• Tidak ada hasil yang ditemukan

05. Persoalan Buruh dan Hubungan Kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "05. Persoalan Buruh dan Hubungan Kerja"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

28

05. Persoalan Buruh dan Hubungan Kerja

Setelah kita meninggalkan gelanggang sejarah latar belakang munculnya gerakan dan pemikiran sosial di dalam Gereja Katolik di bab pertama, kini kita masuk ke dalam pokok-pokok pemikiran sosial yang akhirnya kita kenal sebagai Ajaran Sosial Gereja atau Catholic Social Teaching. Persoalan sosial yang pertama kali ditanggapi oleh ASG adalah persoalan buruh dan hubungan kerja. Kita segera masuk ke dalam konteks zamannya; kita kembali lagi ke akhir abad ke-19. Tiga ensiklik sosial pertama yakni Rerum novarum, Quadragesimo anno dan Mater et magistra, bicara mengenai masalah buruh. Namun pembahasan di bab-bab kemudian tidak diatur secara kronologis berdasarkan waktu terbitnya dokumen, melainkan diatur secara tematis.

Sewaktu arus urbanisasi karena industrialisasi dalam masyarakat Eropa terjadi begitu cepat dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial (bertambahnya kelas pekerja), berada di manakah Gereja Katolik? Sebelum diterbitkannya Rerum novarum, di abad ke-19 terdapat perubahan sikap Gereja –yang tercermin pada sikap para paus– berhadapan dengan dunia modern. Setelah Revolusi Prancis (1789-1802) Gereja tak lagi dipandang sebagai pemegang otoritas tertinggi. Orang menuntut kebebasan bicara, kebebasan pers dan kebebasan beragama. Sayangnya, agenda utama para paus pada abad itu adalah melawan gagasan-gagasan yang dipandang mengancam otoritas dan wibawa mereka.

 Pius VII (1800-1823) berusaha mengadakan pembaruan dalam tata negara (Gereja Katolik pada saat itu bagaikan negara dengan pemerintahan politis; paus punya kekuasaan dan wilayah politik).  Leo XII (1823-1829) menghapus pembaruan Pius VII.

 Pius VIII (1829-1830) tampaknya sejalan dengan Pius VII, namun ia hanya menjadi paus selama setahun.

 Gregorius XVI (1831-1846) menjadi paus cukup lama dan ia sehaluan lagi dengan Leo XII. Ia menentang segala perubahan ke arah modernitas. Baginya, kebebasan adalah sesuatu yang menakutkan. Sementara itu, kebebasan adalah katakunci dari modernitas pada saat itu. Dengan ensiklik Mirari vos (1832), ia menolak pemisahan antara Gereja dan negara (Gereja itu sama dengan pemerintahan politis).

 Pius IX (1846-1878) sebetulnya adalah pribadi yang terbuka. Sayang sekali, ia tidak paham persoalan politik dan masyarakat. Ketika pada tahun 1848 di wilayah yang sekarang bernama Jerman revolusi rakyat melawan penguasa aristokrat (Märzrevolution) meledak di mana-mana dan bahkan menjalar ke wilayah Itali, Paus ketakutan setengah mati terhadap segala hal yang berbau pembaruan. Ia lantas mengutuk liberalisme dengan ”Syllabus errorum“ (1864) dan secara terbuka mendukung mereka yang memperjuangkan kesatuan antara ”tahta dan altar“.

Demikianlah naik turun Gereja karena perbedaan sikap para paus di hadapan perubahan zaman saat itu. Kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan [politis] Gereja di segala bidang kehidupan ternyata

(2)

29

menjadi sikap kebanyakan paus dari periode ini. Di sisi lain, masyarakat sipil yang memperjuangkan kebebasan (berpikir, berpolitik, menentukan nasib sendiri) semakin kuat. Konsekwensi dari sikap Gereja adalah, munculnya sikap anti-Gereja dan anti-klerus di mana-mana. Di mana-mana pemerintah menutup sekolah Katolik dan biara-biara, membubarkan ordo-ordo, menghapus previlese Gereja, mengambil alih harta milik Gereja. Pada akhir hidup Pius IX, Gereja tak lagi punya kedudukan dalam hidup masyarakat dan dalam politik. Gereja terkurung bagaikan sebuah ghetto yang beranggotakan orang-orang saleh yang mengarahkan perhatiannya pada sakristi dan altar saja. Gereja (sebagai institusi) tak punya kontak langsung dengan para pekerja miskin, apalagi berbuat sesuatu untuk mereka. Namun demikian, seperti yang sempat disinggung pada bagian terdahulu, ada gerakan-gerakan sosial Katolik yang muncul dari inisiatif-inisiatif pribadi.

Itu adalah situasi di dalam Gereja. Di masyarakat, berkat pemikiran sosialisme Marx, berkembanglah gerakan-gerakan sosialisme yang mencita-citakan masyarakat yang adil dan mampu menjamin kesejahteraan para pekerja. Di berbagai negara muncul partai-partai sosialis, bahkan komunis. Leo XIII mungkin dapat dikatakan sebagai ”right man on the right place and time“. Sebagai pribadi, ia mempunyai minat dan wawasan yang luas. Sebelum diangkat menjadi uskup di Perugia, ia pernah mendapat tugas sebagai duta di luar Vatikan. Maka sebagai paus, ia berani berhadapan dengan tantangan zaman saat itu, yakni berkembangnya gagasan dan gerakan sosialis-komunis (kendati ukuran dan intensitasnya berbeda-beda; ada banyak corak gerakan macam ini dan seringkali mereka berbeda pendapat dan metode gerakan). Gerakan ini, yang serius menempuh jalan politik lewat partai, lama-kelamaan mendapat kursi di parlemen. Leo XIII sadar bahwa ia harus bicara. Ia tahu bahwa di mana-mana ada orang Katolik yang berusaha sebaik mungkin melibatkan diri dalam persoalan kemasyarakatan. Namun ia tahu juga bahwa gerakan sosialis-komunis nantinya bisa membahayakan Gereja (dengan ateisme materialisme mereka). Leo XIII berusaha sebaik mungkin mengungkapkan posisi Gereja: jika kaum sosialis-komunis menyerahkan hak milik pada negara, Leo tetap memandang penting hak milik pribadi, yang tentu saja tetap bersifat sosial. Berhadapan dengan sosialisme dan kapitalisme, Gereja menempuh ”jalan ketiga“. Memang dengan Rerum novarum (1891), Leo XIII tidak bisa menjawab semua persoalan. Namun setidaknya RN telah memulai babak baru di dalam Gereja Katolik, bahwa paus juga perlu menyampaikan sikap terhadap persoalan-persoalan sosial sejauh itu merupakan masalah etis.

Memang tidak setiap paus setelah Leo XIII menulis satu (atau lebih) ensiklik sosial selama masa pontifikatnya. Ada yang memang tidak meminati (atau tidak memahami) persoalan-persoalan sosial dan politik. Namun ada yang memang berminat, hanya saja ia menyampaikan ajaran sosialnya tidak melalui ensiklik. Di sini kita melihat bahwa setiap paus merupakan “produk zamannya“. Gaya kepemimpinannya selain ditentukan oleh situasi zamannya, juga diwarnai oleh corak pribadinya.

