• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Remaja"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Istilah adolescence atau remaja yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Perkembangan fisik yang cepat dan disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Perubahan fisik yang terjadi selama awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu (Hurlock 1999). Pertumbuhan cepat ini juga ditandai dengan pertumbuhan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pada masa remaja pertumbuhan BB perempuan dan laki-laki sekitar 16 g dan 19 g per hari, sedankan pertambahan TB anak perempuan dan laki-laki masing-masing dapat mencapai kurang lebih 15 cm per tahun. Puncak pertambahan pesat TB terjadi di usia 11 tahun untuk remaja perempuan dan sekitar usia 14 tahun untuk remaja laki-laki. Masa remaja juga terjadi peningkatan massa tubuh (tulang, otot, lemak, dan BB) serta perubahan biokimia hormonal (Kurniasih et al. 2010).

Menurut WHO/UNFPA, remaja adalah anak berumur 10-19 tahun. Remaja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok umur 10-15 tahun dan 15-19 tahun. Masa remaja dikenal dengan masa pertumbuhan cepat (growth spurt) yaitu tahap pertama dari serangkaian perubahan menuju kematangan fisik dan seksual. Selain itu, ciri-ciri seks sekunder semakin tampak, seperti tercapainya kematangan fertilitas, serta terjadinya perubahan yang signifikan dalam kematangan psikologis dan kognitif. Pertumbuhan pesat tersebut terjadi baik oleh perempuan maupun laki-laki, menjelang dan masa pubertas (Kurniasih et al. 2010). Umumnya laki-laki mengalami kematangan yang lebih lambat daripada perempuan, sehingga laki-laki mengalami periode masa awal remaja yang lebih singkat yang mengakibatkan laki-laki tampak kurang matang untuk usianya dibandingkann dengan perempuan (Hurlock 1999).

Menurut Sarwono (1993), berdasarkan usia tahap perkembangannya remaja dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

1. Tahap remaja awal (14-17 untuk laki-laki dan 13-17 tahun untuk perempuan) dengan ciri-ciri yaitu: (a) status sosial belum jelas antara anak-anak dan remaja; (b) terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat. Perubahan kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain, sedangkan pertumbuhan fisik pada tahap ini terjadi sangat pesat

(2)

dibandingkan tahap akhir; (c) masa peningkatan emosi; (d) masa tidak stabil (cepat bosan, sulit konsentrasi, dan lain-lain); (e) merasa banyak masalah. 2. Tahap remaja akhir (18-21 tahun untuk laki-laki dan perempuan) dengan

ciri-ciri yaitu: (a) lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi, dan cara berfikir; (b) bertambah realistis; (c) meningkatnya kemampuan untuk memecah masalah; (d) tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang; (e) pertumbuhan yang cenderung lamban.

Masa remaja merupakan masa perubahan yang cepat dalam diri seseorang. Pertumbuhan pada usia anak yang relatif terjadi dengan kecepatan yang sama, secara mendadak meningkat saat memasuki usia remaja. Peningkatan pertumbuhan mendadak ini disertai dengan perubahan-perubahan hormonal, kognitif, dan emosional. Semua perubahan ini membutuhkan zat gizi secara khusus, misalnya pada remaja putri secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Oleh karena itu, kebutuhan zat besi remaja putri lebih besar dibandingkan laki-laki (Soetardjo 2011).

Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel jaringan tubuh pada usia remaja ditandai dengan perubahan bentuk badan, perkembangan organ reproduksi, dan pembentukan sel-sel reproduksi. Selain itu, kegiatan fisik (jasmani) lebih meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Oleh karena itu, kecukupan remaja per orang per hari lebih banyak dibandingkan pada masa anak-anak (Hardinsyah & Martianto 1992). Kecukupan energi dan zat gizi remaja secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan pada remaja

Zat Gizi Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)

13-15 16-18 13-15 16-18 Energi (kkal) 2350 2200 2400 2600 Protein (g) 57 55 60 65 Kalsium (mg) 1000 1000 1000 1000 Besi (mg) 26 26 19 15 Vitamin A (RE) 600 600 600 600 Vitamin E (mg) 15 15 15 15 Vitamin B1 (mg) 1.1 1.1 1.2 1.3 Vitamin C (mg) 65 75 75 90 Folat (mg) 400 400 400 400 Sumber: WNPG (2004)

Asupan energi anak perempuan pada tiga tahap perkembangan (pra-pubertas, tumbuh cepat, dan pasca-pubertas) berhubungan dengan tingkat perkembangan fisiologis. Kebutuhan protein remaja lebih dekat dengan pola pertumbuhan dibandingkan dengan usia. Angka kecukupan protein dalam

(3)

hubungannya dengan tinggi badan merupakan cara paling tepat untuk memperkirakan kebutuhan protein remaja. Apabila asupan energi kurang, asupan protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga mungkin protein tidak cukup tersedia untuk pembentukan jaringan baru atau untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan laju pertumbuhan dan penurunan massa otot tubuh. Kebutuhan vitamin dan mineral selama masa remaja meningkat karena remaja berada dalam masa puncak pertumbuhan (Soetardjo 2011).

Sarapan Konsep dan Pengertian Sarapan

Breakfast berasal dari kata break dan fast yang berarti sarapan. Sarapan merupakan cadangan energi awal untuk beraktivitas. Saat tidur pada malam hari, tubuh mengalami seperti dalam keadaan puasa. Ketika itu terjadi peningkatan glukagon, yaitu hormon yang dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Keseimbangan konstan di dalam lingkungan internal tubuh akan dicapai kembali melalui sarapan (Michaud et al. 2001).

Menurut Hardinsyah (2012), sarapan merupakan makan di awal hari biasanya dilakukan di pagi hari berupa makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi di pagi hari menyediakan energi dan zat gizi agar perasaan, berpikir, dan bekerja atau stamina yang lebih baik. Sarapan sehat mengandung energi cukup (15-25% dari kebutuhan energi per hari), serat makanan cukup, rendah lemak, tidak ada lemak trans, rendah glukosa dan karbohidrat sederhana (Indeks glikemik tinggi), minuman (air putih, susu, teh atau kopi).

Peranan dan Manfaat Sarapan

Seseorang membutuhkan sarapan karena dapat mempertahankan kadar glukosa darah agar stabil setelah puasa sepanjang malam; memenuhi kebutuhan gizi di pagi hari yang diperlukan oleh tubuh, sebagai bagian dari gizi seimbang sehari-hari agar perasaan yang lebih baik dan berpikir dan bekerja optimal; mencegah hipoglikemia, sakit kepala, dan kelebihan berat badan; dan untuk membentuk perilaku sarapan sehat (Hardinsyah 2012).

Makan pagi atau sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang. Bagi anak sekolah, makan pagi dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan memudahkan menyerap pelajaran sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik. Membiasakan sarapan memang terasa sulit. Padahal kebiasaan sarapan

(4)

membantu seseorang untuk memenuhi kecukupan gizinya sehari-hari. Seseorang yang tidak sarapan memiliki risiko menderita gangguan kesehatan berupa menurunnya kadar gula darah dengan tanda-tanda antara lain lemah, keluar keringat dingin, kesadaran menurun bahkan pingsan. Bagi anak sekolah kondisi ini menyebabkan merosotnya konsentrasi belajar yang mengakibatkan menurunnya pretasi belajar (Depkes 2005).

Konsumsi sarapan dapat meningkatkan fungsi kognitif yang berhubungan dengan memori, nilai ujian, dan kehadiran di sekolah. Sarapan sebagai bagian dari diet sehat dan gaya hidup positif dapat mempengaruhi kesehatan anak dan kesejahteraan. Namun, Apabila tidak sarapan akan mempengaruhi fungsi kognitif, emosi, dan perilaku anak. Kemampuan pemecahan masalah, memori jangka pendek, daya konsentrasi, dan memori episodik anak akan menurun. Sarapan dapat menjauhkan masalah emosional, perilaku, dan akademis pada anak dan remaja serta menghilangkan rasa lapar (Michaud et al. 2001). Hasil uji Anova menunjukkan adanya interaksi nyata antara kebiasaan sarapan dengan anemia terhadap konsentrasi belajar anak sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang tidak biasa makan pagi dan menderita anemia sangat merugikan karena kelompok ini ternyata mempunyai daya konsentrasi belajar yang rendah (Saidin et al. 1991).

Ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari sarapan. Pertama, sarapan dapat meyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Apabila kadar gula darah normal, maka konsentrasi bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, sarapan akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Ketersediaan zat gizi ini berfungsi untuk berbagai proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2002). Studi yang dilakukan di Inggris tahun 2003 pada 29 anak sekolah di perkotaan mengungkapkan anak yang tidak sarapan dan hanya memperoleh minuman glukosa menunjukkan daya konsentrasi atau tingkat perhatian dan kemampuan mengingat yang menurun secara signifikan seiring dengan pertambahan waktu (Wesnes et al. 2003). Menurut Reddan et al. (2002), sarapan dipercaya dapat meningkatkan energi dan kemampuan anak sekolah untuk memperhatikan guru di sekolah.

Menurut Kral et al. (2010), tingkat konsumsi energi pada seseorang yang tidak sarapan lebih rendah 362 kkal dibandingkan seseorang yang sarapan. Pola sarapan yang teratur dapat memperbaiki kondisi glikemia, insulinemia, dan

(5)

lipidemia. Smith KJ et al. (2010) mengungkapkan bahwa seseorang yang melewatkan sarapan selama masa kecil pada masa dewasanya akan memiliki kolesterol jahat (LDL) dan total kolesterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terbiasa sarapan. Mekanisme yang terjadi tidak secara langsung dimana kadar insulin serum turun sehingga produksi kolesterol di hepar menurun melalui inhibisi 3-hidroksi-3-metil-glutaryl-KoA reduktase.

Kontribusi Energi dan Zat Gizi Sarapan

Sarapan seharusnya menyediakan karbohidrat yang cukup agar kadar gula darah tetap normal, sehingga gairah dan aktivitas setiap hari dapat dilakukan secara maksimal. Sarapan juga harus mengandung zat gizi lainnya yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, air, dan serat agar semua proses metabolisme di dalam tubuh dapat berlangsung dengan baik. Sarapan sebaiknya menyediakan 15-25% kebutuhan gizi sehari, tergantung zat gizinya. Angka kecukupan energi remaja siswi (16-18 tahun) sekitar 2.200 kkal dan 55 g protein, maka setiap pagi sebaiknya sarapan menyediakan 330-550 kkal dan 8.3-13.8 g protein (Hardinsyah 2012). Tabel 2 menunjukkan anjuran kecukupan energi dan zat gizi dari sarapan yang dihitung sebesar 25% AKG.

Tabel 2 Kecukupan energi dan zat gizi sarapan yang dianjurkan pada remaja

Zat Gizi Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)

13-15 16-18 13-15 16-18 Energi (kkal) 588 550 600 650 Protein (g) 14.3 13.8 15 16.3 Kalsium (mg) 250 250 250 250 Besi (mg) 6.5 6.5 4.8 3.8 Vitamin A (RE) 150 150 150 150 Vitamin E (mg) 3.8 3.8 3.8 3.8 Vitamin B1 (mg) 0.3 0.3 0.3 0.3 Vitamin C (mg) 16.3 18.8 18.8 22.5 Folat (mg) 100 100 100 100 Sumber: WNPG (2004)

Gambaran kontribusi energi dari sarapan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kurang (apabila asupan energi sarapan < 550 kkal atau < 25% AKG sehari) dan cukup (apabila asupan energi sarapan ≥ 550 kkal atau ≥ 25% AKG sehari) (Hermina et al. 2009). Studi di Eropa pada 195 anak usia sekolah memberi gambaran ketika anak mengkonsumsi sarapan lebih dari 20% kebutuhan total energi per hari, maka hasil performa ketahanan fisik dan kreatifitas anak secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi energi hanya 10% dari kebutuhan (Wyon et al. 1997). Menurut Darmayanti (2010), makanan sarapan memberikan kontribusi energi terhadap kecukupan gizi sebesar 19% dan kontribusi protein sebesar 22.2% pada siswa

(6)

laki-laki dan 19.2% pada siswa perempuan. Kontribusi makanan sarapan terhadap kecukupan zat besi siswa laki-laki lebih tinggi dibandingkan siswi perempuan. Adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) dari kontribusi energi dan zat besi terhadap kecukupan gizi siswa laki-laki dan perempuan.

Jenis Menu Sarapan

Jenis hidangan untuk makan pagi dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan. Namun, jenis menu sarapan akan lebih baik apabila terdiri dari makanan sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur (Depkes 2005). Menurut Khomsan (2002), sarapan dengan aneka ragam pangan yang terdiri dari nasi, lauk pauk, buah dan susu dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral.

Konsep sarapan yang mengacu pada gizi seimbang dapat dipenuhi dengan pemberian makanan sebagai berikut (Depkes 2001):

1) Sumber karbohidrat, yaitu nasi, roti, makaroni, kentang, tepung beras, tepung maizena, tepung kacang hijau, jagung, singkong, dan ubi.

2) Sumber protein, yaitu susu, daging, ikan, ayam, hati, tahu, tempe, keju, kacang hijau, dan lain-lain.

3) Sumber vitamin dan mineral, yaitu berasal dari sayuran seperti wortel, bayam, kangkung, labu siam, buncis; dan buah-buahan antara lain pepaya, jambu biji, melon, alpukat, dan lain-lain.

Jenis sarapan yang banyak dikonsumsi oleh remaja di enam kota besar di Indonesia pada waktu sarapan adalah nasi dan lauk pauk, nasi goreng, roti dan isi, dan mie instant. Selain makanan-makanan tersebut ada jenis makanan lain yang banyak dikonsumsi di kota-kota tertentu. Jenis makanan tersebut adalah bubur ayam (Jakarta, Bandung, dan Semarang); nasi gudeg (Yogyakarta), nasi rawon, nasi soto, dan nasi pecel (Surabaya). Jumlah remaja yang biasa sarapan nasi dan laukpauk terbanyak di Yogyakarta sebesar 73% (Mudjianto et al. 1994).

Remaja terus tumbuh dan berkembang setiap hari sehingga perlu menyediakan sarapan bergizi yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin dan mineral, terutama besi dan vitamin C (Abalkhail & Shawky 2002). Berbagai penelitian telah dikaitkan kejadian anemia defisiensi besi pada perubahan kebiasaan makan. Kebiasaan sarapan dengan mengkonsumsi susu, nasi, roti cokelat, sayuran segar dan ikan telah berubah menjadi hidangan junk food dan kurang sayuran berwarna hijau, serta buah-buahan (Anderson 1991). Meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak

(7)

makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002).

Sarapan khas sereal yang kaya akan karbohidrat kompleks dapat membantu mempertahankan kinerja selama pagi hari (Wesnes et al. 2003). Cho et al. (2003), seseorang yang sarapan dengan mengkonsumsi sereal siap saji, sereal dimasak, atau roti memiliki IMT yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan yang tidak sarapan dan pemakan daging dan telur. Hal ini menunjukkan tidak sarapan bukan merupakan cara untuk mengatur berat badan. Ketersediaan Sarapan

Khomsan (2002) menyatakan bahwa apabila ibu memiliki peran ganda yakni tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pencari nafkah keluarga, maka terdapat perbedaan dalam pembentukan kebiasaan makan anak. Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan sarapan pada anak sangat menentukan karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan di rumah tangga. Ibu yang bekerja seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat untuk membuat sarapan.

Rohayati (2001) menyatakan pekerjaan ibu mempengaruhi frekuensi sarapan anak karena ibu terlibat langsung dalam kegiatan rumah tangga khususnya penyelenggaraan makan keluarga, termasuk dalam pemilihan jenis pangan dan penyusunan menu untuk keluarga. Penelitian Svenskarin (2012) menunjukkan kualitas kebiasaan sarapan baik pada anak dengan ibu bekerja maupun tidak bekerja berhubungan signikan positif (p<0.01) dengan aturan sarapan keluarga dan ketersediaan waktu ibu dalam penyediaan pangan sarapan. Studi FAO (1987) dalam menunjukkan bahwa wanita di negara berkembang yang mengalokasikan waktu lebih banyak diluar rumah, biasanya akan mengurangi waktu untuk mengelola makanan rumah tangga baik dengan cara mengurangi frekuensi memasak maupun mengurangi jenis makanan yang di masak. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap ketersediaan ibu adalah status dan jenis pekerjaan ibu, kehadiran ibu di rumah, ketersediaan peralatan masak modern, dan ketersediaan pangan yang praktis atau siap saji (Hardinsyah 2007).

Penelitian yang dilakukan pada 217 orang remaja siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Depok pada bulan Desember 2007 menunjukkan adanya hubungan antara ketersediaan sarapan dengan kebiasaan sarapan remaja siswi (P<0.05). Adanya kecenderungan bahwa remaja siswi yang terbiasa

(8)

sarapan sebagian besar karena sarapan tersedia di rumah (62.2%). Apabila tidak tersedia, remaja putri (40.5%) yang sarapan lebih sedikit (Hermina et al. 2009) Aturan Kewajiban Sarapan

Norma dan nilai di dalam keluarga berlaku sebagai tata tertib hubungan antar keluarga. Sebuah keluarga juga berlaku kebiasaan tertentu yang biasa disebut kebiasaan keluarga, misalnya sebuah keluarga mempunyai kebiasaan sarapan dengan nasi dan lauk pauk dan secara umum semua anggota melakukan sarapan. Makan bersama keluarga biasanya dilakukan pada saat sarapan atau makan malam. Aturan sarapan yang teratur didalam keluarga akan menyebabkan kebiasaan sarapan yang baik. Ibu memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan kebiasaan makan anak di rumah karena ibu yang mempersiapkan makanan, mengatur menu, menyiapkan hidangan, dan mendistribusikan makanan, serta mengajarkan tata cara makan kepada anak. Suku melalui sistem sosial budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan bagaimana makanan dikonsumsi oleh keluarga. Kebiasaan makan keluarga dipengaruhi pula oleh aturan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama (Pearson et al. 2009).

Hasil penelitian Mudjianto et al. (1994) di enam kota besar, sarapan biasa dilakukan dirumah oleh remaja lebih dari 70% di masing-masing kota. Selain itu, remaja melakukan sarapan di sekolah atau dalam perjalanan menuju sekolah. Sarapan yang dilakukan dalam perjalanan ke sekolah tersebut yaitu dengan cara makan di warung-warung atau di kendaraan bagi remaja yang diantar dengan mobil. Menurut Rahkonen et al. (2003) sarapan dirumah membantu meningkatkan hubungan keakraban sesama anggota keluarga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan sarapan

Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makanan ini terjadi seumur hidup yakni sejak lahir hingga dewasa. Kebiasaan makan tidak hanya terbentuk dari dorongan untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi disamping itu ada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang ikut mempengaruhi (Sukandar 2007). Menurut Den Hartog et al. (2006), kebiasaan makan sebagai cara individu atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh sosial dan budaya, tekanan ekonomi, pilihan dalam mengkonsumsi, dan menggunakan pangan yang tersedia. Kebiasaan makan secara umum meliputi frekuensi makan seseorang

(9)

sehari, kebiasaan sarapan, keteraturan makan, susunan hidangan makan, orang yang berperan dalam memilih dan mengolah makanan dalam keluarga, makanan pantangan dan kebiasaan makan bersama dalam keluarga (Ulfa & Latifah 2007).

Kebiasaan makan terbentuk dari empat komponen, yaitu (1) konsumsi makanan (pola makan), meliputi jumlah, jenis, frekuensi, dan proporsi makanan yang dikonsumsi atau komposisi makanan; (2) preferensi terhadap makanan (suka atau tidak suka dan pangan yang belum pernah dikonsumsi); (3) ideologi atau pengetahuan terhadap makanan, terdiri atas kepercayaan dan tabu terhadap makanan; dan (4) sosial budaya makanan, meliputi umur, asal, pendidikan, kebiasaan membaca, besar keluarga, susunan keluarga, mata pencaharian atau pekerjaan, luas pemilikan lahan, dan ketersediaan makanan (Sukandar 2007).

Faktor penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku sarapan, dalam wujud sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya, merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari keluarga, guru, atau teman sebaya (Hermina et al. 2009).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2003). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal tinggi diharapkan memiliki pengetahuan gizi yang tinggi pula. Latar belakang pendidikan formal sangat erat hubungannya dengan kemampuan menyerap informasi dari berbagai sumber baik itu media elektronik maupun dari sumber media massa (Ulfa & Latifah 2007). Penelitian Madanijah (2003) menunjukkan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Tingkat pendidikan mempengaruhi keragaman konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka skor keragaman konsumsi pangan juga semakin tinggi (Hardinsyah 2007). Siega et al. (1998) memaparkan kebiasaan sarapan anak yang baik berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi. Hermina et al. (2009) juga membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri (p<0.05), yaitu ibu berpendidikan tinggi (> SMA) mempunyai anak remaja putri yang lebih

(10)

banyak (biasa) sarapan sebelum berangkat ke sekolah dibandingkan ibu dengan berpendidikan rendah (≤ SMA). Selain itu, siswi yang memiliki ibu berpendidikan tinggi 2 kali lebih sering (terbiasa) sarapan dibandingkan dengan siswi yang memiliki ibu berpendidikan rendah.

Pendapatan diartikan sebagai jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Jumlah pendapatan yang diperoleh akan menggambarkan besarnya daya beli seseorang. Pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga seorang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. dalam Sukandar 2007).

Jumlah uang yang dikeluarkan untuk pangan bergantung pada tingkatan pendapatan. Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi (Sukandar 2007). Hasil studi Siega et al. (1998) menunjukkan adanya kaitan antara pendapatan dengan kebiasaan sarapan, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga makan kebiasaan konsumsi sarapan juga akan semakin tinggi. Namun, penelitian Hermina et al. (2009) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dan ibu serta penghasilan orangtua terhadap kebiasaan sarapan remaja putri.

Konsumsi makanan merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi lebih tinggi dan sesuai dengan jenis pangan yang tersedia serta kebiasaan makan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi (Sukandar 2007). Rohayati (2001) menyatakan bahwa salah satu alasan seorang anak mengkonsumsi makanan yang beragam adalah uang saku. Pemberian uang saku pada anak merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga kepada anak untuk memenuhi keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Menurut Hermina et al. (2009) membuktikan tidak ada hubungan yang bermakna antara uang jajan dengan kebiasaan makan pagi pada remaja putri.

