• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENDERA ITU TIDAK BERKIBAR DI SINI O l e h : Nita Oktaviya SMPN 1, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BENDERA ITU TIDAK BERKIBAR DI SINI O l e h : Nita Oktaviya SMPN 1, Jakarta"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

“ Realita Budaya di Mata Anak “

‘BENDERA’ ITU TIDAK BERKIBAR DI SINI

O l e h :

Nita Oktaviya

SMPN 1, Jakarta

Yang pertama dan paling utama...

Aku sedang tidak memaparkan sebuah perjuangan kesetaraan gender, karena menurutku setiap manusia lahir tidak dengan takdir yang sama, baik perempuan maupun laki-laki. Jadi percuma saja membicarakan kesetaraan. Dan i semua hanya permasalahan kelamin.

Wisuda Manten

Mengapa semua yang berhubungan dengan masa depan bagi perempuan timur, nampaknya sanggup dijamin dengan status marital? Apakah sebuah ikatan pernikahan merupakan sebuah asuransi masa depan untuk beranak-pinak?

Tak kuduga, ternyata sebentar lagi kakakku manten. Seorang pemuda baru saja datang untuk melamarnya. Tetanggaku mendadak sibuk bertanya-tanya, siapakah pemuda itu?. Siapa sebenarnya lelaki yang kelak disebut kakak iparku?. Nantinya bahan pertanyaan itu akan mengangkat pertanyaan lanjutan yang berujung pada sebuah titik pengakuan. Misalnya, “wah, ternyata calonnya punya usaha di bidang A”. Kira-kira seperti itulah kalimatnya. Ada sisi pengakuan yang mempertegas keberadaan lelaki itu dalam ikatan sosial.

Mama langsung merebut cucian kotor dan genggamanku, lalu memberikan pada kakakku. “Kamu harus belajar mengurus kerjaan dapur, mulai dan masak, nyuci, ngepel, bersih-bersih, dan lain-lain. Nanti kalau kamu berumah tangga, semua ini jadi kerjaan kamu sehari-hari” tukasnya, pelan.

Segera kakak mengambil alih semua tugas tersebut. Bukan sekali itu saja mama menegaskan bahwa perempuan harus bisa kerjaan dapur. Sejak kakakku masih kecil pun, pemahaman seperti itu sudah ditanamkan dalam-dalam. Namun kakakku yang seorang feminis, berulang kali pula meluruskan pemahaman dangkal seperti itu. Menurutnya, kalau ada piring kotor, atau pakaian kotor yang harus dicuci, ya memang sudah waktunya harus dibersihkan. Dan juga kalau harus memasak, ya memang karena sudah waktunya makan. Simpel! Jadi semua itu bukan karena harus dipelajari sebagai bekal berumah tangga. Ibu salah seorang temanku saja, yang dulunya sama sekali tak pernah menyentuh pekerjaan-pekerjaan semacam itu, setelah dia berumah tangga, menjadi sangat lihai melakukannya. Ini menandakan bahwa dimana ada kemauan, kemampuan bisa terbentuk di lapangan. Bahkan tanpa harus dipelajari dahulu secara mendalam. Toh panggilan nurani lebih efektif dan penekanan-penekanan „primitif‟ tersebut. Penekanan sebuah sistem kemasyarakatan yang mengatakan bahwa perempuan harus bisa kerjaan dapur, setinggi apapun sekolahnya, larinya tetap ke dapur juga. Dan anehnya, anggapan semacam ini semakin mendarah daging, membudaya dikalangan perempuan timur.

Kasihan kakakku, sepertinya sudah Ielah berulang kali menjawab pertanyaan mengenai kapan tanggal pernikahannya. Yang ini minta diundang, yang itu minta diundang. Yang ini menawarkan

(2)

“ Realita Budaya di Mata Anak “

diri menjadi pagar ayu, yang itu menawarkan diri menjadi MC. Sementara itu, disela kesibukan orangtuaku, aku melihat pak RT bolak balik memberitahu papa tentang prosedur pengurusan dokumen-dokumen pernikahan.

Aku semakin tidak percaya, mengapa acara pernikahan ini mempengaruhi banyak orang. Salah satu keistimewaan ini datang dari mamaku. Seperti biasa, mama tak pernah terlalu perhatian pada kakak. Kemana pun kakak pergi, dengan siapa pun, entah pulang, entah tidak, tak pernah sedikit pun mama menanyakan keadaan kakak. Tapi sekarang beda. Sejak pertama calon suami kakakku menginjakkan kakinya di rumahku, perhatian mama pada kakak jadi berlebihan. Terlambat pulang saja langsung dicurigai, “jangan-jangan pergi sama si A”. Langsung mama mengirimi SMS-SMS bernada menuduh pada kakakku. Mama jadi terlalu khawatir terjadi apa-apa pada kakakku. Itu wajar, mana ada sih seorang ibu yang tidak khawatir pada anak gadisnya? Tapi menurutku, jika terlalu berlebihan hal ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada kakak. Aktifitas kakak bisa terganggu begitu membaca SMS yang seolah-olah „menghakimi‟, tanpa tahu persis apa yang sedang dilakukan kakak.

Suatu ketika mataku terperanjat pada sebuah cermin besar yang menggantung di kamar, yang memperlihatkan bayangan aneh yang bukan kakakku. Yah, tepat sekali! Kakakku memang cantik, kata sebagian orang. Tapi kali ini aku melihat kakakku tak hanya cantik. Dalam cermin itu, aku melihat tubuh kakakku yang semakin ramping. Dia meraba payudaranya, selangkangannya, wajah dan pinggangnya, lalu bertanya-tanya bagaimana nasibnya esok. Kakak akan mendapat gelar manten, tubuh serta wajahnya yang cantik pasti terlihat oleh para tamu. Apa suaminya juga melihatnya? Mengapa mama menangis untuk kakak?

Kelak para tamu dan keluarga berbondong-bondong memenuhi ruang „ikrar‟, tempat dimana lelaki yang akan disebut sebagai suami kakakku itu mengucapkan sumpahnya untuk menanggung sisa hidup kakakku. Entah siapa, sampai saat ini aku belum pernah mengenalnya. Mungkin aku Iebih menyukainya karena lelaki itu pilihan kakakku.

SIM (Surat Izin Mbrojol)

Ternyata bukan mudah memegang suatu komitmen, untuk jujur mengakui bahwa pilihan kita adalah yang terbaik dan mempertahankan semua yang telah dibangun bersama.

Semakin tahun perspektifku terhadap pernikahan semakin surut. Bagaikan sebuah benteng kastil. Sulit untuk memasukinya, tapi Iebih sulit lagi keluar darinya. Aku selalu berpikir tiap kali berada di bus dalam perjalanan pulang sekolah. Ada sebuah keluarga kecil yang terdiri dan ayah, ibu, dan seorang balita. Si anak menangis, si ibu repot membuka tas untuk mengambil botol susu, dan si ayah dengan muka cemberut membantu mendiamkan anaknya. Mereka adalah sebuah keluarga dan telah menikah. Untuk diakui sebagai sebuah keluarga yang merupakan salah satu dan lapisan sosial masyarakat, betapa sulitnya permasalahan yang dialami keluarga kecil tersebut. Yang pasti, setidaknya mereka tidak lagi repot untuk berhadapan dengan kerasnya sanksi sosial di masyarakat Indonesia tentang hubungan tanpa status yang jelas. Mereka memilih Iebih baik menikah dan tidak menjadi diri sendiri. Atas desakan waktu dan Iingkungan sekitarnya, mereka Iebih memilih untuk bekerja keras dan ikut terlibat dalam bagian keluarga, lalu dianggap sebagai manusia yang sempurna, Iengkap dengan keluarga.

(3)

“ Realita Budaya di Mata Anak “

Mereka menikah, untuk membuktikan bahwa surat sakti itu bisa membawa menuju kebahagiaan sejati. Surat sakti itu dapat senantiasa mengembalikan tempat yang benar, yakni bersisian dalam sebuah keluarga. Mereka menikah karena akan Iebih mudah memikirkan hubungan yang sejenis dari pada harus berkerut dahi untuk mengartikan sebuah hubungan yang Iebih dari sekedar pacaran, tanpa menikah atau jauh disebut sah.

Kakakku sendiri ingin menikah karena ingin merasakan posisi klimaks sebuah hubungan dengan strata yang paling atas, hubungan serius yang berujung pada lembaga pernikahan. Akankah ada senyumnya di sana? Aku juga tidak tahu pasti. Apakah dia akan bahagia jika termasuk salah satu dari mereka yang membicarakan tetek bengek rumah tangga dan lucunya perkembangan anak yang lahir dari buah cinta dan nafsu yang dilegalkan?

Bagiku, menikah adalah jalan menuju peralihan generasi berikutnya. Suatu saat aku bisa menelorkan buah kasih dari perjalanan cintaku, dimana aku bisa menyebutnya sebagai anak darah dagingku, yang nantinya aku bina dan didik secara bertanggung jawab dalam batasan sosial. Menurutku, menikah bukan sebuah muara, tapi pusaran dinamis yang ditandai dengan momen indah yang kekal dalam satu waktu saja. Selebihnya? Kerja keras! Karena perjalanan hidup bukan berujung pada nilai pernikahan, bukan pada siapa pasangan yang kita pilih untuk saat ini, dan apa yang kita dapat dari pasangan itu. Menikah itu cinta, atau tepatnya janji yang diberitahukan pada semua orang untuk setia membangun jalur bersama dalam hidup.

Apakah tidak ada pilihan yang Iebih baik selain menikah? Apakah menikah akan membawa kepada satu arah yang pasti? Tidakkan? Menikah hanya perkara legalitas yang selalu menjadi permasalahan administrasi kependudukan. Menikah adalah jalan keluar untuk menyelamatkan diri dari cemooh masyarakat, dan menikah akan memenjarakan kita untuk lebih cepat memasuki masa depan, dengan perut bunting, sebuah senyum dan basa-basi rencana kehidupan yang akan datang. Menikah adalah hubungan abadi yang didaftarkan atas sepengetahuan negara.

“Bagaimana kalau kamu tua nanti, siapa yang akan mengurusmu kalau bukan anak-anakmu?” tekan mama pada kakakku di suatu malam. Saat itu dia belum memiliki calon, dan berulang kali mama memintanya mencari calon pendamping.

Sebuah pernyataan yang aneh! Padahal sudah banyak diberitakan seorang anak tega membunuh ibunya sendiri. Ugh! Menurutku yang terpenting adalah memoles masa depan keturunan kita. Okelah kalau kita harus berdamai dengan hukum sosial. Tapi menikah hanya karena ingin berada di garis yang aman, bukan berarti kita akan menciptakan satu generasi hidup yang lebih baik.

Banyak yang menikah karena ingin punya anak, dimana dalam prosesnya tidak harus sembunyi-sembunyi untuk melakukan hubungan seksual yang harus dilakukan sebelum memasuki tahap reproduksi. Artinya, mereka harus membuat surat izin untuk masuk ke dalam pabrik anak, agar anak mereka bisa ditempatkan di salah satu sudut masyarakat yang telah disusun rapi oleh jaman.

Tapi ada sebuah harapan baru tentang kehidupan seorang anak. Harapan akan lebih baik dari sebelumnya, harapan akan ada pengetahuan yang lebih banyak, harapan akan ada manusia-manusia yang bertahan hidup dan memberikan pertolongan untuk manusia-manusia yang lain. Akan ada

(4)

“ Realita Budaya di Mata Anak “

manusia baru yang bisa merubah dunia menuju arah yang lebih baik, akan ada manusia yang memberikan pengaruh pada perubahan dunia dan manusia itu berasal dan rahim kita. Apakah itu anak kita? Untuk menyebutnya anak kita, kita pun harus menjalani prosesi yang mereka kenal dengan pernikahan.

“Apa ada nama lain selain pernikahan????”

Lotere Pelestarian Jenis

Saat sel telur ibuku diburu ribuan sperma ayahku, aku termasuk salah satu dari buah yang sepertinya kurang beruntung, karena wujud manusiaku hari ini adalah seorang perempuan yang masih dianggap sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki. Setidaknya, sampai dengan hari ini aku belum menemukan persamaan yang signifikan dan cara pandang manusia untuk menghargai seseorang dan segi kelamin. Mungkin sebagian perempuan di dunia ini mungkin justru bangga atau malah terpaksa berperan hanya sebagai pelengkap bagi hubungan antar kemanusiaan saja. Karena sejak awal perempuan diberi tugas yang berat dengan memberikan sedikit lahan dan tubuhnya menjadi mesin pencetak demi melestarikan kaum manusia. Sampai hari ini, aku yakin bukan hanya aku saja yang merasa kurang beruntung. Sebagian perempuan tentu akan memilih menjadi laki-laki jika ternyata dalam peraturan sosial perempuan selalu berada di strata kedua.

Banyak tekanan bagi perempuan justru bukan berasal dan laki-laki. Contohnya, ada seorang ibu yang juga seorang perempuan, begitu mengharapkan anaknya akan dinikahi oleh seorang laki-laki bermutu atau tidak bermutu, yang penting laki-laki-laki-laki. Dengan menikahkan anak perempuannya, seorang ibu akan terbebas dari hujatan sosial tentang sebuah aturan mengenai pelestarian manusia. Padahal si ibu tadi punya nurani yang sama dan merasa tidak beruntung karena mengalami kekalahan yang sama pada saat proses pencabutan lotere genetika itu berlangsung. Akibatnya, kekesalan itu diturunkan kepada anak perempuannya sendiri. Si ibu akan mengajarkan anak perempuannya bagaimana cara memaksimalkan kepuasan bagi para pemenang lotere.

Anehnya, tradisi seperti itu dijadikan menu dominan untuk kehidupan sang anak perempuan. Kaum pemenang lotere (tentunya kaum lelaki) mengukuhkan metode itu melalui perjanjian kuat antar generasi dalam sistem budaya yang diperjelas dengan program kerja adat istiadat turun-temurun dan sebuah sistem yang berlaku di seluruh belahan dunia.

Lihat! Betapa kokohnya aturan yang ditetapkan sang pemenang. Pada kasus yang lain, perempuan Iainnya malah lebih pintar memanfaatkan ketidakberuntungannya, yaitu dengan menjual kerapuhan, ketidakberdayaan di mata laki-laki. Mungkin itu satu-satunya pilihannya agar terhibur dari kekalahannya. Semoga itu pilihan yang cukup bijaksana.

Hingga saat ini aku masih yakin „Sang Pencipta‟ permainan di dunia ini memang menginginkan sebuah keharmonisan yang selaras, dengan mendesain bumi dan melengkapinya dengan keseimbangan alam. Namun, cukup ironis jika seorang perempuan sendiri pun menyetujui sebuah fenomena kaumnya yang hanya berfungsi sebagai pelengkap hidup lelaki. Saat ini, aku hanya berharap menemukan satu manuskrip baru yang dapat memperbaiki kesalahpahaman manusia tentang kekalahan dan kemenangan sebuah lotere genetika yang memiliki kekuatan

(5)

“ Realita Budaya di Mata Anak “

hukum secara sosial untuk meluruskan egoisme lelaki yang telah banyak mengarang cerita dalam history-nya. Tapi, apakah itu sebuah hal yang mustahil?

Semoga kelak bendera itu akan berkibar, walaupun bukan di sini. Bendera yang akan menjadi panji kemenangan bagi sang „pengalah‟ lotere. Karena mereka hadir di sini bukan untuk mengakui kemenangan sang pemenang.

Referensi

Dokumen terkait

5% sampai 14% untuk melakukan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga dedak, maka diambil nilai persentase kenaikan harga dedak yang tertinggi yaitu

Dari hasil analisa pada studi banding dan literatur, pelaku utama adalah pemakai bangunan pusat perbelanjaan merupakan kelompok aktivitas yang di dalamnya

Metode komparatif adalah suatu metode yang dilakukan dengan membandingkan data-data yang telah diperoleh untuk dicari kelebihan dan kekurangannya kemudian dianalisis lebih

ƒ Diagenesis ketiga terjadi dalam lingkungan fresh water phreatic, yang ditandai oleh pelarutan butiran, matriks dan semen yang membentuk porositas vuggy dan moldic; pelarutan

Pada metode box-cut contour mining ini (Gambar 1.5) lapisan tanah penutup yang sudah digali, ditimbun pada daerah yang sudah rata di sepanjang garis singkapan hingga membentuk

Hasil analisis multivariat menyatakan bahwa ada pengaruh kepuasan kerja yg signifikan/ bermakna terhadap loyalitas perawat dengan nilai p value 0004,erdapat pengaruh

Hasil uji t yang telah dilakukan oleh peneliti, menyatakan bahwa hubungan pemasaran secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap loyalilitas merek Honda

penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Ardiansyah (2011) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap audit delay, yang artinya semakin