 Pengganti Leo XIII adalah Pius X (1903-1914). Ia adalah seorang yang saleh, namun tidak punya minat pada masalah sosial politik. Seperti Pius IX, ia takut akan persoalan sosial dan akan gerakan-gerakan sosialis. Bahkan ia melarang gerakan awam. Karena Gereja tidak memberi perhatian nyata kepada para buruh, mereka memberikan suara kepada partai-partai sosialis-marxis. Kehidupan intern Gereja sendiri berkembang dalam bidang hukum kanonik, musik dan liturgi, serta administrasi (ingat KHK 1917). Namun Gereja terputus dari masyarakat.

(3)

30

 Benediktus XV (1914-1922) menjalani masa pontifikatnya ketika Eropa awalnya mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, namun kemudian didera oleh konflik politik besar: Perang Dunia I (1914-1918). Eropa carut marut oleh persoalan politik dan ekonomi. Karena perang, bangsa-bangsa saling mendendam dan membenci. Kebencian dan kecurigaan juga menjangkiti kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Selain PD I, situasi “gawat“ juga dimunculkan oleh kebangkitan komunisme militan di Rusia. Sebagai reaksi, orang-orang berbalik ke ekstrim kanan untuk mencari perlindungan terhadap komunisme. Dalam situasi perang dan konflik, Benediktus XV akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Namun setidaknya ia berusaha mempertahankan sikap netral gereja di bidang politik.

 Pius XI (1922-1939) adalah seorang intelektual dan bukan pekerja sosial. Kendati tidak punya minat di dalam bidang politik dan sosial, ia punya cukup pengalaman di bidang politik lantaran pernah menjadi duta Vatikan di Polandia. Kendati demikian, ia bersikap konservatif dan sangat mencurigai gerakan-gerakan sosial. Dalam praktek ia seringkali mendukung golongan kanan daripada mereka yang memperjuangkan buruh. Maka dalam ensikliknya, Quadragesimo anno (1931) ia secara mencolok menentang sosialisme. Di Italia pada saat itu berkuasa rezim Mussolini yang berteman dekat dengan rezim Nazi-Hitler (sosialis!). Kendati menentang sosialisme, Pius XI mencoba bersikap hati-hati terhadap kedua rezim totaliter yang sedang berpengaruh kuat di Eropa itu. Paus cenderung “bermain politik“ untuk “menyelamatkan“ Gereja: ia tidak membela kelompok-kelompok yang berseberangan dengan penguasa, bahkan rela mengorbankan mereka demi keuntungan politis Vatikan. Ensiklik QA merupakan perbaikan teoritis dari RN, namun tidak menjadi pedoman dalam praksis keterlibatan sosial Gereja.

 Pengganti Pius XI adalah Pius XII (1939-1958), mantan sekretaris negara pada periode Pius XI. Karena tugasnya itu, ia mewakili Vatikan dalam pembicaraan-pembicaraan dengan para penguasa (Mussolini, Hitler). Maka ketika rezim totaliter ini akhirnya terlibat dalam Perang Dunia II, tidak bisa tidak Pius XII harus mempertahankan netralitas. PD II tidak hanya menyeret negara-negara Eropa ke kancah peperangan. Medan perang itu bahkan meluas hingga ke Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Hal yang “baik“ adalah berakhirnya kolonialisme dengan PD II itu. Banyak negara di benua Asia, Afrika dan Amerika meraih kemerdekaannya. Namun sebetulnya, dunia mulai terbagi menjadi dua blok: blok penganut paham liberalisme-kapitalisme ekonomi dan blok pendukung paham sosialisme-komunisme. Pertentangan ideologi ini awalnya belum “mencolok“. Pius XII tidak mengeluarkan ensiklik sosial baru kendati ia bicara mengenai soal-soal sosial di aneka surat dan pidato radio. Ia cenderung membatasi diri pada persoalan-persoalan prinsipial; jawabannya lebih bersifat filosofis-teologis. Ketika memperingati 50 tahun RN, ia menyampaikan pidato radio, di mana ia tidak memberikan ajaran baru, melainkan menerangkan soal-soal klasik. Kendati mendukung gerakan sosial awam Katolik, ia takut terhadap berkembangnya komunisme. Ia melarang gerakan sosial Katolik bekerjasama dengan gerakan sosialis atau komunis.

Konstelasi politik dan ekonomi dunia setelah PD II berubah sedemikian besar. Kita telah melihat bahwa para paus pun mengalami kesulitan berhadapan dengan perubahan yang sedemikian cepat dan berdampak luas. Dengan perang, persoalan sosial juga jadi “mendunia“ dan tidak terokalisir di Eropa saja. Maka

(4)

31

Gereja harus bicara dalam perspektif seluas dunia. Seperti Leo XIII, Paus Yohanes XXIII (1958-1963) juga bisa dikatakan sebagai “the right man on the right place and time“ kendati orang mengira bahwa ia hanya menjalani masa pontifikatnya sebentar saja. Ia toh sudah berusia lanjut (77 tahun) ketika terpilih dan orang memandang dia sebagai “paus transisi“, sama seperti Leo XIII. Namun ternyata, dialah paus yang memulai kejadian yang amat menentukan dalam sejarah Gereja: Konsili Vatikan II.

Sebelum KV II, Yohnes XXIII menulis satu ensiklik sosial, Mater et magistra (1961), di mana Paus menyebut kembali soal-soal klasik (mengenai buruh dan majikan) dan persoalan-persoalan baru. Tidak hanya “isi persoalannya“ yang baru, namun metode ASG juga baru: Paus berpangkal dari situasi dunia. Jadi, dari RN hingga MM fokus pembahasan ASG adalah persoalan buruh, yakni masalah kerja dan hubungan kerja: kebebasan kaum buruh dalam masyarakat yang manusiawi (soal perserikatan buruh, gaji yang adil dan layak, serta partisipasi).

RERUM NOVARUM (LEO XIII,1891)

Setelah isolasi selama seratus tahun, Gereja angkat bicara dalam masalah sosial. Masalah sosial perlu ditata dalam negara sosial. Gereja berhak dan berkewajiban dalam masalah sosial, sejauh merupakan masalah etis.

Situasi yang dialami para buruh ditanggapi oleh kelompok sosialis dengan Manifesto Komunis (pamflet politis yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, 1848; berisi analisis historis terhadap persoalan kapitalisme). Di lain pihak, pandangan liberalisme ekonomi telah menguasai dunia bisnis. Para pendukungnya menuntut kebebasan ekonomi, bahwa semua orang bebas dalam hak kepemilikan; negara tidak boleh ikut campur dan hanya berperan dalam mengawal pelaksanaan undang-undang.

RN disusun dengan skema yang sederhana sebagai berikut.

(1) Pertama-tama Paus menggambarkan situasi kaum buruh. “Kebanyakan buruh terombang-ambingkan oleh nasib malang, serba lumpuh menghadapi kenyataan penderitaan yang amat menyedihkan… kaum pekerja sekarang tersendirikan, tak berdaya sama sekali, menjadi bulan-bulanan perlakuan tak manusiawi oleh kaum majikan, dan sasaran keserakahan tak terkendalikan orang-orang yang bersaing.“ (art. 2i).

