• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

(2)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mutakhir

Penelitian dalam Skripsi ini merupakan pengembangan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu mengenai kinerja kombinasi sistem OFDM-MIMO dan kinerja sistem Spread Spectrum. Refrensi yang dipilih dan digunakan sebagai acuan dari penelitian OFDM-MIMO dan Spread Spectrum

untuk mendukung penelitian ini adalah mengenai pemodelan dari kombinasi sistem OFDM-MIMO dan pemodelan Spread Spectrum agar dapat memodelkan kombinasi sistem Multi Carrier-Spread Spectrum (MC-SS) MIMO. Selanjutnya kombinasi sistem MC-SS MIMO ini diteliti unjuk kerjanya berdasarkan pada penggunaan kanal yang berbeda dan variasi panjang spreading factor.

Berikut adalah uraian singkat yang menjadi refrensi penelitian sekaligus yang menjadi tinjauan mutakhir (state of the art) dalam penelitian ini.

1. Penelitian dengan berjudul “Analisis Unjuk Kerja Teknik MIMO STBC dan V-BLAST Pada Sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing” dimana penelitian ini mengangkat pemodelan sistem OFDM yang dikombinasikan dengan MIMO STBC dan V-BLAST pada kanal AWGN dan flat fading. Dari penelitian ini diketahu bahwa kombinasi sistem OFDM-MIMO dengan menggunakan MIMO STBC memberikan performansi terbaik. Kanal flat fading memberikan performansi yang lebih buruk dibandingkan kanal AWGN (Teguh Bayu Purwanto, Teknik Elektro Universitas Udayana, 2015)

2. Penelitan yang berjudul “Performance Analysis of Spread Spectrum Techniques” dimana dalam penelitian ini mengangkat tentang analisis performansi dari teknik spread spectrum ditinjau dari teknik spreading

yaitu Direct Sequence Spread Spectrum dan Frequency Hopping Spread Spectrum. Dari penelitian ini menunjukkan teknik spread spectrum

(3)

Electronics Engg. Dept. Dr. Ambedkar Institute Of Technology For Handicapped Kanpur (UP), India, 2013)

4. Penelitian yang berjudul “Performance Comparison of OFDM, MC-CDMA, and OFCDM for 4G Wireless Broadband Access Beyond” dimana penelitian ini meninjau perbandingan nilai BER pada sistem OFDM, MC-CDMA, dan OFCDM (Syed M. Zafi, Institute of Information and Communication Technologies, 2011)

2.2 Spread Spectrum

2.2.1 Prinsip Dasar Sistem Spread Spectrum

2.2.1.1 Direct Sequence Spread Spectrum

Sebuah pseudo noise sequence pnt dibuat pada modulator, yang digunakan sebagai konjungsi dengan sebuah modulasi PSK M-ary untuk menggeser fase dari PSK secara psudorandom pada chipping rate Rc (=1/Tc), yaitu sebuah frekuensi yang berupa perkalian integer dari Rs (=1/Ts). Bandwidth yang ditransmisikan ditentukan oleh chip rate dan baseband filtering. Modulasi PSK memerlukan demodulasi yang koheren. Untuk modulasi BPSK, building block dari sistem DSSS sebagai berikut, (Meel, 1999):

Gambar 2.1Building Block Sistem DSSS dengan Modulasi BPSK (Meel, 1999)

(4)

Keterangan dari building block sistem DSSS pada Gambar 2.1 tersebut adalah sebagai berikut.

1. Input

Binary data dt dengan symbol rate Rs = 1/Ts (= bitrate Rb untuk BPSK). Pseudo-noise code pnt dengan chip rate Rc = 1/Tc , (Meel, 1999).

2. Spreading

Pada transmitter, binary data dt (untuk BPSK, I dan Q untuk QPSK) secara langsung dikalikan dengan PN sequence pnt yang terpisah dari baseband yang binary data, untuk memproduksi sinyal baseband yang ditransmisikan txb, (Meel, 1999).

txb = dt . pnt (2.1)

Efek dari perkalian dt dengan PN sequence adalah untuk menyebarkan baseband bandwidth Rb dari dt ke basebandbandwidth Rc, (Meel, 1999).

3. Despreading

Sinyal Spread Spectrum tidak bisa dideteksi dengan penerima

narrowband konvensional. Pada receiver, sinyal baseband rxb yang diterima dikalikan dengan PN sequence pnt , (Meel, 1999).

Jika pnr = pnt dan disinkronisasi ke PN sequence pada data yang diterima, kemudian binary data yang dipulihkan diproduksi pada dr akibat perkalian dari sinyal spread spectrum rxb dengan PN sequence pnt digunakan pada transmitter adalah untuk despreadbandwidth rxb ke Rs, (Meel, 1999).

Jika pnr ≠ pnt, kemudian tidak terjadi despread. Sinyal dr memiliki spread spectrum. Penerima tidak mengetahui PN sequence dari transmitter sehingga tidak bisa memproduksi kembali data yang telah dikirim, (Meel, 1999).

4. Modulasi

Spread spectrum system menyebarkan sinyal informasi dt yang memiliki BWinfo, pada bandwidth BWss yang lebih besar, (Meel, 1999).

