• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN BUDIDAYA TERNAK RUMINANSIA DI PEDESAAN MELALUI TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN BUDIDAYA TERNAK RUMINANSIA DI PEDESAAN MELALUI TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN BUDIDAYA TERNAK RUMINANSIA DI

PEDESAAN MELALUI TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

(Performancer of Ruminant Management in A Village Through

Environtmentally Friendly Technology)

SRI NASTITI JARMANI

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Insufficient forages availability during dray season is always a problem for farmers to feed their animals. This is believed to be due to changes in land use and the availability of grazing land. Rice straw is a promising source of fibrous feed for ruminants, however only limited farmers utilize the rice straw for feeding their animals. The nutritive value of rice straw was relatively low and farmers should improve the nutritive value before feeding to their animals. Observation of the reproductive performance of 20 PO heifers fed with fermented rice straw in the demonstration plot of integrated crop-livestock in Research Institute for Rice, Sukamandi was carried out from 2006 to November 2007. Fermented rice straw was fed ad libitum and supplemented with concentrate at 3 kg/head/day. Results indicated a relatively good reproductive performance such as S/C 1-1.05; gestation period of 255.7 days; CI 371.3 days and service period of 72.4 days. The daily weight gain of calves from birth to weaning age was 0.64 kg followed by 0.54 kg thereafter until 33 weeks of age. Technology of livestock management in an integrated crop-livestock system could improve land productivity, crop and animal production, producing biogas, increasing farmers income and increasing the animal population. Application of environmentally sound management system of livestock production through utilization of fermented rice straw as animal feed, and converting the manure for biogas and organic fertilizer could guaranty the availability of feed around the year, efficient labor use, improving the animal production and safe environment condition.

Key Words: Management, Integration, Environment

ABSTRAK

Kekurangan pakan hijauan di musim kemarau merupakan masalah yang berulang setiap tahun bagi petani yang memelihara ternak ruminansia, dimana sebagian penyebabnya adalah terjadinya alih fungsi lahan dan keterbatasan ketersediaan lahan pangonan. Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang potensial sebagai sumber serat bagi ternak ruminansia belum dimanfaatkan secara optimal. Nilai nutrien jerami padi sangat rendah sehingga untuk diberikan sebagai pakan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan jerami padi secara optimal melalui pengkayaan nilai nutriennya mampu menyediakan pakan sepanjang tahun sehingga dapat mengatasi masalah kekurangan pakan dimusim kemarau. Pengamatan penampilan produktivitas 20 ekor sapi PO betina calon induk yang diberi pakan jerami padi yang difermentasi telah dilakukan dari tahun 2006 hingga bulan November 2007 di demplot Sistem Integrasi Padi Ternak di Sukamandi. Jerami padi yang difermentasi diberikan secara ad libitum dan ditambah dengan konsentrat sebanyak 3 kg per ekor per hari. Pemberian jerami padi difermentasi dan konsentrat sebagai pakan sapi menampilkan reproduktivitas dengan S/C 1 – 1,05; lama kebuntingan 255,7 hari; CI 371,3 hari dan service periode 72,4 hari. Pertambahan bobot hidup anak sampai umur sapih adalah 0,64 kg/hari sedangkan setelah sapih adalah 0,54 kg/hari. Teknologi budidaya sapi terintegrasi dengan tanaman padi dapat meningkatkan produktivitas tanah, tanaman dan ternak, menghasilkan biogas, meningkatkan pendapatan petani dan populasi ternak. Penerapan teknologi budidaya ternak ramah lingkungan dengan memanfaatkan jerami difermentasi sebagai pakan dan memanfaatkan kotorannya sebagai pupuk organik dan biogas dapat menyediakan pakan sepanjang tahun, efisien dalam penggunaan tenaga kerja, meningkatkan produktivitas sapi dan memperbaiki lingkungan.

(2)

PENDAHULUAN

Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat dengan cara tradisional, merupakan usaha sambilan, sebagai tabungan dan menjadi indikator “status sosial keluarga”. Dari 205,8 juta jumlah penduduk, diperkirakan 32,4 juta (15,6%) rumah tangga adalah peternak dan sekitar 24,8 juta (12%) rumah tangga adalah petani (DITJENNAK 2006). Pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan dunia industri dapat diartikan sebagai pengurangan lahan pertanian karena banyak lahan yang dikonversikan menjadi tempat pemukiman dan kawasan industri. Hal ini berdampak bagi pengembangan budidaya ternak dalam penyediaan hijauan pakan. Kekurangan pakan hijauan di musim kemarau, merupakan masalah yang berulang setiap tahun bagi petani yang memelihara ternak ruminansia. Sebagian besar (lebih dari 40%) diantaranya berada di Pulau Jawa dimana sebagian penyebabnya adalah adanya alih fungsi lahan dan keterbatasan ketersediaan lahan pangonan (1,4%).

Jerami padi, merupakan salah satu limbah pertanian yang potensial sebagai pakan sumber serat bagi ternak ruminansia belum dimanfaatkan secara optimal meskipun di beberapa daerah telah memanfaatkannya namun dalam kondisi kualitas yang sangat rendah. Produksi jerami padi setara dengan produksi padi namun jumlah produksi untuk setiap varietas dan kondisi lahan akan berbeda. Rata-rata produksi padi adalah 5 ton per ha (BPS. 2006) sehingga jerami yang dihasilkan dapat mencukupi pakan untuk 2 – 3 ekor sapi bahkan untuk daerah yang dapat ditanami 2 kali setahun jerami yang dihasilkan dapat untuk mencukupi 4 – 6 ekor sapi sepanjang tahun.Nilai nutrien jerami padi sangat rendah, dimana kandungan protein kasar sekitar 3,5% dan serat kasar berkisar 35% sehingga untuk diberikan kepada ternak nilai nutriennya perlu ditingkatkan.

Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak secara optimal melalui pengkayaan nilai nutriennya, mampu menyediakan pakan sepanjang tahun sehingga dapat mengatasi masalah kekurangan pakan di musim kemarau, meningkatkan produktivitas petani karena

waktu untuk mencari rumput dapat dimanfaatkan untuk pekerjaan lain yang lebih produktif dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan populasi ternak. Banyak teknologi yang telah dihasilkan untuk meningkatkan nilai nutrien limbah pertanian (KOMPYANG et al.,1994;HARYANTO et al., 2002; SUWADJI et al., 2001) namun pengembangannya belum merata. Proses fermentasi dengan menggunakan probiotik, menurut HARYANTO et al. (2004) dapat meningkatkan nilai protein jerami dari 3% menjadi 7% dan selulose menurun dari 77% menjadi 65%. SARIUBANG dan NURHAYU (2005) melaporkan bahwa dari analisa proksimat yang dilakukannya nilai protein kasar meningkat dari 2,08 menjadi 6,49% dan serat kasar menurun dari 28,5 menjadi 22,3%.

Pemanfaatan jerami padi yang difermentasi untuk pakan kambing dapat menggantikan rumput segar hingga 100% dan bobot hidup anak yang disapih sama dengan yang diberi rumput (SUTAMA et al., 2006) sedangkan pemberian jerami padi yang difermentasi pada domba selain dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup juga dapat meningkatkan pendapatan petani (JARMANI dan HARYANTO, 2004)

Kebiasaan petani membakar jerami selain menimbulkan polusi udara akan menghilangkan sebagian besar bahan organik yang diperlukan tanah dan menghilangkan potensi pakan ternak sehingga menghambat perkembangan populasi ternak. Pembenaman jerami ke sawah seperti yang saat ini masih banyak dilakukan oleh petani dengan tujuan untuk menyuburkan lahan akan lebih baik bila dilakukan melalui ternak yaitu jerami diberikan sebagai pakan dan kotorannya untuk pupuk dan biogas. Dari 1 ekor sapi dapat dihasilkan kotoran berkisar 8 – 10 kg per hari atau 2,6 – 3,6 ton per tahun atau setara dengan 1,5 – 2 ton pupuk organik sehingga akan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan mempercepat proses perbaikan kualitas lahan.

Penerapan teknologi budidaya ternak yang ramah lingkungan melalui pemanfaatan limbah pertanian yang diperkaya nilai nutriennya dan pemanfaatan kotoran kandang sebagai pupuk organik dan biogas dapat meningkatkan produktivitas ternak, peternak dan perbaikan lingkungan.

(3)

MATERI DAN METODE

Kegiatan pengamatan dilakukan di demplot sistem integrasi padi ternak (SIPT) di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Sapi yang dipelihara adalah sapi PO. Sapi ditempatkan didalam kandang permanen dengan lantai kandang diberi alas serbuk gergaji setebal 20 cm. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan, air minum dan tabung bambu untuk garam. Jumlah sapi yang dikandangkan 20 ekor betina berumur 18 – 24 bulan dan sudah siap untuk dikawinkan. Pakan yang diberikan adalah jerami padi difermentasi yang diberikan secara ad libitum dan konsenrat 3 kg per ekor per hari. Proses pembuatan jerami padi fermentasi dilakukan menurut acuan dari HARYANTO et al. (2002). Air minum dan garam selalu tersedia di dalam kandang. Perkawinan dilakukan secara alam dengan menggunakan pejantan yang tersedia di dalam kandang. Pengamatan penampilan produktivitas dilakukan dari tahun 2006 hingga November 2007 yang meliputi conception rate (service per conception), lama kebuntingan, jarak beranak, jumlah anak yang dilahirkan dan pertambahan bobot hidup. Untuk mengetahui perkiraan bobot hidup sapi dilakukan dengan menggunakan rumus Scroll, yaitu Bobot hidup (kg) = (LD + 22)2/100 dimana LD adalah lingkar dada (cm). Keuntungan pemanfaatan kotoran kandang sebagai biogas dilakukan dengan wawancara terhadap pengguna. Data dianalisa secara deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem usahatani terpadu

Demplot system usaha tani terpadu dimaksudkan sebagai sarana percontohan suatu siklus budidaya tanaman padi terpadu dengan pemeliharaan ternak sapi dimana limbah tanaman padi dan limbah ternak sapi dimanfaatkan secara optimal. Jerami padi dimanfaatkan sebagai pakan ternak, kotoran ternak dan urin dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan sumber energi (biogas). Pupuk organik dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas dan kesuburan tanah dan diperlukan tanaman. Sistem usahatani terpadu diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan

sehingga pendapatan petani meningkat dan merupakan wujud usahatani yang berkelanjutan. Sementara itu penggunaan kotoran ternak sebagai biogas dapat membantu mengatasi kesulitan dan kemahalan bahan bakar minyak yang banyak digunakan oleh masyarakat terutama di pedesaan.

Penampilan budidaya ternak

Penggunaan jerami difermentasi sebagai pakan sangat efisien dalam penggunaan tenaga kerja dimana untuk mengurus 22 ekor sapi di dalam kandang integrasi disini hanya menggunakan satu tenaga kerja. Sedangkan pemeliharaan secara konvensional, sebagian besar waktu pemeliharaan digunakan untuk mencari hijauan, terutama di musim kemarau. Jerami yang difermentasi dapat disimpan dalam waktu lama dalam kondisi kelembaban cukup sehingga waktu yang digunakan untuk mencari rumput dapat digunakan untuk kegiatan produktif yang lain.

Perkawinan sapi di demplot SIPT dilakukan secara alam dengan menggunakan sapi jantan yang tersedia di dalam kandang. Rata-rata service per conception dari 18 induk yang dikawinkan dengan pejantan untuk kebuntingan pertama adalah 1,05 dan dari 6 induk diantaranya untuk kebuntingan kedua adalah 1. Hasil ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh AFFANDHY et al. (2006) dimana perkawinan alam di peternakan rakyat angka konsepsi rata-rata mencapai 2,2. Perbedaan ini kemungkinan karena pejantan yang di Sukamandi tersedia di dalam kandang sehingga proses perkawinan dapat dilakukan tepat waktu sedangkan di peternakan rakyat tidak semua peternak memiliki pejantan sehingga saat perkawinannya tidak tepat karena harus mendatangkan pejantan lebih dulu atau membawa betina kekandang pejantan. Sementara itu rata-rata jarak kelahiran hingga bunting kembali (service periode) 72,4 hari. Kondisi pakan yang berkualitas berpengaruh terhadap kondisi tubuh ternak. AFFANDHY et al. (2006) melaporkan bahwa perbaikan gizi mempengaruhi kemampuan reproduksi sapi Madura sedangkan WIYONO dan UMIYASIH (1998) melaporkan bahwa sapi yang diberi pakan yang kurang berkualitas secara berkesinambungan dapat

(4)

mempengaruhi fungsi ovarium dengan ditengarai adanya estrus yang tidak kelihatan sehingga menurunkan reproduktivitas ternak.

Lama kebuntingan pertama rata-rata adalah 255,7 hari dengan kisaran 246 – 292 hari dan lama kebuntingan kedua adalah 281,8 dengan kisaran 274 – 298 hari. Perbedaan lama kebuntingan yang terjadi kemungkinan berkaitan dengan jenis kelamin anak yang dikandung didalamnya, bangsa ternak dan paritas induk (HAVEZ. 2000). Jarak antar kelahiran (calving interval) rata-rata adalah 371,3 hari dengan kisaran 352 – 391 hari, sehingga sistem perkawinan dengan menggunakan pejantan yang dilakukan disini sangat membantu peternak terutama dalam menambah populasi sapi dan pendapatan. Penampilan hasil reproduksi sapi disini tertulis pada Tabel 1.

Tabel 1. Penampilan hasil reproduksi sapi

Parameter Keterangan

Service per conception

I 1,05 II 1,0

Service periode (hari)

Rata-rata 72,4

Kisaran 64 – 152

Lama kebuntingan I (hari)

Rata-rata 255,7 Kisaran 246 – 292

Lama kebuntingan II (hari)

Rata-rata 281,8 Kisaran 274 – 298

Jarak antar kelahiran

Rata-rata 371,3 Kisaran 352 – 391

Dari 20 ekor sapi betina, 18 ekor (90%) telah beranak pertama menghasilkan 11 ekor betina (61,1%) dan 7 ekor jantan (38,9%) dan 6 induk diantaranya (33,3%) sudah beranak yang kedua menghasilkan 2 ekor betina (33,3%) dan 4 ekor jantan (66,7%). Potret perkembangan populasi tertulis pada Tabel 2. Angka kematian anak yang dihasilkan berkisar 30% dimana gejala yang dapat diamati adalah kurang nafsu makan dan kembung. Banyaknya anak sapi betina yang mati sangat mempengaruhi jumlah

calon induk sehingga menghambat perkembangan ternak.

Tabel 2. Potret perkembangan populasi sapi

Parameter Jumlah %

Populasi awal (ekor) Betina

Jantan

20 2

Kebuntingan I (ekor) 18 90 Kelahiran anak ke-1

Betina Jantan 18 11 7 100 61,1 38,9 Kematian anak kelahiran ke-1 6 33,3

Betina 4 Jantan 2 Jumlah anak hidup 12

Kebuntingan II (ekor) 6 33,3 Kelahiran anak ke-2

Betina Jantan 6 2 4 33,3 66,7 Kematian anak kelahiran ke-2 1 16,7

Betina 0 Jantan 1 Jumlah anak hidup 5

Jumlah sapi total 39

Rata-rata bobot anak lahir 22 kg. Bobot lahir rata-rata anak betina 18,5 kg dengan kisaran 15 – 25 kg dan anak jantan 25 kg. HAVEZ (2000) menyatakan bahwa bangsa yang berbeda akan memberikan rata-rata bobot lahir yang berbeda demikian pula halnya dengan jenis kelamin dimana anak jantan memiliki bobot lahir yang relatif lebih berat dari anak betina. Rataan pertambahan bobot hidup per hari sampai dengan umur 10 minggu adalah 0,52 kg dengan kisaran 0,46 – 0,71 kg dan hingga umur lepas sapih (33 minggu) adalah 0,64 kg dan pertambahan bobot hidupnya menurun menjadi 0,54 kg per hari hingga umur 49 minggu. Hasil ini relatif lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh WIYONO et al. (2005) dimana pertambahan bobot hidup harian pedet sapi PO sampai umur lepas sapih (210 hari) sebesar 0,33 kg. Adanya kenaikan bobot hidup setelah berumur 10 minggu kemungkinannya karena pedet telah belajar memakan makanan berserat yang berguna untuk melatih rumen untuk menghasilkan mikroba rumen yang

(5)

berguna untuk membantu proses pencernaan. WIYONO et al. (2005) mensitasiWARWICK et al. (1983)melaporkan bahwa perubahan bobot hidup sebagian besar dipengaruhi oleh perlakuan pakan sehingga manajemen pemberian pakan yang baik dapat meningkatkan produktivitas ternak. Perubahan bobot hidup dari umur 0 – 10 minggu dapat dilihat pada Gambar 1 sedangkan hubungan antara bobot hidup dan umur ditunjukkan dengan persamaan regresi sebagai berikut: Y=25,03 + 4,02 X (r = 0,95) dimana Y adalah bobot hidup (kg) dan X adalah umur (dalam minggu).

Penanganan kotoran kandang dan pencemaran lingkungan

Kotoran kandang di demplot SIPT merupakan campuran dari alas kandang (serbuk gergaji), kotoran sapi dan urine. Kotoran kandang disini selain dibuat pupuk organik dengan cara difermentasi menurut acuan dari HARYANTO et al. (2002) juga sebagai sumber energi (biogas) untuk memasak. Penggunaan pupuk organik pada lahan sawah melalui sistem integrasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi lahan

yang “sakit” karena penggunaan pupuk anorganik yang berlebih dan berkesinambungan dalam waktu lama, sehingga produktivitas lahan dan tanamannya stagnant bahkan cenderung menurun. Pemberian bahan organik dalam tanah akan meningkatkan populasi cacing tanah yang akan membantu proses penggemburan tanah sehingga disaat hujan air tidak menggenang karena sirkulasi udara didalam tanah lebih lancar dibanding pada tanah yang kedap udara. SEMBIRING dan KUSDIAMAN (2008) melaporkan bahwa penggunaan pupuk organik sebanyak 2 ton per ha per musim tanam dapat meningkatkan produksi padi sawah dari 5 – 6 ton/ha menjadi 6 – 6,5 ton/ha dan tambahan keuntungan pendapatan sebesar Rp. 160.000/ha dimana dengan menggunakan pupuk organik keuntungan yang didapat adalah Rp. 3.782.500 dibandingkan tanpa menggunakan pupuk organik keuntungannya adalah Rp. 3.622.500. Selain itu dengan menggunakan pupuk organik dapat meningkatkan keberadaan serangga netral (Arthropoda) terutama pada awal pertumbuhan tanaman padi dan menekan perkembangan penyakit hawar pelepah pada pertanaman padi.

Gambar 1. Perubahan bobot hidup dari umur 0 – 10 minggu 0 10 20 30 40 50 60 70 0 2 3 6 7 9 10 Umur (minggu) Bobot hidup (kg )

(6)

Pembuatan biogas dari kotoran kandang dilakukan secara sederhana dengan menggunakan 2 drum bekas berukuran 200 liter yang berfungsi sebagai digester. Drum ke-1 (lubang atas terbuka) diisi dengan kotoran kandang dan air dengan perbandingan 1 : 1 (7 ember kotoran kandang : 7 ember air, dimana volume ember adalah 10 liter) dan kemudian ditutup dengan drum yang lain dimana posisi tutup/dasar drum diberi lobang untuk dipasangi selang sebagai saluran gasbio. Gasbio yang dihasilkan dapat digunakan untuk memasak selama 15 – 20 menit secara terus menerus dalam sehari. Penggunaan biogas dapat menghemat pengeluaran pembelian minyak tanah sebesar Rp 30.000 sebulan (wawancara personal dengan pengguna di demplot SIPT). Sementara itu, pemanfaatan biogas dari hasil penerapan teknologi ramah lingkungan di wilayah desa hutan yang dibuat di desa Doplang Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora dapat menghemat pengeluaran biaya untuk membeli kayu bakar sebesar Rp. 20.000 – Rp. 30.000 sebulan, dapur menjadi lebih bersih, peralatan dapur lebih bersih (tidak hangus karena asap kayu), waktu memasak lebih cepat, pekerjaan didapur menjadi lebih ringan. dan membantu institusi kehutanan dalam mengurangi “penebangan kayu secara liar” sebagai bahan bakar (JARMANI et al., 2007).

Budidaya ternak sangat erat diidentikkan dengan bau yang menyengat, kumuh, kotor, becek dan penuh dengan lalat yang berterbangan. Penerapan teknologi budidaya yang diintroduksikan disini ternyata dapat menepis anggapan tersebut. Informasi dari pengurus kandang demplot menyebutkan bahwa setiap pengunjung demplot mengatakan bahwa suasana di lingkungan kandang tidak berbau, sapi tetap dalam kondisi bersih walau kotoran didalam kandang sudah menumpuk dan relatif tidak ada lalat didalam kandang. Tidak adanya bau dari dalam lingkungan kandang kemungkinan karena penggunaan probiotik didalam proses fermentasi jerami dan pembuatan pupuk organik dan pakan yang diberikan dalam kondisi kering. Selain itu feces dan urine yang dihasilkan langsung diserap oleh alas kandang.

KESIMPULAN

Penerapan perbaikan teknologi budidaya ternak ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah pertanian (jerami difermentasi) sebagai pakan dan memanfaatkan kotorannya sebagai pupuk organik dan biogas dapat meningkatkan produktivitas sapi, menyediakan pakan sepanjang tahun, efisien dalam penggunaan tenaga kerja dan memperbaiki lingkungan.

Pemberian jerami difermentasi sebagai pakan ditambah dengan konsentrat dapat memperbaiki reproduktivitas sapi (service per conception, service periode, calving interval dan lama kebuntingan) dan pertambahan bobot hidup.

Penerapan teknologi budidaya sapi terintegrasi dengan tanaman padi selain dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman, menghasilkan biogas dan meningkatkan produktivitas ternak juga meningkatkan pendapatan petani dan populasi ternak.

Penerapan perbaikan teknologi budidaya ternak ramah lingkungan perlu diperluas untuk meningkatkan produktivitas padi dan ternak sehingga terpenuhi program kecukupan pangan dan daging serta pemenuhan bahan bakar secara mandiri.

UCAPAN TERIMAKASAIH Kepada bapak Yasin diucapkan terimakasih atas diijinkannya untuk pengambilan data dan kepada Bapak Udin terimakasih atas bantuannya dalam pengukuran sapi dan informasi yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

AFFANDHY, L., P.SITUMORANG, W.C. PRATIWI dan D.PAMUNGKAS.2006. Performans Reproduksi sapi PO Pada Pola Perkawinan Berbeda dalam usaha Peternakan Rakyat. Studi Kasus di Kabupaten Blora dan Pasuruan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 31 – 37.

BPS.2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia, Jakarta

(7)

DITJENNAK. 2006. Satatistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta.

HARYANTO,B.,I.INOUNU,I-G.M.BUDI ARSANA dan K. DIWYANTO. 2002. Panduan teknis Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.

HARYANTO,B.,SUPRIYATI danS.N.JARMANI.2004. Pemanfaatan probiotik dalam bio-proses untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi untuk pakan domba. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 298 – 304.

HAVEZ,E.S.E.2000. Reproduction In Farm Animal. 7th Ed. Kiawai Island, South California, USA. JARMANI,S.N.danB. HARYANTO.2004. Perolehan

pendapatan pemeliharaan domba dengan pakan jerami padi yang difermentasi menggunakan probiotik probion. J. Pengembangan Peternakan Tropis. Spesial edisi. Oktober 2004. hlm. 23 – 26.

JARMANI, S.N., B. HARYANTO, W. PUASTUTI, HASTONO, S.A. ASMARASARI, D. PRAMONO

danK.SUMANTO.2007. Perbaikan Manajemen budidaya Ternak berwawasan Lingkungan melalui Penerapan Teknologi Bioproses limbah Pertanian dan Pemanfaatan Tanaman Berkhasiat Obat di Blora. 2007. Laporan Kegiatan P4MI.

KOMPYANG, I.P., A.P. SINURAT, SUPRIYATI, T. PURWADARIA dan J. DARMA.1994. Nutrition Value of Protein Enriched cassava Casapro. Ilmu dan Peternakan 7(2): 22 – 25.

SARIUBANG, M. danA. NURHAYU. 2005. Integrasi usahatani tanaman padi – sapi potong berwawasan pertanian organik. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 241 – 247.

SEMBIRING, H. dan D. KUSDIAMAN. 2008. Inovasi Teknologi Padi Mendukung Usahatani Tanaman-ternak. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 74 – 85.

SUTAMA, I-K., T. KOSTAMAN dan I-G.M. BUDI

ARSANA. 2006. Pengaruh pakan berbasis jerami padi difermentasi terhadap performan beranak dan produksi susu kambing Peranakan Etawah. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 550 – 554.

SUWADJI, E.,B.H.SASONGKO danS.UTAMI.2001. Mempelajari limbah kelapa sawit dengan penanaman jamur Coprinus cinereus dan penggunaannya untuk pakan ternak. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 308 – 317. WIYONO, D.B dan U. UMIYASIH. 1998. Tampilan

status reproduksi sapi perah pada tingkat kondisi badan yang berbeda dan sistem pengelolaan di peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 November 1997. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 297 – 304. WIYONO, D.B., MARIYONO dan HARTATI. 2005. Korelasi Bobot Hidup Induk Menyusui dengan pertambahan Bobot Hidup pedet Sapi Peranakan Ongole. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 201 – 205.

(8)

DISKUSI Pertanyaan:

1. Berapa biaya untuk pembuatan digester biogas tersebut?

2. Apakah dengan pemilikan 2 ekor sapi dapat dipenuhi digester tersebut? Jawaban:

1. Tergantung dari harga drum bekas di lokasi. Diperlukan 2 drum kapasitas 200 liter dimana drum I untuk menampung campuran kotoran sapi dengan air dan drum II sebagai tutup dengan lobang untuk pemasangan pipa/selang gasbio yang dihasilkan yang selanjutnya dialirkan ke kompor untuk masak. Pipa/selang dilengkapi dengan keran untuk menutup/menbuka aliran gasbio.

2. Bila rata-rata sapi menghasilkan 10 – 12 kg kotoran per hari maka dengan 2 ekor sapi memerlukan waktu 3 – 4 hari untuk memenuhi isi digester.

Gambar

Tabel 1. Penampilan hasil reproduksi sapi
Gambar 1. Perubahan bobot hidup dari umur 0 – 10 minggu 010203040506070023679 10Umur (minggu)Bobot hidup (kg)

Referensi

Dokumen terkait

Xuan Trach (2004) melaporkan teknologi peningkatan nilai nutrisi jerami padi dengan penambahan urea sebagai pakan ternak sapi pada kondisi peternakan rakyat dapat

Kandang yang baik perlu dilengkapi bak penampungan limbah usaha ternak; (2) Pengelo- laan pakan dengan memanfaatkan hasil ikutan tanaman perkebunan kulit kakao, pelepah daun sawit,

Teknologi budidaya kedelai ramah lingkungan dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu, yang dilaksanakan dalam bentuk display varietas unggul baru kedelai,

Berpijak pada kepentingan memanfaatkan limbah industri kopi untuk bahan pakan ternak, hasil kulit kopi dari penerapan teknologi yang pertama hambatannya tidak sekompleks seperti

Memaparkan budidaya, pertumbuhan, produksi, nilai nutrisi serta kecernaan TPT Stenotaphrum secundatum serta potensinya sebagai pakan ternak ruminansia untuk dapat

Pertambahan bobot badan ini masih berada di bawah hasil yang diperoleh Manurung (1994), dimana dengan perbaikan pakan pertambahan bobot badan ternak babi lokal dapat mencapai

HASILDANPEMBAHASAN Kegiatan diawali dengan sosialisasi dari ketua tim pengabdi tentang pembuatan pakan ternak "Silase" yang difermentasi, yang dapat digunakan sebagai pakan tambahan

Hijauan pakan ternak sangat berperan dalam budidaya ternak ruminansia (sapi, domba, dan kambing). Hijauan pakan ternak ini dibutuhkan oleh ternak ruminansia