• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN FORGIVENESS PADA WARGA DEWASA AWAL YANG TIDAK AKTIF MENGIKUTI IBADAH NON-MINGGU DI GEREJA BETHEL INDONESIA (GBI) BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN FORGIVENESS PADA WARGA DEWASA AWAL YANG TIDAK AKTIF MENGIKUTI IBADAH NON-MINGGU DI GEREJA BETHEL INDONESIA (GBI) BANDUNG"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN FORGIVENESS PADA

WARGA DEWASA AWAL YANG TIDAK AKTIF MENGIKUTI

IBADAH NON-MINGGU DI GEREJA BETHEL INDONESIA

(GBI) BANDUNG

OLEH

ZEFANYA JANUARI CHRISTINA

802011096

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini perilaku forgiveness ini banyak dibahas. Perilaku ini sangat

positif bagi individu, meskipun forgiveness tidak menghilangkan rasa sakit namun

setelah memaafkan individu dapat menyadari bahwa bila perasaan negatif yang

muncul akan membuat situasi semakin buruk bukan membaik. Forgiveness adalah

sama dengan rela memaafkan. Dengan rela memaafkan berarti kita bersedia untuk

menanggalkan masa lalu yang menyakitkan (Jampolsky, 2001). Dalam kehidupan

sehari-hari perilaku memaafkan merupakan suatu hal yang dianggap baik. Dalam

Wikipedia (2010) dijelaskan bahwa forgiveness merupakan norma yang diajarkan

dalam setiap agama dan setiap agama memiliki konsep yang berbeda mengenai

forgiveness.

Dalam berinteraksi dengan individu lain, seseorang terkadang berbuat salah

kepada individu lain. Di sisi lain, individu tentu pernah mengalami perlakuan dan

situasi yang mengecewakan atau menyakitkan. Pada warga dewasa awal yang dari sisi

pekembangan psikologis telah berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan

dengan anak maupun remaja, namun tampaknya para warga dewasa muda tidak

terlepas dari masalah tersebut. Usia menuju kedewasaan tidak hanya terfokus pada

menjadi seorang individu, tetapi juga pada saat yang sama mereka menempatkan

pentingnya teman sebaya dan hubungan romantik. Sehingga ketika terjadinya

penolakan dari teman sebaya, tidak memiliki hubungan romantik yang baik, dan

mendapatkan bullying atau dalam kasus di rumah biasanya mendapatkan perlakuan

yang tidak adil dari keluarga, adanya kekerasan maka perasaan negatif akan timbul

dalam diri individu. Menurut Erik Erikson pada masa dewasa awal konflik yang

(7)

dengan orang lain. Orang dewasa muda perlu membentuk hubungan dan cinta dengan

orang lain. Keberhasilan memunculkan hubungan kuat, sedangkan kegagalan

menghasilkan kesepian dan kesendirian. Hal-hal tersebut pula yang seringkali

menimbulkan perasaan-perasaan negatif pada diri individu.

Namun forgiveness merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena

harus melibatkan dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam

dan menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough,

1999). Forgiveness tidak hanya menghilangkan perasaan negatif saja, namun juga

harus mengembalikan perasaan positif terhadap pelakunya (Worthington, 1998).

Memaafkan memiliki tujuan untuk mengembangkan hubungan yang baik, antara dua

orang. Selanjutnya memaafkan juga bertujuan untuk membebaskan diri dari

perasaan-perasaan negatif dan membantu mengurangi keinginan untuk menghukum seseorang

yang telah melakukan kesalahan.

Demikian juga yang terjadi pada forgiveness pada warga dewasa awal di

Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Bandung Jawa Barat. Fenomena yang terjadi ialah

secara tidak disadari jemaat memunculkan suatu kelompok yang beranggotakan

individu-individu yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas dan kelompok

lainnya yang terdiri dari jemaat-jemaat yang terkenal aktif dalam setiap kegiatan

keagamaan ataupun dalam pelayanan, sehingga hal tersebut memunculkan perasaan

yang negatif pada jemaat yang tidak masuk dalam kriteria kelompok tersebut. Hal ini

didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti kepada subyek,

ketika subyek pertama kali datang ke ibadah tersebut subyek merasa jemaat-jemaat

lain menerima dirinya dengan terbuka tetapi subyek mengatakan bahwa semakin lama

(8)

kesenjangan dengan jemaat lainnya, kemudian subyek memutuskan untuk pindah

jadwal ibadah dikarenakan sudah tidak memiliki kecocokan dengan ibadah kaum

muda. Salah satu faktor yang memengaruhi forgiveness adalah religiusitas. Individu

yang secara rutin melakukan setiap kegiatan keagamaan cenderung memiliki

forgiveness dalam dirinya dikarenakan individu tersebut telah memahami peran agama

dalam kehidupannya, namun perilaku forgiveness tidak hanya dimiliki oleh individu

yang aktif mengikuti ibadah/kegiatan keagamaannya. Pada jemaat yang aktif

mengikuti kegiatan keagamaan menunjukkan adanya perilaku forgiveness yang baik

tetapi ada pula yang menunjukkan adanya perilaku forgiveness yang kurang baik. Hal

itu terjadi pula pada jemaat yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu.

Peneliti berasumsi bahwa jemaat yang aktif dalam mengikuti ibadah/kegiatan minggu

maupun non-minggu cenderung memiliki pengetahuan agama yang baik sehingga

wajar jika mereka mampu untuk melakukan forgiveness. Sedangkan pada jemaat yang

tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu pemahaman tentang peran agama

cenderung tidak sebaik jemaat yang aktif mengikuti ibadah/kegiatan minggu maupun

non-minggu. Sehingga peneliti tertarik untuk melihat perilaku forgiveness pada jemaat

yang tidak aktif mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu dan belum adanya penelitian

yang meneliti perilaku forgiveness pada jemaat yang tidak aktif mengikuti

ibadah/kegiatan non-minggu. Peneliti telah melakukan wawancara pada beberapa

individu, hasil wawancara yang didapatkan pada subyek ialah mereka cukup memiliki

sikap forgiveness yang baik meskipun mereka tidak aktif mengikuti kegiatan

non-minggu. Pada subyek lainnya didapatkan hasil wawancara bahwa mereka tidak dengan

mudah memaafkan orang yang bersalah kepada mereka, dengan kata lain kurang

(9)

Forgiveness dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan faktor sebelumnya.

Menurut Wade dan Worthington (2003) faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness

ialah religiusitas, empati, keramahan, kemarahan, perasaan malu, kedekatan hubungan

dengan transgressor, kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi, reaksi

transgressor (luka yang ditimbulkan transgressor), dan permintaan maaf.

Fungsi religiusitas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi agama. Agama

merupakan kebutuhan emosional manusia dan merupakan kebutuhan alamiah.

Religiusitas menurut Stark dan Glock (1968) adalah apa yang diyakini seseorang

sebagai kebenaran religius, apa yang seseorang lakukan sebagai bagian pengalaman

keyakinan, melibatkan emosi atau pengalaman sadar dalam agama yang dianut, yang

diketahui tentang keyakinan, dan bagaimana tingkah laku sehari-hari dipengaruhi

agama. Di dalam religiusitas terdapat beberapa dimensi yang akan diteliti juga dalam

penelitian ini, yaitu dimensi-dimensi menurut Stark dan Glock, terdiri dari lima macam

yaitu dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.

Banyak agama dan semua agama berbeda-beda dalam mengajarkan mengenai

forgiveness.

Meskipun penelitian di bidang forgiveness dan religiusitas relatif muda, ada

keterkaitan anatara forgiveness dan religiusitas. Beberapa agama besar menganjurkan

umatnya untuk melakukan pengampunan (McCullough dan Worthington, 1999; Rye

et al, 2000) dan menganggapnya sebagai salah satu dari sifat-sifat Allah. Analisis

World Values Survey terhadap remaja usia 18 hingga 24 tahun mengungkapkan bahwa

orang yang beranjak dewasa di negara kurang berkembang lebih religius daripada

remaja di negara maju (Lippman dan Keith, 2006 dalam Lerner, R. M., Lerner, J. V.,

(10)

“keterlibatan agama memiliki korelasi yang positif dengan disposisi untuk mengampuni orang lain” (McCullough, Bono, dan Root, 2005). Salah satu studi paling awal dalam bidang ini diteliti oleh Rokeach (1973) menemukan bahwa orang-orang

dari Kristen konservatif menganggap pengampunan adalah tradisi yang dijadikan

sebagai prioritas di antara nilai-nilai pribadi mereka. Poloma dan Gallup (1991) dan

Shomaker dan Bolt (1977) juga menyatakan bahwa orang-orang yang sangat religius

menganggap pengampunan sebagai sesuatu yang harus dihargai. Gorsuch dan Hao

(1993) menemukan bahwa orang yang sangat religius memiliki motivasi yang lebih

besar untuk memaafkan. Pandangan ini menempatkan hubungan antara pengampunan

dan religiusitas dalam konteks hubungan personal. Sejumlah penelitian telah

menemukan bahwa remaja yang terlibat dalam kegiatan keagamaan cenderung

berpartisipasi dalam pembelajaran pelayanan dibandingkan dengan remaja yang tidak

terlibat dalam keagamaan (Lerner, Roeser, dan Phelps, 2008).

Sejauh penelusuran peneliti, sebagian besar hasil penelitian terdahulu

menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dan forgiveness. Penelitian

ini kemudian meneliti kembali hubungan antara religiusitas terhadap forgiveness pada

warga dewasa awal yang tidak aktif mengikuti ibadah non-minggu, karena peneliti

berasumsi bahwa belum tentu orang-orang yang tidak mengikuti kegiatan keagamaan

non-minggu tidak memiliki sikap forgiveness.

Padahal menurut McCullough, Bono dan Root (2005), keterlibatan agama

memiliki korelasi yang positif untuk mengampuni orang lain. Penelitian ini kemudian

dilakukan dengan memfokuskan pada hubungan antara religiusitas terhadap

forgiveness pada warga dewasa awal bagi individu yang tidak aktif mengikuti

(11)

pertanyaan dalam penelitian adalah “apakah terdapat hubungan religiusitas terhadap

forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan

non-minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Bandung?”. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara religiusitas dengan forgiveness pada warga dewasa awal

yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu. Manfaat dari penelitian ini secara

teoritis diharapkan secara teoritis dapat menambah hasil penelitian-penelitian tentang

religiusitas dan forgiveness. Karena masih kurangnya penelitian-penelitian tentang

religiusitas dan forgiveness. Manfaat dari penelitian ini secara praktis untuk aspek

religiusitas, penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan kepada masyarakat umum

bahwa religiusitas tidak hanya berbicara tentang agama semata tetapi juga tindakan

dalam menjalankan agama tersebut. Sedangkan untuk aspek forgiveness, penelitian ini

diharapkan pula dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat umum betapa

positifnya memiliki perilaku forgiveness sehingga setiap orang bisa hidup dengan

nyaman.

Pengertian Forgiveness

Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak

melakukan perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya

keinginan untuk menjauhi pelaku. Sebaliknya ada keinginan untuk berdamai dan

berbuat baik terhadap orang yang menyakiti walaupun orang yang telah menyakiti

telah berbuat yang menyakitkan terhadap kita (McCullough, 1997, dalam McCullough

dkk).

Aspek-aspek forgiveness

Menurut McCullough (2000), ada tiga aspek yang digunakan untuk

(12)

• Avoidance motivations

Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri

(withdrawal) dari pelaku.

• Revenge motivations

Ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku

yang ditujukan kepadanya. Dalam kondisi ini, individu tersebut marah dan

berkeinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku. Ketika individu

dilukai oleh individu lain (pelaku), makan yang terjadi dalam dirinya

adalah peningkatan dorongan untuk menghindar (avoidance) dan

membalas dendam (revenge).

• Benevolence motivations

Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku. Dengan

adanya kehadiran benevolence, berarti juga menghilangkan kehadiran dua

dimensi sebelumnya. Oleh karena itu, individu yang memaafkan memiliki

benevolence motivations yang tinggi, namun di sisi lain memiliki

avoidance yang rendah.

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Forgiveness

Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh

terhadap forgiveness menurut Wade dan Worthington (2003) yaitu :

• Religiusitas, dimana individu yang mendasarkan tingkah laku hidup sehari-hari atau segala aspek hidupnya dalam agama yang diyakininya

dapat melakukan pemaafan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas

(13)

• Empati, empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Melalu empati terhadap pihak yang

menyakiti, seseorang dapat memahami peraasan pihak yang menyakiti

merasa bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan.

• Keramahan, dimana individu dapat mengerti keadaan individu lain dan memakluminya. Keramahan memungkinkan untuk terjadinya pemaafan.

• Kemarahan, merupakan emosi negatif yang sering menstimulasi usaha untuk mengurangi tindakan untuk memaafkan.

• Perasaan malu, individu sebagai pelaku kejahatan merasa malu atas perbuatan yang dilakukannya dengan menyakiti orang lain. Adanya

perasaan malu tersebut kemudian akan mempersulit terjadinya pemaafan.

• Kedekatan hubungan dengan transgressor. Hal ini dikarenakan pemaafan melibatkan perubahan dorongan dari negatif menjadi positif terhadap

transgressor, maka kedekatan hubungan kemudian akan mempengaruhi

proses tersebut.

• Kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi. McCullough, Rachal, Sabdage, Worthington, Brown dan Hight (1998) menyatakan

bahwa hubungan yang romantik mungkin lebih bersedia untuk

memaafkan karena mempunyai sumber daya yang cukup besar dalam

hubungan.