(5)

Spektrum sinyal seperti white noise. Amplitudo dan daya pada sinyal txb sama seperti sinyal informasi asal dt. Karena peningkatan bandwidth sinyal, power spectral density harus lebih rendah. Bandwidthexpansion factor, menjadi rasio dari

chip rate Rc dan data simbol rate Rs, pada praktiknya, biasanya dipilih menjadi sebuah integer, (Meel, 1999).

5. Demoduasi A. pnr = pnt

Untuk mendemodulasi, sinyal yang diterima dikalikan dengan pnr, (ini PN sequence yang sama seperti pnt) disinkronisasikan dengan PN sequence pada sinyal rxb yang diterima. Operasi ini disebut despreading, karena akibatnya adalah membalikkan operasi spreading pada transmitter, (Meel, 1999). Keluaran

multiplier pada penerima selama pnr = pnt adalah:

dr = rxb . pnr = (dt. pnt) . pnt (2.3) B. pnr ≠ pnt

Jika sinyal yang diterima dikalikan dengan PN sequence pnr, berbeda dengan PN sequence yang digunakan pada modulator, hasil perkaliannya menjadi:

dr = rxb . pnr = (dt. pnt) . pnr (2.4) Pada receiver, deteksi sinyal yang diharapkan didapat dengan korelasi terhadap sequence referensi lokal. Untuk komunikasi yang aman dalam penggunaan multi user, data yang ditransmisikan dt, mungkin tidak bisa di kembalikan oleh user yang tidak tahu PN sequence pnt yang digunakan. Maka: crosscorrelation Rc(τ) = average (pnt . pnr) << 1 untuk semua nilai τ, dimana τ adalah jumlah user, (Meel, 1999).

2.2.1.2 Frequency Hopping Spread Spectrum

Sebuah pseudo noise sequence pnt dibuat pada modulator, yang digunakan sebagai konjungsi dengan sebuah modulasi FSK M-ary untuk menggeser frekuensi pembawa dari PSK secara psudorandom pada hopping rate Rh. Sinyal yang ditransmisikan melingkupi beberapa frekuensi dalam satu waktu, masing-masing untuk satu periode Th (=1/Rh), disebut sebagai dwell time. FHSS membagi

(6)

bandwidth yang ada ke dalam N kanal dan hop diantara kanal-kanal tersebut menurut PN sequence. Transmitter dan receiver mengikuti pola frekuensi hop yang sama, (Meel, 1999).

2.2.2 Spreading Code

2.2.2.1 Hadamard-Walsh Codes

Kode Hadamard-Walsh dibangkitkan dalam aturan kode N = 2n dengan panjang N = 2n. Pembangkitan algoritmanya sangat sederhana yaitu dengan persamaan 2.5, (Meel, 1999).:

𝐻2 = [𝐻𝑁/2 𝐻𝑁/2

𝐻𝑁/2 −𝐻𝑁/2] dengan H1 = [1] (2.5)

Baris atau kolom dari matriks HN adalah kode Hadamard-Walsh seperti yang ditunjukkan berikut ini, (Meel, 1999).

𝐻2 = [1 1 1 −1] 𝐻4= [ 1 1 1 −1 1 1 1 −1 1 1 1 −1 −1 −1 −1 1 ] 𝐻8= [ 1 1 1 −1 1 1 1 −1 1 1 1 −1 −1 −1 −1 1 1 1 1 −1 1 1 1 −1 1 1 1 −1 −1 −1 −1 1 1 1 1 −1 1 1 1 −1 1 1 1 −1 −1 −1 −1 1 −1 −1 −1 1 −1 −1 −1 1 −1 −1 −1 1 1 1 1 −1 ]

Jarak atau jumlah elemen yang berbeda antar sepasang baris sebesar N/2. Pada kondisi H8 jarak antar dua baris adalah 4, sehingga jarak Hamming dari kode Hadamard adalah 4. Kode Hadamard-Walsh dapat digunakan sebagai block code

pada kanal encoder, dimana setiap urutan dari n bit mengidentifikasikan satu baris dari matriks. Semua baris saling orthogonal satu sama lain untuk semua baris i dan j, hal ini ditunjukkan dengan persamaan 2.6, (Meel, 1999):

∑𝑁−1𝑘=0ℎ𝑖𝑘 . ℎ𝑗𝑘 = 0 (2.6)

2.2.2.2 Cross-Correlation dan Autocorrelation Kode Hadamard-Walsh

Cross-Correlation adalah membandingkan kode Hadamard-Walsh pada sisi pengirim dan penerima untuk sistem dengan Multi-User. Cara ini digunakan untuk melihat kesalahan pendeteksian kode pada masing-masing user atau kode

(7)

yang tertukar antar user. Jika pada single-user hal ini disebut dengan

autocorrelation.Autocorrelation menunjukkan korelasi atau hubungan antar kode yang dikirim dan kode yang diterima oleh satu user. Perbedaan analisa dari cross-correlation dan autocorrelation adalah, hasil cross-correlation yang semakin kecil menunjukkan performansi yang baik, sedangkan pada autocorrelation hasil yang semakin besar menunjukkan performansi yang baik. Fungsi dari korelasi ini untuk menunjukkan performansi yang diberikan pada spreading code.