(2) Lalu Paus melihat tindakan kaum sosialis yang mencoba menghasut kaum miskin supaya iri terhadap para pemilik modal dan produksi yang kaya raya. Kaum sosialis ini mempertahankan bahwa usaha mengatasi kemiskinan para pekerja adalah dengan penghapusan milik perorangan. Menurut Paus, cara macam itu tidak akan mengakhiri konflik (art. 3) dan tidak adil karena menurut hukum kodrat, kepemilikan merupakan hak manusiawi (art. 5-12). Selanjutnya Paus menguraikan perihal kepemilikan (art. 8-26). Karena membela hak milik, Paus malah dituduh jadi pendukung kapitalis. Padahal sebetulnya Paus mau memihak kaum buruh. Paus membahas hak milik justru untuk melindungi kaum buruh: buruh harus sempat menabung upahnya sehingga bisa mengumpulkan modal sendiri, dan kepemilikannya itu dijamin seperti para majikan. Ia mau membela kaum buruh supaya

(5)

32

mereka tidak diperlakukan seperti barang (dianggap faktor produksi belaka). Paus di sini tidak mempersoalkan kapitalisme sebagai sistem ekonomi.

(3) Kemudian diuraikan tugas dan sumbangan Gereja. Pertama, tugas gereja adalah memberikan ajaran mengenai kewajiban masing-masing dalam tata masyarakat (art. 14-36). Kedua, tugas Gereja adalah mengingatkan tugas negara (art. 37-39). Negara harus mengatur urusan ekonomi, supaya kesejahteraan kaum pekerja terjamin, lantas supaya mereka tidak menjadi obyek eksploitasi. Ketiga, tugas Gereja adalah mendukung perjuangan buruh, misalnya: hak berserikat, hak mogok (art. 40-58). Maka, setidaknya ada empat poin penting dalam RN:

1. Mengenai tuntutan upah yang adil: Tidak setiap kontrak upah adalah adil asal bebas. Upah mesti menjamin hidup kaum buruh.

2. Mengenai hak buruh untuk membentuk perkumpulan: Kaum buruh berhak mencari kekuatan dalam kesatuan, karena mereka lemah.

3. Mengenai intervensi negara: Negara berhak untuk ikut mengatur hidup masyarakat karena negara wajib untuk melindungi golongan lemah, dalam hal ini para buruh.

4. Mengenai pandangan sosialisme: Sebagai sistem kemasyarakatan, sosialisme ditolak karena tidak mengakui hak milik.

Kalau kita membaca RN dalam situasi masa kini, pesan-pesan di dalamnya tampak biasa-biasa saja. Persoalan buruh dan kenaikan gaji sudah biasa dibicarakan oleh banyak orang, juga oleh pemimpin politik seperti Jokowi atau Ahok ketika mereka berduet sebagai DKI 1 dan DKI 2. Untuk melihat sumbangan RN pada zamannya, kita perlu melihat situasi pada zaman itu, di mana rendahnya upah buruh adalah hal yang bisa dipandang wajar karena sistem ekonomi kapitalis membuatnya demikian (penekanan upah buruh untuk memperbesar keuntungan). Karena pendapatan tidak cukup untuk hidup secara minimal, pada zaman itu orang bisa membenarkan “pencurian kecil-kecilan“ oleh para buruh. Pandangan mengenai “kompensasi karena situasi kekurangan“ seperti ini tidak bisa diterima oleh Paus Leo XIII. Akar dari situasi kejahatan ini ialah perlakuan terhadap buruh sebagai komoditas. Maka, Paus mendesak intervensi negara untuk menjamin para pekerja dan keluarganya dapat hidup secara layak. Usulan Paus ini tidak sama seperti gagasan kaum sosialis. Kalau kaum sosialis menggagas peran negara dalam mengontrol hidup rakyat dalam segala aspeknya, Paus lebih menekankan peran negara untuk melindungi kelompok masyarakat yang tidak punya kekuatan ekonomi, supaya mereka tidak menjadi korban eksploitasi kaum bermodal. Lantas siapa yang menjamin bahwa perubahan akan terjadi, bahwa kebijakan perlindungan negara benar-benar dijalankan? Paus memberi jawaban: Gereja dan organisasi serikat buruh. Apa yang dipikirkan oleh Paus mengenai peran Gereja di masyarakat? Tidak sependapat dengan kelompok liberalis yang menghendaki Gereja tinggal di ruang privat, Paus ingin supaya Gereja mampu mendorong perubahan (dalam istilah sekarang: agar Gereja menampakkan “fungsi profetisnya“). Caranya ialah, Gereja mendorong setiap kelas di dalam masyarakat, baik para majikan maupun para pekerja, untuk memenuhi kewajibannya masing-masing. Majikan harus memperlakukan pekerjanya dengan adil; pekerja mengikuti perintah majikan dengan respek. Dalam hal ini, pandangan Paus mengenai keselarasan dalam masyarakat dapat dikatakan abstrak dan tindak riil. Paus punya keyakinan bahwa stabilitas masyarakat itu

(6)

33

begitu penting. Pernyataan mengenai kewajiban timbal-balik antara majikan dan pekerja terdapat di art. 16-17:

“16 ... Seperti pelbagai anggota tubuh berpadu untuk membentuk suatu keseluruhan yang begitu laras-serasi, sehingga dapat dikatakan simetris, begtu pula kodrat menetapkan, bahwa dalam negara pasangan kedua kelas itu harus berada dalam korelasi yang seimbang satu dengan yang lain dan menciptakan keselarasan. Kelas yang satu sepenuhnya membutuhkan yang lain: ... Keselarasan membuahkan tata-tertib dan keindahan, sedangkan konflik yang berkelanjutan mau tidak mau menimbulkan kebiadaban ... Lembaga-lembaga Kristiani mempunyai kekuatan yang mengagumkan dan majemuk, sehingga mampu mengakhiri konflik dan mencabut akar-akarnya.

17. ... Termasuk kewajiban-kewajiban yang berdasarkan keadilan mengikat buruh tanpa milik: memenuhi dengan setia dan sepenunya kontrak kerja mana pun yang dibuatnya secara bebas dan wajar... Di lain pihak, majikan yang kaya jangan memperlakukan para buruhnya sebagai budak-budaknya melainkan harus menghormati mereka seabgai manusia yang bermartabat pribadinya sederajat dengan dia... Maka majikan wajib mengusahakan, agar buruh mempunyai waktu untuk kewajiban-kewajiban keagamaannya... Tetapi jangan sampai para pemilik upaya-upaya produksi yang kaya dan kaum majikan melupakan, bahwa hukum ilahi maupun manusiawi melarang ereka memeras kaum miskin yang menderita demi keuntungan... Akhirnya para pemilik upaya-upaya produksi yang kaya harus secarmat-cermatnya mengusahakan, jangan sampai dengan cara manapun merugikan tabungan-tabungan kaum buruh yang tidak empunya...“

Paragraf nomer 16-17 ini berisi ajakan Paus kepada para pekerja dan majikan untuk melakukan pertobatan; dalam arti suatu perubahan sikap hati yang diharapkan mampu mengubah praktik-praktik ekonomi dan bisnis. Namun Paus terlalu naif untuk melihat bahwa kenyataan di dunia bisnis tidak seindah bayangannya mengenai harmoni antara pekerja dan majikan.ii Hukum ekonomi dalam masyarakat

kapitalis “memberi izin“ bagi para pemilik modal dan majikan untuk mengeksploitasi para pekerja. Fenomena tenaga kerja murah di zaman sekarang adalah buktinya. Namun pada saat itu, Paus cukup yakin dengan peran Gereja dalam menyatukan kedua kelas dalam masyarakat itu serta mendorong masing-masing untuk bertindak sesuai tuntutan posisi sosial mereka.