• Reaksi transgressor (luka yang ditimbulkan oleh transgressor), semakin besar luka yang dihasilkan, maka semakin sulit pula individu untuk

(14)

• Permintaan maaf, hal ini menstimulasi emosi dalam diri korban dan menumbuhkan empati terhadapnya, sehingga dapat meningkatkan

pemaafan individu terhadap transgressor.

Pengertian Religiusitas

Stark dan Glock (1968) merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius,

yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan

agama yang dianut.

Dimensi religiusitas

Menurut Glock dan Stark (1968), dimensi-dimensi religiusitas terdiri dari lima

macam yaitu :

• The Belief Dimension atau Ideologi

Dimensi ini terdiri dari pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius

berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, dan mengakui kebenaran

ajaran-ajaran agama.

• Religious Practice atau Praktik Keagamaan

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang

dilakukan orang untuk menunjukkan komitmennya terhadap agama yang

dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua hal yang penting

yaitu ritual dan ketaatan. Ritual seperti menghadiri pengajian agama,

sedangkan ketaatan seperti mengerjakan shalat.

• Experiental atau Pengalaman Keagamaan

Dimensi ini berisikan fakta bahwa semua agama mengandung

pengharapan-pengharapan yang pasti, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang

(15)

langsung mengenai kenyataan bahwa seseorang akan mencapai suatu kontak

dengan kekuatan supernatural.

• Religious Knowledge atau Pengetahuan Keagamaan

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama

paling tidak memiliki minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,

ritual-ritual, kitan suci, dan tradisi-tradisi.

• Religious Consequences atau Konsekuensi Keagamaan

Dimensi ini mengacu kepada indentifikasi akibat-akibat keyakinan

keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

Fungsi Religiusitas

Menurut Allport dan Ross, (dalam Tongeren, Raad, McIntosh, & Pae, 2013)

fungsi religiusitas yaitu:

• Salah satu sebagai penata dunia dengan ilmu epistimologis dan ontological yang di dalamnya mengandung banyak makna.

• Menawarkan keabadian simbolis atau literal bagi para pengikutnya, untuk mengurangi ancaman kematian.

• Membatasi batas-batas moral sehingga individu memiliki hidup yang benar oleh karena itu individu dapat dikatakan memenuhi standar dalam pandangan

dunia dan budaya.

Hubungan antara religiusitas dan forgiveness

Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa religiusitas berkorelasi

positif dengan forgiveness. Semakin tinggi tingkat religiusitas, maka mereka lebih

(16)

Suatu keyakinan dan pemahaman yang mendasar tentang agama merupakan bentuk

pengakuan individu terhadap Tuhan. Apabila individu memiliki pemahaman agama

yang baik, individu tersebut akan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang

ada. Individu yang menerapkan prinsip-prinsip religiusitas dapat memberikan

kepadanya keyakinan hidup dan perasaan aman. Religiusitas merupakan bagian yang

cukup penting dalam pembentukan perilaku pada seseorang. Seseorang yang memiliki

tingkat religiusitas tertentu akan mempunyai tingkat perilaku yang cukup dalam

kehidupan sosialnya sehingga sesuai dengan hukum-hukum agama yang dianutnya.

Salah satu ajaran agama ialah pemaafan atau forgiveness.

Setiap agama mengajarkan tentang forgiveness, dikarenakan sikap forgiveness

memiliki kekuatan yang positif bagi individu. Forgiveness (pemaafan) dapat menjadi

salah satu cara untuk memfasilitasi penyembuhan luka dalam diri seseorang dan

antarpribadi yang bermusuhan dan menyakiti. Dengan melakukan forgiveness

seseorang merubah perasaan negatif menjadi perasaan yang positif. Individu yang

memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung memiliki sikap forgiveness yang

tinggi. Hal ini terjadi pada individu yang selalu melaksanakan ibadah dengan rutin,

mereka dianggap sudah mampu menerapkan ajaran agama dengan baik termasuk

memaafkan. Namun pada dasarnya setiap individu memiliki kecenderungan untuk

memaafkan.

Hipotesis

Ada hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dengan forgiveness.

Semakin tinggi tingkat religiusitas menunjukkan perilaku forgiveness yang tinggi pada

(17)

METODOLOGI PENELITIAN

Partisipan

Total partisipan dalam penelitian ini berjumlah 51 subjek, karakteristik dalam

penelitian ini adalah partisipan berusia dewasa awal usia 20-30 tahun, jemaat Gereja

Bethel Indonesia (GBI) Bandung yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan non minggu.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

snowball sampling, yaitu metode teknik dengan penentuan sampel yang mula-mula

jumlahnya kecil, kemudian membesar. Metode ini mengacu pada penentuan kriteria

subyek dan objek yang menjadi tujuan penelitian ini (Sugiyono, 2012).

Instrumen

Penelitian ini menggunakan instrumen berbentuk skala likert. Skala yang

digunakan untuk mengukur forgiveness yaitu skala Transgression-Related

Interpersonal Motivation Inventory dari McCullough, Root, dan Cohen (2006). Skala forgiveness berjumlah 18 aitem yang terdiri dari 6 aitem favorable dan 12 aitem unfavorable.

Sedangkan untuk skala yang digunakan untuk mengukur religiusitas

menggunakan skala yang didasarkan dari teori Stark dan Glock (1968) The Religiosity

Scale of Christian Sample. Penilaian skala ini adalah jika makin tinggi skor total yang

diperoleh individu maka religiusitasnya makin tinggi, sedangkan makin rendah skor

total yang diperoleh individu maka religiusitasnya rendah.

Pada masing-masing aitem terdapat empat alternatif jawaban, sangat sesuai

(SS), sesuai (S), tidak dapat menentukan pilihan dengan pasti (N), tidak sesuai (TS),

(18)

nilainya 3, N nilainya 2, TS nilainya 1, STS nilainya 0, sedangkan untuk aitem

unfavorable penyekoran merupakan kebalikan dari penyekoran aitem-aitem favorable.

Sebelum peneliti melakukan pengambilan data terhadap subyek penelitian

yang sesungguhnya, pada tanggal 1 Juni 2015 peneliti menguji bahasa terhadap skala

yang telah dibuat oleh peneliti kepada 10 orang partisipan yang mempunyai kriteria

yang sama dengan subyek yang sesungguhnya. Dalam skala religiusitas aitem no 8 dan

9, sulit untuk dimengerti, maka dari itu peneliti melakukan penyusunan kembali aitem

yang tidak dapat dimengerti oleh subyek supaya ketika diberikan kepada subyek

penelitian yang sesungguhnya aitem tersebut dapat dimengerti oleh subyek.

Selanjutnya, kedua skala akan diuji coba terlebih dahulu untuk menguji daya

diskriminasi dan reliabilitasnya. Perhitungan seleksi aitem dilakukan dengan

menggunakan teknik statistik Corrected Item-Total Correlation dengan bantuan

program computer SPSS 20 for windows. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan

korelasi aitem total dengan batasan koefisien korelasi yang dianggap memuaskan dan

memberikan kontribusi yang baik adalah sebesar >0,25 (Azwar, 2012). Pada skala

religiusitas, diperoleh bahwa dari 23 aitem yang diuji terdapat 1 aitem gugur, sehingga

22 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari 0,265-0,571

dengan koefsien alpha cronbach sebesar 0,851 yang berarti alat ukur ini tergolong

baik (Azwar, 2012). Pada skala forgiveness, diperoleh bahwa dari 18 aitem yang diuji

tidak terdapat aitem gugur, sehingga 18 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total

correlation) bergerak dari 0,356-0,762 dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0,914

yang berarti alat ukur ini tergolong sangat reliabel (Azwar, 2012).

(19)

Setelah skala selesai dipersiapkan, peneliti mempersiapkan persiapan

penelitian yang lainnya, seperti perizinan dari fakultas dan hal lainnya, maka peneliti

segera menuju ke Sekertaris Fakultas Psikologi untuk meminta surat penelitian.

Perizinan dari pihak fakultas didapat pada tanggal 3 Juni 2015, dan setelah itu peneliti

menyiapkan 51 skala psikologi yang terdiri dari dua skala yaitu skala I berisi mengenai

forgiveness dan skala II berisi tentang religiusitas.

Selanjutnya peneliti langsung mencari partisipan dengan cara mencari

informasi dari teman yang mengetahui partisipan sesuai dengan kriteria yang

diinginkan. Setelah peneliti mendapatkan satu partisipan, peneliti memintanya untuk

mengisi skala tersebut dengan sejujur-jujurnya karena tidak berpengaruh apapun bagi

diri partisipan. Kemudian, peneliti mencari tahu untuk mendapatkan partisipan

selanjutnya dengan cara mencari informasi dari partisipan yang sudah pernah mengisi.

Selanjutnya, setelah peneliti mendapatkan informasi peneliti langsung membagikan

skalanya.

Peneliti membagikan sejumlah 51 skala untuk diisi oleh partisipan. Setelah

skala terkumpul, peneliti mengucapkan terima kasih kepada partisipan.

HASIL PENELITIAN

• Analisis Deskriptif

Jumlah aitem skala religiusitas sebanyak 22 aitem, skor total tertinggi 88 dan

skor total terendah 0 kemudian dibagi menjadi 5 kategori, intervalnya 17,6. Sehingga

kategorisasi variabel religiusitas sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria skor religiustias

No. Interval Kategori F Persentase

1. 0 ≤ x < 17,6 Sangat rendah 0 0,00

2. 17,6 ≤ x < 35,2 Rendah 0 0,00

3. 35,2 ≤ x < 52,8 Sedang 3 5,88

4. 52,8 ≤ x < 70,4 Tinggi 34 66,67

(20)

Total 51 100%

Jumlah aitem skala forgiveness sebanyak 18 aitem, skor total tertinggi 72 dan

skor total terendah 0 kemudian dibagi menjadi 5 kategori, intervalnya adalah 14,4.

Sehingga kategorisasi variabel forgiveness sebagai berikut :

Tabel 2. Kriteria skor forgiveness

No. Interval Kategori F Persentase

1. 0 ≤ x < 14,4 Sangat rendah 2 3,92 2. 14,4 ≤ x < 28,8 Rendah 8 15,69 3. 28,8 ≤ x < 43,2 Sedang 18 35,29 4. 43,2 ≤ x < 57,6 Tinggi 19 37,25 5. 57,6 ≤ x ≤ 72 Sangat Tinggi 4 7,84 Total 51 100%

Ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat religiusitas partisipan cenderung

berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi, sedangkan tingkat forgiveness pada usia

dewasa awal cenderung berada pada kategori sedang dan tinggi.

• Uji Asumsi Uji Normalitas

Berdasarkan hasil pengujian normalitas, kedua variabel memiliki signifikansi

p>0,05. Variabel religiusitas memiliki K-S-Z sebesar 0,824 dengan probabilitas (p)

atau signifikansi sebesar 0,505 (p>0,05).Oleh karena nilai signifikansi >0,05, maka

distribusi variabel religiusitas adalah normal. Hal ini juga terjadi pada variabel

forgiveness yang memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,675 dengan probabilitas (p) atau

signifikansi sebesar 0,753 (p>0,05). Dengan demikian kedua variabel memiliki

distribusi yang normal.

Uji Linearitas

Hasil uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara

variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi

(21)

Linearity = 1,085 dengan sig. = 0,422 (p>0,05), yang berarti penyimpangan dari

linearitas signifikan yang berarti linier.

• Uji Hipotesis Antara Religiusitas dan Forgiveness

Tabel 3. Korelasi antara religiusitas dengan forgiveness

FORGIV RELIG FORGIV Pearson Correlation 1 ,040 Sig. (1-tailed) ,390 N 51 51 RELIG Pearson Correlation ,040 1 Sig. (1-tailed) ,390 N 51 51

Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien

korelasi antara religiusitas dengan forgiveness r = 0,040 dengan sig. = 0,390 (p>0,05)

yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas dan forgiveness pada dewasa

awal yang tidak aktif melakukan ibadah/kegiatan non-minggu di Gereja Bethel

Indonesia (GBI) Bandung.

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara religiusitas dengan

forgiveness pada usia dewasa awal, ditemukan bahwa tidak adanya hubungan antara

religiusitas dengan forgiveness pada usia dewasa awal. Berdasarkan hasil uji

perhitungan korelasi, keduanya memiliki r sebesar 0,040 dengan signifikansi sebesar

0,390 (p>0,05) yang berarti kedua variabel yaitu religiusitas dengan forgiveness tidak

memiliki hubungan. Artinya ketika seseorang memiliki religiusitas tinggi belum tentu

memiliki forgiveness yang baik begitupun sebaliknya. Karena bagi sebagian individu

religiusitas hanya sebatas pengetahuan tentang agama yang dianutnya tanpa dapat

menerapkan ajaran agama ke dalam perilaku sehari-hari, sehingga religiusitas tidak

(22)

Penelitian Dr. Roy Baumeister (2002), menunjukkan bahwa terdapat dua

hambatan terbesar bagi pembentukan proses pemaafan. Pertama, pemaafan lebih sulit

dilakukan pada individu dengan kecenderungan narsistik, yang merasa bahwa mereka

pantas mendapatkan banyak hal. Mereka melihat memaafkan sebagai sesuatu yang

penuh resiko dan tidak adil, khususnya bila mereka tidak menerima “ganti rugi” atau permintaan maaf apapun dari pelaku. Bentuk lain dari kecenderungan ini adalah

ketidak mampuan individu untuk melihat potensinya sendiri untuk melakukan sesuatu

yang tidak semestinya pada orang lain. Ketidakmampuan merefleksikan bahwa dirinya

bisa saja melakukan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain berkaitan dengan

kesiapan yang rendah untuk memaafkan. Hambatan lain untuk melakukan pemaafan

adalah keyakinan bahwa memaafkan membuka kessempatan untuk disakiti kembali.