Cross-correlation antara dua kode Hadamard-Walsh pada matriks yang sama adalah nol, ketika disinkronisasi sempurna. Pada sinkronus sistem CDMA ini memastikan tidak ada interferensi selama sinyal ditransmisikan pada stasiun yang sama. Hanya ketika disinkronisasi, kode tersebut memiliki sifat orthogonal yang baik. Kode Hadamard-Walsh bersifat periodik, yang menghasilkan efisiensi

spreading kurang dan masalah dengan sinkronisasi berdasarkan autokorelasi, (Meel, 1999).

2.2.3 Spreading Factor

Spreading factor atau yang disingkat dengan SF memberikan gambaran mengenai banyaknya chip yang digunakan untuk mentransmisikan satu simbol. SF dirumuskan dengan membagi chip rate dan symbol rate. SF juga berhubungan dengan spreading code. Panjang spreading code didentifikasikan sebagai

spreading factor. Sehingga banyaknya SF dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya user yang dapat ditangani oleh sistem multi-user spread spectrum atau CDMA.

2.3 Orthogonal Frequency Division Multiplexing

Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) merupakan teknik transmisi yang menggunakan beberapa buah frekuensi yang saling tegak lurus (orthogonal). OFDM adalah bentuk khusus dari multicarrier modulation yang membagi aliran data dengan kecepatan tinggi ke dalam sejumlah aliran data kecepatan rendah kemudian dikirimkan melalui beberapa subcarrier. Pada OFDM, data masukan dialirkan ke beberapa subcarrier paralel yang saling orthogonal

(8)

dengan laju data yang lebih rendah. Subcarrier tidak ditempatkan berdasarkan

bandwidth yang ada, tetapi disusun untuk saling overlapping dan diatur jarak antara

subcarrier agar memiliki sifat yang orthogonal (Purwanto, 2015).

Dengan sifat orthogonalitas ini maka antar subcarrier dapat dibuat overlap tanpa menimbulkan efek Inter Carrier Interference (ICI). Dengan

multiplexing subcarrier yang dilakukan secara overlap tersebut tentu saja dapat menghemat bandwidth. Proses yang dilakukan sama dengan teknik modulasi

multicarrier, yang membedakan hanya pada penggunaan subcarrier yang saling

orthogonal pada masing-masing subkanal (Purwanto, 2015).

Gambar 2.2 Efisiensi Bandwidth Pada Sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing

(Purwanto, 2015)

Dengan pembagian aliran data dengan kecepatan tinggi ke dalam sejumlah aliran data kecepatan rendah kemudian dikirimkan secara simultan melalui beberapa subcarrier. Sistem OFDM sederhana ditunjukkan dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Purwanto, 2015).

Gambar 2.3 Sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) Sederhana (Purwanto, 2015)

(9)

Prinsip kerja dari sistem OFDM pada Gambar 2.3 dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Konversi Serial ke Paralel

Data masukan masuk menuju blok serial ke paralel. Blok serial ke paralel berfungsi untuk mengubah aliran data yang terdiri dari satu baris menjadi beberapa baris dan beberapa kolom. Data hasil konversi serial ke paralel berbentuk matriks bit-bit dimana jumlah subcarrier yang digunakan dinyatakan dengan jumlah baris dan jumlah simbol data yang dikirimkan pada masing-masing subcarrier

dinyatakan dengan jumlah kolom (Purwanto, 2015). 2. Modulasi

Sinyal yang telah dikonversi ke paralel kemudian akan dimodulasi, proses modulasi diperlukan untuk merubah sinyal yang dikirim menjadi simbol dengan proses modulasi. Modulasi yang dapat digunakan berupa BPSK, QPSK, QAM, atau teknik modulasi yang lain (Purwanto, 2015).

3. Inverse Fast Fourier Transform (IFFT)

Blok IFFT pada sistem OFDM bertujuan untuk menghasilkan frekuensi

carrier yang saling orthogonal dan mengubah dari domain frekuensi ke domain waktu (Purwanto, 2015).

4. Penambahan Cyclic Prefix (CP)

Penambahan Cyclic Prefix (CP) ditempatakn atau disisipkan di depan simbol data masukan yang akan ditrasmisikan. Tujuan dari penambahan CP adalah untuk mencegah terjadinya Inter Symbol Interference (ISI) dan Inter Carrier Interference (ICI) sehingga simulasi dapat berjalan dengan baik (Purwanto, 2015).

5. Konversi Paralel ke Serial

Sebelum masuk ke dalam kanal transmisi, simbol OFDM yang masih dalam bentuk stream paralel dikonversi ke bentuk stream serial sinyal baseband

(10)

6. Kanal Transmisi

Kanal transmisi dapat berupa kanal derau (noise) AWGN dan kanal

Fading (Purwanto, 2015).