Selain Gereja yang dipandang sebagai pihak yang mampu menjamin perlakuan yang adil terhadap para pekerja, Paus menempatkan organisasi buruh (art. 49-58). Melalui serikat pekerja, para buruh dapat memiliki posisi tawar (bargaining position) di hadapan pemilik modal dan majikan. Bahkan serikat buruh dapat menyuarakan pendapat mereka ketika pemerintah membuat kebijakan-kebijakan politis yang mempengaruhi nasib para buruh. Paus memang mendorong negara melindungi kaum buruh (RN 29). Dari sisi para buruh, jikalau dianggap perlu, mereka dapat melakukan pemogokan. “Jam-jam kerja yang terlalu panjang, pekerjaan yang terlalu berat, upah yang terlalu rendah, itulah yang biasanya alasan kaum buruh kalau mereka mengadakan pemogokan.” (RN 40). Namun Paus memberi catatan bahwa ketertiban dan keamanan umum harus tetap dijaga. “...hukum harus diberlakukan pada saat yang tepat

(7)

34

sebelum kericuhan mulai, untuk mencegah supaya jangan meletus, dengan menyingkirkan sebab-musabab konflik antara para majikan dan kaum buruh.“ Paus lebih memilih ketertiban umum, juga kalau ketidakadilan terus dialami para buruh. Di sini tampak bahwa posisi Paus mengenai perubahan sosial cenderung “tanggung“.

Pada zaman Orde Baru, para pekerja hanya mendapatkan sedikit ruang untuk mengorganisir diri. Serikat-serikat pekerja yang ada tidak mampu menyuarakan kepentingan para buruh. Kalau ada gerakan para buruh untuk menuntut upah yang lebih adil misalnya, pemerintah mengatasinya dengan pendekatan keamanan, yakni dengan menurunkan polisi atau tentara. Sekarang situasinya mungkin sedikit lebih baik. Pihak pemerintah (misalnya Pemda DKI) mau menanggapi unjukrasa para buruh, yakni dengan mengundang perwakilannya untuk rembugan. Namun dalam banyak kejadian seringkali kita melihat perilaku dari para buruh yang cenderung anarkis. Maka pemogokan para buruh ini mengandaikan perilaku demokratis yang dewasa dari masyarakat. Ini berarti, orang harus terlebih dahulu terbiasa dengan mengungkapkan pendapat secara santun, menerima perbedaan pendapat, mengakui kesetaraan martabat, dst. Di sinilah letak perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Atau lebih tepatnya: masyarakat yang dewasa ssecara demokratis dan masyarakat yang belum banyak pengalaman dalam hidup demokratis.

QUADRAGESIMO ANNO (PIUS XI,1931)

Dalam masa perubahan sosial, Paus yakin harus memberi pengarahan mengenai pembaruan masyarakat. Sebab, wujud masyarakat adalah tanggungjawab manusia. Dengan QA, ajaran RN diperjelas.

Ensiklik sosial kedua setelah RN adalah Quadragesimo anno (QA) yang ditulis untuk memperingati ulang tahun ke-40 RN. Dua penerus tahta kepausan setelah Leo XIII sayangnya bersikap konservatif terhadap persoalan-persoalan sosial. Mereka adalah Pius X (menjadi paus dari tahun 1903 hingga 1914) dan Benediktus XV (menjadi paus dari tahun 1914 hingga 1922). Pengganti Benediktus XV adalah Pius X yang menjadi paus hingga saat menjelang meletusnya Perang Dunia II.

Pada akhir tahun 1920-an hingga 1930-an perekonomian dunia mengalami krisis yang disebut Great Depression. Situasi ini tentu saja membuat kehidupan para buruh menjadi lebih sulit. Meneruskan perjuangan membela nasih buruh, Paus Pius XI menyerukan intervensi negara dan hak terbatas atas milik pribadi yang mempunyai dimensi sosial. Ia dengan tegas menolak segala bentuk sosialisme ekstrim dan individualisme kapitalistik yang ekstrim. Di sini mulai tampak bahwa Gereja mengusulkan “jalan ketiga“. Dalam QA, Paus mengusulkan pembangunan tatasan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip korporatisme. Di dalam ensiklik sosial kedua ini kita akan melihat bahwa Paus tidak hanya memperhatikan pada kondisi dan situasi para pekerja, melainkan pada seluruh tatanan sosio-ekonomis masyarakat. Paus memperkenalkan istilah “keadilan sosial“ (art. 56, 74) dan prinsip subsidiaritas (art. 80) ke dalam ajaran sosial Gereja resmi. Dari tema mengenai nasib kaum buruh, kini ASG meluaskan tema diskusi hingga kepada gambaran mengenai masyarakat yang ideal.

(8)

35

QA dibagi menjadi tiga bagian: setelah pengantar (art. 1-15), dijelaskan pada bagian pertama kenangan akan RN dan jasa-jasa yang telah disumbangkan oleh RN (art. 16-40). Lantas pada bagian kedua dipaparkan perkembangan lebih lanjut dari ASG sambil menegaskan tempat/peran Gereja dalam persoalan sosial dan ekonomi (art. 41-98). Kemudian pada bagian ketiga diberikan pertimbangan lebih lanjut mengenai situasi ekonomi dan aliran sosialisme di masa sekrang (art. 99-147).

QA merupakan perbaikan teoritis dari RN, namun tidak menjadi pedoman dalam praksis keterlibatan sosial Gereja pada saat itu. Ada lima pokok bahasan yang menjadi ajaran baru dalam QA:

1. Mengenai hak milik. Pada RN, Leo XIII mendasarkan hak milik pada hukum kodrati. Namun ada interpretasi yang kurang tepat terhadap ajaran Leo XIII itu. Maka di QA, Paus Pius XI perlu meluruskan interpretasi ini. Selanjutnya ada dua sifat dari kepemilikan yang harus diperhatikan, yakni sifat individual dan sifat umum. Jika ditekankan hanya sifat umum dari kepemilikan, maka masyarakat terjerumus ke dalam kolektivisme dan komunisme. Kalau ditekankan hanya sifat individual, maka berkembanglah liberalisme (art. 45-46). Kemudian Paus bicara mengenai pembedaan antara hak milik dari hak penggunaan milik. Di sini Paus menolak pemahaman komunis bahwa menyalahgunakan hak milik berarti orang harus kehilangan hak milik (art. 47-48). Negara tidak boleh sewenang-wenang menghapuskan hak milik (art. 49). Hak milik juga mencakup penghasilan. Artinya, orang bekerja dan mendapat upah yang menjadi miliknya. Dikatakan bahwa: “… pemilikan diperoleh dengan menduduki sesuatu yang bukan milik siapa pun dan melalui kerja…“ (art. 52). Pernyataan ini agak membingungkan. Tapi kiranya yang dimaksud adalah: orang menggarap barang miliknya sendiri. Namun karena buruh bekerja pada barang milik orang lain, maka hasil kerja tidak dengan sendirinya jadi milik buruh.

2. Hubungan modal dan tenaga kerja. Modal adalah bahan yang dikerjakan dan alat-alat untuk mengerjakannya. Pandangan liberal menyatakan, hasil kerja adalah hak milik dia yang mempunyai modal, sementara menurut kelompok sosialis hasil kerja adalah hak milik orang yang mengerjakannya. Menurut Paus Pius XI, hasil kerja adalah milik kedua pihak.

3. Pembebasan kaum buruh. Buruh dipandang sebagai kaum miskin dan tertindas. Namun rupanya Paus menyadari bahwa situasi buruh di berbagai negara berbeda-beda. Ia menyebutkan bahwa kaum buruh di negara-negara yang lebih maju mungkin nasibnya lebih baik daripada pekerja di kawasan “Timur Jauh“ (art. 59). Yang dimaksud Paus di sini adalah: para buruh di negara-negara bekas jajahan. Di sini orang-orang pribumi mengalami penjajahan politik seligus penjajahan sosial. Supaya pembebasan buruh ini dapat terjadi maka dibutuhkan: upah yang adil.

4. Upah yang adil. Banyak pihak khususnya kelompok sosialis yang berpendapat bahwa kontrak itu pada dasarnya tidak adil lantaran hasil kerja menjadi hak pemodal. Untuk melawan sosialisme Pius XI menyatakan bahwa hasil kerja itu berasal dari tenaga kerja, modal dan manajemen. Maka ada dua atau tida pihak, yang dengan kerjasama, dapat menghasilkan produk. Maka kontrak (juga mengenai upah) adalah sesuatu yang wajar. Isi kontrak kerja harus juga mencakup upah. Ini mengandaikan partisipasi aktif kaum buruh. Besarnya upah itu harus ditentukan berdasarkan: kebutuhan buruh dan keluarganya, keadaan perusahaan, dan kepentingan umum (art. 70-75). Seandainya perusahaan tidak

(9)

36

mampu menggaji buruh dengan upah yang bisa meng-cover kebutuhan keluarga, maka pemerintah harus membantu perusahaan.

5. Tatanan masyarakat. Tidak hanya mengusulkan perbaikan nasib kaum buruh, Paus Pius XI juga mengusulkan beberapa pertimbangan untuk membangun masyarakat. Di sini terdapat uraian mengenai prinsip subsidiaritas (art. 79). Yang menjadi pokok persoalan adalah pertentangan kelas. Menurut Marx, masyarakat industri terpecah dalam kelas-kelas yang saling bertentangan. Maka Marx mengusulkan penghapusan kelas-kelas (masyarakat tanpa kelas). Paus Pius XI punya cita-cita sebaliknya: masyarakat di mana kelas-kelas tidak bertentangan.

“Keadilan Sosial“

Di atas telah disinggung bahwa Pius XI tidak hanya punya kepedulian terhadap kondisi para pekerja, melainkan juga pada seluruh tatanan sosio-ekonomis masyarakat. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan istilah “keadilan sosial“ dan “subsidiaritas“. Istilah “keadilan sosial“ sudah agak lama diperkenalkan dan digunakan di dalam teologi moral sosial oleh Luigi Taparelli D’Azeglio, seorang teolog Italia, pada pertengahan abad ke-19. Namun, sebagai istilah yang dimuat di dokumen yang mempunyai otoritas, keadilan sosial baru digunakan di QA. Dalam khazanah teologi moral, istilah “keadilan” yang dikenal berasal dari pemikiran St. Thomas Aquinas, yakni keadilan sebagai suatu keutamaan pokok (cardinal virtue). Di dalam tradisi pemikiran tomistik, keutamaan adalah suatu habitus moral yang dilakukan/dipraktekkan oleh individu/person; jadi subyek dari keadilan adalah individu. Sementara itu, keadilan sosial tampaknya mengandaikan suatu lembaga (bisa negara, bisa perusahaan) sebagai subyek pelakunya. Seandainya keadilan sosial adalah suatu keutamaan, mungkinkah ia memiliki subyek pelaku sebuah kelompok sosial atau institusi? Untuk melihat apa yang dimaksud oleh Paus, kita lihat dulu bagaimana keadilan sosial itu muncul di QA.

Istilah keadilan sosial pertama kali disebut di bagian di mana Paus bicara mengenai distribusi milik atau kekayaan:

Akan tetapi tidak tiap pembagian milik atau kekayaan antara orang-orang mencapai sepenuhnya atau hingga taraf kesempurnaan yang memuaskan tujuan yang dimaksudkan oleh Allah. Karena itu kekayaan yang terus menerus bertimbun berkat perkembangan sosial ekonomi hendaklah diratakan sedemikian rupa antara orang-orang perorangan dan golongan-golongan, sehingga terjaminlah kepentingan bersama semua orang, yang dipuji oleh Paus Leo XIII; dengan kata lain: sehingga kesejahteraan umum seluruh masyarakat tetap terjamin seutuhnya. Berdasarkan hukum keadilan sosial itu golongan yang satu dilarang merintangi golongan lain untuk ikut menikmati keuntungan-keuntungan. Dari sebab itu golongan kaum kaya melanggar hukum itu, bila –seolah-olah karena kekayaannya mereka tidak usah mempedulikan apapun– menganggap memang sudah sewajarnya mendapat segalanya, sedangkan buruh tidak mendapat apa-apa. Begitu pula golongan kaum buruh yang tak berpunya melanggar hukum itu, bila menggebu-gebu kemarahannya akibat pelanggaran keadilan, dan terlalu gegabah dan secara salah menekankan satu-satunya hak yang disadarinya, dan karena itu menuntut

(10)

37

segala sesuatu bagi dirinya seolah-olah semuanya hasil kerjanya sendiri, kemudian menyerang dan berusaha meniadakan segala harta-milik dan penghasilan, entah bagaimana bentuknya, atau manakah peran yang dimainkannya dalam masyarakat, yang tidak diperoleh melalui kerja, dan semata-mata karena sifatnya memang penghasilan. (QA 57).

Pada bagian ini, terdapat beberapa elemen pengertian keadilan sosial. Pertama, tujuan akhir dari keadilan sosial ialah kesejahteraan bersama seluruh masyarakat. Kedua, karena tujuan akhir dari keadilan sosial ialah kesejahteraan umum, persoalan keadilan sosial terkait dengan kesejahteraan secara materiil yang dicapai berkat pembangunan ekonomi. Ketiga, semua kelas/golongan –baik orang kaya atau pemilik modal dan para pekerja– adalah subyek dari keadilan sosial. Elemen-elemen ini akan kita lihat masing-masing.

Elemen pertama: keadilan sosial itu menjamin terwujudnya kesejahteraan umum. Maka, kesejahteraan umum dipandang sebagai obyek yang dituju. Kaitan antara keadilan sosial dan kesejahteraan umum ditegaskan di bagian lain, di mana Paus bicara mengenai upah buruh:

Sebab siapa pun mengetahui, bahwa penurunan upah yang keterlaluan, atau kenaikannya yang berlebihan, menimbulkan pengangguran. Memang kendala itu, khususnya seperti ternyata berlarut-larut dan merugikan begitu banyak orang selama masa jabatan Kepausan kami, menceburkan kaum buruh ke dalam keadaan yang menyedihkan dan pencobaan-pencobaan, memporak-porandakan kesejahteraan bangsa-bangsa, dan membahayakan tata-tertib umum, kedamaian dan ketenangan seluruh dunia. Oleh karena itu berlawanan dengan keadilan sosial, bila demi keuntungan perorangan dan tanpa menghiraukan kesejahteraan umum upah dan gaji diturunkan atau dinaikkan di luar batas. Keadilan sosial itu menuntut juga, supaya upah dan gaji –melalui kesepakatan perencanaan dan kehendak– sedapat mungkin diatur sedemikian rupa, sehingga bagi jumlah rakyat yang sebesar mungkin menyediakan lapangan kerja dan peluang mendapat nafkah hidup yang sewajarnya. (QA 74).

Di sini kita melihat kaitan antara keadilan sosial dan kesejateraan umum dalam kasus pelanggaran keadilan sosial, yakni ketika gaji diturunkan atau dinaikkan secara berlebihan atau tidak proporsional. Bila gaji dinaikkan secara berlebihan tanpa menghiraukan kesejahteraan umum, itu berarti pelanggaran terhadap keadilan sosial. Keadilan sosial terjadi ketika gaji pekerja diatur sedemikian rupa, sehingga mereka mendapatkan nafkah yang layak. Ini adalah persoalan pembagian harta-milik melalui mekanisme pengelolaan modal dan pekerjaan. Ketimpangan pendapatan (bila di satu sisi ada yang mendapat gaji tinggi sekali, sementara di sisi lain ada yang digaji amat kecil) tidak sesuai dengan “norma-norma kesejateraan umum, yakni keadilan sosial“ (lih. QA 58). Di sini kita melihat kaitan yang amat erat antara kesejahteraan umum dan keadilan sosial, seakan-akan Paus mengatakan bahwa keadilan sosial itu adalah norma-norma dari kesejahteraan umum.

Elemen kedua: tujuan jangka dekat dari keadilan sosial adalah kesejahteraan material. Di atas telah kita lihat bahwa konteks munculnya istilah keadilan sosial pada artikel 57 adalah distribusi kekayaan yang adil (pemerataan penghasilan/kesejateraan). Tampaknya Paus meletakkan istilah keadilan sosial lebih pada

(11)

38

ranah ekonomi. Berikutnya akan kita lihat bahwa tema mengenai kesejahteraan ekonomi ini berlanjut. Jika tujuan akhir (tujuan jangka panjang) dari keadilan sosial adalah kesejateraan umum, maka mestinya ada tujuan-tujuan jangka pendek. Tujuan jangka pendek ini ialah kesejahteraan keluarga. Pemberian upah yang wajar dipikirkan sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan keluarga ini. Demikian Paus mengangkat topik mengenai “upah yang dapat menjamin keluarga“:

... buruh harus mendapat upah secukupnya untuk menghidupi diri beserta keluarganya. ... Kaum ibu, yang perhatiannya harus terpusat pada tugas-kewajiban rumahtangga, terutama wajib bekerja di rumah, atau dekat-dekat di sekitarnya. Bagi kaum ibu merupakan tindakan salah yang tak boleh dibiarkan, melainkan bagaimana pun harus dihapus, bila karena rendahnya upah si ayah terpaksa menjalankan pekerjaan yang berpenghasilan di luar rumah, hingga melalaikan tugas-kewajiban mereka yang khas, terutama pendidikan anak-anak. Oleh karena itu perlu diusahakan segalanya, agar para ayah keluarga mendapat upah yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga yang biasa secara memadai. Akan tetapi kalau dalam kenyataan aktual itu tidak selalalu dapat terlaksana, keadilan sosial menuntut, agar sesegera mungkin diadakan perubahan-perubahan, sehingga upah yang mencukupi itu dijamin bagi tiap buruh yang dewasa. Pada tempatnyalah di sini menyampaikan pujian yang memang sewajarnya kepada siapa saja, yang dengan maksud yang bijaksana dan berguna telah mencoba dan menguji pelbagai cara untuk menyelaraskan upah kerja dengan beban-beban keluarga, sehingga mengikuti meningkatnya beban-beban itu upah kerja pun dinaikkan... (QA 71).

Pada kutipan ini tampak hubungan antara keadilan sosial dengan tujuan jangka pendek dari kesejahteraan umum, yakni kesejahteraan keluarga. Sekali lagi ini memperlihatkan bahwa Paus meletakkan keadilan sosial pada ranah ekonomi. Pengaturan upah yang dapat menghidupi keluarga adalah pelaksanaan konkrit dari keadilan sosial yang dipikirkan oleh Paus.

Kendati Paus meletakkan keadilan sosial pada ranah ekonomi, namun ia melihat ekonomi hanya sebagai salah satu bidang kegiatan manusia yang memang penting, namun bukan satu-satunya kegiatan manusia (lih. QA 110).

Elemen ketiga: semua golongan –baik orang-orang kaya/pengusaha/pemilik modal maupun kelas pekerja yang umumnya miskin– merupakan subyek keadilan sosial. Jika kesejahteraan bersama merupakan tujuan atau obyek dari keadilan sosial, lantas siapakah subyek atau pelakunya? Pada art. 110 tertulis: “instansi-instansi umum sendiri harus mendorong segenap masyarakat untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan kepentingan umum; maksudnya: mematuhi norma keadilan sosial.“ Menurut pernyataan ini, entitas yang harus menunjukkan tindakan keadilan sosial ialah institusi-institusi umum di dalam masyarakat. Tapi, institusi seperti apa yang dibicarakan Paus di sini? Di masyarakat ada berbagai instansi umum: ada lembaga-lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, kesehatan, dll.

Meneruskan kritik Leo XIII terhadap sistem ekonomi sosialis dan liberal, Pius XI kembali menandaskan kritik terhadap sistem ekonomi pasar bebas yang menghancurkan sifat sosial dan moril dari kehidupan ekonomi. Dalam paragraf mengenai prinsip-prinsip kehidupan ekonomi, Paus menulis demikian:

(12)

39

“...Oleh karena itu mutlak perlulah kehidupan ekonomi diatur dan dikendalikan lagi oleh prinsip pemandu yang sejati dan efektif, yang baru-baru ini menggeser persaingan bebas. Sebab diktator itu merupakan kekuatan yang membabi-buta dan penuh kekerasan, yang demi kesejahteraan rakyat perlu kuat-kuat dikekang dan diatasi dengan bijaksana. Akan tetapi ia tidak mampu mengekang dan mengatur dirinya. Oleh karena itu perlu dicari prinsip-prinsip yang lebih luhur dan mulia, yakni keadilan sosial (social justice) dan cintakasih sosial (social charity), yang barangkali akan mengendalikan diktator itu dengan tegas dan sepenuhnya. Maka lembaga-lembaga masyarakat sendiri, khususnya yang menyangkut kehidupan sosial, harus dirasuki dengan keadilan itu....“ (QA 88).

Kendati Paus memandang instansi-instansi ekonomi sebagai “pelaku“ penting dalam masyarakat, ia memaksudkan semua instansi di dalam masyarakat, khususnya yang menyangkut kehidupan sosial. Instansi-instansi inilah yang harus digerakkan oleh prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut, sehingga ia mampu mendorong masyarakat terarah pada kesejahteraan bersama (bdk. QA 110).

Subsidiaritas

Apa yang ditempuh oleh Pius XI di dalam mengamati persoalan sosial ini kiranya sama dengan apa yang sekarang lazim kita sebut sebagai analisis struktural. Ia menganalisis kekuatan-kekuatan yang bergerak mempengaruhi kehidupan masyarakat. Ini sebetulnya sudah dilakukan oleh Leo XIII di dalam RN-nya. Misalnya, ia menegaskan peran negara dalam campur tangan terhadap persoalan yang dihadapi oleh pemilik modal/usaha dan buruh (lih. RN 33). Terhadap sistem ekonomi liberal atau pasar bebas (laissez-faire), baik Leo XIII maupun Pius XI mengambil posisi kontra. Maka di QA, Pius XI kembali menggarisbawahi peran negara ini (dalam bidang-bidang kehidupan, khususnya ekonomi), sekaligus menunjukkan prinsip penting yang lain, yakni prinsip subsidiaritas.

Oleh karena itu tampuk pimpinan Negara harus membiarkan kelompok-kelompok bawahan menagani urusan-urusan dan kepedulian-kepedulian yang kurang penting, supaya jangan banyak menghamburkan daya-upayanya. Sementara itu Negara akan secara lebih leluasa, penuh dan efektif melaksanakan semua hal yang memang termasuk kewenangannya melulu, karena ialah satu-satunya yang mampu menjalankannya memimpin, mengawasi, mendorong, mengendalikan, bila itu diperlukan dan sungguh dituntut. Oleh karena itu para penguasa hendaklah yakin bahwa semakin sempurna tata-susunan diperhatikan antara pelbagai serikat, mematuhi prinsip “subsidiaritas” (subsidiary function), makin kukuh kewenangan atas masyarakat serta makin besar daya-gunanya, makin bahagia-sejahtera pulalah situasi negara. (QA 80).

Subsidiaritas berarti, jika entitas kecil dapat melaksanakan tugas-tugasnya, maka entitas yang lebih besar/tinggi tidak perlu ikut campur sampai kepada hal-hal yang paling kecil. Dalam artikel 79 dijelaskan demikian:

Dari sejarah jelas ternyata, bahwa karena perubahan situasi banyak hal, yang di masa lampau dijalankan oleh serikat-serikat kecil, sekarang hanya dapat dilaksanakan oleh serikat-serikat yang besar. Kendati begitu prinsip paling berbobot, yang tidak dapat

(13)

40

dikesampingkan atau diubah, tetap kukuh tak tergoyahkan dalam filsafat sosial: Merupakan kesalahan besar mengambil dari orang perorangan apa yang dapat dilaksanakan atas prakarsa dan ketekunannya sendiri, dan menyerahkannya, kepada masyarakat; begitu pula melanggar keadilan, sekaligus merupakan kejahatan berat serta menimbulkan kekacauan tata-tertib, menyerahkan kepada serikat yang lebih besar dan lebih tinggi, apa yang dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi yang tidak sebesar itu dan bersifat bawahan. Sebab tiap kegiatan sosial pada hakikatnya harus meneyelenggarakan bantuan (subsidium) bagi para anggota lembaga sosial, dan jangan pernah menghancurkan dan menyerap mereka.

Jadi, sumbangan QA terhadap ASG ialah penggunaan istilah ”keadilan sosial” dan perwujudannya dalam prinsip subsidiaritas. Selain itu, Pius XI selangkah lebih maju dibandingkan dengan Leo XIII yang cenderung membela stabilitas. Bagi Pius XI, di dalam situasi khusus atau ekstrim, perlawanan dan pemberontakan seringkali dapat dibenarkan.

MATER ET MAGISTRA (YOHANESS XIII,1961)

Ajaran sosial bicara dengan dunia mengenai soal-soal dunia yang seluas dunia. Dalam dialog, ajaran sosial berpangkal pada masalah dunia (manusia!) dan menanggapi masalah dunia.

Pengganti Pius XI ialah Eugenio Pacelli yang kemudian mengambil nama Pius XII. Ia menjadi paus di masa yang tidak mudah, ketika dunia dilanda Perang Dunia II dan masa setelahnya. Kendati ia tidak menulis sebuah ensiklik sosial, ia menyampaikan ajaran sosial Gereja melalui media yang lain. Pada tahun 1958 Pius XII meninggal dunia. Penggantinya ialah Angelo Roncalli yang mengambil nama Yohanes XXIII. Kembali meneruskan tradisi pengajaran Gereja mengenai persoalan-persoalan dunia, Yohaness XIII menulis ensiklik sosial berjudul Mater et magistra (MM).

Seperti ensiklik-ensiklik sosial yang sebelumnya, Mater et magistra juga ditulis untuk memperingati RN. Maka MM dimulai dengan pujian terhadap RN (art. 10-25) dan QA (art. 26-40), bahkan pidato radio Pius XII dalam peringatan 50 tahun RN (1941). Apa yang hendak dikatakan oleh Paus di masa pasca-PD II berkaitan dengan ajaran sosial gereja? Paus menulis: “…bahwa ajaran sosial Gereja Katolik tetap berlaku. Ajaran itu bertumpu pada satu asas dasar: manusia perorangan merupakan dasar, sebab dan tujuan tiap lembaga sosial. Memang seharusnya begitu, sebab manusia itu pada hakikatnya makhluk sosial. … bahwa menurut rencana Penyelenggaraan Ilahi ia diangkat ke alam adikodrati.” (art. 218-219). “Satu asas dasar” ini diuraikan dalam tiga bagian besar: penjelasan lebih lanjut dari ajaran RN (art. 51-121), aspek-aspek baru masalah sosial (art. 123-211) dan pemulihan susunan masyarakat (art. 212-262).

Persoalan buruh di negara-negara industri adalah persoalan pertama yang ditanggapi oleh Gereja. Gereja pertama-tama hendak memperjuangkan martabat manusia yang terdegradasi akibat kemajuan ekonomi dalam skala besar (industrialisasi). Dalam perkembangan zaman semacam ini, kelompok pekerja (buruh) lantas menjadi faktor produksi, bagaikan benda mati. Ini adalah persoalan etis di mana Gereja harus

(14)

41

bersuara. Selain membela martabat manusia pekerja, ASG mencoba mengajak orang untuk menempatkan relasi antara pemilik modal/pemilik perusahaan/employers dengan pekerja/employee) pada tempat yang sesuai dengan martabat manusia. Implikasi dari pengakuan bahwa tiap orang dilahirkan dengan martabat yang sama ialah tuntutan membangun relasi yang manusiawi dan saling menghormati. Employers dan employees mempunyai kewajiban satu terhadap yang lain. Dari persoalan mengenai nasib dan kondisi pada pekerja, ASG tercebur ke dalam analisis mengenai tata kehidupan politik dan ekonomi dan prinsip-prinsip yang harus diterapkan di sana.

MM mengatakan kepada kita bahwa ada dimensi keadilan di dalam tatanan ekonomi yang berdampak bagi martabat para pekerja itu rangkap dua: pertama, bahwa keadilan itu harus terwujud dalam distribusi kekayaan (bahwa upah buruh harus adil, dalam arti harus dapat menyokong kehidupan keluarganya, lih RN 46, QA 71); kedua, bahwa kondisi di mana orang teribat dalam aktivitas produktif itu harus juga bermartabat. Tatanan ekonomi yang adil harus memperhatikan kedua aspek itu, sebagaimana ditulis dalam MM:

Keadilan perlu ditegakkan bukan hanya dalam pemerataan kekayaan, melainkan juga berkenaan dengan kondisi-kondisi mereka yang terlibat dalam menghasilkan kekayaan itu. Menurut hakikatnya tiap orang perlu mengungkapkan diri dalam kerjanya dan sementara itu menyempurnakan diri.

Oleh karena itu, kalau seluruh struktur dan organisasi suatu sistem ekonomi sedemikian rupa, sehingga melecehkan martabat manusiawi, mengurangi kesadaran bertanggung jawab orang, atau merampas peluangnya untuk mewujudkan prakarsa-prakarsanya sendiri, menurut keyakinan kami sistem itu sama sekali tidak adil –entah berapa besar kekayaan yang dihasilkannya, atau betapa adil dan serasi pemerataan kekayaan itu. (MM 82-83)

Martabat pekerja dan kerjanya di kemudian hari akan dianalisis dan direfleksikan secara lebih mendalam oleh Yohanes Paulus II di dalam ensiklik Laborem exercens. Sementara itu, diskusi mengenai upah yang adil (just wage) yang telah dibicarakan di RN dan QA diteruskan di MM:

Maka kami pandang sebagai tugas kami menyatakan lagi, bahwa upah kerja tidak boleh dibiarkan tergantung dari hukum-hukum pasar saja. Upah juga tidak dapat diputuskan sekehendak mereka yang lebih berkuasa. Upah harus ditetapkan sesuai dengan keadilan dan kelayakan. Itu berarti bahwa kaum buruh berhak menerima upah, yang memungkinkan mereka hidup secara layak manusiawi, dan menunaikan kewajiban-kewajiban mereka terhadap keluarga sebagaimana layaknya pula. Faktor-faktor lain berperanan juga dalam penentuan upah yang adil, yakni sumbangan efektif yang diberikan tiap orang kepada usaha ekonomi, keadaan finansial perusahaan yang dilayaninya, tuntutan-tuntutan kepentingan umum negeri tertentu –khususnya dengan mengindahkan dampak-pengaruhnya pada tersedianya lapangan kerja bagi tenaga kerja negeri itu secara keseluruhan– dan akhirnya tuntutan-tuntutan kepentingan umum segenap keluarga bangsa-bangsa mana pun juga, besar maupun kecil. (MM 71).

(15)

42

Sementara kedua ensiklik sosial sebelumnya mengangkat persoalan para buruh industri, MM memperluas cakupan lingkup buruh. Di MM tidak hanya dibicarakan mengenai buruh pabrik saja melainkan juga para pekerja di area pertanian. MM yang mengangkat imperatif moral dari pembangunan ekonomi, menyatakan bahwa pembangunan ini dapat dicapai dengan baik jika: “... diusahakan tahap demi tahap, dan perlu dijaga keseimbangan antara semua sektor ekonomi. Oleh karena itu sektor pertanian harus diperbolehkan memanfaatkan usaha-usaha pembaharuan yang sama mengenai metode dan corak produksi serta pengelolaan aspek bisnis dalam proyek-proyeknya seperti dimungkinkan atau dibutuhkan dalam sistem ekonomi secara keseluruhan. Segala usaha itu sedapat mungkin harus serasi dengan pembaharuan yang diadakan dalam industri dan pelbagai jasa-pelayanan.“ (MM 128). Untuk itu, pemerintah harus memperhatikan kebijakan-kebijakan perpajakan, kredit, jaminan sosial, harga-harga, pengelolaan industri-industri bantu, dan penyesuaian struktur pertanian sebagai usaha bisnis (MM 131). Di artikel 122-149, Paus mengangkat situasi yang dihadapi oleh para petani dan situasi khas yang dihadapi mereka. Petani bekerja untuk menghasilkan barang kebutuhan primer, yakni bahan makanan. Karena bahan makanan adalah kebutuhan pokok manusia, maka memang diupayakan supaya harga bahan makanan jangan sampai mahal. Namun, seringkali ini menjadi alasan untuk menekan harga jual hasil panen dari para petani, sehingga mereka hanya berpenghasilan rendah yang tidak memungkinkan mereka mengakses aneka kebutuhan seperti pendidikan (untuk anak-anak mereka), kesehatan, dst. Kehidupan para petani yang tidak berkembang juga disebabkan oleh ketimpangan antara pembangunan di desa dan di kota. Banyak orang di desa menganggap bahwa sektor pertanian tidak menjanjikan secara ekonomis sehingga mereka meninggalkan desa.

Catatan Akhir

i Aslinya, RN tidak dilengkapi dengan penomoran. Penomoran yang digunakan di sini mengacu pada teks

terjemahan Indonesia dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 yang diterbitkan oleh KWI (1999, terjemahan R. Hardawiryana, SJ).

ii Lih. Donal Dorr, Option for the Poor and for the Earth. From Leo XIII to Francis (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 2016),

Referensi

Dokumen terkait

Program Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabhakti Nusantara (UBH-KPWN) telah memberikan alternatif pengelolaan usaha bersama yang melibatkan pihak

Ayah baginya adalah seseorang yang memiliki kuasa pengetahuan zakat yang paling berperan dalam mengonstruk pikiran muzaki konvensional sehingga menghasilkan perilaku

Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang memiliki substrat

Temuan ini memberikan penegasan bahwa permainan gobak sodor memberikan perubahan yang signifikan pada kecepatan reaksi, akan tetapi tidak memberikan perubahan yang

Penelitian dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak n- heksan kulit batang jaloh terhadap morfologi vili usus (duodenum, yeyunum, dan ileum) dalam hubungannya

Dari hasil perhitungan dan data yang ada diperoleh nilai prediksi sebesar 0.908607561 atau 91% dan nilai akurasi terhadap PAK sebesar 96% sehingga dapat

jossa ihmisryhmien välisen etäisyyden säilyttäminen legitimoidaan biologisen perimän sijaan ylitsepääsemättömillä kulttuurisilla eroavaisuuksilla. Kulttuuriin perustuva

Titik dasar teknik (TDT) adalah titik tetap yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai