• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOINFEKSI TUBERKULOSIS PADA SEORANG PENYANDANG MORBUS HANSEN TUBERCULOSIS COINFECTION IN A MORBUS HANSEN PATIENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOINFEKSI TUBERKULOSIS PADA SEORANG PENYANDANG MORBUS HANSEN TUBERCULOSIS COINFECTION IN A MORBUS HANSEN PATIENT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KOINFEKSI TUBERKULOSIS PADA SEORANG PENYANDANG MORBUS HANSEN

TUBERCULOSIS COINFECTION IN A MORBUS HANSEN PATIENT

Regina1, Lorettha Wijaya1

ARTIKEL LAPORAN KASUS

ABSTRACT

Introduction: Morbus Hansen (MH) and Tuberculosis (TB) are caused by Myco-bacterium leprae and MycoMyco-bacterium tuberculosis, respectively. The occur-re nc e of tho se two infec tion s co nc omitan tly is raoccur-re, u su ally in immunocompromised patients.

Case: A 23-year-old woman was diagnosed of having MH, pulmonary TB, lymph node TB, and scrofuloderma based on history, physical examinations, and laboratory examinations. There is no history of taking either immunosuppresant agents nor organ transplantation. The glucose blood test is normal and HIV test is negative, although there is a weight loss about 20 kg in the last 11 months. She was given Rifampicin 600 mg/d, Ofloxacin 400 mg/d, Isoniazide 400 mg/d + vitamine B6 10 mg/d, and Ethambutol 750 mg/d. After two weeks she showed a clinical improvement.

Conclusion: Coinfection of MH and TB occurs in the patient, but her predisposi-tion fac to r is s till u nk no wn . Th erap eu tic re gime n fo r pu lmon ary an d extrapulmonary TB can improve either the scrofuloderma or the MH lesions after 2 weeks.

Key words: lymph node tuberculosis, morbus Hansen. pulmonary tuberculo-sis, scrofuloderma, weight loss

ABSTRAK

Pendahuluan: Morbus Hansen (MH) dan Tuberkulosis (TB) berturut-turut disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan Mycobacterium tuberculosis. Kejadian kedua infeksi timbul secara bersamaan jarang ditemukan, biasanya terjadi pada pasien-pasien imunokompromais.

Kasus: Seorang perempuan berusia 23 tahun didiagnosis menderita MH, TB paru, TB kelenjar getah bening, dan skrofuloderma berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratoris. Tidak didapatkan riwayat konsumsi obat-obat imunosupresan ataupun transplantasi organ. Tes gula darah normal dan tes HIV negatif, meskipun dijumpai penurunan berat badan sekitar 20 kg dalam 11 bulan terakhir. Penatalaksanaan yang diberikan adalah Rifampisin 600 mg/hari, Ofloksasin 400 mg/hari, Isoniazid 400 mg/hari + vita-min B6 10 mg/hari, dan Etambutol 750 mg/hari. Setelah 2 vita-minggu terapi pasien memperlihatkan perbaikan klinis.

1 Departemen Ilmu Kesehatan Kulit

dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara 14440

Korespondensi:

Loretha Wijaya, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara 14440. E-mail:

(2)

PENDAHULUAN

Morbus Hansen (MH) dan Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium. MH disebab-kan oleh M. leprae, sedangkan TB terutama di-sebabkan oleh M. tuberculosis. Keduanya banyak ditemukan di daerah yang beriklim tropis dan me-miliki kelembaban udara tinggi, tingkat sosial eko-nomi penduduk yang rendah, serta status gizi dan higienitas yang buruk.1

MH adalah p enya kit infe ksi kron is yang menyerang kulit dan saraf tepi. Komplikasi yang ditakutkan dari MH adalah kecacatan, sehingga penderita menjadi malu, sulit berfungsi, serta dikucilkan dari kehidupan sosial. Diagnosis dan terapi yang tepat sedini mungkin adalah strategi untuk mengontrol penyakit ini.1 MH dapat mengenai semua ras, usia, dan kedua jenis kelamin. Insiden tertinggi didapati pada usia 10-15 tahun serta 30-60 tahun. Pada laki-laki lebih banyak ditemukan MH bentuk lepromatosa. Mekanisme transmisi M. leprae masih belum diketahui dengan jelas, namun diduga melalui drop let nasa l dan oral dari pasien yang mengandung banyak kuman dan masuk melalui traktus respiratorius. Hipotesis yang menyatakan kulit sebagai rute transmisi kuman M. leprae

ma-sih belum dapat dibuktikan. Inokulasi kuman lebih sering melalui mukosa nasal daripada melalui kulit yang tidak intact, dengan masa inkubasi rerata 4-10 tahun.1-3

Infeksi TB dapat mengenai paru, kelenjar getah bening, kulit, tulang, selaput otak, dan sebagai-nya. Kuman M. tuberculosis tidaklah terlalu virulen karena hanya 5-10% infeksi yang dapat menyebabkan penyakit. Sel T helper (Th) CD4+ memegang peranan penting dalam perlindungan terhadap infeksi mikobakteria. Oleh karena itu, pasien dengan fungsi sel Th CD4+ yang rendah, misalnya pasien dengan koinfeksi HIV atau yang menjalani terapi imunosupresif, terutama inhibi-tor Tumor Necrosis Facinhibi-tor (TNF)-

, memiliki risiko untuk menderita TB atau mengalami reaktivasi TB.1

TB kutis jarang ditemukan. Kurang dari 2% pasien TB memiliki lesi kulit. Tipe lesi kulit yang terjadi tergantung pada faktor-faktor pejamu, seperti usia, jenis kelamin, letak anatomis, dan status nutrisi. Bentuk TB kutis yang paling sering ditemu-kan adalah skrofuloderma. Di area yang endemik TB, lebih dari 50% kasus TB kutis akan muncul sebelum usia 19 tahun. Seringkali fokus infeksi TB kutis sulit ditemukan. Tiga sampai dua belas persen kasus TB kutis akan memiliki gambaran

Kesimpulan: Koinfeksi MH dan TB terjadi pada kasus ini. Faktor predisposisi kejadian tersebut belum dapat ditemukan. Rejimen terapi TB paru dan ekstrapulmonal memberi perbaikan klinis pada lesi skrofuloderma maupun MH setelah 2 minggu.

Kata kunci: morbus Hansen, penurunan berat badan, skrofuloderma. tuberkulosis paru, tuberkulosis kelenjar getah bening

(3)

rontgen paru yang abnormal, dan seringkali ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.4,5

KASUS

Seorang perempuan berusia 23 tahun, berasal dari Papua, datang dengan keluhan nyeri, lemah, dan gemetar pada persendian kedua tangan dan kedua kaki sejak 2 minggu sebelum datang ke poliklinik bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit (RS) Atma Jaya. Sela in itu, pasien juga mengeluhkan adanya luka di kedua ketiak yang tidak kunjung sembuh sejak 5 bulan yang lalu. Luka timbul dari benjolan yang pecah dan mengeluarkan nanah. Benjolan-benjolan di leher dan ketiak pasien sudah ada sejak 15 tahun yang lalu, bertambah banyak, dan agak nyeri. Pasien sempat berobat, mendapatkan perawatan luka serta Siprofloksasin, namun tidak sembuh. Pasien sering merasa sesak napas sejak 15 tahun yang lalu, namun menyangkal riwayat batuk

lama atau batuk darah. Riwayat keluarga dan orang sekitar dengan keluhan batuk lama atau batuk darah disangkal.

Pasien juga mengemukakan adanya bercak-ber-cak putih sejak 15 tahun yang lalu. Berbercak-ber-cak-berbercak-ber-cak tersebut timbul di perut, kedua lengan bawah, punggung, dan kedua paha. Bercak-bercak putih dirasakan agak baal, tidak gatal, dan tidak nyeri. Riwayat keluarga dan orang sekitar dengan keluhan serupa disangkal.

Hasil pemeriksaan foto thoraks 5 bulan yang lalu menunjukkan gambaran TB paru, tetapi tidak ada data riwayat pengobatan TB. Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 20 kg dalam 11 bulan terakhir. Pasien belum menikah, namun memiliki riwayat berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Riwayat transplantasi organ ataupun penggunaan obat-obatan yang dapat menekan sistem imun disangkal.

Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit

se-Gambar 1. Pada kedua daun telinga tampak papul-papul dan megalobuli serta pada leher tampak beberapa nodul berdiameter 1-5 cm.

(4)

dang dengan status gizi dan status higiene baik. Pemeriksaan dermatologis mendapati papul-papul eritem dan megalobuli pada kedua daun telinga. (Gambar 1) Papul dan plak eritema multipel juga tampak di glabela, kedua pipi, dan dagu. Pada kedua lengan, kedua tungkai, perut, dan punggung tampak makula hipopigmentasi, multipel, ukuran numular sampai plakat, dengan permukaan yang lebih kering dari kulit sekitarnya disertai dengan gangguan sensibilitas. Tidak di-temukan alopesia. N. aurikularis magnus sinistra dan N. ulnaris sinistra menebal dan nyeri tekan. Otot yang dipersarafi N. medianus sinistra lebih lemah daripada yang dekstra, serta didapati hipotrofi otot tenar sinistra.

Pada leher dan kedua ketiak tampak beberapa nodul sewarna kulit, diameter 1-5 cm, konsistensi sebagian keras sebagian kenyal, permukaan licin, batas tegas, mobile, tidak nyeri tekan, dan tidak panas. Pada ketiak kanan tampak ulkus linear ukuran ± 0,5 cm x 0,5 cm x 0,1 cm dengan tepinya jarin gan parut hipertrofi berwarna hitam keunguan. Ketiak kiri tampak ulkus berukuran 1 cm x 1 cm x 0,3 cm tertutup pus. (Gambar 2) Pemeriksaan darah memberikan hasil sebagai berikut: Hb 10 g/dl, Ht 30 %, jumlah leukosit 6.300/ ul, jumlah trombosit 362.000/ul, laju endap darah 39 mm/jam, hitung jenis leukosit B/E/Bt/S/L/M 0/

0/5/77/18/0, SGOT 47 U/l, SGPT 55 U/l, Ureum 18 mg/dl, Kreatinin 0,6 mg/dl, GDS 85 mg/dl, Natrium 136 mmol/L, Kalium 3,6 mmol/L, Kalsium 1,21 mmol/L, dan Klorida 104 mmol/L. Pemeriksaan slit skin smear dari cuping kedua telinga dan glabela dengan pewarnaan Ziehl Neelsen ditemukan Basil Tahan Asam (BTA) berbentuk batang utuh dan tidak utuh (fragmen dan granul). (Tabel 1) Ditemukan pula banyak glo-bus. Pada glabela, indeks bakterinya +4, sedang-kan pada kedua cuping telinga indeks bakterinya +6. (Gambar 3) Pemeriksaan serologik HIV mem-beri hasil negatif. Pemeriksaan FNAB kelenjar getah bening leher ditemukan BTA dan menun-jukkan gambaran limfadenitis TB.

Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka diagno-sis kerja kami adalah MH tipe BL disertai TB paru aktif dengan TB kelenjar dan skrofuloderma. Tata laksana yang kami berikan pada pasien ini adalah Rifampisin 600 mg/hari, Ofloksasin 400 mg/hari, Isoniazid 400 mg/hari + vitamin B6 10 mg/hari, serta Etambutol 750 mg/hari.

Setelah mendapatkan pengobatan selama 2 minggu, ukuran infiltrat pada wajah dan mega-lobuli kedua telinga mengecil. Makula-makula hi-popigmentasi pada perut dan punggung menjadi agak kemerahan, namun tidak meninggi. Ukuran

Lokasi Indeks Bakteri Indeks Morfologi

Cuping kanan +6 87 %

Cuping kiri +6 80 %

Dahi +4 89 %

(5)

Gambar 4. Ulkus di kedua ketiak tampak mulai menutup.

Gambar 2. Pada ketiak kanan tampak ulkus linear ukuran ± 0,5 cm x 0,5 cm x 0,1 cm dengan tepinya jaringan parut hipertrofi. Pada ketiak kiri tampak ulkus berukuran 1 cm x 1 cm x 0,3 cm tertutup pus.

Gambar 3. Pada lapang pandangan kiri tampak hasil pemeriksaan slit skin smear dari glabela dengan indeks bakteri +4, sedangkan pada lapang pandangan kanan adalah

(6)

kelenjar getah bening leher mengecil dan ulkus di kedua ketiak mulai menutup. (Gambar 4) Atas permintaan keluarga, pasien lalu dirujuk ke RS lain.

PEMBAHASAN

Diagnosis MH ditegakkan berdasarkan ditemu-kannya minimal satu dari tiga tanda kardinal MH yang ditetapkan oleh WHO Expert Committee on Leprosy.6 Tiga tanda kardinal tersebut, yaitu lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang hipoestesi atau anestesi, pembesaran saraf perifer dengan kelemahan otot atau berkurang-nya sensasi pada daerah yang dipersarafi, dan ditemu kann ya b akte ri tahan asa m pa da pemeriksaan slit skin smear.6 Dengan menemu-kan ketiga tanda kardinal, sensitivitas diagnosis-nya dilaporkan mencapai 97%.3 Pada kasus, diagnosis MH ditegakkan dengan ditemukannya ketiga tanda kardinal tersebut.

Manifestasi klinis penyakit MH sangat bervariasi, bergantung pada respons imunitas tubuh pasien sendiri terhadap bakteri dan jumlah bakteri. Jumlah bakteri yang sangat banyak menyebab-kan bentuk klinis berupa infiltrat.7 Berdasarkan gambaran klinis dan status imunitas pasien Rid-ley-Jopling mengklasifikasikan MH menjadi bentuk tuberkuloid polar (TT), tuberkuloid borderline (BT), mid borderline (BB), lepromatosa borderline (BL), lepromatosa polar (LL), dan tipe indeterminate.3,8 Untuk kepentingan terapi di daerah endemik yang tidak memiliki fasilitas laboratorium, pada tahun 1997, WHO membagi kasus MH menjadi 3 kate-gori, yakni MH pausibasilar (PB) lesi tunggal, MH PB dengan lesi kulit 2-5 buah, dan MH Multibasilar

(MB) jika lesi kulit berjumlah 6 atau lebih.1 Sistem ini tidaklah sempurna karena banyak kasus MH MB yang salah diklasifikasikan menjadi MH PB.3 Pada kasus ditemukan makula hipopigmentasi serta papul dan plak eritem yang multipel dengan jumlah sulit dihitung, terdistribusi hampir simetris, batas tidak tegas, dan hipoestesi pada hampir seluruh lesi. Didapatkan pula pembesaran N. aurikularis magnus sinistra dan N. ulnaris si-nistra. Pada pemeriksaan slit skin smear ditemu-kan BTA. Oleh karena itu, kami simpulditemu-kan diag-nosis kasus ini sesuai dengan kriteria MH MB tipe BL.

Selain itu, pasien pada kasus ini juga didiagnosis menderita infeksi tuberkulosis. Infeksi TB dapat mengenai organ paru, kelenjar getah bening, kulit, tulang, selaput otak, dan dapat menyebar secara sistemik. TB kutis merupakan sebagian kecil dari seluruh kasus TB, yakni sekitar kurang dari 1-2%. Jumlah ini menjadi signifikan di negara-ne-gara yang memiliki penderita TB dalam jumlah banyak.5 Indonesia saat ini berada pada peringkat kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia, di mana prevalensi TB semua kasus adalah se-besar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun.9 Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per ta-hunnya.9

Klasifikasi TB kutis yang ideal tidak ada. Skrofulo-derma merupakan bentuk TB kutis yang paling sering ditemukan.4 Skrofuloderma disebabkan penjalaran perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang menjadi fokus infeksi TB, paling sering dari kelenjar getah bening atau tulang.1,4 Kelainan ini biasanya dimulai sebagai limfadenitis TB yang berupa pembesaran kelenjar getah bening tanpa

(7)

tanda radang akut. Selain limfadenitis, terjadi pula periadenitis, sehingga terjadi perlekatan kelenjar dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar getah bening tersebut kemudian mengalami perlunakan yang tidak serentak, sehingga pada perabaan akan memberikan konsistensi kenyal dan lunak (cold abcess). Kelenjar getah bening yang lunak lalu memecah dan membentuk fistula dan ulkus. Ulkus pada skrofuloderma bentuknya meman-jang dan tidak teratur, sekitarnya berwarna ke-unguan (livid), dinding bergaung, dan jaringan gra-nulasinya tertutup pus seropurulen. Jika me-nyembuh akan terbentuk jaringan sikatriks yang memanjang dan tidak teratur, kadang-kadang terbentuk jembatan jaringan. Pasien biasanya tidak mengalami gejala konstitusional.10

Pada kasus ditemukan pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening leher bilateral dan kedua ketiak, tanpa tanda radang akut, dengan konsis-tensi keras atau kenyal. Gambaran sesuai lim-fadenitis TB dan BTA ditemukan pada peme-riksaan FNAB. Pada ketiak kanan dan kiri terdapat ulkus dengan bentuk dan jaringan sikatriks yang sesuai gambaran skrofuloderma. Oleh karena itu, penyebaran bakteri M. tuberculosis ke kulit diduga melalui kelenjar getah bening regional yang sudah terinfeksi dan menyebabkan skro-fuloderma di kedua ketiaknya. Fokus infeksi TB diduga berasal dari paru-paru.

Koinfeksi M. leprae dan M.tuberculosis pada pasien yang sama jarang dijumpai.11 Agarwal et al. melaporkan kasus koinfeksi MH dan TB paru pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal dan mendapatkan terapi imunosupresi.12 Agrawal dan Sharma melaporkan terjadinya koinfeksi mikobakteria pada pasien arthritis

rematoid yang diterapi dengan leflunomide (golongan disease modifying anti rheumatic drug/DMARD).13 Sementara Negrete et al. melaporkan koinfeksi MH dan TB pada pasien dengan transplantasi ginjal dan malnutrisi.11 Scollard et al. melaporkan koinfeksi TB kutis pada lesi MH yang mendapat terapi kortikosteroid untuk reaksi MH tipe 1.14 MH ternyata banyak ditemukan pada pasien imuno-kompromais yang menjalani transplantasi atau mendapatkan terapi TNF-blocking monoclonal antibodies, misalnya infliximab atau adalimumab.15

Pada kasus, kejadian koinfeksi tuberkulosis dan Morbus Hansen tidak diketahui sejak kapan, kemungkinan sudah dimulai sejak 15 tahun se-belum pasien datang ke poliklinik RS Atma Jaya, namun adanya keadaan imunokompromais tidak dapat dibuktikan. Riwayat penggunaan agen imunosupresan, transplantasi organ, malnutrisi, ataupun kelainan gula darah tidak dijumpai pada pasien. Oleh karena itu, perlu dipikirkan faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan status imun pasien. Dalam anamnesis diketahui bahwa pasien memiliki riwayat promiskuitas dan penurunan berat badan 20 kg dalam 11 bulan terakhir, maka dicurigai adanya koinfeksi HIV. Infeksi HIV diketahui dapat menurunkan fungsi sel Th CD4+ yang memegang peranan penting dalam perlindungan terhadap infeksi miko-bakteria. Pasien dengan koinfeksi HIV memiliki risiko untuk menderita TB atau mengalami reaktivasi TB.1 Koinfeksi HIV menyebabkan ke-butuhan pengobatan MDT MH yang lebih lama, meskipun HIV tidak menjadi faktor risiko untuk terjadinya infeksi M. leprae maupun mengubah perjalanan penyakit MH.15,16 Setelah mendapat

(8)

persetujuan pasien, kami meminta pemeriksaan serologik HIV dan ternyata hasilnya negatif. Dengan demikian, kami belum dapat menentukan faktor predisposisi terjadinya koinfeksi MH dan TB pada pasien ini.

Rejimen pengobatan MH tipe MB yang disediakan pemerintah adalah Rifampisin 600 mg/bulan, Klofazimin 300 mg/bulan dilanjutkan 50 mg/hari, serta Dapson 100 mg/hari. Institusi kami tidak memiliki rejimen tersebut. Setelah kami memberi penjelasan dan mendapat persetujuan pasien, maka diputuskan untuk menggunakan rejimen alternatif Rifampisin 600 mg/bulan dan Ofloksasin 400 mg/bulan. Rejimen TB paru dan ekstrapul-monal yang digunakan adalah Rifampisin 600 mg/hari, Ofloksasin 400 mg/hari, Isoniazid 400 mg/hari + vitamin B6 10 mg/hari, dan Etambutol 750 mg/hari. Karena dosis Rifampisin dan Ofloksasin untuk TB harus diberikan setiap hari, maka kami mengikuti terapi untuk TB. Setelah 2 minggu terapi pasien memperlihatkan perbaikan klinis.

KESIMPULAN

Koinfeksi Morbus Hansen dan Tuberkulosis telah terjadi pada kasus ini. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Rejimen terapi yang terdiri dari Rifampisin 600 mg/hari, Ofloksasin 400 mg/hari, Isoniazid 400 mg/hari + vitamin B6 10 mg/hari, dan Etambutol 750 mg/hari, memberi perbaikan klinis pada lesi MH maupun skrofulo-dermanya setelah 2 minggu. Namun, faktor predisposisi terjadinya koinfeksi yang biasanya berupa penurunan daya tahan tubuh tidak dapat

ditemukan. Riwayat penggunaan agen imunosup-resan, transplantasi organ, malnutrisi, ataupun kelainan gula darah dan infeksi HIV, yang diketahui dapat menurunkan daya tahan tubuh, tidak dijum-pai pada kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infec-tions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Dermatology. 7th ed. USA: Elsevier; 2012. p.122-42.

2. Rodrigues LC, Lockwood DNJ. Leprosy now: epidemiology, progress, challenges, and re-se arch gap s. L ancet Infect Dis. 2011;11(6):464-70.

3. Eichelmann K, González González SE, Salas-Alanis JC, Ocampo-Candiani J. Lep-rosy. An update: definition, pathogenesis, classification, diagnosis, and treatment. Actas Dermosifiliogr. 2013;104(7):554-63. 4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's

diseases of the skin: clinical dermatology. 11th ed. USA: Elsevier; 2011. p.322-33. 5. Bravo FG, Gotuzzo E. Cutaneous

tubercu-losis. Clin Dermatol. 2007;25(2):173-80. 6. World Health Organization. WHO Expert

Committee on Leprosy: Eighth report. Genewa: WHO; 2012.

7. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's derma-tology in general medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill; 2008. p.1786-96.

8. Kosasih A, Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: BP FKUI; 2010. p.73-88.

(9)

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi nasional pengendalian TB di Indo-nesia 2010-2014. Jakarta: 2011. p.12. 10. Djuanda A. Tuberkulosis kutis. In: Djuanda

A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: BP FKUI; 2010. p.64-72.

11. Negrete V, Ida J, Dillig G, Zohrabian N, Feldman J. Concurrent Hansen disease and pulmonary tuberculosis. J Am Acad Dermatol. 2011;64(5):1001-3.

12. Agarwal DK, Mehta AR, Sharma AP, Sural S, Kumar A, Mehta B, et al. Coinfection with leprosy and tuberculosis in a renal transplant re cipient. Nep hrol Dial Transplan t. 2000;15:1720-1.

13. Agrawal S, Sharma A. Dual mycobacterial

infection in the setting of leflunomide treat-ment for rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis. 2007;66:277.

14. Scollard DM, Stryjewska BM, Prestigiacomo JF, Gillis TP, Waquespack-Labiche J. Hansen's disease (leprosy) complicated by secondary mycobacterial infection. J Am Acad Dermatol. 2011;64(3):593-6.

15. Renault CA, Ernst JD. Mycrobacterium leprae. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennett's principles and practice of infectious diseases. 7th ed. USA: Elsevier; 2010. p.3165-76.

16. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansen's diseases. In: Andrew's diseases of the skin: clinical dermatology. 11th ed. USA: Elsevier; 2011. p.334-44.

Gambar

Gambar 1. Pada kedua daun telinga tampak papul-papul dan megalobuli serta pada leher tampak beberapa nodul berdiameter 1-5 cm.
Tabel 1. Perhitungan Indeks Bakteri dan Morfologi
Gambar 4. Ulkus di kedua ketiak tampak mulai menutup.

Referensi

Dokumen terkait

Plaintif adalah sebuah syarikat sendirian berhad yang menjalankan perniagaan pengilangan dan penjualan bahan “agrochemical” telah menuntut kepada Defendan jumlah wang

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan pada lapangan penelitian faktor pendukung pola interaksi mahasiswa Etnis Timur dan Etnis Jawa Untuk meningkatkan

Kerinci pada tahun 2007, diketahui bahwa Kabupaten Kerinci memiliki 9 sentra indusiri kecil pengolaban h a i l pertanian yang terdiri dari.. Sentra industri di Kabupaten

Dari hasil diatas maka tambak tersebut termasuk tambak dengan tingkat fosfat yang tidak normal karena fosfat tanah di pintu pemasukan maupun di tengah tambak mencapai

Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNya-lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Simulasi (Travelling Salesman Problem) TSP Untuk

Gambar 4 adalah kadar karbon terikat karbon aktif hasil aktivasi arang batubara pada berbagai konsentrasi aktivator tunggal dan ganda.. Hasil penelitian menunjukkan

Sesuai dengan data yang diperoleh di dua lembaga pendidikan, SDIT Al-Amin dan SDIT Babussalam, Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

Cooperative Learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu mahasiswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya dengan mengaplikasikan suatu pemb- elajaran untuk