7. Konversi Serial ke Paralel

Pada blok penerima sistem OFDM, sinyal yang telah melalui kanal transmisi kemudian dikonversi kembali dari bentuk stream serial ke bentuk stream

paralel sehingga proses simbol-simbol yang diterima dapat diolah kembali pada blok sistem penerima OFDM selanjutnya (Purwanto, 2015).

8. Penghilangan Cyclic Prefix (CP)

Pada blok ini, simbol CP yang telah disisipkan pada data masukan dipisahkan dan dibuang kembali sehingga hanya diperoleh data masukan yang sesuai dengan data masukan sebelum pengiriman. Proses ini merupakan kebalikan dari proses penambahan Cyclic Prefix pada blok pengirim (Purwanto, 2015).

9. Fast Fourier Transform (FFT)

Pada blok FFT ini, simbol-simbol OFDM akan dipisahkan dari frekuensi

carrier-nya. Proses ini juga merupakan kebalikan dari blok Inverse Fast Fourier Transform (IFFT) pada blok pengirim (Purwanto, 2015).

10. Demodulasi

Pada proses demodulasi dilakukan proses demapping untuk mengembalikan simbol menjadi bit yang merupakan data masukan sesuai data yang dikirim (Purwanto, 2015).

11. Konversi Paralel ke Serial

Pada blok ini, bit-bit yang masih berbentuk matriks (paralel) berupa matriks jumlah sub-carrier x jumlah simbol data diubah kembali menjadi ke bentuk

(11)

semula yaitu bentuk serial dengan cara dikonversi dari bentuk paralel ke serial sesuai dengan data yang dikirim (Purwanto, 2015).

2.4 Multiple Input Multi Output

Munculnya teknik MIMO yang dapat memberikan kapasitas yang lebih signifikan dari pada SISO, yang dilihat sangat menjanjikan dalam komunikasi nirkabel. Peningkatkan efisiensi spektrum dan perbaikan kualitas saluran oleh sistem MIMO dapat dicapai dengan menggunakan multi antena pada sisi pengirim 13 dan penerima. Prinsip kerja MIMO adalah memperbanyak sinyal informasi yang dipancarkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan mengurangi error

yang dapat terjadi akibat kanal transmisi (Purwanto, 2015).

Gambar 2.4 Teknik MIMO (Purwanto, 2015)

Adapun persamaan dari sistem MIMO diberikan sebagai berikut (Purwanto, 2015):

y = H.x + n (2.7)

dimana, y merupakan vektor sinyal yang diterima, H merupakan matrix respon impuls kanal dari N jumlah antena pemancar dan M jumlah antena penerima (NxM), s menyatakan vektor sinyal yang ditransmisikan, dan n menyatakan vektor

noise AWGN (Purwanto, 2015)..

Selain itu MIMO menggunakan teknik diversitas, yaitu spatial multiplexing dan transmit diversity, dimana penggunaan teknik diversitas dapat mengurangi fading dan interferensi dari user lain, meningkatkan data rate serta efisiensi bandwidth maupun daya transmit (Purwanto, 2015).

(12)

2.4.1 Sistem Space Time Block Code (STBC)

Skema tramsisi dari Space Time Block Code (STBC) ini merupakan skema transmisi yang pertama kali diperkenalkan oleh Siavash Alamouti pada tahun 1998. STBC adalah skema yang digunakan dalam teknik transmit diversity

untuk mencapai diversity gain pada sistem MIMO tersebut (Purwanto, 2015). Pada sistem STBC yang digunakan Alamouti, aliran data yang sama dipancarkan melalui kedua antena pemancar. Sebelum dipancarkan, aliran data terlebih dahulu mendapatkan perlakuan yang berbeda. Setiap dua simbol data akan tetap dikirim dalam dua periode simbol, namun pada antena kedua urutan simbolnya dibalik, dikonjugasi, dan salah satunya dinegatifkan. Adapun tujuan dari perlakuan tersebut adalah untuk memudahkan pemisahan kedua simbol pada sisi penerima sehingga deteksi dua simbol dapat dipecah menjadi dua proses deteksi simbol yang terpisah (Purwanto, 2015).

Sistem STBC ini akan mengirimkan dua simbol yang berbeda secara bersamaan. Pada saat waktu t, antena pertama (Tx1) akan mengirimkan sinyal S0 dan antena kedua (Tx2) mengirimkan sinyal S1. Diasumsikan bahwa S0 dan S1 merupakan simbol yang telah dimodulasi. Kemudian pada saat waktu t + T, simbol dari masing-masing antena pemancar dikonjugat sehingga pada antena pertama (Tx1) akan mengirimkan sinyal – dan pada antena (Tx2) mengirimkan sinyal , seperti Gambar 2.5 berikut (Purwanto, 2015).

Gambar 2.5 Skema Transmisi STBC Alamouti (Purwanto, 2015)

Kemudian pada proses encoding sinyal yang dipancarkan akan dipengaruhi oleh fading dan noise pada saat proses transmisi. Setelah sinyal diterima oleh antena penerima selanjutnya sinyal masuk kedalam combiner. Pada

combiner terdapat kanal estimate yang memiliki fungsi untuk mengestimasi sinyal yang diterima. Setelah mengalami estimasi kemudian sinyal tersebut masuk

(13)

kedalam blok Maximum Likehood Detector untuk melakukan proses pengambilan keputusan, yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 berikut (Purwanto, 2015).

Gambar 2.6 Skema STBC Alamouti dengan Dua Antena Pemancar dan Dua Antena Penerima (Purwanto, 2015)

Terdapat proses pada sisi penerima untuk pendeteksian sinyal yang terjadi pada skema ini yaitu :

1. Sinyal yang diterima

Pada sistem MIMO, sinyal yang diterima pada receiver merupakan penjumlahan dari sinyal yang diterima dari masing-masing antena. Sinyal yang diterima dalam dua interval simbol yang berdekatan dengan notasi yang diperlihatkan seperti Tabel 2.1 dan 2.2 (Purwanto, 2015).

Tabel 2.1 Notasi Kanal Pada Penerima (Purwanto, 2015)

Rx Antena 1 Rx Antena 2

Tx Antena 1 h0 h2

(14)

Tabel 2.2 Notasi Sinyal Pada Penerima (Purwanto, 2015)

Rx Antena 1 Rx Antena 2

Waktu t r0 r2

Waktu t+T r1 r3

Sehingga didapatkan persamaan 2.8 sebagai berikut (Purwanto, 2015). 𝑟0 = ℎ0𝑠0+ ℎ1𝑠1 + 𝑛0

𝑟1 = −ℎ0𝑠1∗+ ℎ1𝑠0∗+ 𝑛1

𝑟0 = ℎ2𝑠0+ ℎ3𝑠1 + 𝑛3

𝑟3 = −ℎ2𝑠1∗+ ℎ3𝑠0∗+ 𝑛3 (2.8) Dimana n0, n1, n2, dan n3 merupakan variabel acak kompleks yang memperlihatkan noise thermal dan interferens receiver (Purwanto, 2015).

2. Sinyal Combiner

Combiner dibuat mengikuti dua sinyal yang selanjutnya dikirim menuju

Maximum Likehood Detector. Aturan dari combiner ditunjukkan oleh persmaan 2.9 sebagai berikut (Purwanto, 2015).

𝑆̃ = ℎ0 0 𝑟

0 + ℎ1𝑟1∗+ ℎ2∗𝑟2+ ℎ3𝑟3∗ (2.9a)

𝑆̃ = ℎ1 1∗𝑟0− ℎ0𝑟1∗+ ℎ3∗𝑟2− ℎ2𝑟3∗ (2.9b) Dengan mensubstitusi persamaan yang tepat maka (Purwanto, 2015):

𝑆̃ = (𝑎0 02 + 𝑎12+ 𝑎22 + 𝑎32)𝑠0+ ℎ∗0𝑛0 − ℎ1𝑛1∗+ ℎ2∗𝑛2 − ℎ3𝑛3∗ (2.10a) 𝑆̃ = (𝑎1 02 + 𝑎12 + 𝑎22 + 𝑎32)𝑠0− ℎ0𝑛1∗ + ℎ1∗𝑛2− ℎ2𝑛3∗ + ℎ3∗𝑛2 (2.10b) 3. Maximum Likehood Detector

Pada Maximum Likehood (ML) dekoder akan beroperasi sebagai berikut. Untuk sinyal S0 digunakan kriteria keputusan seperti persamaan 2.11 berikut (Purwanto, 2015).

(𝑎02+ 𝑎 1 2+ 𝑎

(15)

Jika untuk sinyal S1, digunakan persamaan 2.12 sebagai berikut (Purwanto, 2015). (𝑎02+ 𝑎 1 2+ 𝑎 22 + 𝑎32− 1)|𝑠𝑖|2+ 𝑑2(𝑠̃ , 𝑠1 ̃) ≤ (𝑎𝑖 02+ 𝑎12+ 𝑎22 + 𝑎32− 1)|𝑠𝑘|2+ 𝑑2(𝑠̃ , 𝑠1 ̃ )𝑘 (2.12) 2.5 Modulasi QPSK

PSK (Phase Shift Keying) merupakan salah satu teknik modulasi digital dimana sinyal informasi digital (bit) yang akan dikirim ditumpangkan pada sinyal pembawa dengan mengubah fasa dari sinyal pembawa. Modulasi QPSK merupakan bentuk lain dari modulasi digital (PSK). QPSK merupakan teknik pengkodean M-ary dimana M = 4 (quaternary). Dalam modulasi QPSK terdapat empat fase keluaran dari sinyal pembawa untuk menyatakan empat simbol. Satu simbol QPSK terdiri dari 2 buah bit yaitu “00”, “01”, “10”, dan “11”. Setiap satu simbol akan mengalami perubahan fasa sebesar 90o (π/2) (Purwanto, 2015).

Pada gambar 2.7 dapat dilihat untuk konstelasi 00, pada Re channel (I) = +1 dan Im channel (Q) = +1. Untuk konstelasi 01, Re (I) = -1, dan Im (Q) = +1. Untuk konstelasi 11, untuk saluran Re (I) = -1 dan Im (Q) = -1. Untuk konstelasi 10, untuk Re (I) = +1 dan Im (Q) = -1. Setiap nilai konstelasi 1 dan -1 disimbolkan dengan 0.7071 dan -0.7071 (Purwanto, 2015).