Padahal penelitian Baumeister (2002) menunjukkan bahwa kemungkinan memaafkan

benar-benar meningkatkan resiko untuk disakiti kembali, sangat kecil. Pelaku

cenderung memberikan penghargaan atas pemaafan yang diterima, dan ekspresi yang

jelas dalam pemaafan secara nyata dapat menjadi penghalang bagi kemungkinan

melakukan penyerangan di masa mendatang.

Hal tersebut diperkuat dari hasil identifikasi yang menunjukkan bahwa

persentase religiusitas sebagian besar partisipan pada kategori religiusitas yang tinggi

dengan persentase 66,67%. Hal ini berarti bahwa religiusitas yang dimilikinya berada

pada kategori tinggi. Sedangkan untuk forgiveness, sebagian partisipan berada pada

kategori tinggi dengan persentase 37,25%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar

forgiveness partisipan berada pada kategori yang tinggi.

Meskipun forgiveness merupakan perilaku yang positif tetapi pada dasarnya

(23)

dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan

menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999).

Berdasarkan keseluruhan kategori tersebut maka hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara religiusitas dengan forgiveness. Hal

ini didasarkan pada nilai korelasi yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

kedua variabel tersebut. Artinya ketika seseorang memiliki religiusitas tinggi belum

tentu ia dapat melakukan forgiveness dengan baik begitupun sebaliknya, sehingga

hipotesis dalam penelitian ini tidak terjawab. Hal ini kemudian membantah hasil-hasil

penelitian terdahulu yang menemukan adanya hubungan antara religiusitas dengan

forgiveness (McCullough, Bono, dan Root, 2005; McCullough dan Worthington,

1999; Rye et al, 2000; Lippman dan Keith, 2006; McCullough, Bono, dan Root, 2005;

Poloma dan Gallup, 1991 dan Shomaker dan Bolt, 1977; Gorsuch dan Hao, 1993;

Lerner, Roeser, dan Phelps, 2008.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara

religiusitas dengan forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti

ibadah/kegiatan non-minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung, maka dapat

disimpulkan:

• Tidak ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan forgiveness pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan non-minggu di

Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung.

• Sebagian besar jemaat memiliki tingkat religiusitas yang berada pada kategori tinggi dengan jumlah 34 jemaat dan persentase 66,67% dan juga sebagian besar

(24)

jemaat memiliki perilaku forgiveness yang pada kategori tinggi dengan jumlah

19 jemaat dan persentase 37,25%.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian serta mengingat masih banyaknya keterbatasan

dalam penelitian ini, maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:

• Bagi jemaat gereja yang berusia dewasa awal

Tidak menjadikan sebuah hambatan dalam pembentukan pemaafan

sebagai suatu harga mati untuk memaafkan. Selain religiusitas, masih ada

beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemaafan

seperti empati, keramahan, kemarahan, perasaan malu, kedekatan

hubungan dengan transgressor, kualitas hubungan interpersonal sebelum

transgresi, reaksi transgressor, permintaan maaf.

• Bagi pihak gereja

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu

menyadarkan tentang adanya fenomena yang terjadi dalam lingkup ibadah

kaum muda, sehingga tidak adanya lagi kesenjangan dan juga agar pihak

gereja dapat membangun komunikasi yang baik antar jemaat.

• Bagi peneliti selanjutnya

Subyek dalam penelitian ini masih tergolong bebas karena tidak

memiliki kriteria yang pasti tentang jemaat yang tidak aktif mengikuti

ibadah/kegiatan non-minggu. Untuk itu pada penelitian selanjutnya agar

mempersempit kriteria subyek atau dapat juga meneliti subyek yang tidak

aktif sama sekali mengikuti ibadah/kegiatan baik minggu maupun

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Azam, A., Qiang, F., Abdullah, I. M., & Abbas, A. S. Impact Of 5-D Of Religiosity On Diffusion Rate Of Innovation. International Journal of Bussiness and Social

Science.

Azwar, S. (2001). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

--- (2012). Penyusunan Skala Psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Batson, M. D., & Shwalb, D. W. (2006). Forgiveness And Religious Faith In Roman Catholic Married Couples. Springer Science+Business Media, Inc.

Baumeister, R. (2002). Humility, Egotism, Forgiveness, and the Victim Role. Florida

State University.

Bono, G., McCullough, M. E., & Root, L. M. (2006). Forgiveness and well-being. Coral Gables, FL: University of Miami.

