• Tidak ada hasil yang ditemukan

DJM 13(3) October 2014 DAMIANUS VOLUME 13, NOMOR 3, PUBLISHED SINCE 2002 October 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DJM 13(3) October 2014 DAMIANUS VOLUME 13, NOMOR 3, PUBLISHED SINCE 2002 October 2014"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL PENELITIAN

161-172 PENGARUH BLOK KEDOKTERAN ADIKSI TERHADAP PERSEPSI TENTANG ADIKSI ZAT PSIKOAKTIF PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Michael Jaya, Yeremias Jena, Astri Parawita Ayu, Satya Joewana

173-182 PERSEPSI TERHADAP ADIKSI ZAT PSIKOAKTIF PADA MAHASISWA PESERTA PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI DAN DOKTER UMUM PESERTA PROGRAM INTERNSHIP

Mahaputra, Astri Parawita Ayu

183-190 PENGARUH PEMBERIAN DOSIS MINIMAL KAFEIN TERHADAP PENINGKATAN ATENSI MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Julia Rahadian, Laurensia Scovani

191-198 GIGI KARIES DAN KELAINAN JARINGAN PERIODONTAL PADA PENGGUNA HEROIN YANG MENJALANI TERAPI RUMATAN METADON

Isadora Gracia, Rensa, Minawati, Teguh Sarry Hartono, Surilena

199-207 GAMBARAN MASALAH EMOSI DAN PERILAKU PADA PELAJAR SMA REGINA PACIS JAKARTA DENGAN ADIKSI INTERNET

Adrian, Ana Lucia Ekowati, Eva Suryani

208-217 WHY ADOLESCENT SMOKE? A CASE STUDY OF NORTH JAKARTA, INDONESIA Regina Satya Wiraharja, Charles Surjadi

TINJAUAN PUSTAKA

218-223 EFEKTIVITAS BERBAGAI PRODUK NICOTINE REPLACEMENT THERAPY SEBAGAI TERAPI UNTUK BERHENTI MEROKOK

Bernardus Mario Vito, Irene

LAPORAN KASUS

224-232 KETERGANTUNGAN ALPRAZOLAM PADA LANJUT USIA DENGAN INSOMNIA DAN DEPRESI Surilena

ARTIKEL KHUSUS

233-236 MENGENAL KEDOKTERAN ADIKSI DI NIJMEGEN INSTITUTE FOR SCIENTIST PRACTIONERS IN ADDICTION

Eva Suryani, Isadora Gracia

PUBLISHED SINCE 2002 October 2014

DAMIANUS

Journal of Medicine

(2)

173 Vol. 13, No. 3, Oktober 2014

PERSEPSI TERHADAP ADIKSI ZAT PSIKOAKTIF PADA MAHASISWA

PESERTA PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI DAN DOKTER UMUM

PESERTA PROGRAM INTERNSHIP

THE PERCEPTION TOWARDS SUBSTANCE ADDICTION AMONG

MAGISTRATE STUDENTS OF PSYCHOLOGY AND MEDICAL DOCTORS IN

INTERNSHIP PROGRAM

Mahaputra1, Astri Parawita Ayu1,2 ARTIKEL PENELITIAN

1 Kelompok Studi Kedokteran Adiksi

Atma Jaya (KSKA), Jalan Pluit Raya 2, Jakarta Utara 14440

2 Nijmegen Institute for Scientist-Practitioners in Addiction Radboud

University Nijmegen, Toernooiveld 5 6525 ED Nijmegen, Netherlands

Korespondensi:

Mahaputra, Kelompok Studi Ke-dokteran Adiksi Atma Jaya. E-mail: mhs0n17@gmail.com

ABSTRACT

Introduction: There is increase of prevalence from 1.75% to 2.2% in these 8

years. Government need to make regulation related to medical service for addiction patients. The stigma of the addiction becomes challenge in treating addiction patients. Seeing substance dependent as personality weakness and personal choice, caregiver is inhibited to provide effective care. Basic data of perception for further intervention related to perception changes for addiction disease is needed.

Objectives: The main purpose is knowing the descriptions of addiction perception

of student of magistrate program and general physician in Indonesia. Specific purposes are to elaborate the description of addiction perception on student of magistrate program of Atma Jaya Catholic University of Indonesia and general physician and then the differences between them.

Methods: This study is observational descriptive and continue with analysis of the

difference between two sample group, magistrate student and general physician. The perceptions of addiction were gotten by distributing the questionnaires of IPQ-RA in bahasa.

Results: The mean of perception in the sequence of timeline, consequence,

personal control, treatment control, illness coherence, timeline cyclical, emotional representation, psychological attribution, risk, immune, and accident were 3.41; 4.08; 3.99; 3.73; 3.06; 3.28; 4.05; 3.80; 3.04; 2.30; 2.65; and then the perception of general physician were 3.32; 4.15; 3.98; 3.68; 3.34; 3.40; 3.46; 4.16; 3.23; 2.17; 2.55. The analysis of both groups found emotional representation (p=0.000), psychological attribution (p=0.000), and risk (p=0.032).

Conclusion: There were some addiction perception on both group which not

compatible with real nature of addiction disease.

Key Words: Addiction, perception, psychoactive substance

ABSTRAK

Latar Belakang: Terdapat peningkatan prevalensi dari 1,75% menjadi 2,2%

dalam waktu 8 tahun. Diperlukan kebijakan khusus dalam bidang pelayanan medis penderita adiksi. Stigma yang kuat menjadi tantangan dan hambatan bagi Damianus Journal of Medicine;

(3)

pelayanan di bidang adiksi. Diperlukan persepsi tenaga kesehatan yang sesuai dengan penyakit adiksi yang sebenarnya. Diperlukan tolok ukur intervensi untuk penyesuaian persepsi terhadap keadaan penyakit yang sebenarnya.

Tujuan: Tujuan umum adalah mengetahui gambaran persepsi penyakit adiksi

NAPZA pada magister psikologi dan dokter umum Indonesia. Tujuan khusus adalah menilai persepsi penyakit adiksi NAPZA pada dokter umum dan mahasiswa magister psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, kemudian menilai perbandingan persepsi kedua kelompok tersebut.

Metode: Penelitian observasional dekskriptif untuk menilai gambaran persepsi

pada dokter umum dan Magister Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, dilakukan analisis perbandingan pada kedua populasi tersebut. Populasi terjangkau penelitian ini adalah dokter umum program internship provinsi Kalimantan Selatan dan mahasiswa Magister Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya tahun pertama di mana dilakukan penyebaran kuesioner IPQ-RA bahasa Indonesia untuk menilai persepsi responden.

Hasil: Persepsi mahasiswa magister psikologi memiliki rerata subkategori timeline,

consequence, personal control, treatment control, illness coherence, timeline cyclical, emotional representation, psychological attribution, risk, immune, dan accident, yakni: 3,41; 4,08; 3,99; 3,73; 3,06; 3,28; 4,05; 3,80; 3,04; 2,30; 2,65; hasil persepsi dokter umum 3,32; 4,15; 3,98; 3,68; 3,34; 3,40; 3,46; 4,16; 3,23; 2,17; 2,55. Hasil analisis antara 2 kelompok yang bermakna, yakni emotional representation (p=0,000), psychological attribution (p=0,000), dan risk (p=0,032).

Kesimpulan: Terdapat persepsi yang tidak sesuai dengan perjalanan penyakit

adiksi pada kelompok mahasiswa Magister Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan kelompok dokter umum program internship.

Kata Kunci: Adiksi, persepsi, NAPZA

PENDAHULUAN

Isu adiksi zat psikoaktif atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai Narkoba (Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Berbahaya lainnya) cukup berkembang di Indonesia. Awalnya pada tahun 1980-an isu yang muncul di Indonesia didominasi oleh tembakau, alkohol, dan ganja di kalangan remaja. Pada tahun 1999, adiksi mulai menjadi perhatian khusus, muncul banyak aktivitas promosi kesehatan terkait Narkoba. Hal ini diperkirakan karena adanya pergeseran penggunaan ke arah zat-zat psikoaktif yang berefek adiksi lebih berat, seperti

heroin dan kokain.1 Hasil survei Badan Narkotika

Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes) Universitas Indonesia tahun 2011 menunjukkan bahwa 3,8-4,2 juta jiwa atau 2,2% dari populasi penduduk Indonesia yang berusia

10-59 tahun menyalahgunakan zat psikoaktif.2

Hal ini sangat jauh berbeda pada tahun 2004

yang prevalensinya hanya 1,75%.3 Melihat fakta

ini, tidak dapat dipungkiri bahwa angka kejadian adiksi zat psikoaktif di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.

Adiksi zat psikoaktif merupakan masalah yang mengkhawatirkan, khususnya bagi masa depan sumber daya manusia Indonesia. Pengaruh zat psikoaktif pada otak akan menyebabkan

(4)

keru-Vol. 13, No. 3, Oktober 2014 175 Persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif pada mahasiswa peserta program studi magister psikologi dan

dokter umum peserta program internship

sakan dan gangguan fungsi sehari-hari.4 Kondisi

tersebut tentunya dapat berujung pada terham-batnya perwujudan mental individual yang sehat. Perubahan perilaku dan emosi akibat peng-gunaan zat psikoaktif dapat menyebabkan perselisihan di antara kerabat dan orang terdekat, khususnya pasangan hidup, yang berujung meningkatnya angka perceraian di masyarakat. Keadaan perceraian ini akan meningkatkan risiko penelantaran anak atau

gangguan perkembangan sosial anak.5 Karena

masalah finansial yang dimiliki, pengguna zat psikoaktif cenderung melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang, sehingga menyebabkan peningkatan angka kriminalitas. Masalah krimi-nalitas akan berdampak pada kerugian ekonomi

negara.4

Dengan adanya masalah-masalah tersebut maka diperlukan strategi penanggulangan yang komprehensif dari berbagai bidang. Khusus di bidang kesehatan, diperlukan tenaga-tenaga profesional yang memahami adiksi zat psikoak-tif. Saat ini, stigma di Indonesia terhadap orang

dengan adiksi zat psikoaktif masih sangat kuat.6

Masih banyak yang mengganggap bahwa adiksi zat psikoaktif disebabkan oleh kesalahan orang tersebut atau akibat pilihan mereka sendiri. Ma-syarakat juga menganggap bahwa terjatuhnya seseorang ke dalam lingkaran adiksi karena kelemahan pribadi mereka. Persepsi seperti ini tentunya mengurangi keprihatinan masyarakat

terhadap orang dengan adiksi.7 Dapat

diba-yangkan apabila tenaga kesehatan memiliki persepsi yang sama seperti masyarakat. Secara ilmu kedokteran, sebenarnya adiksi merupakan

penyakit otak.8 Adiksi memiliki etiologi, faktor

risiko, patofisiologi, kriteria diagnosis, dan tata laksana, sehingga sama dengan penyakit me-dis lainnya. Tentunya apabila tenaga kesehatan tidak memiliki pengetahuan ini, penanganan medis untuk pasien dengan adiksi zat psikoaktif tidak akan maksimal.

Saat ini sudah terdapat instrumen yang dapat digunakan untuk menilai persepsi individu ter-hadap adiksi, yakni IPQ-RA (Illness Perception

Questionaire Revised version for Addiction) yang

sedang diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Dengan instrumen ini dapat diketahui persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif secara kuantitatif pada seseorang, termasuk tenaga kesehatan. Sampai saat ini belum pernah dilakukan di In-donesia penilaian persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif secara kuantitatif, baik terhadap ma-syarakat maupun terhadap tenaga kesehatan, sehingga belum ada data yang valid. Persepsi terhadap adiksi pada tenaga kesehatan menjadi penting karena akan memengaruhi sikap mereka dalam menangani pasien dengan penggunaan zat psikoaktif.

Dokter umum yang merupakan dokter keluarga atau yang bekerja di instalasi gawat darurat memiliki kesempatan menangani pasien dengan adiksi zat psikoaktif dalam fase akut, intoksikasi, atau putus zat. Psikolog adalah profesional yang dapat melakukan deteksi dini dan psikoterapi terkait adiksi zat psikoaktif. Penelitian ini ber-tujuan untuk mengetahui persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif pada tenaga kesehatan, khususnya mahasiswa magister psikologi dan dokter umum internship. Peneliti memilih kedua kelompok tersebut karena berpotensi menjadi

(5)

tenaga kesehatan yang bertemu dan menangani orang dengan adiksi zat psikoaktif pertama kali di layanan kesehatan. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui persepsi tentang adiksi zat psikoaktif pada mahasiswa magister psikologi dan dokter umum.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian dekskriptif untuk mengetahui persepsi pada dokter umum dan mahasiswa Magister Psikologi. Responden adalah mahasiswa Magister Psikologi Uni-versitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya dan dokter umum program internship di kota Martapura dan Banjarmasin. Pengambilan data penelitian dilakukan pada waktu dan tempat berbeda. Pengambilan data pada kelompok magister psikologi dilakukan pada bulan Mei 2013 di Kampus Semanggi Unika Atma Jaya, sedangkan pengambilan data pada kelompok dokter umum dilakukan di Kota Martapura dan Banjarmasin pada bulan Juli 2014.

Instrumen IPQ-RA digunakan dalam penelitian ini untuk menilai persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif pada responden penelitian. Instrumen ini menghasilkan 2 skala, yaitu skala persepsi (yang menggambarkan persepsi terhadap adiksi) dan skala attribution (yang menggambarkan persepsi terhadap penyebab dari adiksi). Skala persepsi mempunyai 7 subskala, yaitu: timeline (adiksi adalah penyakit kronis), consequences (adiksi mempunyai konsekuensi yang buruk),

patient control (pasien dapat mengendalikan

adiksi), treatment control (terapi dapat me-ngendalikan adiksi), illness coherence (saya

bisa memahami adiksi), timeline cyclical (adiksi adalah kondisi yang mempunyai siklus beru-lang), emotional representative (adiksi adalah kondisi yang menyebabkan emosional stres). Skala attribution mempunyai 4 subskala, yaitu

psychological attribution (adiksi disebabkan oleh

faktor psikologis); risk factor (ada faktor-faktor risiko yang menyebabkan adiksi); immunity (adiksi disebabkan oleh gangguan sistem imun);

accident and chance (adiksi terjadi dalam kondisi

yang tidak disengaja dan adanya kesempatan). Hasil persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif dari kedua kelompok akan disajikan dalam bentuk tabel kemudian akan dilakukan perbandingan dari kedua kelompok dengan uji t-test parametrik dengan SPSS 16.

HASIL

Pada kelompok dokter umum didapatkan 59 orang dengan usia 23-27 tahun yang terdiri dari 18 orang (30,5%) laki-laki dan 41 orang (69,5%) perempuan. Data dari kelompok mahasiswa ma-gister psikologi sejumlah 35 orang dengan usia 22-30 tahun yang terdiri dari 8 orang (22,9%) laki-laki dan 27 orang (77,1%) perempuan. Persepsi mahasiswa magister psikologi terha-dap adiksi zat psikoaktif adalah sebagai berikut: subskala timeline memiliki rerata dan standar deviasi 3,41±0,61; consequence 4,08±0,36;

personal control 3,99±0,36; treatment control

3,73±0,45; illness coherence 3,06±0,52; timeline

cyclical 3,28±0,43; emotional representation

4,05±0,49; psychological attribution 3,80±0,45;

(6)

Vol. 13, No. 3, Oktober 2014 177 Persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif pada mahasiswa peserta program studi magister psikologi dan

dokter umum peserta program internship 2,65±0,63. (Tabel 1)

Pada kelompok dokter umum didapatkan persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif, yaitu subskala timeline memiliki rerata dan standar deviasi 3,32±0,45; consequence 4,15±0,39;

personal control 3,98±0,42; treatment control

3,68±0,40; illness coherence 3,34±0,56; timeline

cyclical 3,40±0,54; emotional representation

3,46±0,67; psychological attribution 4,16±0,39;

risk 3,23±0,39; immune 2,17±0,62; dan accident

2,55±0,80. (Tabel 2)

Hasil analisis di antara 2 kelompok tersebut mendapatkan perbedaan yang bermakna pada subskala emotional representation (p=0,000),

psychological attribution (p=0,000), dan risk factor (p=0,032).

PEMBAHASAN

Hasil yang didapatkan menunjukkan persepsi responden pada kedua kelompok terhadap adiksi zat psikoaktif. Nilai subskala timeline dari kedua

Subskala Rerata ± standar deviasi

Timeline 3,41 ± 0,61 Consequence 4,08 ± 0,36 Personal Control 3,99 ± 0,36 Treatment Control 3,73 ± 0,45 Illness Coherence 3,06 ± 0,52 Timeline Cyclical 3,28 ± 0,43 Emotional Representation 4,05 ± 0,49 Psychological Attribution 3,80 ± 0,45 Risk Factors 3,04 ± 0,44 Immunity 2,30 ± 0,60

Accident and Chance 2,65 ± 0,63

Subskala Rerata ± standar deviasi

Timeline 3,32 ± 0,45 Consequence 4,15 ± 0,39 Personal Control 3,98 ± 0,42 Treatment Control 3,68 ± 0,40 Illness Coherence 3,34 ± 0,56 Timeline Cyclical 3,40 ± 0,54 Emotional Representation 3,46 ± 0,67 Psychological Attribution 4,16 ± 0,39 Risk Factors 3,23 ± 0,39 Immunity 2,17 ± 0,62

Accident and Chance 2,55 ± 0,80

Tabel 1. Persepsi Mahasiswa Magister Psikologi terhadap Adiksi Zat Psikoaktif

(7)

dari berbagai faktor biopsikososial. Adiksi dapat dikendalikan oleh orang yang bersangkutan merupakan stigma seperti yang diyakini oleh masyarakat. Secara teori dan terbukti melalui penelitian ilmiah, pada orang dengan adiksi zat psikoaktif terjadi perubahan fisiologis pada jalur saraf dopaminergik. Neuron-neuron pada

Ventral-Tegmental-Area (VTA) memiliki proyeksi

pada regio kortikal dan limbik, khususnya

nucleus accumbens (NA), yang merupakan

jalur yang berperan dalam proses reward dan mediator utama untuk zat psikoaktif, seperti amfetamin dan kokain. Jalur ini disebut sebagai brain reward-circuitry. Ketika zat psikoaktif masuk ke susunan saraf pusat maka terjadi aktivasi pada neuron-neuron VTA yang didominasi oleh neurotransmitter dopamin kemudian menyebabkan teraktivasinya

reward-system.9 Aktivasi brain reward-system

membuat individu yang menggunakan zat tersebut mengalami perasaan nikmat dan muncul keinginan untuk terus menggunakan zat. Penggunaan zat psikoaktif yang terus menerus akan menyebabkan peningkatan jumlah reseptor zat tersebut di otak, sehingga kebutuhan akan zat semakin meningkat. Kondisi tersebut yang dinamakan toleransi dan memicu perilaku mencari zat terkait. Proses lain yang juga terjadi adalah munculnya gejala yang berlawanan dengan efek zat saat dosisnya dikurangi atau penggunaannya dihentikan sama sekali, yaitu

gejala lepas zat.11 Proses biologis inilah yang

membuat orang dengan adiksi zat psikoaktif sulit mengendalikan penggunaan zatnya.

Hasil pada subskala treatment control menun-jukkan bahwa responden dari kedua kelompok kelompok menunjukkan bahwa kedua

kelom-pok setuju bahwa adiksi zat psikoaktif adalah penyakit kronis. Hal ini sesuai dengan teori dan penelitian-penelitian di bidang ilmu kedokteran yang menyatakan bahwa adiksi adalah penyakit

otak kronis berulang.9 Persepsi bahwa adiksi

adalah penyakit kronis yang dimiliki oleh tenaga kesehatan diharapkan akan membuat mereka mau memberikan layanan kesehatan bagi pasien dengan adiksi zat psikoaktif.

Subskala consequence menunjukkan bahwa responden pada kedua kelompok sangat setuju bahwa adiksi zat psikoaktif memiliki konsekuensi yang buruk. Hasil tersebut sesuai dengan teori bahwa adiksi zat psikoaktif memiliki dampak yang besar dan berat pada orang yang meng-alaminya. Dampak buruk terjadi pada aspek fisik, mental, sosial, termasuk dapat menyebabkan kematian dan bervariasi pada tiap individu

ter-gantung dari zat yang digunakan.10 Dampak fisik

bervariasi dari malnutrisi sampai infeksi (baik lewat suntikan maupun saluran napas), gang-guan tidur, gelisah, perilaku agresif, dan depresi, merupakan gejala-gejala yang muncul sebagai dampak mental. Dampak sosial dapat berupa gangguan fungsi sosial, kecelakaan, sampai masalah hukum. Kematian dapat terjadi akibat overdosis maupun tindakan bunuh diri.

Pada subskala personal control, responden dari kedua kelompok mempunyai persepsi bahwa adiksi zat psikoaktif dapat dikendalikan oleh pasien adiksi sendiri. Persepsi ini berbeda dengan teori adiksi. Adiksi zat psikoaktif sulit dikendalikan oleh individu yang bersangkutan. Kemampuan mengendalikan adiksi sangat bervariasi di antara individu dan tergantung

(8)

Vol. 13, No. 3, Oktober 2014 179 Persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif pada mahasiswa peserta program studi magister psikologi dan

dokter umum peserta program internship setuju bahwa adiksi dapat dikendalikan dengan

terapi medis. Tujuan dari terapi adiksi dapat bervariasi dari abstinensia, mengurangi frekuensi penggunaan dan kekambuhan, serta perbaikan fungsi psikologi dan sosial dalam masyarakat. Di Indonesia, tata laksana adiksi zat psikoaktif dimulai dengan fase penilaian dan detoksifi-kasi, dilanjutkan dengan terapi (farmakoterapi, psikoterapi, rehabilitasi), sampai pada tata lak-sana pascaterapi (after care). Sampai saat ini, konsep terapi ini cukup efektif dalam tata laksana adiksi zat psikoaktif.

Subskala timeline cyclical menunjukkan hasil bahwa responden pada kedua kelompok setuju kalau adiksi adalah kondisi yang dapat terjadi berulang. Literatur menunjukkan bahwa angka yang tinggi untuk kekambuhan atau relaps dari

adiksi zat psikoaktif.12

Pada subskala illness coherence menunjukkan hasil bahwa responden dari kedua kelompok menyatakan netral sampai sedikit setuju me-ngenai apakah mereka mengerti mengapa gejala maupun perilaku abnormal terjadi pada penderita adiksi. Ini menunjukkan bahwa kedua kelompok belum mengerti dengan jelas alasan timbulnya gejala-gejala yang terjadi pada penderita. Nilai subskala emotional representation pada kedua kelompok juga berbeda secara bermakna. Kelompok mahasiswa magister psikologi lebih setuju bahwa kondisi adiksi sangat menekan secara emosional dibanding kelompok dokter. Dari literatur diketahui bahwa orang dengan adiksi cenderung tertekan secara emosional,

baik oleh gejala fisik maupun lingkungan sosial.13

Perbedaan konsep pendidikan kedokteran dan psikologi mungkin menjadi penyebab perbedaan

ini. Pada pendidikan kedokteran aspek emosi dari pasien lebih banyak didapatkan pada topik psikiatri dan hanya sedikit pada topik kasus medis lainnya. Pada pendidikan psikologi, aspek emosi tentunya menjadi fokus utama dalam pen-didikan tersebut, sehingga mahasiswa psikologi cenderung menghubungkan adiksi dengan ma-salah emosi.

Nilai subskala immunity serta accident and

chance menunjukkan bahwa responden pada

kedua kelompok mempunyai persepsi bahwa adiksi bukan disebabkan oleh gangguan sistem imun maupun faktor ketidaksengajaan dan ada-nya kesempatan.

Sesuai dengan teori adiksi, nilai subskala

psychological attribution menunjukkan bahwa

responden dari kedua kelompok setuju bahwa adiksi disebabkan oleh faktor psikologis. Res-ponden pada kelompok dokter lebih setuju bahwa faktor psikologis merupakan penyebab terjadinya adiksi dibanding kelompok mahasiswa magister psikologi. Hal ini mungkin disebabkan kelompok dokter lebih menghubungkan aspek kepribadian, masalah psikologi atau psikiatri dengan penggunaan zat (baik saat pemakaian awal maupun pemakaian berulang). Kelompok psikolog cenderung mempertimbangkan ada-nya masalah sosial (di samping haada-nya faktor psikologis), seperti mudah beredarnya zat-zat psikoaktif ilegal.

Nilai pada subskala risk factor menunjukkan bahwa responden pada kelompok dokter lebih mempunyai persepsi bahwa ada faktor-faktor risiko yang menyebabkan adiksi. Dari pendidikan kedokteran, para dokter dapat mengetahui bahwa kerentanan adiksi dipengaruhi oleh berbagai

(9)

faktor biopsikososial. Adiksi adalah penyakit otak, yaitu pada orang dengan adiksi ditemukan adanya perubahan proses kimiawi otak yang dicetuskan oleh berbagai faktor biologis termasuk

genetik.14 Faktor psikologis, seperti proses

perkembangan remaja, juga memengaruhi terjadinya adiksi. Masa remaja terkait dengan perilaku berisiko, mencari pengakuan, serta dipengaruhi oleh kelompok sebaya. Berbagai faktor tersebut akan meningkatkan risiko remaja

untuk menggunakan zat psikoaktif.15

Beberapa penelitian menunjukkan sikap tenaga kesehatan terhadap adiksi zat psikoaktif. Chan

et al. melakukan penelitian mengenai stigma

mahasiswa keperawatan terhadap pengguna zat psikoaktif suntik yang mendapatkan bahwa

mereka menjauhi pengguna zat psikoaktif suntik.16

Rao et al. menemukan bahwa tenaga kesehatan lebih menjauhi pasien dengan adiksi yang masih mengonsumsi zat psikoaktif dibandingkan dengan

pasien yang mengikuti program rehabilitasi.17

Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa tenaga kesehatan masih mempunyai sikap negatif terhadap orang yang menggunakan zat psikoaktif. Penelitian ini secara umum menunjukkan persepsi yang positif dari responden terhadap orang dengan adiksi zat psikoaktif. Satu persepsi yang cenderung negatif adalah bahwa pasien sendiri dapat mengendalikan adiksi (personal

control). Persepsi yang positif diharapkan akan

memunculkan sikap yang positif pula, namun penelitian ini tidak bisa memberikan gambaran mengenai sikap responden karena instrumen yang digunakan khusus untuk menilai persepsi. Salah satu kelemahan dari penelitian ini adalah responden penelitian yang kurang

merepresentasikan kondisi tenaga kesehatan (baik dokter maupun psikolog) di Indonesia. Kelompok dokter umum yang menjadi responden penelitian ini merupakan dokter-dokter yang baru lulus dari Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) di tahun yang sama dengan masuknya program internship dan belum memiliki pengalaman kerja khusus di bidang adiksi. Namun demikian, responden ini dapat memberikan gambaran untuk evaluasi pendidikan dokter Indonesia tentang adiksi yang disetarakan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Faktor yang perlu diperhatikan adalah asal Fakultas Kedokteran (FK) mungkin juga memengaruhi persepsi. Responden dokter umum yang berpartisipasi pada penelitian ini berasal dari berbagai FK di Indonesia, namun belum mencakup seluruh FK di Indonesia, yaitu Universitas YARSI, Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Universitas Trisakti, Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Pelita Harapan (UPH), Unika Atma Jaya, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Responden mahasiswa magister psikologi juga tidak mewakili populasi psikolog di Indonesia. Tidak semua responden tersebut memiliki ke-tertarikan pada bidang medis karena responden adalah mahasiswa magister Psikologi dari ber-bagai keminatan termasuk yang tidak berhu-bungan dengan klinis, seperti Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) dan Psikologi pendidikan. Responden hanya berasal dari satu universitas, yaitu Unika Atma Jaya, sehingga tidak bisa me-wakili populasi Indonesia.

Illness Perception Questionnaire (IPQ) telah

ter-bukti mempunyai validitas dan reliabilitas yang baik untuk penyakit rematoid artritis dan gagal

(10)

Vol. 13, No. 3, Oktober 2014 181 Persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif pada mahasiswa peserta program studi magister psikologi dan

dokter umum peserta program internship

ginjal.18 Instrumen yang digunakan dalam

pene-litian ini adalah versi bahasa Indonesia dari IPQ-RA yang merupakan adaptasi dari IPQ khusus untuk adiksi. Versi bahasa Indonesia dari IPQ-RA belum memiliki data psikometrik yang menun-jang penggunaannya pada populasi tertentu, sehingga menjadi kelemahan penelitian ini.

KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa Magister Psikologi Unika Atma Jaya dan dokter umum program internship di Kalimantan Selatan mempunyai persepsi yang sama, yaitu adiksi adalah penyakit kronis dan merupakan kondisi yang bisa berulang (kambuh), adiksi mempunyai konsekuensi yang buruk, adiksi dapat diken-dalikan oleh orang yang bersangkutan, adiksi dapat dikendalikan dengan terapi. Mereka juga mempunyai persepsi bahwa adiksi tidak dise-babkan oleh gangguan sistem imun serta faktor ketidaksengajaan dan adanya kesempatan. Perbedaan bermakna ditemukan pada persepsi bahwa adiksi menimbulkan stres emosional yang lebih merupakan persepsi dari mahasiswa psikologi. Dokter umum lebih mempunyai per-sepsi bahwa mereka memahami adiksi, adiksi disebabkan oleh faktor psikologis, dan ada fak-tor-faktor risiko yang menyebabkan adiksi. Dengan hasil penelitian ini, disarankan adanya pendidikan terkait adiksi di fakultas kedokteran maupun psikologi untuk mengoptimalkan kom-petensi tenaga kesehatan dalam memberikan layanan bagi pasien dengan adiksi zat psikoaktif. Penelitian serupa disarankan untuk dilakukan dan sebaiknya dipilih sampel yang dapat

meng-gambarkan persepsi tenaga kesehatan tentang adiksi zat psikoaktif secara nasional. Diperlukan juga gambaran persepsi terhadap adiksi zat psikoaktif dari mahasiswa yang ada di berbagai fakultas yang berhubungan dengan kesehatan, seperti: fakultas kedokteran, fakultas psikologi, fakultas kesehatan masyarakat. Persepsi dari pasien, keluarga pasien,dan masyarakat secara umum terhadap adiksi zat psikoaktif juga perlu dievaluasi. Studi psikometrik perlu dilakukan untuk membuktikan validitas dan reliabilitas dari versi bahasa Indonesia IPQ-RA.

DAFTAR PUSTAKA

1. Joewana S. Epidemiologi. In: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif: penyalahgunaan napza/narkoba. 2nd ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2005. pp.35-8.

2. Badan Narkotika Nasional. Ringkasan eksekutif survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba di Indonesia tahun 2011 (kerugian sosial dan ekonomi). Jakarta: Badan Narkotika Nasional; 2011. Available from: http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/ post/2012/05/29/20120529145842-10263. pdf.

3. Badan Narkotika Nasional, Pusat Pene-litian Kesehatan Universitas Indonesia. Laporan survei penyalahgunaan narkoba di Indonesia: studi kerugian ekonomi dan sosial akibat narkoba tahun 2008. Depok: Badan Narkotika Nasional; 2009. Available from: http://bnn.go.id/portalbaru/portal/file/ hasil_penelitian/Summary%20eksekutif%20 sosek%20BNN%202008_4_FINAL%20 29%20APRIL%2009.pdf.

(11)

4. Volkow ND, Ting Kai Li. Drug addiction: the neurobiology of behavior gone awry. In: Ries RK, Miller SC, Fiellin DA, Saitz R, edi-tor. Principles of addiction medicine. 4th ed. Philadelphia: Lippincott williams & wilkins; 2009. pp. 4-9.

5. Joewana S. Komplikasi medis dan akibat lain. In: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif: penyalah-gunaan napza/narkoba. 2nd ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2005.pp. 205-8.

6. Badan Narkotika Nasional. Ubah stigma dengan tingkatkan produktivitas. Sinar BNN [newspaper on the Internet]. 2014 [cited 2014 Jun 20]; pp. 1-3. Available from: http:// www.bnn.go.id/portal / Uploads/post/ 2014/ 02/24/majalahsinaredisijanuari2014revisi. pdf.

7 . Corrigan PW, Kuwabara SA, O’Shaughnessy J. The public stigma of mental illness and drug addiction findings from a stratified random sample. Journal of social work. 2009;9(2):139-47

8. Hammer R, Dingel M, Ostergen J, Partridge B, McCormick J, Koenig BA. Addiction: Cur-rent criticism of the brain disease paradigm. AJOB Neurosci. 2013;4(3):27-32.

9 . Ross S, Peselow E. The neurobiology of addictive disorders. Clin Neuropharmacol. 2009;32(5):269-76.

10. Husin AB, Siste K. Gangguan penggunaan zat. In: Elvira SD, Hadisukanto G, editor. Buku ajar psikiatri. 2nd ed. Jakarta: Badan penerbit fakultas kedokteran universitas Indonesia; 2013.

11. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Synopsis of psychiatry behavioral sciences/clinical psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014. pp. 616-623.

12. Morein-Zamir S, Robbins TW. Fronto-striatal circuits in response inhibition: relevance to addiction. Brain res. 2014. Available from :http://dx.doi.org/10.1016/j. brainres.2014.09.012.

13. Koob GF, Buck CL, Cohen A, Edwards S, Park PE, Schlosburg JE, et al. Addiction as a stress surfeit disorder. Neuropharmacology. 2014;76(1)B:370-82.

14. Ersche KD, Williams GB, Robbins TW, Bulll-more ET. Meta analysis of structural brain abnormalities associated with stimulant drug dependence and neuroimaging of addiction vulnerability and resilience. Curr Opin Neu-robiol. 2013;23(4):615-24.

15. Spear LP. The adolescent brain and age-related behavioral manifestations. Neurosci Biobehav Rev. 2000;24:417-63.

16. Chan KY, Stoové MA, Sringernyuang L, Re-idpath DD. Stigmatization of AIDS patients: disentangling thai nursing students’ attitudes towards HIV/AIDS, drug use, and commer-cial sex. AIDS Behav. 2008;12:146–57. 17. Rao H, Mahadevappa H, Pillay P, Sessay M,

Abraham A. A study of stigmatized attitudes towards people with mental health problems among health professionals. J Psychiatr Ment Health Nurs. 2009;16:279–84. 18. Moss-Moris R, Weinman J, Petrie KJ,

Cam-eron L, Buick D. The Revised Illness Percep-tion QuesPercep-tionnaire (IPQ-R). Psychology and Health. 2002;17(1):1-16.

Gambar

Tabel 2.  Persepsi terhadap Adiksi Zat Psikoaktif pada Dokter Umum

Referensi

Dokumen terkait

Valasindo Sentra Usaha dalam memanajemen persediaan bahan baku menggunakan perhitungan yang lebih efisien yaitu melihat dari jumlah kuantitas pembelian yang optimal

meroket hingga 278% pada semester pertama 2017 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu mencapai Rp175 miliar, dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama

Efek dari repeated rolling kontak adalah besarnya tegangan sisa yang terdapat pada tiap nodal, ini dikarenakan suatu nodal yang telah memiliki tegangan sisa saat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya biaya, penerimaan, keuntungan, profitabilitas, efisiensi dan risiko usaha industri rengginang singkong

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sikap terhadap profesi petani selain mengandung penilaian netral (dilambangkan dengan angka 0), juga mengandung penilaian

Dalam komputasi grid digunakan Certificate Authority (CA) yang berguna untuk memastikan bahwa resource yang terhubung dalam grid atau user yang menggunakan resource komputasi

Dalam lingkungan seperti itu, pengguna harus dapat diberikan jaminan bahwa kunci publik yang digunakan untuk mengenkripsi informasi adalah benar-benar kunci publik dari penerima

Akan tetapi, informasi pada situs OGSA-DAI sebagai acuan utama penulis tidak diberikan secara detil dalam hal pustaka yang terkait dengan sistem operasi dan paket GT yang