Gambar 2.7 Diagram Konstelasi QPSK (Purwanto, 2015)

(16)

2.6 Addiptive White Gaussian Noise

Additive White Gaussian Noise merupakan noise yang berada dan terjadi pada kanal range spektrum frekuensi dan merupakan noise thermal yang sifatnya menjumlah. Additive artinya ditambahkan, Gaussian berarti mengikuti distribusi

Gaussian atau kadang disebut juga distribusi normal. Sedangkan noise ini disebut

white karena terdiri dari seluruh frekuensi dalam spektralnya dianalogikan sebagai cahaya putih yang kerapatan spektralnya lebar dan pada range frekuensi yang lebar (Purwanto, 2015).

AWGN mempunyai karakteristik respon frekuensi yang sama disepanjang frekuensi dan variannya sama dengan satu. Pada kanal transmisi selalu terdapat penambahan noise yang timbul karena akumulasi noise termal dari perangkat pemancar, kanal transmisi, dan perangkat penerima. AWGN merupakan model kanal sederhana dan umum dalam suatu sistem komunikasi. Model kanal ini dapat digambarkan seperti Gambar 2.8 berikut (Purwanto, 2015).

Gambar 2.8 Model Kanal AWGN (Purwanto, 2015)

Pada Gambar 2.8 dapat dilihat, jika sinyal yang kirim Sm(t), pada kanal akan dipengaruhi oleh derau (noise) n(t) sehingga sinyal yang diterima adalah penjumlahan sinyal asli dengan noise, kondisi tersebut dapat dirumuskan dengan persamaan 2.13 berikut (Purwanto, 2015).

r(t) = Sm(t)+n(t) (2.13)

dimana r(t) adalah sinyal yang diterima, kemudian Sm(t) adalah sinyal informasi dan n(t) adalah noise AWGN (Purwanto, 2015).

(17)

2.7 Kanal Flat Fadding

Flat Fading (Fading Rata) dapat terjadi apabila kanal mempunyai penguatan yang konstan dan tanggapan fase linier dengan bandwidth yang lebih lebar dibandingkan dengan bandwidth sinyal yang ditransmisikan. Pada kondisi ini, level sinyal yang diterima berubah terhadap waktu yang disebabkan oleh multipath. Karakteristik kanal flat fading dapat dilihat pada Gambar 2.9 (Purwanto, 2015)..

Gambar 2.9 Karakteristik Kanal Flat Fadding

(Purwanto, 2015)

Pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa sinyal yang dikirim s(t) apabila dilewatkan pada kanal h(τ,t) yang memiliki penguatan yang berubah terhadap waktu, maka terjadi perubahan amplitudo muncul pada sinyal terima r(t), tetapi memiliki spectrum sinyal transmisi yang tidak berubah. Kanal flat fading dikenal juga sebagai kanal variasi amplitudo (amplitude varying channel) (Purwanto, 2015).

Pada umumnya distribusi amplitudo pada flat fading mengikuti distribusi

Rayleigh. Model kanal flat fading Rayleigh mengasumsikan bahwa amplitudo dari kanal bervariasi terhadap waktu sesuai dengan distribusi Rayleigh. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sinyal yang melalui kanal flat fading mempunyai kriteria seprti persamaan 2.14 dan 2.15 berikut (Purwanto, 2015).

𝐵𝑠 ≪ 𝐵𝑐 (2.14)

(18)

Dengan, BS adalah lebar pita (bandwidth) frekuensi sinyal, BC adalah coherence bandwidth, TS adalah periode simbol, dan σr adalah rms delay spread (Purwanto, 2015).

2.8 Kanal Frequency Selective Fading

Suatu sinyal dikatakan melalui frequency selective fading , jika sinyal yang ditransmisikan itu memiliki lebarpita (bandwidth) lebih besar dari bandwidth

kanal radio dan tanggapan impuls kanal yang memiliki delay spread lebih besar dari periode simbol. Sinyal yang diterima terdiri dari beberapa sinyal yang ditransmisikan, yang sudah teredam dan terjadi waktu tunda sehingga sinyal yang diterima akan terdistorsi. Frequency selective fading menyebabkan terjadi dispersi waktu dari simbol yang ditransmisikan. Kanal seperti ini menyebabkan interferensi antar symbol (ISI) (Rapaport, 2002). Gambar 2.10 menunjukkan karakteristik dari kanal frequency selective fading.

Gambar 2.10 Karakteristik Kanal frequency selective fading

(Rapaport, 2002)

Pada Gambar 2.10, bandwidth frekuensi sinyal s(t)lebih lebar dari

bandwidth tanggapan impuls kanal h(t,), maka tampak bahwa sinyal terima r(t)

mengalami distorsi. Oleh karena itu sinyal mengalami frequency selective fading

jika memenuhi persamaan 2.16 dan 2.17. h(t,) s(t) r(t) s(t) 0 Ts t t h(t,) 0  0 Ts Ts+ t r(t) S(f) fc f H(f ) fc f R(f) fc f

(19)

C S B B  (2.16) dan,    S T (2.17) 2.9 Distribusi Rayleigh

Dalam kanal komunikasi bergerak, distribusi Rayleigh biasa digunakan untuk menjelaskan perubahan waktu dari selubung sinyal fading rata (flat fading) yang diterima, atau selubung dari satu komponen multipath telah diasumsikan sebelumnya menjadi distribusi Rayleigh. Distribusi Rayleigh digunakan untuk mendeskripsikan keadaan pada suatu kanal. Distribusi Rayleigh memiliki fungsi kerapatan probabilitas atau probability density function (pdf) pada persamaan 2.18 (Purwanto, 2015): 𝑝(𝑟) = { 𝑇 𝜎2𝑒𝑥𝑝 ( 𝑟2 2𝜎2) 0 (0 ≤ 𝑟 ≤ ∞) (𝑟 < 0) (2.18) dimana

σ adalah nilai rms dari level sinyal yang diterima sebelum detektor, σ2 adalah daya rata-rata waktu dari sinyal yang diterima sebelum detektor.

Probabilitas yang menunjukkan selubung dari sinyal yang diterima tidak melebihi dari suatu harga R tertentu, yang ditunjukkan dengan cumulative distribution function (CDF) atau fungsi distribusi komulatif persamaan 2.19 berikut (Purwanto, 2015).

𝑃(𝑅) = Pr(𝑟 ≤ 𝑅) = ∫ 𝑝(𝑟)𝑑𝑟 = 1 − exp (−0𝑅 2𝑎𝑅22) (2.19) Nilai rata-rata rmean dari distribusi Rayleigh adalah (Purwanto, 2015):

𝑟𝑚𝑒𝑎𝑛 = 𝐸(𝑟) = ∫ 𝑟, 𝑝(𝑟)𝑑𝑟 = 𝜎√ 𝜋 2 ∞

0 = 1,2533𝜎 (2.20)

Variance dari distribusi Rayleigh dinotasikan dengan, yang merepresentasikan daya pada sinyal selubung (Purwanto, 2015).

(20)

𝜎𝑟2 = 𝐸[𝑟2] − 𝐸2[𝑟] = ∫ 𝑟2𝑝(𝑟)𝑑𝑟 − 𝜎2𝜋 2 ∞

0 (2.21)

Gambar 2.11 Fungsi Kerapatan Probabilitas Rayleigh (Purwanto, 2015)

2.10 Tanggapan Impuls dari Kanal Multipath

Suatu gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari pemancar ke penerima akan mengalami bermacam-macam perlakuan yang disebabkan oleh media perambatan (kanal radio). Gelombang yang dipancarkan tersebut ada yang diterima secara langsung, ada pula yang mengalami refleksi,refraksi dan penghamburan yang dipengaruhi oleh benda-benda disekitarnya. Jadi sinyal yang diterima di penerima merupakan pejumlahan dari beberapa sinyal yang melalui beberapa lintasan sehingga menyebabkan tejadinya perubahan penguatan dan pergeseran fase (Rapaport, 2002).

Berdasarkan uraian tersebut, maka kanal radio bergerak dapat dimodelkan dengan filter linear dengan tanggapan impuls yang berubah terhadap waktu. Tanggapan impuls ini merupakan karakteristik kanal yang dapat digunakan untuk membandingan beberapa sistem komunikasi bergerak untuk kondisi kanal radio tertentu (Rapaport, 2002).

Dalam sistem diversitas pemancar, mengasumsikan bahwa kanal tidak bervariasi waktu,sehingga persamaan tanggapan impuls dari pemancar ke-m ke penerima ke-n diberikan persamaan (Nejib, 2010).

(21)

   6 1 ) ( ) ( k k k nm nm t h t t h  (2.22)

dengan h adalah proses acak Gaussian kompleks dengan rata-rata nol dan knm k nm h tidak berkorelasi , tk adalah excess delay dari lintasan yang ke-k.

2.11 Power Delay Profile

Beberapa parameter kanal multipath dapat diperoleh dari Power Delay Profile nya. Secara umum Power Delay Profile (PDP) merupakan hubungan antara daya yang diterima dengan excess delay. Excess delay adalah delay relatif dari suatu komponen multipath yang dibandingkan dengan komponen lintasan yang pertama diterima. Dalam penelitian ini menggunakan dua Power Delay Profile yaitu PDP di luar ruangan (outdoor) dan PDP di dalam ruangan (indoor). PDP di luar ruangan merupakan PDP pada kanal typical urban (TU) yang stationary (tanpa ada Dopler). PDP pada kanal typical urban dapat dilihat dalam Tabel 2.3 (Fazel, 2008),.

Tabel 2.3. PDP pada kanal Typical Urban (Fazel, 2008)

Path,k Path delay, tk [s] p(tk) [dB]

1 0.0 -3.0 2 0.199 0.0 3 0.502 -2.0 4 1.606 -6.0 5 2.307 -8.0 6 5.017 -10.0

2.12 Parameter Delay Spread

Gelombang yang merambat pada lintasan yang berbeda-beda mengakibatkan sinyal-sinyal multipath sampai pada penerima dengan variasi waktu tunda. Sebuah sinyal yang dikirimkan oleh pemancar, akan mengalami pelebaran di penerima yang disebut dengan delay spread. Delay spread ini dapat menimbulkan interferensi antar simbol, karena setiap simbol akan saling bertumbukan antara simbol sebelum dan sesudahnya. Parameter delay spread yang

(22)

sering ditulis dalam bentuk root mean square (rms) adalah rms delay spread yang diberikan persamaan (Rapaport, 2002):

2 2 ()

 

(2.23)

dengan _ merupakan mean excess delay yang dinyatakan dengan persamaan 2.24 dan 2.25

     k k k k k ) ( P ) ( P (2.24) dan

     k k k 2 k k 2 ) ( P ) ( P (2.25)

2.13 Teknik Pembentukkan Pulsa

Sebuah pulsa yang dilewatkan melalui kanal band yang terbatas, akan mengalami pelebaran dalam satuan waktu dan pulsa dari tiap simbol akan interferensi dengan simbol yang lain. Hal ini menyebabkan interferensi antar simbol (ISI) dan pada penerima akan terjadi kesalahan deteksi simbol. Salah satu teknik pembentukkan pulsa untuk mengurangi pengaruh interferensi antar simbol, yaitu tanggapan frekuensi raised-cosine dinyatakan dengan persamaan 2.26 (Rapaport, 2002) dan gambar spektrumnya dapat dilihat pada Gambar 2.12.

(1 ) , 0 2 1 (1 ) (1 ) ( ) 1 cos , 2 2 2 (1 ) 0, 2 RC T f T T X f T f f T T T f T                                (2.26)

(23)

Gambar 2.12 (a) Tanggapan Frekuensi Raised-Cosine (b) Pembentukkan Pulsa untuk Tanggapan Frekuensi Raised-Cosine

(Rapaport, 2002)

Tanggapan frekuensi raised cosine Xrc(f) dapat dilihat pada Gambar 2.12 untuk =0, =0,5 dan =1 . Hubungan tanggapan frekuensi raised cosine Xrc(f) dengan pulsa sinyal xrc(t) diperoleh dengan cara invers transfromasi Fourier, sehingga diperoleh persamaan:

2 cos / sin( / ( ) 1 (2 / ) / RC t T t T x t t T t T               (2.27)

2.14 Energy Bit per Noise

Eb/No (energy per bit to noise power spectral density ratio) adalah parameter yang biasa digunakan dalam komunikasi digital. Hal ini sangat berguna saat membandingkan performa bit error rate (BER) untukmodulasi digital yang berbeda-beda tanpa menyertakan parameter pita frekuensi. Parameter lain yang sering digunakan adalah Es/N0 (energy per symbol to noise power spectral density ratio) (Awirya, 2010).

2.15 Bit Error Rate

Dalam telekomunikasi, rasio error adalah rasio jumlah bit, elemen, karakter, atau blok yang diterima dengan salah dibanding jumlah total bit, elemen,

(24)

karakter, ataupun blok yang dikirim sepanjang interval waktu tertentu. Rasio yang paling sering ditemui adalah bit error ratio (BER). Contoh BER adalah jumlah kesalahan bit yang diterima dibagi dengan jumlah total bit yang dikirimkan. Biasanya kurva BER digambarkan dalam hubungan BER (dB) dengan SNR (dB) atau BER (dB) dengan Eb/No (dB) (Awirya, 2010).

Gambar

Gambar 2.1 Building Block Sistem DSSS dengan Modulasi BPSK  (Meel, 1999)
Gambar 2.3 Sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) Sederhana  (Purwanto, 2015)
Gambar 2.4 Teknik MIMO   (Purwanto, 2015)
Gambar 2.6 Skema STBC Alamouti dengan Dua Antena Pemancar dan Dua Antena Penerima   (Purwanto, 2015)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Carilah data terkecil dengan cara membandingkan data yang berada di urutan ke-1 (G) dengan data-data yang berada di urutan ke-2 (I) sampai urutan ke-8 (V), jika

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas kasih dan penyertaan-Nyalah sehingga penulis diberikan hikmat untuk menyusun dan menyelesaikan karya Tulis

usahatani di lahan kering yang terkendala dengan keterbatasan ketersediaan air antara lain: (1) memanfaatkan curah hujan dan irigasi suplemen dengan komoditas yang

Untuk mempermudah penelitian yang akan dilakukan dan mempertajam permasalahan yang akan dibahas, maka penulis membatasi permasalahan tersebut pada

Memenuhi Seluruh penerimaan kayu bulat CV Intraco dilengkapi dengan dokumen jual beli/nota atau kontrak suplai dan dokumen angkutan hasil hutan yang sah sesuai izin

Pelaporan keuangan berupa Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan, Koperasi Simpan Pinjam PGRI

Gambar 4.12 Tahap pembuatan interface game dari alternatif sketsa hingga hasil akhir

Kecerdasan emosi ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha