• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Fraktur merupakan kondisi ketika tulang mendapat tekanan yang melebihi kekuatan dari tulang tersebut sehingga menyebabkan terjadinya patah tulang (Atlas of pathophysiology, 2010). Kerusakan yang terjadi pada kontinuitas tulang disebut dengan fraktur, kerusakan tulang yang besar disebabkan oleh adanya tekanan dari luar yang parah (Duckworth, 2010).

Istilah yang digunakan untuk menjelaskan berbagai jenis fraktur (pata tulang) antara lain fraktur komplit yaitu fraktur yang mengenai suatu tulang secara keseluruhan, fraktur inkomplit merupakan fraktur yang meluas secara parsial pada suatu tulang (Apley’s & Solomon, 2010). Fraktur sederhana (tertutup) merupakan fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit dan fraktur compound (terbuka) merupakan fraktur yang menyebabkan robeknya kulit dan memungkinkan terjadinya infeksi (Michelle, 2012).

Data WHO pada tahun 2011 menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 67% korban kecelakaan lalu lintas dialami oleh masyarakat yang memiliki rata- rata usia produktif, yaitu 22-50 tahun. Selain itu, terdapat sekitar 400.000 korban meninggal dunia dibawah usia 25 tahun. Menurut data Badan Intelejen Negara pada tahun 2013, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh badan kesehatan dunia (WHO) disebutkan termasuk dalam kategori pembunuh terbesar ketiga setelah penyakit jantung koroner dan penyakit menular tuberculosis (WHO, 2011). Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas (Dwi et al, 2015).

Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sering terjadi. Sebagaimana diketahui, masyarakat menjadikan alat transportasi sebagai kebutuhan primer. Tingginya kejadian kecelakaan lalu lintas setara dengan meningkatnya angka kejadian fraktur. Data yang disebutkan oleh PBB bahwa setiap tahun sekitar 1,3 juta orang atau setiap hari sekitar 3.000 orang meninggal dunia akibat kecelakaan. Tingginya angka kejadian kecelakaan lalu lintas

(2)

khususnya sepeda motor berdasarkan data KORLANTAS POLRI tahun 2011-2013 yakni sebesar 52,2% (Dwi et al., 2015).

Patah tulang (fraktur) yang disebabkan oleh kecelakaan transportasi atau kecelakaan kerja seperti terjatuh menurut Elizabeth J.Corwin dapat menyebabkan adanya patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak yang biasanya disertai nyeri. Kerusakan pada jaringan akan mengaktifkan mediator inflamasi seperti peptida (bradikinin), neurotransmitter (serotonin dan ATP), dan prostaglandin. Pelepasan prostaglandin yang meningkat pada sel-sel mati di daerah fraktur akan mengalami peradangan atau inflamasi, dengan adanya inflamasi proses pengahambatan penyembuhan tulang menjadi terhambat (Dimmen, 2010). Selain itu mediator inflamasi akan berinteraksi dengan reseptor dan saluran ion pada ujung-ujung saraf sensorik (nosiseptor perifer) tersebut akan menghantarkan impuls nyeri ke otak (Spreng, 2011). Setelah patah tulang dapat timbul spasme otot yang menambah rasa nyeri. Pada kondisi fraktur stres, nyeri biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas dan menghilang pada saat istirahat. Fraktur patologis biasanya tidak disertai rasa nyeri. Pada pasien yang mengalami fraktur akan tampak jelas posisi tulang yang tidak alami, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas atau perubahan tempat pada awalnya. Pada pasien yang mengalami kondisi fraktur (patah tulang), bila dilakukan pemeriksaan dengan meraba pada bagian fraktur maka terdapat krepitus (suara gemeretak) yang diakibatkan adanya pergeseran ujung-ujung patahan atau gesekan antara fragmen satu dengan fagmen yang lain. Selain itu, dapat terjadi gangguan sensasi atau dapat menyebabkan rasa kesemutan, yang mengisyaratkan adanya kerusakan saraf. Denyut nadi pada bagian distal fraktur harus tetap utuh, hilangnya denyut nadi disebelah distal menggambarkan kondisi syok kompartemen. Sehingga terjadi pembengkakan disekitar daerah fraktur dan akan disertai proses peradangan (perubahan warna) yang menunjukkan adanya trauma dan perdarahan sekitar fraktur. Tanda ini biasanya terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah terjadi cidera (Smelzter & Bare, 2002).

Prinsip penatalaksanaan pada kondisi fraktur dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi. Penatalaksanaan non-farmakologi meliputi proses reduksi fraktur yaitu pengembalian fragmen tulang pada posisi

(3)

sejajarannya dan rotasi anatomis. Metode reduksi fraktur dibagi menjadi reduksi tertutup dan reduksi terbuka, pada reduksi fraktur tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan). Setelah fraktur direduksi kemudian di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Tahap selanjutnya mempertahankan dan mengembalikan fungsi, reduksi dan imobilisasi (Duckworth, 2010).

Terputusnya ujung-ujung syaraf sensoris akibat terjadinya patah tulang dapat menyebabkan nyeri sehingga untuk mengurangi rasa nyeri diperlukan penatalaksanaan secara farmakologi dengan pemberian obat anti nyeri (Handoko et al., 2011). Penggunaan opioid merupakan gold standar untuk pengelolaan nyeri berat, namun dihubungkan dengan efek samping maka penggunaan analgesik NSAID banyak digunakan (Ali, 2013). Penanganan nyeri pada fraktur dapat diberikan terapi obat seperti non-steroid anti inflamasi (NSAID) dan golongan opioid (Chaddha, 2012).

Obat anti inflamasi non steroid (AINS) umumnya digunakan untuk mengatasi nyeri dan meredakan inflamasi yang disebabkan oleh fraktur. AINS menghambat biosintesis prostaglandin yang terbentuk akibat kerusakan jaringan, serta menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang dikenal dalam dua bentuk yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 ditemukan di semua jaringan yang berperan dalam proses hemostatik, sitoprotektif dan pengaturan regulasi mukosa saluran pencernaan dan tidak banyak berperan dalam proses inflamasi. COX-2 memproduksi PG (prostaglandin) yang merangsang sitokin dan terlibat dalam proses inflamasi jaringan dan nyeri. (Handoko et al., 2011).

AINS non selektif telah banyak digunakan untuk mengurangi nyeri pasca operasi patah tulang atau cedera otot (Handoko et al., 2011). AINS non selektif seperti ketorolac merupakan analgesik poten dengan efek anti-inflamasi sedang. Ketorolac adalah OAINS yang digunakan secara sistemik, terutama sebagai analgesik bukan sebagai obat antiinflamasi. Obat ini merupakan analgesik yang efektif dan dapat digunakan untuk menggantikan morfin dalam beberapa situasi yang melibatkan nyeri pasca operasi ringan dan sedang. Obat ini paling sering diberikan secara intramuscular atau intravena, tetapi juga tersedia bentuk dosis

(4)

oral. Ketorolac IM sebagai analgesik pasca bedah memberikan efek sebanding morfin atau meperidin pada dosis umum, masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan (Katzung, 2010). Untuk pemberian pada pasien usia dibawah 65 tahun diberikan dosis 30 mg IM atau IV setiap 6 jam (dosis maksimum adalah 120 mg per hari) selama 5 hari. Untuk pasien dengan usia > 65 tahun, atau dengan gangguan fungsi ginjal dosis yang digunakan adalah 15 mg IV atau 30 mg IM, diikuti dengan 15 mg IM atau IV setiap 6 jam (dosis maksimum adalah 60 mg per hari) (Ferdinand, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Dewo et al tentang terapi kombinasi pada proses imobilisasi dengan diberikan terapi injeksi ketorolac memberikan hasil pada 61 subyek closed fracture dengan tingkat keparahan nyeri diekstermitas. Hasil penelitian menyebutkan bahwa imobilisasi yang diberikan dengan terapi injeksi ketorolac dapat digunkan sebagai manajemen pada kasus fraktur tertutup (Closed fracture) (Dewo et al., 2014). Penelitian yang dilakukan dengan judul “perioperative single dose ketorolac to prevent postoperative pain” memberikan hasil pada subjek yang mendapatkan terapi ketorolac secara sistemik dengan dosis tunggal ketorolac menunjukkan efektiftas untuk mengurangi rasa nyeri pasca pembedahan. Ketorolac sebagai analgesik yang efektif pasca operasi juga disertai dengan pengurangan mual dan muntah pasca operasi. Pemberian ketorolac dengan dosis 60 mg memberikan efektifitas yang lebih signifikan dibandingkan pemberian ketorolac dengan dosis 30 mg pada tingkat nyeri yang dirasakan pasien pasca operasi (Oliveira, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan ketorolac yang telah direkomendasikan berdasarkan guideline untuk penanganan nyeri, sehingga diharapkan dapat mencapai efek teraupetik yang maksimal dan pasien dapat terpantau dengan lebih mendalam.

1. 2 Rumusan Masalah

Bagaimana profil penggunaan ketorolac pada pasien fraktur tertutup (closed fracture) rawat inap diRumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo.

(5)

1. 3 Tujuan Penelitian Tujuan umum :

Memahami pola penggunaan analgesik ketorolac pada pasien fraktur tertutup (closed fracture) yang menjalani terapi diRumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo.

Tujuan khusus :

Memahami pola penggunaan ketorolac pada pasien closed fracture rawat inap terkait dengan rute pemberian, dosis, interval, dan lama terapi yang dikaitkan dengan data laboratorium dan data klinik pasien.

1. 4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana pola penggunaan serta profil pengobatan yang diberikan pada pasien dengan masalah cedera atau fraktur yang akan diberikan dengan terapi pengobatan analgesik ketorolac, selain itu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi pembaca serta dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Saat ini pendataan status ekonomi masyarakat pada suatu wilayah misalnya kelurahan Karang Anyar RT.09 masih kurang objektif sebab tidak sinkronnya pendataan yang dilakukan

Dalam pelaksanaan Program Induksi, pembimbing ditunjuk oleh kepala sekolah/madrasah dengan kriteria memiliki kompetensi sebagai guru profesional; pengalaman mengajar

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

1 M.. Hal ini me nunjukkan adanya peningkatan keaktifan belajar siswa yang signifikan dibandingkan dengan siklus I. Pertukaran keanggotaan kelompok belajar

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan manajemen strategi untuk mengetahui lingkungan perusahaan

Menurut Tannure dkk 2010, mucocele dapat terjadi pada laki-laki maupun pada perempuan dan pada segala usia dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan