• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. bertujuan untuk melihat model, arah, dan temuan penelitian terkait untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. bertujuan untuk melihat model, arah, dan temuan penelitian terkait untuk"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan unsur penting dalam suatu penelitian yang bertujuan untuk melihat model, arah, dan temuan penelitian terkait untuk menunjukkan signifikansi dan memanfaatkan hasil-hasil penelitian sejenis berdasarkan data, konsep, model, metode, dan teori. Pada bagian ini, diuraikan kajian-kajian relevan yang pernah dilakukan terkait dengan situasi kebahasaan pada guyub tutur.

Tanner (1972) mengkaji sejumlah warga negara Indonesia yang tinggal di Amerika. Hasil penelitian menyatakan bahwa warga negara Indonesia tersebut memahami bahasa Inggris, BI, dan bahasa Jawa. Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa interaksi sehari-hari, baik formal maupun informal karena bahasa itu merupakan bahasa mayoritas guyub tutur di Amerika, sedangkan BI digunakan dalam interaksi sosial antarsesama anggota guyub tutur berasal dari Indonesia, dan bahasa Jawa cenderung digunakan oleh penutur sesama suku Jawa. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif yang menjadi tujuan akhir penelitiannya dengan melibatkan variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kesamaan asumsi dasar terkait dengan situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur

(2)

16

Tetun dan Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan itu merujuk pada BT dan BD sebagai media interaksi sosial antaranggota guyub tutur, selain BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara yang digunakan sebagai bahasa pemersatu antarguyub tutur.

Gal (1979) melakukan penelitian situasi kebahasaan pada guyub tutur di Obertwart dalam konteks kedwibahasaan Jerman-Hongaria. Hasil kajian itu menunjukkan bahwa situasi kebahasaan pada guyub tutur Jerman-Hongaria setelah perubahan Obertwart berubah dari wilayah pertanian menjadi wilayah perkotaan dengan perkembangan keanekaragaman sosial budayanya. Pada mulanya, bahasa Jerman dan Hongaria merupakan bahasa yang memiliki prestise tinggi bagi penuturnya masing-masing. Seiring dengan perjalanan waktu, kontak bahasa Hongaria dan bahasa Jerman yang sulit dihindari mengimplikasikan persaingan antarbahasa mayoritas dan minoritas.

Kajian Gal (1979) memadukan metode kuantitatif dan kualitatif yang melibatkan variabel sikap bahasa guyub tutur Hongaria dan Jerman di Obertwart. Variabel sikap bahasa yang terkait dengan perilaku guyub tutur mengacu pada sasaran tingkat loyalitas guyub tutur yang bersangkutan dalam menggunakan bahasanya secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah penggunaannya. Data diperoleh melalui sebaran kuesioner yang dilengkapi dengan wawancara terstruktur dikumpulkan dan diolah dengan metode kuantitatif. Selanjutnya, dianalisis dengan metode kualitatif berupa kata-kata dan kalimat untuk menjelaskan hasil kajiannya.

(3)

17

Secara signifikan, penelitian ini berbeda dengan penelitian Gal (1979) yang hanya menggunakan variabel sikap bahasa guyub tutur dan penggunaan bahasa sebagai data kajian untuk mengidentifikasi situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan. Untuk menjawab masalah penelitian ini, pengumpulan data menggunakan variabel kedwibahasaan dan pola-polanya, sikap bahasa, dan pilihan bahasa untuk menentukan tingkat penguasaan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

Chidambaram (2000) mengkaji alih kode pada masyarakat Cochin Tamil di India dan perilaku penggunaan alih kode antara bahasa Cina dan bahasa Inggris oleh masyarakat dwibahasa. Kajian itu dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif yang memfasilitasi proses kegiatan penelitian kualitatif yang menjadi tujuan akhir penelitiannya. Penelitian ini menggunakan variabel bebas dan variabel terikat.

Hasil kajian Chidambaram (2000) tersebut menunjukkan adanya korelasi pola kedwibahasaan dalam kaitannya dengan alih kode pada guyub tutur Tetun dan Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan yang disebabkan oleh: (1) adanya perubahan pada perilaku anggota guyub tutur Tetun dan Dawan yang memengaruhi penggunaan bahasa dalam konteks kedwibahasaan, dan (2) perubahan perilaku guyub tutur Tetun dan Dawan dalam penggunaan bahasa yang membentuk pola-pola kedwibahasaan, seperti diglosia, campur kode, dan alih kode dipengaruhi oleh tingkatan umur, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.

Samuel (2004) mengkaji kemultibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Nigeria dan Republik Benin di Afrika Barat. Kemultibahasaan di

(4)

18

kawasan tersebut terjadi akibat kontak antarbahasa Inggris (British), Yoruba, dan Egun yang digunakan oleh guyub tutur di wilayah Nigeria dan bahasa Perancis, Yoruba, dan Adja-Ewe yang digunakan guyub tutur di wilayah Republik Benin. Kawasan perbatasan Nigeria-Republik Benin dimaksud, tidak hanya menggambarkan perbatasan wilayah hunian kedua guyub tutur secara administratif, tetapi juga menggambarkan kawasan batas kedua bahasa yang digunakan kedua kelompok guyub tutur mayoritas yang berimplikasi terhadap fakta-fakta sosial, di antaranya fakta kebahasaan.

Penelitian Samuel (2004) tersebut meletakkan fundamental yang kuat bagi penelitian berikutnya tentang kedwibahasaan mengacu pada faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa oleh anggota guyub tutur di Indonesia pada umumnya, dan khususnya guyub tutur Tetun dan Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan gambaran ilmiah yang mengindikasikan atau mendeteksi adanya perubahan sikap bahasa guyub tutur yang berpengaruh terhadap perubahan sosialnya sesuai dengan perkembangan zaman kearah yang lebih baik untuk mencapai harmoni sosial yang menunjukkan identitas etnis dan sosial budayanya.

Haesook (2006) melakukan penelitian tentang situasi kebahasaan pada sekelompok guyub tutur Korea yang menetap di Amerika yang menguji tujuan alih kode dan cara alih kode digunakan sebagai strategi komunikatif dwibahasawan Korea-Inggris. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haesook menyatakan bahwa alih kode terjadi karena kedinamisan hubungan penutur dan

(5)

19

mitra tutur serta ciri budaya Korea yang sangat melekat pada penutur Korea yang berfungsi sebagai strategi komunikatif antarkeluarga dan identitas budaya.

Hasil kajian Haesook (2006) menggambarkan situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur Tetun dan Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan yang merupakan produk kontak antarBT, BD, BI, dan BA. Situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan ini mengacu pada alih kode yang digunakan sebagai strategi komunikasi dwibahasawan BT-BD mencirikan kedinamisan hubungan antara penutur dan mitra tutur budaya Timor yang melekat kuat pada penutur masing-masing kelompok guyub tutur. Sikap bahasa guyub tutur yang demikian, menyiratkan upaya guyub tutur untuk mempertahankan bahasa dan budaya sebagai identitas etnis Tetun dan Dawan dalam kerangka kesatuan budaya Timor.

Korelasi langsung kedua penelitian ini terletak pada sikap bahasa guyub tutur yang positif terhadap bahasanya untuk tetap terlibat dalam penerapan kedwibahasan dalam peristiwa tutur. Dengan demikian, sikap bahasa yang tetap konsisten dapat mendukung dalam mengungkap masalah penelitian ini yang meliputi (1) situasi kebahasaan pada guyub tutur Tetun dan Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan, (2) pilihan bahasa oleh guyub tutur Tetun Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan, dan (3) faktor-faktor yang memengaruhi pilihan bahasa pada guyub tutur Tetun dan Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan.

Mulyasari (2010) menggambarkan pemerolehan bahasa merupakan proses yang menakjubkan bagi setiap anak. Pernyataan itu didukung pendapat Finegan

(6)

20

(1992:15) yang menyatakan bahwa semua bahasa sama menantangnya untuk diperoleh sebagai bahasa ibu yang cenderung menimbulkan kedwibahasaan pada anak. Kedwibahasaan anak prasekolah ternyata tidak menghalangi kemampuan anak berkomunikasi dengan setidak-tidaknya dua bahasa secara bergantian dengan tingkat kemampuan yang sama. Dengan demikian, proses terbentuknya kedwibahasaan sudah dimulai sejak anak-anak prasekolah yang menggunakan sekurang-kurangnya dua bahasa, yaitu bahasa bahasa daerah, bahasa Indonesia (BI), dan bahasa lain. Pemerolehan dua bahasa secara bersamaan (simultaneously language acquisition) dan penggunaannya secara bergantian sesuai dengan peristiwa tutur (Lightbown, et al., 1999:3), tidak menghambat anak-anak prasekolah untuk berkomunikasi dan terlibat dalam kegiatan yang dilakukan di lingkungan keluarga dan sekolah.

Kajian Mulyasari (2010) memberikan asumsi dasar bahwa proses terbentuknya kedwibahasaan pada anak-anak dimulai di lingkungan keluarga yang ditandai dengan orang tua mentransmisikan bahasa pertama dan bahasa kedua (BI) secara bersama-sama kepada generasi berikutnya. Asumsi itu sangat beralasan apabila bahasa daerah atau bahasa ibu dan BI memiliki prestise seimbang dalam ranah keluarga dan ketetanggaan. Sebaliknya, jika dilihat dari penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan, BI memiliki prestise lebih tinggi daripada bahasa daerah.

Asumsi yang berhugungan dengan situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur Tetun dan Dawan di kawasan perbatasan Tetun-Dawan itu memiliki relevan bila dilihat dari proses terbentuknya kedwibahasaan

(7)

21

pada anak yang ditandai dengan pemerolehan dan penguasaan BT dan BD. Dengan demikian, anak-anak prasekolah di kawasan perbatasan Tetun-Dawan mampu berkomunikasi dengan dua bahasa mayoritas itu dengan baik dalam ranah keluarga dan ketetanggaan.

Margana (2012) mengkaji pola kedwibahasaan dengan fokus (1) penggunaan kode oleh guru bahasa Inggris SMA di daerah Istimewa Yogyakarta; (2) arah alih kode; (3) tataran alih kode; (4) konfigurasi bahasa-bahasa yang dialihkodekan; (5) kaidah-kaidah yang mengatur alih kode dan bentuk alih kode reiterasi; dan (6) alasan dan fungsi penggunaan alih kode yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris SMA di daerah Istimewa Yogyakarta dalam pengajaran bahasa Inggris di kelas.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Margana (2012) menunjukkan bahwa alih kode yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris SMA dalam berkomunikasi di kelas memiliki pola arah yang jelas yakni dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Pola arah alih kode dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia digunakan sebagai matriks dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sisip.

Kajian Margana (2012) menunjukkan adanya sikap bahasa yang mengacu pada kedwibahasaan dalam ranah pendidikan. Peristiwa tutur dalam ranah pendidikan yang mendukung pola kedwibahasaan juga memberikan asumsi bahwa guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami hal yang sama. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh pendapat Poplack (1980) dan (Goyvaerts, et al.,

(8)

22

1992) yang menyatakan bahwa pola-pola kedwibahasaan yang digunakan dalam peristiwa tutur, seperti alih kode, campur kode, silang kode, dan interferensi bahasa tidak dapat dihindari ketika penutur sekurang-kurangnya menguasai dua bahasa.

2.2Konsep

Konsep-konsep yang mengacu penelitian ini merupakan penjelasan arti atau definisi operasional untuk mendukung analisis atau pemecahan permasalahan, yang meliputi (1) situasi kebahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan, (2) pilihan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan, dan (3) faktor-faktor yang memengaruhi pilihan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan. Konsep-konsep itu meliputi situasi kebahasaan, penggunaan bahasa, ranah penggunaan bahasa, guyub tutur, dan sikap.

2.2.1Situasi Kebahasaan

Situasi kebahasaan merupakan fakta sosial yang menempatkan bahasa sebagai sistem lambang atau kode, tingkah laku budaya, dan pragmatik dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia pada umumnya merupakan masyarakat dwibahasawan yang ditandai dengan penguasaan dan penggunaan sekurang-kurangnya dua bahasa sebagai media interaksi sosial. Situasi kebahasaan seperti itu menggambarkan bahwa telah terjadi kontak bahasa yang dapat menimbulkan peristiwa diglosia, poliglosia, alih kode, silang kode, interferensi bahasa, pergeseran bahasa, dan pemertahanan bahasa. Penggunaan bahasa dapat diartikan

(9)

23

sebagai cara penutur menggunakan potensi-potensi bahasa yang dikuasai sesuai dengan sosiokulturalnya.

Situasi kebahasaan yang menjadi kajian penilitian ini merujuk pada penggunaan bahasa yang meliputi BT, BD, dan BI. Penggunaan bahasa terkait dengan pilihan bahasa merupakan implikasi dari kontak bahasa yang terjadi di kawasan perbatasan tersebut melibatkan kelompok guyub tutur Tetun dan Dawan. Dengan kata lain, penggunaan BT dan BD mengacu pada cara masing-masing penuturnya menggunakan bahasa itu di dalam kehidupan nyata yang mencerminkan perilaku dan fenomena sosial penutur BT dan BD dalam kerangka budaya Timor. Kajian ini mengarah pada penggunaan bahasa dalam ranah keluarga, pendidikan, adat, ketetanggaan, keagamaan, dan pemerintahan.

2.2.2Penggunaan Bahasa

Penggunaan bahasa dapat diartikan sebagai cara seorang penutur menggunakan potensi-potensi bahasa yang dikuasainya berhubungan dengan situasi sosiokultural penuturnya sebagai media interaksi sosial sehari-hari dalam guyub tutur. Dengan kata lain, penggunaan BT dan BD mengacu pada bagaimana BT dan BD digunakan di dalam pranata kehidupan nyata guyub tutur BT dan BD yang mencerminkan perilaku dan fenomena sosial penuturnya. Dengan demikian, kajian yang dilakukan tentang situasi kebahasaan pada guyub tutur menunjuk pada penggunaan BT dan BD adalah lebih pada ranah penggunaannya daripada seluk beluk tata bahasa.

Situasi kebahasaan yang menjadi kajian penilitian ini terkait dengan penggunaan bahasa, fungsi bahasa, dan alasan-alasan yang mendasari penggunaan

(10)

24

suatu bahasa. Penggunaan bahasa yang dimaksud adalah pilihan BT, dan BD sebagai interaksi sosial dalam guyub tutur Tetun dan Dawan. Penggunaan bahasa terkait dengan pilihan bahasa merupakan implikasi dari kontak bahasa yang terjadi di kawasan perbatasan tersebut melibatkan kelompok guyub tutur Tetun dan Dawan. Dengan kata lain, penggunaan BT dan BD mengacu pada cara masing-masing penuturnya menggunakan bahasa itu di dalam kehidupan nyata yang mencerminkan perilaku dan fenomena sosial penutur BT dan BD dalam kerangka budaya Timor. Kajian ini mengarah pada penggunaan bahasa dalam ranah keluarga, pendidikan, adat, ketetanggaan, keagamaan, dan pemerintahan.

Situasi kebahasaan yang menunjuk pada penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam peristiwa tutur mengisyaratkan kedwibahasaan. Konsep kedwibahasaan mengacu pada keadaan suatu komunitas linguistik yang berada di lingkungan kontak dua bahasa mengimplikasikan dua kode yang dapat digunakan dalam interaksi yang sama dalam kelompok individu bilingual tercakup konsep bilingualitas. Kedwibahasaan adalah kondisi psikologis individu yang memiliki akses pada lebih dari satu kode bahasa sebagai sarana komunikasi sosial, tingkat kemampuan akses akan bervariasi sesuai dengan dimensi psikologis, kognitif, psikolinguistik, psikologi sosial, sosial, sosiologi, sosiolinguistik, dan linguistik (Hammers, 1981: 5).

The concept of bilingualism refers to the state of a linguistic community in which two languages are in contact with the result that two codes can be used in the same interaction and that a number of individuals are bilingual (societal bilingualism); but it also includes the concept of bilinguality (individual bilingualism). Bilinguality is the psychological state of an individual who has access to more than one linguistic code as a means of social communication; the degree of access will vary along a number of dimensions which are psychological, cognitive, psycholinguistic, social

(11)

25

psychological, social, sociological, sociolinguistic, sociocultural and linguistic.

Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa persaingan antarbahasa menimbulkan penggunaan bahasa tertentu dianggap lebih prestise daripada bahasa yang lain dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Selanjutnya, Fasold (1984: 180) menggambarkan dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa yang memungkinkan terjadinya pilihan bahasa yang dilakukan mayarakat terhadap variasi bahasa. Variasi bahasa atau sering disebut juga ragam bahasa menurut penggunaanya, disebabkan adanya interaksi sosial yang dilakukan oleh guyub tutur dwibahasa yang beraneka ragam.

2.2.3Guyub Tutur

Istilah guyub tutur lahir dari kesadaran mengenai hubungan bahasa dan masyarakat yang mengisyaratkan bahwa bahasa digunakan dalam realitas kehidupan sosial kelompok masyarakat. Pandangan ini mengimplikasikan bahwa bahasa bukan hanya menyandang fungsi komunikatif melainkan juga mengemban fungsi integratif yang dapat menyatupadukan anggota kelompok masyarakat bersangkutan dalam satu kesatuan hidup bersama (Cassirier, 1997), yang dalam perspektif sosiolinguistik dikenal dengan sebutan atau istilah guyub tutur (speech community). Lyons (1970), menyatakan bahwa guyub tutur adalah orang-orang yang menggunakan suatu bahasa ataupun dialek. Hockett (1958), menyatakan bahwa guyub tutur adalah orang-orang yang dapat berkomunikasi satu sama lain.

(12)

26

Pengertian Hockett ini mengandung pengertian bahwa guyub tutur mencakup orang yang berjauhan secara geografis.

Gumperz (1982), guyub tutur adalah penutur yang menggunakan tanda verbal yang saling dipahami. Hal pemahaman berkaitan dengan pemakaian bahasa merupakan persoalan tersendiri di dalam mengidentifikasi guyub tutur. Kesalingpahaman tanda verbal oleh sekelompok orang tidak dapat dijadikan alasan untuk mengelompokkan penutur ke dalam satu guyub tutur. Selanjutnya, Halliday (1985) menyatakan bahwa guyub tutur adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri memakai satu bahasa. Batasan guyub tutur yang berpatokan pada anggapan dapat dilihat dari sisi sebaliknya, yakni sekelompok orang yang memiliki bahasa yang sama mungkin tidak menganggap menggunakan bahasa yang sama.

Melihat batasan-batasan di atas, kedwibahasaan memiliki pengertian yang luas sehingga sulit mengukur derajat kemampuan berbahasa setiap penutur dalam guyub tutur. Mackey (1973) dan Alwasilah (1993:108) menyatakan bahwa kedwibahasaan dapat dilihat berdasarkan empat aspek sebagai berikut.

(1) Degree, yaitu tingkat kemampuan kedua bahasa dalam ketrampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat ketrampilan tersebut mencakup tataran fonologi, gramatika, leksis, semantik, dan stilistik.

(2) Function, yaitu fungsi atau pemakaian bahasa yang dapat memengaruhi tingkat kefasihan berbahasa. Artinya, semakin sering seorang penutur menggunakan suatu bahasa, semakin fasih penutur tersebut berbicara bahasa itu.

(13)

27

(3) Alternation, yaitu peralihan dari suatu bahasa ke bahasa lain yang dipengaruhi latar belakang toipik tutur, mitra tutur, dan ketegangan (tension).

(4) Interference, yaitu kekeliruan yang dipengaruhi oleh kebiasaan tuturan bahasa ibu ke dalam bahasa kedua. Hal itu dapat terjadi pada tataran ucapan, tata bahasa, kosa kata, dan makna budaya.

Para ahli bahasa di atas memberikan batasan beragam mengenai konsep guyub tutur yang merefleksikan karakteristik khas guyub yang dikaji. Secara umum, istilah guyub tutur merujuk pada sekelompok orang yang melakukan interaksi sosial dengan menggunakan bahasa tertentu (Swann, et al., 2004:293).

The term ‘speech community' is used to refer to people who are in habitual contact with each other by means of (a common) language.

Dengan meminjam definisi Labov (1972:120-121), istilah guyub tutur bukan hanya mengacu pada penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan juga penerapan kaidah-kaidah penggunaan bahasa yang berpengaruh terhadap perilaku penuturnya.

The speech community is not defined by any marked agreement in the use of language elements, so much as by participation in a set of shared norms; these norms may be observed in overt types of evaluative behavior, and by the uniformity of abstract patterns of variation which are invariant in respect to particular levels of usage.

Hal senada disampaikan Fishman (1972) bahwa guyub tutur merupakan sekelompok masyarakat yang anggotanya mengenal sekurang-kurangnya satu variasi bahasa beserta norma-norma penggunaannya yang tepat. Selanjutnya, Hammers (2003:277) menyatakan bahwa konsep guyub tutur lebih luas dari masyarakat bahasa. Fishman (1972) mengembangkan konsep guyub tutur yang menyatakan bahwa guyub tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya

(14)

28

mengenal sekurang-kurangnya satu variasi bahasa beserta norma-norma penggunaannya secara tepat dalam peristiwa tutur. Pernyataan itu mengisyaratkan adanya tiga komponen dalam suatu guyub tutur, yaitu sekelompok orang, setidak-tidaknya menggunakan satu bahasa atau variasi bersama, dan norma penggunaannya.

Bahasa digunakan dalam realitas kehidupan guyub tuturnya bukan hanya merupakan entitas yang berdiri sendiri, melainkan juga secara fungsional dan maknawi dengan kebudayaan yang dianut oleh guyub tutur yang bersangkutan. Hubungan bahasa dan kebudayaan itu menyatu dalam karakteristik bentuk dan makna satuan kebahasaan yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan tradisional yang di dalamnya tersirat seperangkat persepsi tentang signifikasi harmoni sosial. Frawley (1992:59-60) mengatakan bahwa makna bahasa merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan kategorisasi dalam dunia, sehingga bentuk atau struktur dan makna bahasa tersebut dilihat sebagai wadah yang berisi gambaran berkas mental warga guyub tutur yang menjadi subjek penutur bahasa bersangkutan.

Penggunaan bahasa sebagai unsur kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan tradisional (Kupper, dkk., 2000). Bentuk atau struktur satuan kebahasaan yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan tradisional merupakan wadah makna yang menyingkap seperangkat persepsi yang dianut warga kelompok masyarakat bersangkutan tentang dunia (Frawley, 1992; De Vito, 1970).

(15)

29

Salah satu persepsi yang tersirat dalam satuan kebahasaan itu adalah keselarasan hubungan sosial kemasyarakatan yang terwujud dalam norma dan kaidah sosial budaya warisan leluhur. Norma dan kaidah sosial budaya tersebut berfungsi sebagai sarana pembentukan moral dan pedoman etika bagi anggota masyarakat bersangkutan untuk menata sikap dan perilaku mereka dalam melestarikan harmoni sosial. Persepsi itu mengisyaratkan pula bahwa bahasa yang digunakan dalam realitas kehidupan satu kelompok masyarakat, selain menyandang fungsi komunikatif, juga mengemban fungsi integratif yang dapat menyatupadukan warga kelompok masyarakat bersangkutan dalam satu kesatuan hidup bersama (Cassirier, 1987), yang dalam perspektif sosiolinguistik dikenal dengan sebutan atau istilah guyub tutur.

2.2.4Sikap

Triandis (1974) mendefinisikan sikap sebagai kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sikap menimbulkan perasaan suka atau tidak suka terhadap objek. Sikap merujuk pada kecenderungan yang dipelajari untuk berfikir, merasakan, dan berperilaku terhadap sesuatu atau orang dengan cara tertentu. Dengan kata lain, sikap itu tidak muncul secara alamiah pada diri seseorang, tetapi melalui pembelajaran.

Sikap dapat dikaji melalui paradigma behavior ‘perilaku’ yang mendefinisikan sikap sebagai respon yang dibuat oleh seseorang pada situasi sosial yang berhubungan dengan aspek kebahasaan. Hal itu mengindikasikan

(16)

30

bahwa sikap hanya teramati pada tindak tanduk nyata seseorang pada situasi sosial terkait dengan aspek kebahasaan melalui indra. Dengan kata lain, peneliti perlu mengamati, menabulasi, dan menganalisa perilaku yang tampak untuk mengkaji sikap seseorang terkait dengan aspek kebahasaan dan sosiokulturalnya. Dengan demikian, kajian ini dapat memaparkan situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan, pilihan bahasa, dan faktor-faktor yang memengaruhi pilihan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan.

Situasi kebahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan, dalam penelitian ini merujuk pada sikap bahasa yang terangkum dalam konsep kesantunan berbahasa mengacu pada pilihan bahasa sesuai dengan norma budaya yang berlaku dalam guyub tutur Tetun atau Dawan. Guyub tutur Tetun dan Dawan merupakan dua kelompok etnis besar yang memiliki bahasa dan latar belakang sosial budaya berbeda. Masing-masing guyub tutur tersebut memiliki bahasa berbeda yang menunjukkan corak budaya yang berbeda pula. Artinya, bahasa itu memengaruhi kebudayaan suatu guyub tutur yang tercermin pada sikap bahasa penutur dan perilaku penutur tehadap bahasa dan budayanya.

2.3Landasan Teori

Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah di atas, maka diperlukan konsep pemikiran dan teori linguistik yang dapat memberikan jawaban penelitian. Permasalahan situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan itu dipecahkan dengan menggunakan teori sosiolinguistik yang merujuk pada kedwibahasaan, diglosia,

(17)

31

poliglosia, alih kode, campur kode, silang kode, dan interferensi bahasa yang mengacu pada sikap bahasa, dan pilihan bahasa pada guyub tutur dan ranah penggunaannya.

2.3.1Analisis Ranah

Bolinger (1975:14) menjelaskan bahwa manusia menggunakan bahasa secara kreatif sesuai dengan konteks pemakaiannya. Dengan kata lain, penggunaan bahasa atau variasinya yang dipilih oleh penutur terkait dengan ranah penggunaan bahasa. Dalam hal ini, ranah dipahami sebagai unsur yang berfungsi untuk membantu penutur memilih suatu bahasa yang dianggap tepat sesuai dengan situasi dan topik tutur. Selanjutnya, Fishman (1972) mendefinisikan ranah sebagai konstruk sosial yang berupaya untuk menjembatani situasi sosial dan perilaku bahasa yang diabstraksi dari topik tutur, hubungan antarperan partisipan, dan lokasi peristiwa tutur. Dengan demikian, pernyataan itu mengimplikasikan bahwa penutur memiliki pilihan bahasa atau variasinya yang tepat sesuai dengan topik tutur, dan hubungan antarperan partisipan, dan lokasi tutur. Ranah terkait dengan penggunaan bahasa dipandang sebagai konstruksi sosial budaya yang diabstraksikan dari latar, hubungan antarperan sesuai dengan sosiokultural masyarakat yang bersangkutan (Fishman, 1972:587).

Topik tutur merupakan faktor penting bagi ranah karena penutur memiliki kecenderungan untuk menentukan pilihan bahasa yang mencerminkan keteraturan terkait dengan aktivitas sosial guyub tutur. Hubungan antarperan partisipan mengisyaratkan hak dan kewajiban antaranggota guyub tutur secara resiprokal atau timbal balik. Setiap anggota guyub tutur dapat memerankan peran yang

(18)

32

diharapkan bagi penutur dan mitra tutur yang berlaku secara benar berdasarkan peran-peran itu. Lokasi merupakan tempat terjadinya peristiwa tutur berpengaruh terhadap pilihan penggunaan bahasa. Dengan demikian, setiap bahasa memiliki fungsi dan peran sesuai dengan ranah penggunaannya.

Fishman (1972) dan Greenfield (1972) merumuskan lima ranah penggunaan bahasa pada guyub tutur, yakni ranah keluarga, ranah pertemanan, ranah keagamaan, ranah pendidikan, dan ranah pekerjaan. Berbeda dengan rumusan Fishman (1972) dan Greenfield (1972), Barker (1974) merumuskan ranah secara berbeda berdasarkan analisis sosial-psikologi yang terdiri atas intimasi, informal, formal, dan intrakelompok.

Analisis ranah merupakan faktor penting dalam penelitian tentang situasi kebahasaan terkait dengan pilihan bahasa dalam masyarakat dwibahasa. Dengan demikian, ranah penggunaan bahasa merupakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya peristiwa tutur dan keterkaitan (constellation) antara lokasi, topik dan partisipan (Fishman, 1972).

Ranah penggunaan bahasa yang dipetakan untuk menjawab rumusan masalah situasi kebahasaan terkait dengan pilihan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan meliputi (1) ranah keluarga yang mencakup interaksi sosial antarsesama anggota keluarga, (2) ranah pendidikan yang mencakup interaksi sosial antarpeserta didik, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan, (3) ranah adat yang mencakup penggunaan bahasa dalam tuturan ritual atau upacara adat perkawinan, kehamilan, kematian, dan pertanian, (4) ranah ketetanggaan, (5) ranah keagamaan yang mencakup penggunaan bahasa

(19)

33

sebagai pengantar kotbah di tempat-tempat ibadah, dan (6) ranah pemerintahan yang mencakup interaksi sosial antarpelibat penutur dan mitra di lingkungan kantor. Dengan demikian, situasi kebahasaan terkait dengan pilihan bahasa yang digunakan untuk berinteraksi sosial dalam ranah-ranah tersebut dapat memberikan gambaran perilaku bahasa yang menunjuk pada kedwibahasaan dan pola-polanya, seperti diglosia, alih kode, dan campur kode.

2.3.2Pilihan Bahasa

Pilihan bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa juga merupakan kajian menarik dari perspektif sosiolinguistik karena objek kajiannya mengacu pada situasi kebahasaan dalam masyarakat bahasa (Fasold, 1984:180). Fasold menyatakan bahwa pilihan bahasa merupakan implikasi dari suatu kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat yang menimbulkan penggunaan variasi bahasa.

Pilihan bahasa erat kaitannya dengan situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan dalam masyarakat. Seseorang mampu menyesuaikan diri untuk menggunakan bahasa yang tepat untuk berkomunikasi dengan mitra tuturnya sesuai dengan latar belakang sosial budaya yang melekat pada dirinya. Masalah pilihan bahasa dapat dipandang sebagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat dwibahasa. Dalam satu topik pembicaraan tertentu beserta beberapa kondisi sosial budaya yang menyertainya. Satu variasi bahasa cenderung lebih dipilih untuk digunakan daripada variasi bahasa yang lain, secara sadar atau tidak oleh penutur. Hal ini, disebabkan adanya penyesuaian yang dilakukan penutur untuk memenuhi kebutuhan berbahasa. Menurut Sumarsono (2002:200-204) terdapat tiga jenis

(20)

34

pilihan bahasa dalam kajian sosiolinguistik, yakni alih kode, campur kode, dan variasi kode dalam bahasa yang sama (variation within the same language).

2.3.3Kedwibahasaan

Kedwibahasaan merupakan situasi kebahasaan yang menarik dalam guyub tutur. Istilah kedwibahasaan dalam sosiolinguistik mengacu pada fenomena diglosia, poliglosia, alih kode, campur kode, silang kode, interferensi bahasa, pilihan bahasa, dan sikap bahasa. Selanjutnya, Haugen (1966:7) mengungkapkan bahwa kedwibahasaan sebagai kemampuan dan pemahaman seseorang dalam menggunakan satu bahasa dengan lancar dan juga kemampuan menghasilkan ujaran bahasa lain yang bermakna. Pernyataan Haugen itu mengisyaratkan seseorang diklasifikasikan sebagai dwibahasawan sejak awal pemerolehan bahasa ke dua (B2).

Bilingualism is defined bilinguals as individuals who are fluent in one language but who can produce complete meaningful utterances in the other language.This definition allows even early-stage L2 learners to be classified as bilinguals.

Lightbown (1993:3), menyatakan bahwa dwibahasawan dibagi atas dua jenis, yakni dwibahawan simultan dan dwibahasawan majemuk. Dwibahawan simultan adalah seseorang yang menguasai dua bahasa sejak kecil dan mampu menggunakannya dalam waktu yang bersamaan dalam peristiwa tutur. Dwibahasawan majemuk adalah seseorang yang mampu menggunakan dua bahasa secara bergantian sesuai dengan peristiwa tutur.

Simultaneous bilinguals are those who are exposed to both languages since birth, similar to compound bilinguals who are those who use both languages at the same time while a coordinate bilingual is someone who uses different languages at different times for different purposes.

(21)

35

Pendapat Haugen (1966) dan Lightbown (1993) tersebut di atas memiliki keunggulan yang mengisyaratkan bahwa dwibahasawan sebagai seseorang yang memeroleh dua bahasa sejak awal dan mampu menggunakannya dalam waktu yang bersamaan dalam peristiwa tutur. Proses pemerolehan dua bahasa sejak awal sangat memungkinkan bagi seorang penutur karena di era globalisasi, guyub tutur pada umumnya dihadapkan pada situasi kontak bahasa. Pernyataan itu juga sangat beralasan karena naluri kebahasaan bawaan pada anak yang secara alami menyesuaikan sistem komunikasi yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, penutur yang bersangkutan mengisyaratkan pemahaman dan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Selanjutnya, pendapat itu dipertegas oleh Lightbown (1999:16) yang menyatakan bahwa naluri kebahasaan bawaan pada masa anak-anak sangat memungkinkan untuk menguasai bahasa-bahasa di seluruh dunia, bersifat "universal". Artinya, anak-anak dilahirkan dengan sejumlah kemungkinan memilih bahasa untuk berkomunikasi sesuai dengan peristiwa tutur, dan secara otomatis mampu menggunakannya secara bergantian.

...later called this innate skill Universal Grammar implying that all children are endowed with a set of linguistic principles that apply to all languages around the world, thus the name “universal”. He further claimed that children are born pre-wired with a number of possible options of language to use and once exposed to limited specimen of the language, they automatically know how that language works-they are “switched on” to that language.

Butler (2006:129) menyatakan bahwa dwibahasawan merujuk pada seseorang atau guyub tutur yang memahami dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Kedwibahasaan adalah tindak tutur yang mengacu pada sosiokultural dan

(22)

36

psikologis yang kompleks serta memiliki aspek-aspek multidimensi. Butler tidak membatasi seseorang disebut dwibahasawan sejati.

Bilinguals are often broadly defined as individuals or groups of people who obtain the knowledge and use of more than one language. However, bilingualism is a complex psychological and socio-cultural linguistic behavior and has multi-dimensional aspects. There is no agreed-upon definition of bilingualism among researchers. How much one needs to “know” of more than one language in order to be qualified as “a bilingual individual.

Lain halnya dengan pendapat Fasold (1985) yang merumuskan kedwibahasaan dengan rumusan yang longgar bahwa seorang dwibahasawan tidak harus menguasai dua bahasa secara aktif. Penguasaan B2 secara pasif dapat diklasifikasikan sebagai dwibahasawan. Penguasaan dua bahasa dianggap sebagai menguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau bahasa yang sama.

Tarigan (2009:2) menyatakan bahwa kedwibahasaan merupakan perihal pemakaian dua bahasa, seperti bahasa daerah di samping bahasa nasional. Hal itu menggambarkan bahwa situasi kebahasaan dalam masyarakat Indonesia pada umumnya kedwibahasaan. Kedwibahasaan yang dikemukakan oleh Tarigan tidak membatasi tingkat pemahaman seseorang terhadap dua bahasa atau lebih.

Nababan (1993:27) menyatakan bahwa kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi sosial. Dalam berinteraksi, situasi dan kondisi yang dialami seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa/ragam bahasa dan menimbulkan terjadinya alih kode dan campur kode dalam pemakaian bahasa. Alih kode merujuk pada penggunaan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa lain pada keperluan yang lain,

(23)

37

sedangkan campur kode adalah penggunaan suatu bahasa tertentu dengan menyisipkan unsur-unsur bahasa lain.

Suwito (1985:39) menyatakan bahwa ada beberapa tingkat kemampuan berbahasa seorang dwibahasawan yang diklasifikasikan dalam tipologi kedwibahasaan, yakni (1) kedwibahasaan majemuk (compound bilingualism) adalah kemampuan seorang dwibahasawan menggunakan salah satu bahasa lebih baik daripada bahasa yang lain; (2) kedwibahasaan koordinatif (coordinative bilingualism), adalah kemampuan seorang dwibahasawan menggunakan dua bahasa yang sama baiknya; (3) kedwibahasaan sub-ordinatif (sub-coordinative bilingualism), adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang dwibahawan dalam peristiwa tutur; (4) kedwibahasaan awal (inception bilingualism), adalah kedwibahasaan sedang dalam proses pemerolehan B2; (5) kedwibahasaan horizontal (horizontal bilingualism), adalah penggunaan dua bahasa yang masing-masing memiliki status sejajar dalam situasi formal dan nonformal; (6) kedwibahasaan vertikal (vertical bilingualism), adalah kemampuan seorang dwibahasawan dalam menggunakan dua bahasa sebagai bahasa baku dan dialek; (7) kedwibahasaan diagonal (diagonal bilingualism), adalah penggunaan dua bahasa dialek atau atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu; (8) kedwibahasaan produktif (productive bilingualism), adalah kemampuan seorang dwibahasawan terhadap seluruh keterampilan berbahasa seperti berbicara, menyimak, membaca dan menulis; dan (9) kedwibahasaan

(24)

38

reseptif (reseptive bilingualism), adalah kemampuan seorang dwibahawan terhadap B2 secara pasif.

Scotton (2006:3) menyatakan bahwa kedwibahasaan adalah pemahaman dua bahasa secara lisan dan tulis yang diperoleh sejak masa kanak-kanak. Dengan kata lain, seorang penutur dikatakan dwibahasawan apabila mampu menggunakan bahasa pertama dan kedua dengan tingkat yang sama baik secara lisan atau tulis. Selanjutnya, Edwards (2005:37) menyatakan bahwa kedwibahasaan sebagai pemahaman dua bahasa secara seimbang baik tulis maupun lisan yang digunakan secara bergantian dalam suatu percakapan.

Mackey (1972:554) menggambarkan penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh penutur yang sama pada masyarakat dwibahasa dipengaruhi oleh beberapa faktor komponen tutur. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang digunakan.

Batasan kedwibahasaan tersebut di atas, diharapkan dapat menjawab permasalahan yang terkait dengan situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sehubungan dengan latar belakang penelitian ini, yakni fenomena kedwibahasaan merupakan situasi kebahasaan yang sangat kompleks yang memungkinkan setiap peneliti memiliki persepsi dan interpretasi yang berbeda. Selanjutnya, Baker (2001:2) menyatakan bahwa perbedaan persepsi dan interpretasi diakibatkan karena istilah kedwibahasaan tidak sekadar merujuk pada penggunaan dua bahasa

(25)

39

atau lebih melainkan penggunaan dua kode (variasi bahasa). Kedwibahasaan erat kaitannya dengan penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang dwibahasawan dalam guyub tutur. Selanjutnya, Butler (2006:114) menggambarkan kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seorang penutur yang sama. Penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh seorang dwibahasawan sangat tergantung pada kondisi dan situasi.

Beberapa teori yang disampaikan para pakar tersebut nampaknya sulit mengkategorikan bahwa penutur sebagai dwibahasawan karena pada umumnya bahasa yang dikuasai tidak seimbang dengan bahasa lain. Ketidakseimbangan penguasaan bahasa tersebut sangat tergantung pada bahasa yang dominan dipergunakan dalam komunikasi (Karosas, 2004). Selanjutnya, May (2004) mengemukakan bahwa salah satu bahasa yang dimiliki oleh sebagian besar dwibahasawan cenderung lebih kuat dan lebih dominan daripada bahasa lain.

Kedua pendapat yang dikemukakan oleh Karosas (2004) dan May (2004) tersebut dapat diasumsikan bahwa seorang dwibahawan cenderung lebih kuat menguasai bahasa ibu baik verbal maupun nonverbal daripada bahasa yang lain. Namun, pernyataan itu memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan secara meyakinkan bahwa dalam realitas sosial, bahasa sebagai pranata kehidupan bermasyarakat bersifat dinamis yang dipengaruhi tekanan berbagai kebutuhan dan pengaruh masyarakat lain (lihat Ritzer, 1995:5).

Wardaugh (1998) melabeli khazanah verbal sebagai kompetensi komunikasi seorang penutur yang tidak hanya menunjukkan penguasaan atas

(26)

40

suatu bahasa beserta variasinya, tetapi juga memahami norma-norma penggunaannya. Kepemilikan khazanah verbal tidak hanya mengandung makna pasif, tetapi juga aktif seperti terkandung dalam konsep kompetensi komunikasi itu sendiri. Hal itu, tidak hanya berarti memiliki, tetapi juga mampu menggunakannya secara baik dan tepat sesuai dengan tuntutan situasi karena variasi linguistik itu umumnya bersifat fungsional dan spasial.

2.3.4Diglosia

Situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan merujuk pada tingkat penguasaan bahasa yang memicu peristiwa diglosia pada ranah keluarga, pendidikan, adat, ketetanggaan, dan pemerintahan. Hal ini, dikarenakan masyarakat bahasa di Indonesia setidak-tidaknya menggunakan bahasa ibu (B1) sebagai identitas etnis dan bahasa Indonesia (B2) sebagai bahasa nasional.

Fishman (1972:92) menganjurkan bahwa dalam mengkaji situasi kebahasaan pada guyub tutur dalam konteks kedwibahasaan atau keanekabahasaan hendaknya diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara-negara Arab, Swiss, dan Haiti. Penelitian yang dilakukan oleh Ferguson memaparkan adanya dua ragam bahasa, yakni ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi dan ragam bahasa rendah (R) yang dipakai dalam situasi tidak resmi.

Selanjutnya, Ferguson (1972:232) menggunakan istilah ‘diglosia’ merujuk pada hubungan antara dua ragam bahasa atau lebih yang digunakan guyub tutur

(27)

41

dengan fungsi yang berbeda. Dua ragam bahasa tersebut dibedakan atas ragam ‘Tinggi’ (T) dan ‘Rendah’ (R).

‘diglossia’ refers to a specific relationship between two or more varieties of the same language in use in a speech community in different functions. The superposed variety is referred to as ‘High’ or simply H, and the other variety (ies) as ‘Low’, or L.

Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil selain dialek-dialek utama suatu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa-bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan (secara gramatikal lebih kompleks) dan lebih tinggi, sebagai wahana dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati sejak dahulu oleh guyub tutur yang banyak dipelajari melalui pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam bahasa tertulis dan tuturan resmi tetapi tidak dipergunakan oleh masyarakat dalam tuturan biasa (Wardhaugh, 2006:89).

Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition to the primary dialects of the language (which may include a standard or regional standards), there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation.

Selanjutnya, Jourdan (2006:162) menyatakan bahwa diglosia mengacu pada penggunaan ragam variasi berbeda dari satu bahasa yang masing-masing mempunyai fungsi atau peranan berbeda yaitu bahasa “tinggi” dan bahasa “rendah”. Secara konvensional, terminologi bahasa “tinggi” mengacu kepada penggunaan lebih resmi, sedangkan bahasa “rendah” berhubungan dengan

(28)

42

kehidupan sehari-hari dengan ciri solidaritas antara anggota masyarakat kelas bawah.

diglossia famously pointed to the ways in which even different varieties of one language could be assigned different functions within a hierarchy of prestige and status, with the “high” language conventionally involving more institutionalized functions connected to the distribution and definition of valued resources, and the “low” language connected to everyday life and relations of solidarity among marginalized segments of the population. The concept seemed applicable to situations where the linguistic varieties in question were conventionally thought of as different languages altogether.

Diglosia merupakan implikasi dari situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan yang mengacu pada kemampuan penggunaan dua bahasa oleh guyub tutur. Diglosia adalah situasi kebahasaan yang ada, tidak hanya dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa yang secara resmi mengenal beberapa bahasa, dan tidak hanya dalam masyarakat yang menggunakan variasi bahasa daerah, tetapi juga dalam masyarakat yang menggunakan dialek, register yang terpisah atau variasi bahasa yang dibedakan secara fungsional.

Pengertian diglosia dikemukakan oleh Ferguson tersebut menyiratkan hubungan kedwibahasaan dan diglosia. Diglosia menekankan penggunaan variasi bahasa dalam masyarakat ekabahasa dan multibahasa yang memiliki fungsi atau peranan berbeda yaitu bahasa “tinggi” (T) dan bahasa “rendah” (R). Fungsi bahasa T atau bahasa R harus dicermati melalui ciri kebahasaan, sikap penutur, cara pemerolehan, intensitas, ranah, fungsi pemakaian, dan politik bahasa yang dianut oleh suatu suku bangsa atau suatu bangsa. Fenomena kebahasaan mengacu pada ciri diglosia yang sangat kompleks. Hymes (1964:429-437) mengemukakan beberapa kriteria situasi diglosik sebagai berikut. (1) Bahasa dibangun sebagai

(29)

43

pengemban fungsi komunikasi formal termasuk bahasa tinggi (T) dan pengemban fungsi komunikasi informal termasuk bahasa rendahan (R); (2) Bahasa dipandang bergengsi (superior) merupakan bahasa tinggi (T), sedangkan bahasa yang dipandang bawahan (inferior) merupakan bahasa rendahan (R); (3) Bahasa yang digunakan sebagai alat pelestarian dan pewarisan sastra tergolong bahasa T. Warisan sastra dimaksud diutamakan warisan tertulis. Hal ini, menyiratkan pengertian yang lebih luas, yakni bahasa-bahasa yang mengenal sistem tulisan tergolong bahasa T. Bahasa-bahasa yang tidak digunakan sebagai pewarisan kesusastraan dan tidak memiliki sistem tulis (unwritten language) tergolong bahasa R; (4) Bahasa dikuasai oleh pemakainya melalui pemerolehan (acquitition) sering dianggap sebagai bahasa R sadangkan bahasa yang dikuasai melalui pembelajaran dianggap sebagai bahasa T; (5) Bahasa-bahasa yang dipergunakan sebagai bahasa lingua franca tergolong bahasa T. Bahasa lingua franca tersebut memerlukan kodifikasi atau perumusan kaidah-kaidahnya mencirikan pembinaan bahasa menuju ke bahasa standar selalu berorientasi pada tercapainya ciri bahasa baku. Sebaliknya, bahasa yang tidak memiliki ciri kebakuan tergolong bahasa R; (6) Bahasa yang dianggap secara internal mantap (stabil) baik leksikal maupun gramatikalnya tergolong bahasa T. Sebaliknya, bahasa yang mudah kemasukan unsur bahasa lain dianggap bahasa labil dan tergolong bahasa R; dan (7) Bahasa yang tergolong bahasa T memiliki gramatika yang rumit sehingga sulit kemasukan sistem gramatika bahasa lain, sedangkan bahasa R mempunyai gramatika sederhana dan mudah dipelajari, dipahami dan digunakan.

(30)

44

Fishman (1977:105) menyatakan bahwa pada dasarnya kedwibahasaan dan diglosia adalah penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tetapi masing-masing mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Hubungan kedwibahasaan dan diglosia digambarkan sebagai berikut: (1) kedwibahasaan dengan diglosia adalah penguasaan dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian sesuai dengan fungsinya masing-masing, yakni fungsi bahasa T dan R, (2) diglosia tanpa kedwibahasaan adalah situasi kebahasaan yang mencirikan eksklusivitas dengan asumsi bahwa di antara penutur kelompok elit dan masyarakat tidak pernah terjadi interaksi dalam arti menggunakan bahasa yang dipilih. Penutur berinteraksi melalui penerjemah atau interpreter, (3) kedwibahasaan tanpa diglosia adalah situasi kebahasaan yang memiliki ciri bahwa setiap bahasa memiliki peluang untuk digunakan tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan fungsi sosial karena fungsi sosial pada tipe ini tidak kuat.

Fungsi bahasa T dan bahasa R mempunyai kedudukan yang sama sehingga memungkinkan terjadinya perembesan diglosia. Suatu ketika bisa terjadi ragam campuran antara bahasa T dan R, (4) tanpa kedwibahasaan dan tanpa diglosia hanyalah sebuah titik awal sehingga sukar ditemukan dalam realitas sosiolinguistik. Titik awal tersebut mengalami proses secara alamiah untuk menuju kepada kedwibahasaan dan diglosia. Mobilitas sosial secara vertikal (perubahan status) dan mobilitas sosial secara horizontal berpotensi melahirkan kedwibahasaan karena adanya perbedaan penggunaan repertoar. Sementara pemanfaatan repertoar memerlukan norma yang berpotensi melahirkan diglosia.

(31)

45

Dengan kata lain, sebelum ada perbedaan repertoar dan penormaan yang berkaitan dengan pemanfaatan repertoar, tergambarlah kondisi tanpa kedwibahasaan dan tanpa diglosia.

2.3.5Poliglosia

Situasi diglosia memperlihatkan dikotomi antara T dan R. Diglosia bisa bersifat relatif yang mengisyaratkan bahasa tertentu memiliki dua kedudukan sebagai bahasa T dan R karena bahasa tertentu itu memiliki ragam T dan R yang digunakan untuk tujuan dan dalam ranah berbeda. Konsep diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972:92) dan Fasold (1984) dengan terminologi baru broad diglosia (diglosia luas). Menurut Fishman diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan R pada bahasa yang sama, tetapi juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan. Fishman menekankan pada adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan. Fasold mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebut diglosia luas. Konsep diglosia luas membedakan fungsi lebih dari dua bahasa, ragam, dan dialek yang disebut diglosia ganda atau poliglosia.

Situasi poliglosia dapat digambarkan pada situasi kebahasaan masyarakat Cina Malaysia. Masyarakat Cina Malaysia yang terpelajar mampu berbahasa Inggris, bahasa Melayu ragam T, yaitu bahasa Malaysia merupakan variasi linguistik tertinggi kedua yang digunakan dalam masyarakat itu. Bahasa Melayu informal yang disebut bahasa Melayu Bazar mempunyai kedudukan yang sangat rendah, berada di bawah bahasa manapun. Bahasa Inggris dan variasi bahasa Cina

(32)

46

kedudukannya lebih tinggi dari bahasa Melayu Bazar ini. Di samping itu, terdapat bahasa Cina Mandarin yang mempunyai kedudukan khusus, dan harus dimasukkan dalam deretan khasanahbahasa tersebut.

Holmes (1994:39) berpendapat bahwa konsep poliglosia digunakan untuk mengacu pada situasi dua kode (bahasa ataupun variasi) digunakan untuk tujuan dan situasi yang berbeda. Misalnya, orang Maori di New Zeland berdwibahasa Inggris dan Maori. Situasi kebahasaan itu lebih tepat dideskripsikan sebagai poliglosia daripada diglosia. Hal ini, didukung oleh fakta bahwa bahasa Maori memiliki ragam R yang digunakan untuk berbincang-bincang dengan sahabat atau keluarga, dan juga memiliki dua ragam T yang digunakan masing-masing untuk upacara dan untuk interaksi formal dalam pertemuan resmi. Ragam T juga diperankan bahasa Inggris yang digunakan di sekolah dan di bidang pemerintahan, peradilan, dan dalam perjanjian resmi.

2.3.6Alih Kode

Alih kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan/multibahasawan dengan memilih salah satu kode bahasa yang disesuaikan dengan keadaan, seperti yang diutarakan Hudson (1996:51).

Anyone who speaks more than one language chooses between them according to circumstances.

Wei (2001:132) menyatakan bahwa alih kode sebagai penggunaan dua variasi bahasa dalam suatu percakapan tanpa penyesuaian atau asimilasi fonologis yang menonjol dari variasi satu bahasa ke dalam bahasa lain.

(33)

47

Code-switching is defined as the use of two or more linguistic varieties in the same conversation, without prominent phonological assimilation of one variety to the other.

Wardhaugh (2006:88) menyatakan bahwa peristiwa alih kode dari satu bahasa ke dalam bahasa lain merupakan fenomena yang lazim terjadi di antara para dwibahasawan ketika mereka melakukan percakapan baik dalam situasi non-formal maupun situasi non-formal. Selanjutnya, Wardhaugh menyatakan bahwa alih kode dibagi menjadi dua, yakni (1) alih kode metaforis dan (2) alih kode situasional. Alih kode metaforis adalah alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik pembicaraan. Alih kode ini memiliki dimensi afektif, yakni kode berubah ketika situasinya berubah. Alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi ketika para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi tertentu, dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik.

Romaine (1995) menyatakan bahwa ada tiga jenis alih kode, yakni (1) tag-switching, (2) intersentential, dan (3) intrasentential. Tag-switching adalah alih kode dengan melibatkan penyisipan ekor kalimat, misalnya dalam tuturan bahasa Finisia yang disisipi dengan ekor bahasa Inggris mutta en me viittinyt, no way but I’m not bothered, no way’; Intersentential-switching adalah alih kode dari satu bahasa ke bahasa lain dengan melibatkan unsur sintaksis berupa klausa atau kalimat, misalnya dalam bahasa Finisia dan bahasa Inggris Sometimes I’ll start a sentence in English y termino in espanol. ‘Sometimes I’ll start a sentence in English and finish in Spanish’; Intrasentential-switching adalah penggunaan dua kode dalam suatu tuturan namun kode-kode tersebut masih berkaitan, misalnya

(34)

48

What’s funny? Come, be good. Otherwise, you bai go long kot. ‘What’s so funny? Come, be good. Otherwise you’ll go to court. Contoh tersebut menggambarkan suatu tuturan yang mengandung alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Tok Pisin yang merupakan bahasa pijin yang berbasis bahasa Inggris.

Bullock (2009:1) menyatakan bahwa alih kode sebagai kemampuan pengalihan kode secara seimbang dari satu bahasa ke dalam bahasa lain oleh dwibahasawan.

Broadly defined, code-switching (CS) is the ability on the part of bilinguals to alternate effortlessly between their two languages”.

Kemampuan pengalihan kode secara seimbang dimaksud merujuk pada kemampuan penutur dalam mengaktifkan dua bahasa tanpa adanya interferensi ataupun hambatan ketika penutur asli berpindah dari bahasa satu ke dalam bahasa lain.

Auer (2002:3) mengemukakan hal-hal berikut ini. (a) Alih kode berhubungan dan menunjukkan karakter kelompok masyarakat bilingual tertentu sehingga keteraturan penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian dalam suatu percakapan dapat membedakan masyarakatnya, dan (b) Kemampuan pengalihan kode secara intrasentential mengacu pada sintaksis dan morfosintaktis.

(a) that code-switching is related to and indicative of group membership in particular types of bilingual speech communities, such that the regularities of the alternating use of two or more languages within one conversation may vary to a considerable degree between speech communities, and (b) that intrasentential code-switching, where it occurs, is constrained by syntactic and morphosyntactic considerations which may or may not be of a universal kind.

(35)

49

Gumperz (1982) mengemukakan bahwa alih kode merupakan peralihan dari suatu ujaran tertentu ke dalam ujaran lain di dalam dua sistem atau subsistem yang berbeda. Peristiwa alih kode tidak hanya terjadi dalam dua sistem bahasa yang berbeda, tetapi juga peralihan beberapa varian pada bahasa yang sama.

Duranti (2012:7) mendefinisikan alih kode dalam hubungannya dengan pilihan kode merupakan gejala peralihan bahasa karena berubahnya situasi. Hymes (1973) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan juga terjadi antarragam atau gaya yang terdapat dalam satu bahasa.

Peristiwa alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1987:54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Gumperz (1982:408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor yang melambangkan identitas penutur.

2.3.7Campur Kode

Persoalan campur kode erat kaitannya dengan persoalan alih kode dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena melibatkan penggunaan dua

(36)

50

bahasa dalam interaksi sosial masyarakat. Kedua istilah tersebut merupakan pola kedwibahasaan, yang menjadi model komunikasi sering digunakan oleh penutur dwibahasa dalam peristiwa tutur. Alih kode ditunjukkan dengan adanya pengalihan bahasa dalam bentuk kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain, sedangkan campur kode ditunjukkan dengan adanya penyisipan beberapa kata ke dalam kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain. Peristiwa terjadinya campur kode dan alih kode sering dilakukan secara tidak sengaja, tergantung tingkat pemahaman bahasa oleh pelibat (penutur dan lawan tutur) atas dasar saling memahami maksud dan tujuan tuturan.

Campur kode merujuk pada perubahan bahasa yang digunakan oleh penutur dwibahasa tanpa dipengaruhi adanya perubahan situasi. Hudson (1996:53) menekankan pada terjadinya perubahan bahasa yang digunakan penutur dwibahasa yang mengacu pada tingkat pemahaman bahasa penutur sebagai suatu strategi komunikasi untuk memeroleh respon mitra tutur.

in code mixing, the point at which the languages change corresponds to a point where the situation changes, either on its own or precisely because the language changes.

Wei (2000:152) menggambarkan bahwa campur kode merupakan suatu strategi komunikasi yang digunakan oleh dwibahasawan bahasa X untuk unsur-unsur atau kaidah bahasa Y ke bahasa X. Akan tetapi, beda halnya dengan kata pinjaman, unsur-unsur tersebut biasanya tidak digabungkan ke dalam sistem bahasa X.

Code-mixing is a communication strategy used by bilinguals in which the speaker of language X transfers elements or rules of language Y to X (the base language); unlike borrowing, however, these elements are not usually integrated into the linguistic system of X.

(37)

51

Selanjutnya, Poplack (2004:14) mengatakan bahwa campur kode adalah penyisipan unsur kebahasaan yang berbentuk kata atau frasa dari suatu bahasa tertentu ke dalam bahasa lain. Hal senada disampaikan oleh Musyken (1995) yang mengatakan bahwa campur kode adalah penyisipan unsur kebahasaan yang berbentuk kata atau frasa dari suatu bahasa tertentu ke dalam bahasa lain.

Campur kode merupakan peristiwa percampuran dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Gejala kebahasaan yang demikian mungkin juga terjadi pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan yang mengacu penggunaan campuran BT-BD, BT-BI, dan BD-BI. Situasi kebahasaan tersebut sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972:79-80) sebagai bahasa campuran, yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase.

Dilihat dari proses terjadinya campur kode, Musyken (2000:3) menyatakan bahwa proses terjadinya campur kode dapat diidentifikasi sebagai berikut. (1) Penyisipan beberapa unsur (kata-kata atau konstituen, seperti leksem, kata, atau frase) dari suatu bahasa ke dalam struktur bahasa lain; (2) Alternasi (pertukaran) antarstruktur dua bahasa yang berbeda; (3) penyamaan pola (struktur) kalimat dari satu bahasa ke bahasa yang lain.

2.3.8Silang Kode

Auer (2002:291) mengemukakan bahwa istilah 'silang kode' atau 'silang bahasa' mengacu pada penggunaan bahasa oleh bukan penutur asli bahasa itu. Peristiwa silang kode dilatarbelakangi stratifikasi sosial atau etnis, dan disepakati oleh anggota guyub tutur sebagai bentuk pengakuan eksistensi kelompok sosial.

(38)

52

The term ‘language crossing’ (code-crossing) refers to the use of a language which isn’t generally thought to ‘belong’ to the speaker. Language crossing involves a sense of movement across quite sharply felt social or ethnic boundaries, and it raises issues of legitimacy that participants need to reckon with in the course of their encounter.

Selanjutnya, Jendra (2010:121) menyatakan bahwa silang kode adalah penggunaan bahasa oleh bukan penutur aslinya dalam berkomunikasi dengan mitra tutur bahasa asli. Silang kode merupakan fenomena menarik dalam penggunaan bahasa oleh dwibahasawan karena penggunaan jenis ini berkaitan erat sekaligus memperlihatkan sikap bahasa pemakainya. Pengguna silang kode bukan anggota guyub suatu tutur, melainkan menggunakan kode yang dimiliki oleh guyub tutur dimaksud.

Paparan singkat Jendra (2010:120-122) menyiratkan beberapa hal berkaitan dengan pemakaian silang kode, yaitu (1) silang kode digunakan ketika pemakai silang kode sedang berbicara dengan penutur asli bahasa yang sedang dipelajari; (2) pemakai silang kode berharap memiliki gengsi yang sama dengan penutur asli dari bahasa (dan budaya) yang dipandang lebih berprestise; (3) pemakai silang kode ingin memperlihatkan penyesuaian terhadap panutur asli dari bahasa yang dikategorikan tidak berprestise.

Pemakaian silang kode juga berkaitan dengan sikap pemakai terhadap mitra tutur, terhadap bahasa, dan budaya mitra tutur. Sikap positif (suka, senang, simpati, dan lain-lain.) memicu seseorang menggunakan silang kode. Dengan kata lain, daya pikat mitra tutur dan bahasa mitra tutur menyebabkan seseorang menggunakan silang kode.

(39)

53 2.3.9Interferensi Bahasa

Interferensi bahasa merupakan fenomena penyimpangan unsur kebahasaan atau norma-norma bahasa (language interference refers to deviation from the norms of either language) yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keseringan menggunakan lebih dari satu bahasa yang disebabkan karena adanya kontak bahasa (Weinreich, 1953:1). Interferensi bahasa merupakan fenomena kebahasaan yang sering dialami oleh guyub tutur dwibahasa yang disebabkan ketersediaan beberapa bahasa yang dipahaminya. Fenomena kebahasaan itu tidak hanya menimbulkan peristiwa alih kode, campur kode, dan silang kode, tetapi juga interferensi bahasa. Selanjutnya, Weinreich menyatakan bahwa kedwibahasaan sebagai kemampuan menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tutur disebut dwibahasawan yang berpotensi menimbulkan peristiwa interferensi bahasa. Fenomena interferensi merupakan penyimpangan dari norma-norma suatu bahasa yang terjadi dalam tuturan dwibahasawan yang menandakan penguasaan lebih dari satu bahasa yang seimbang baiknya sebagai akibat kontak bahasa.

Bilingualism is defined as the practice of alternately using two languages, and the persons involved are bilinguals. Then, “interference phenomena” as those instances of deviation from the norms of either language which occur in the speech of bilinguals as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of language contact.

Kridalaksana (2001:26) menganggap interferensi bahasa sebagai penyimpangan kaidah-kaidah suatu bahasa yang terjadi pada orang bilingual akibat penguasaan dua bahasa. Kedwibahasaan sangat erat kaitannya dengan interferensi dilihat dari kenyataan penggunaan bahasa dalam kehidupan

(40)

54

masyarakat sehari-hari. Situasi kebahasaan pada guyub tutur yang sekurang-kurangnya ditandai dengan penggunaan dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi kebahasaan seperti inilah dapat menimbulkan pencampuran antara bahasa daerah dan bahasa nasional. Bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang pertama dikuasai berpengaruh kuat terhadap penggunaan bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua berpengaruh kuat terhadap penggunaan bahasa pertama.

Interfensi bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa tidak dapat dihindari sebagai akibat kontak dua bahasa atau lebih. Interferensi ialah masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yang dipengaruhinya, baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantik (Weinreich, 1953:1). Selanjutnya, Skiba (1997) menyatakan bahwa interferensi adalah pengalihan unsur-unsur suatu bahasa yang meliputi kaidah fonologis, gramatikal, leksikal, dan ortografi ke dalam bahasa yang lain. Lekova (2009:320) menyatakan bahwa interferensi merupakan interaksi atau perubahan dalam elemen dan struktur linguistik. Interferensi dapat dikategorikan sebagai deviasi dari kaidah linguistik dalam bahasa lisan dan tulis.

interference is an interaction or a change in linguistic structures and structural elements. It appears to be a deviation from linguistic norms in the spoken and written language.

Interferensi berupa masuknya unsur-unsur suatu bahasa ke bahasa lain pada tataran fonologi, gramatika, leksikal, dan semantik erat kaitannya dengan peminjaman bahasa terkait dengan pilihan bahasa dinyatakan dalam wujud selain

(41)

55

alih kode, dan campur kode (Fasold, 1984:80). Pengertian peminjaman bahasa menurut Kridalaksana (2001:159) adalah pemasukan unsur fonologis, gramatikal, atau leksikal dalam bahasa atau dialek suatu bahasa atau dialek lain karena kontak bahasa. Masuknya unsur bahasa lain ke dalam suatu bahasa merupakan implikasi pilihan bahasa dalam wujud campur kode pada tataran kata, frase, atau kelompok kata yang sering digunakan dan diterima secara umum oleh masyarakat dwibahasa disebut peminjaman bahasa (language borrowing). Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa peminjaman bahasa menyebabkan perubahan pola-pola kebahasaan yang sebelumnya ditemukan dalam bahasa yang bersangkutan (Firdaus, 2011:69).

2.3.10 Teori Sikap Bahasa

Dalam teori sikap bahasa, terdapat empat subtopik yang dianggap substansial, yakni sikap bahasa, komponen objek sikap bahasa, hubungan sikap dan perilaku, dan fungsi sikap. Sikap bahasa merupakan sikap yang objeknya adalah bahasa. Struktur sikap bahasa, termasuk juga sikap-sikap yang memiliki objek-objek lain merujuk pada tiga komponen yang saling terkait, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif (Triandis, 1971:3). Ketiga komponen tersebut mengimplikasikan bahwa seseorang harus mengetahui objek secara kognitif sebelum merespon suatu objek sikap. Dengan mengetahui objek sikap, seseorang dapat memberikan penilaian suka atau tidak suka secara afektif yang selanjutnya diikuti oleh keinginan untuk bertindak secara konatif. Dengan kata lain, konatif atau perilaku diartikan sebagai kecenderungan untuk bertindak yang dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi dan persepsi pengunjung/jamaah pada Masjid Agung Jawa Tengah adalah pengunjung Masjid Agung Jawa Tengah mayoritas adalah jamaah domestik yang berasal dari

e-ASPIRASI KEMENKES 2015 atau Anugerah Situs Inspirasi Sehat Indonesia merupakan kegiatan penilaian website unit di lingkungan Kementerian Kesehatan RI kedua

Pada hari ke-2 dan ke-4 setelah perlakuan tidak ada pengaruh nyata senyawa KCN terhadap kandungan gula-gula pereduksi buah pisang kepok. Hal ini

Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program antara lain: (1) kebijakan pengelolaan limbah industri komponen alat berat (PLIKAB) sebagai landasan

Setelah menentukan tingkat resiko kontrol, auditor akan melakukan pengujian terhadap kontrol, dalam hubungannya dengan audit sistem informasi maka yang diuji adalah kontrol

Dari penelitian ini disarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap struktur komunitas Echinodermata di zona intertidal Pantai Krakal dan Drini dengan

Kesimpulan hasil penelitian bahwa dari kebijakan CU Semarong dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan, diketahui mayoritas karyawan, sudah memenuhi harapan karyawan

Status Gizi Remaja dan Faktor-faktor yang berhubungan pada siswa SMUN 3 Bogor Tahun 2001.. Fakultas Kesehatan