Gorsuch, R. L., & Hao, J. Y. (1993). Forgiveness: An exploratory factor analysis and its relationship to religious variables. Review of Religious Research, 34, 333-347.

Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hasan, P, B, A,. (2013). Pemaafan Sebagai Variabel Moderator Pada Pengaruh Religiusitas Dengan Agresi Relasional Di Kalangan Mahasiswa Universitas Berbasis Nilai-nilai Islam. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA.

Jampolsky, G.G., (2001). Rela Memaafkan: Obat paling ampuh. Jakarta: Penerbit

Josw, O, A., & Alfons, V. (2007). Religiousity And Forgiveness Among First-Married And Remarried Adults. Mental Health, Religion & Culture.

Lerner, R. M., Roeser, R. W., & Phelps, E. (2008). Positive youth development and

spirituality: From theory to research. West Conshohocken, PA: Templeton

Foundation Press.

Lerner, R. M., Lerner, J. V., & Benson, J. B. (2011). Advences in Child Development

and Behavior. Positive Youth Development. Academic Press is an imprint of

Elsevier.

McCullough, M. E., & Worthington. L. E. (1999). Religion and the Forgiving Personality. Journal of Personality, 67, 1141-1164.

McCullough, M. E., Bono, G. B., & Root, L. M. (2005). Religion and forgiveness. In R. Paloutzian & C. Park (Eds.), Handbook of the psychology of religion and

spirituality (394-411). New York: Guilford.

--- (2005). Rumination, emotion, and forgiveness: Three longitudinal studies.

(26)

McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington, L. E. Jr., Brown, S. W., & Hight, T. L. (1998). Interpersonal Forgiving In Close Relationships; II.

Journal of Personality and Social Psychology, 73, 321-336.

McCullough, M. E., Root, L. M., & Cohen, A. D. (2006). Writing About the Benefits of an Interpersonal Transgression Facilitates Forgiveness. Journal of Consulting

and Clinical Psychology.

McCullough. M. E. (2013). Transgression-Related Interpersonal Motivation

Inventory (TRIM-18). www.midss.ie

Nuran. (2011). Skripsi. Faktor-faktor Psikologis Yang empengaruhi Forgiveness Pada

Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jakarta: Fakultas

Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Poloma, M. M., & Gallup, G. H. Jr. (1991). Varieties of prayer: A survey report. Philadelphia: Trinity Press International.

Prasylia, N. E. (2015). Hubungan religiusitas dengan forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik agama. Skripsi yang tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.

Raudatussalamah., & Susanti, R. (2014). Pemaafan (forgiveness) dan psychological wellbeing pada narapidana wanita. Vol. XIII No. 2. 224.

Rokeach, M. (1973). The nature of human values. New York: Free Press.

Santrock, J. W. (2012). Life – Span Development Perkembangan. (Edisi ke-13). Alih bahasa: Widyasinta, B. dan Sallama, N. I. Jakarta: Erlangga.

Shoemaker, A., & Bolt, M. (1997). The Rokeach Value Survey and perceived Christian values. Journal of Psychology and Theology, 5, 139-142.

Simorangkir, S. L. B. L. (2014). Empati dan Religiusitas sebagai prediktor terhadap pemaafan pada mahasiswa sekolah tinggi teologi salatiga. Tesis yang tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.

Soakokone, T. A. Y. (2014). Hubungan religiusitas dengan regulasi emosi individu dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama. Skripsi tidak dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.

Stark, R & Glock, C. Y. (1968). American piety: the nature religious comitmen. University of California perss: London

Sugiyono, (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r & d. Bandung: Alvabeta.

Suryabrata, S. (2002). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Andi.

(27)

Tongeren, D. R., Raad, J. M., McIntosh, D. N., & Pae, J. (2013). The Existensial Function of Intrinsic Religiousness: Moderation of Effect of Priming Religion on Intercultural Tolerance and Afterlife Anxiety. Journal for the scientific Study of

Religion, 52(3), 508-523.

Upton, P. (2012). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Wade, N. G., & Worthington, E. L. Jr. (2003). Overcoming interpersonal offenses: Is forgiveness the only way to deal with unforgiveness? Journal of Counseling &

Development – Summer, 81, 343-353

Worthington, L. E. Jr. (1998). Dimensions of forgiveness: Psychological research

Gambar

Tabel 1. Kriteria skor religiustias
Tabel 2. Kriteria skor forgiveness
Tabel 3. Korelasi antara religiusitas dengan forgiveness  FORGIV RELIG FORGIV Pearson Correlation 1 ,040Sig

Referensi

Dokumen terkait