Besar keluarga adalah sekelompok orang yang yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga yang lainnya yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama. Banyaknya jumlah anggota keluarga mempengaruhi distribusi pangan keluarga dan akhirnya mempengaruhi status gizi anggota

(11)

keluarga (World Bank 2006). Menurut Sukandar (2007), terdapat hubungan antara besar keluarga, pendapatan, dan konsumsi pangan yang berarti keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya apabila dibandingkan dengan keluarga yang jumlah anak sedikit. Besar keluarga berkaitan dengan pendistribusian makanan dalam keluarga yaitu pemenuhan kebutuhan individu. Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu terkait dengan kemampuan keluarga. Hasil studi Pearson et al. (2009), sarapan bersama keluarga berkolerasi besar hubungannya dalam konsumsi sarapan pada remaja. Orang tua menjadi contoh teladan yang positif terhadap anak-anak mereka dengan mendukung kebiasaan makan dan struktur keluarga harus dipertimbangkan dalam merancang program untuk mengenalkan kebiasaan sarapan sehat.

Menurut Khan (2005), adapun alasan remaja melewatkan sarapan lebih banyak terkait dengan kebebasan remaja dalam menentukan pilihan tindakan yang lebih disukai, terlambat bangun, tidak merasa lapar, makanan belum tersedia, dan tidak ada yang menyiapkan makanan daripada alasan yang terkait dengan persepsi body image dan program diet. Namun, berbeda dengan penelitian Shaw (1998) yang menjelaskan bahwa alasan seseorang melewatkan waktu sarapan antara lain tidak memiliki waktu untuk sarapan, tidak suka makan pada pagi hari, tidak menyukai makanan yang tersedia dan takut kegemukan. Kebiasaan menghindari sarapan dengan tujuan untuk menurunkan berat badan merupakan kekeliruan yang dapat mengganggu kondisi kesehatan, antara lain gangguan pada saluran pencernaan (Depkes 2005). Penelitian Zullig et al. (2006) juga menegaskan bahwa remaja yang melewatkan sarapan secara signifikan seperti berpuasa untuk menurunkan berat badan. Menurut Fiore et al. (2006), remaja yang sarapan cenderung memiliki IMT lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak sarapan. IMT yang lebih tinggi dapat menunjukkan kegemukan dan obesitas. Affenito (2007) juga menekankan dalam penelitiannya di Afrika dan Amerika bahwa perempuan yang tidak sarapan cenderung memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi dan konsumsi serat dan kalsium yang rendah. Berikut model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan dapat dilihat pada Gambar 1.

(12)

Gambar 1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan

Konsumsi Pangan

Berdasarkan UU No. 7 tahun 1996 bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu, sehingga penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Menurut Supariasa et al. (2001), penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitaif dan kualitatif. Penilaian secara kualitatif dilakukan dengan pengumpulan yang lebih menitikberatkan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kebutuhan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Secara kuantitatif dihitung dengan jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif dengan melihat kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan dan frekuensi makan.

Data konsumsi pangan sarapan terdiri dari menu makanan, jenis pangan, Ukuran Rumah Tangga (URT), berat (gram), kandungan energi dan zat gizi masing-masing jenis pangan, dan total kandungan tersebut setiap satu kali sarapan. Data konsumsi pangan berupa jenis dan jumlah makanan dalam gram/URT diperoleh menggunakan aplikasi analisis konsumsi pangan. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT dikonversi menggunakan Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM) ke dalam satuan penukar konsumsi. Kemudian

Masalah terkait berat badan Frekuensi Sarapan Kualitas Makanan Kontrol Nafsu Makan Asupan Energi Berat badan

(13)

dilakukan perhitungan total kandungan energi dan zat gizi berdasarkan kandungan gizi bahan makanan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994). Menurut Sukandar (2007), hasil total kandungan energi dan zat gizi tersebut dapat dihitung tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan dihitung sebagai perbandingan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan dikalikan 100%. Jika tingkat kecukupan gizi sama dengan 70% atau lebih maka ini dikatakan konsumsi gizi telah memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).

Warthington (2000) menyatakan bahwa pada dasarnya intake makanan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri seperti emosi atau kejiwaan yang memiliki sifat kebiasaan, kebutuhan fisiologi, body image, konsep diri, nilai dan kepercayaan individu, pemilihan arti makanan, psikososial, dan kesehatan. Faktor eksternal ialah faktor yang ada di alam sekitarnya serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat daya beli manusia terhadap bahan pangan, antara lain jumlah dan karakteristik keluarga, peran orang tua, teman sebaya, budaya, nilai dan norma, media massa, fast food, pengetahuan gizi, dan pengalaman individu. Menurut Sediaoetama (2000), konsumsi pangan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang. Konsumsi pangan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi.

Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga.Kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi kedalam pemilihan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi (Nasoetion & Riyadi 1995). Pengetahuan tentang gizi dan kebiasaan sarapan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh remaja. Studi yang dilakukan pada anak sekolah di Taiwan menunjukkan anak-anak yang memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik juga menyatakan sikap gizi yang lebih positif, peduli tentang perilaku gizi lebih sering, dan memiliki kualitas makanan yang baik (Wei Lin et al. 2007).

Kebiasaan makan yang salah akan mempengaruhi konsumsi pangan, terutama dalam hal penyerapan zat gizi yang terkandung dalam makanan. Apabila zat-zat yang diserap tidak memadai baik kuantitas maupun kualitas, maka dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap status gizi (Sukandar 2007). Kebiasaan makan yang buruk pada remaja perempuan dapat disebabkan

(14)

oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan lemak pada bagian tubuh tertentu dan aktivitas disebut sebagai faktor fisiologis. Sedangkan, adanya trend bentuk tubuh ideal pada wanita yang kurus dan tinggi disebut sebagai faktor tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja perempuan untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja perempuan sering mengalami kurang gizi (Eastwood 2003). Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada periode puncak tumbuh kembang, kurang asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak dapat mencapai status gizi yang optimal dan kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh kembang (Pardede 2002).

Kebanyakan remaja tidak makan sarapan bergizi seimbang. Jenis hidangan yang seringkali dikonsumsi pada waktu sarapan hanya terbatas pada makanan pokok yang kaya karbohidrat. Hal ini terlihat dari masih rendahnya kontribusi energi dan zat gizi terlihat dalam menu sarapan. Selain itu, ragam jenis pangan yang dikonsumsi sebagai sarapan juga masih rendah (Hardinsyah 2012). Sarapan yang ideal seharusnya memenuhi seperempat kebutuhan gizi remaja. Sarapan harus ada zat gizi seperti protein, lemak, vitamin, mineral, air dan serat (Bonnie 1998).

Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorpsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi (Almatsier 2004). Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga apabila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi, yaitu vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain makanan yang mengandung tanin, fitat, dan kalsium (Morck et al. 1983)

(15)

Anemia pada Remaja

Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Sebagian besar anemia di Indonesia dikarenakan kekurangan zat besi (Fe) disebut anemia kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi yang terjadi karena makanan yang dikonsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001). Menurut Permaesih & Herman (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras, kebiasaan sarapan, sosial ekonomi dan demografi, pendidikan, wilayah, umur dan jenis kelamin. Remaja laki-laki maupun perempuan dalam masa pertumbuhan membutuhkan energi, protein, dan zat gizi lainnya yang lebih banyak dibandingkan kelompok umur lainnya. Pematangan seksual pada remaja menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat. Kebutuhan zat besi remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki, karena dibutuhkan untuk mengganti zat besi yang hilang pada saat menstruasi sekitar 0.8 mg/hari. Ernawati dan Saidin (2008) menunjukkan bahwa faktor determinan terhadap anemia remaja adalah jenis kelamin, dimana remaja putri beresiko menderita anemia 2.2 kali (Cl 95%: 1.3-3.7) dibandingkan laki-laki.

Sekitar dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah ke dalam jaringan dalam tubuh. Status anemia remaja yang mempunyai kadar Hemoglobin (Hb) dibawah nilai normal menurut umur (15-19 tahun) yaitu kadar Hb perempuan < 12 g/dl dan kadar Hb laki-laki < 13 g/dl (WHO 2001). Cara penentuan kadar Hb yang dianggap cukup teliti dan dianjurkan oleh International Communite for Standarrization in Hematology (ICSH) adalah Cyanmethemoglobin. Adapun batas normal kadar hemoglobin menurut WHO (2001) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Batas normal kadar hemoglobin

Kelompok Kadar Hb (g/dl)

Anak balita 11

Anak usia sekolah 12

Wanita dewasa 12

Laki-laki dewasa 13

Ibu Hamil 11

Ibu Menyusui 12

(16)

Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan. Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap. Tahap pertama terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal. Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk system ertiropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan besi tidak cukup untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang serta serum feritin juga menurun namun kadar hemoglobin masih normal (belum berpengaruh). Tahap ketiga (iron deficiency anemia) adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal) sehingga terjadi anemia, ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun dan hematokrit menurun (Almatsier 2004). Gejala umum anemia atau sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga, dan kepala terasa melayang, serta konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan menurunkan produktivitas kerja. Apabila anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Permaesih & Herman 2005).

Dampak anemia terhadap daya pikir akan mempengaruhi remaja didalam prestasi di sekolah. Anemia dapat menurunkan IQ sekitar 5-10%. Anemia juga berdampak pada imunitas sehingga mempengaruhi menurunnya produktivitas secara tidak langsung melalui seringnya tidak masuk sekolah karena sakit (Ernawati & Saidin 2008). World Bank (2006) menyatakan bahwa kualitas manusia ditentukan oleh status gizi bayi sejak dalam kandungan sampai umur 2 tahun, artinya sangat penting untuk mempersiapkan calon ibu dengan status gizi baik. Ibu hamil yang menderita anemia resiko melahirkan anak dengan anemia dan kekurangan gizi termasuk anemia pada masa anak tersebut menyebabkan gangguan pertumbuhan otak dan fisik yang sulit diperbaiki.

Menurut Saraswati dan Sumarno (1997), sebanyak 904 orang remaja putri SMA di Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan jawaban tentang pengetahuan anemia dan 819 orang remaja putri diperiksa darahnya. Secara umum hasil survei tersebut menunjukkan rata-rata Hb remaja putri adalah 12.2 g/dl dengan prevalensi anemia sebesar 42.6% remaja putri sampel. Secara umum pengetahuan anemia remaja putri tentang anemia masih rendah dimana hasil survei menunjukkan sebesar 65% sampel mengetahui gejala anemia,

(17)

namun hanya 21% yang menjawab penyebab anemia karena kurang zat gizi yaitu zat besi, tergambarkan pada jawaban penyebab anemia kurang makan makanan yang mengandung zat besi (1.8%) dan kurang makan sayuran (16.4%). Kejadian anemia secara signifikan lebih lazim di kalangan sekolah negeri dan siswa dengan ibu yang berpendidikan rendah. Anemia juga secara signifikan lebih tinggi pada remaja yang telah menstruasi. Diantara 800 siswa yang dalam penelitian ini, terdapat 119 siswa yang tidak sarapan menunjukkan tanda anemia. Meskipun anemia lebih sering terjadi pada remaja yang tidak sarapan atau tidak makan sayuran dan buah-buahan serta banyak makan junk food, namun hasil uji statistik tidak signifikan (Abalkhail & Shawky 2002). Menurut Permaesih & Herman (2005) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu remaja 10-19 tahun yang berpendidikan rendah memiliki hubungan yang signifikan (p<0.05) dengan kejadian anemia (OR=3.8; 95% CI: 1.9-7.2). Remaja laki-laki memiliki risiko yang lebih rendah terjadi anemia. Kebiasan sarapan (OR=0.6; 95% CI: 0.4-0.9), merokok (OR=1.35; 95% CI: 1-1.8), dan konsumsi energi yang cukup (OR=0.7; 95% CI: 0.6-0.9) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan anemia. Hasil penelitian ini dengan menggunakan uji statistik regresi menunjukkan bahwa variabel yang terkait dengan anemia adalah pendidikan, jenis kelamin, usia, asal wilayah, kebiasaan sarapan, keluhan penyakit, dan kondisi tubuh. Penelitian Ruxton & Kirk (1997) menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi Vitamin A, Vitamin B6, Kalsium, Tembaga, Besi, Magnesium dan Seng.

Gambar

Gambar 1 Model teori sebab akibat antara sarapan dan berat badan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa penganut agama yang paling banyak di kelurahan ini adalah agama Islam, hal ini dapat dimaklumi karena penduduk Kelurahan Keramat

Individu dapat mengurangi, mengubah, atau menekan dengan kuat perlakuan yang merendahkan diri dari orang lain atau lingkungan, salah satunya adalah ketika individu mengalami

e. Penentuan dan pemilihan alat untuk kegiatan keterampilan, agar siswa bisa menjelaskan dan memahami manfaat alat dan kegunaanya dalam kegiatan keterampilan. Pengoperasian

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dampak perubahan iklim terhadap tren suhu udara dan tingkat kenyamanan termis pada periode 1990-2019 pada 6 lokasi stasiun

Wanita yang diajak hubungan jimak oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini.. Namun yang nanti jadi

Akan tetapi jika ketahanan rotan tersebut dinilai berdasarkan persentase jumlah bubuk yang hidup (Lampiran 3), maka dari 16 jenis rotan yang diamati, sebanyak 4 jenis (25%),

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran di kelas eksperimen (mengunakan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis pemahaman nilai-nilai sosial) lebih

Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah dan