6484 0.8721 158.4 5.3846 9 0.7363 0.6596 0.8864 163.2 6.75 10 0.3182 0.234 0.5 33.5999 1 11 0.3846 0.1 0.3182 47.9999 0.3999 12 0.3499 0.1837 0.2857 33.5999 0.3999 13 0.6842 0.5904 0.8462 124.8 5.3333 14 0.6267 0.5904 0.8462 112.8 4.3571 15 0.5493 0.5493 0.7746 93.5999 3.4375 16 0.1429 0.2593 0.6939 69.5999 0.7143 17 0.5821 0.5696 0.8378 139.2 3.7857 18 0.7727 0.575 0.84 163.2 7.7999 19 0.7027 0.5999 0.8675 124.8 5.7273 20 0.1351 0.0243 0.5676 11.9999 1.3125 21 0.1905 0.0869 0.3793 19.9999 0.6471 22 0.7876 0.6557 0.8938 213.6 8.4167 23 0.7455 0.629 0.8739 225.6 6.9286 24 0.7719 0.629 0.886 211.2 7.7692 25 0.7447 0.6719 0.7705 88.7999 3.8461 26 0.8305 0.697 0.918 235.2 11.7999 27 0.8393 0.6999 0.9196 225.6 11.4444 28 0.7864 0.5294 0.8228 194.4 8.3636 29 0.1707 0.5294 0.5854 16.7999 1.4118 30 0.1707 0.1 0.3333 50 0.5294

Gambar

Gambar 2. Mekanisme reflektansi dalam penginderaan jauh (www.geocities.com)
Tabel 1. Karakteristik satelit ALOS  Alat Peluncuran  Roket H-IIA
Tabel 4. Karakteristik sensor PALSAR
Gambar 8. Karakteristik spectral citra satelit ALOS dan citra lainnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul, “Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Tingkat Keparahan Asma Bronkial di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar,” yang disusun

Perancangan desain interior gedung A kantor pusat PT Pelindo 3 (Persero) dapat mecapai tujuan yaitu mendorong efisiensi kerja pengguna kantor dengan pendekatan penyelesaian

penghidupan)..  Democratic Land Governance merupakan proses politik yang dikontestasikan oleh berbagai aktor masyarakat dan negara untuk menentukan watak, jangkauan dan arah

She thought about the alternative, which was far more uncomfortable. She could be at Marilee Small’s dinner party, surrounded by people who were jealous of her and her lifestyle.

Dan untuk lebih mantap maka adakan kurssus kilat agak beberapa menit setiap hari (jika memungkinkan) atau satu kali dalam seminggu, (3) adakan hari berbahasa maka semua komunitas

hukum untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik dalam sidang pengadilan, terkait dengan pengakuan

Bentuk pertumbuhan di Pulau Hogow dan Dokokayu ini mempunyai tutupan dasar paling dominan yaitu Coral Foliose (CF) dan Acropora Branching (ACB) dimana kondisi

Penelitian jenis ini kemudian mengalami adaptasi sesuai watak hukum Islam yang memadukan antara pemahaman atau interpretasi terhadap gejala teks wahyu di satu pihak dan fenomena