• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3.10 Teori Sikap Bahasa

Dalam teori sikap bahasa, terdapat empat subtopik yang dianggap substansial, yakni sikap bahasa, komponen objek sikap bahasa, hubungan sikap dan perilaku, dan fungsi sikap. Sikap bahasa merupakan sikap yang objeknya adalah bahasa. Struktur sikap bahasa, termasuk juga sikap-sikap yang memiliki objek-objek lain merujuk pada tiga komponen yang saling terkait, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif (Triandis, 1971:3). Ketiga komponen tersebut mengimplikasikan bahwa seseorang harus mengetahui objek secara kognitif sebelum merespon suatu objek sikap. Dengan mengetahui objek sikap, seseorang dapat memberikan penilaian suka atau tidak suka secara afektif yang selanjutnya diikuti oleh keinginan untuk bertindak secara konatif. Dengan kata lain, konatif atau perilaku diartikan sebagai kecenderungan untuk bertindak yang dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif.

56

Garvin dan Mathiot (1968) mengungkapkan bahwa komponen objek sikap bahasa terdiri atas (1) kesetiaan bahasa, (2) kebangaan bahasa, dan (3) kesadaran akan norma bahasa. Kesetiaan bahasa merupakan keteguhan, ketaatan untuk menggunakan, menjaga, dan mempertahankan suatu bahasa. Kebanggaan bahasa merupakan wujud sikap menghargai suatu bahasa yang dapat mendorong penuturnya untuk mengembangkan bahasanya yang menjadi identitas dan kesatuan masyarakatnya. Kesadaran akan norma bahasa mengisyaratkan pemahaman untuk menggunakan bahasa secara baik dan benar, cermat, dan santun. Ketiga komponen objek sikap bahasa itu memiliki peran sangat penting terhadap keberadaan suatu bahasa yang mengarah pada pemertahanan, pergeseran, dan kepunahan suatu bahasa.

Dilihat dari perspektif sosiolinguitik, sikap bahasa adalah studi tentang apakah yang orang pikirkan mengenai variasi-variasi bahasa yang berbeda dan bagaimana persepsi-persepsi tentang bahasa itu dalam hubungannya dengan persepsi terhadap sikap penutur bahasa yang berbeda (Meyerhoff, 2006:292).

Language attitude is the study of what people think about different linguistic varieties and how those perceptions about language relate to perceptions of attitudes about different users of language.

Berdasarkan topik pembahasan tentang situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan, masalah yang berkaitan dengan sikap bahasa dan pilihan bahasa adalah masalah sosial yang biasa dihadapi oleh masyarakat anekabahasa. Sikap bahasa merupakan fenomena kebahasaan yang menarik dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa. Dengan demikian, sikap bahasa merupakan

57

suatu sikap yang mengacu pada bahasa sebagai objek yang dikembangkan dan digunakan oleh guyub tutur sebagai lambang identitas sosial budayanya. Pernyataan ini mengimplikasikan kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong setiap anggota guyub tutur menggunakannya dengan tepat dan santun.

Wei (2001:10) menyatakan bahwa identitas sosial di banyak negara di dunia ditentukan melalui pilihan bahasa. Dengan memilih satu bahasa atau lebih dalam repertoar kebahasaan, penutur menunjukkan hubungan sosialnya dengan orang lain. Pada tingkat sosial, seluruh kelompok orang dan, pada kenyataannya, seluruh bangsa dapat diidentifikasi melalui bahasa yang mereka gunakan. Bahasa, budaya, agama dan sejarah merupakan unsur-unsur penting identitas nasional.

In many countries of the world a lot of the social identification is accomplished through language choice. By choosing one or other of the two or more languages in one’s linguistic repertoire, a speaker reveals and defines his or her social relationships with other people. At a societal level, whole groups of people and, in fact, entire nations can be identified by the language or languages they use. Language, together with culture, religion and history, becomes a major component of national identity.

Sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap penutur dapat berupa sikap positif dan negatif terhadap bahasanya. Selanjutnya Garvin (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:

(1) Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dari kepunahan dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.

58

(2) Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas etnis dan kesatuan masyarakat.

(3) Kesadaran akan norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).

Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/guyub tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota guyub tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali.

Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, dan anggapan bahasa tertentu terlalu rumit atau susah dan sebagainya.

Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Nikolas, 2010: 81). Dalam bahasa Indonesia, kata sikap

59

dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Dengan demikian, sikap bahasa merupakan sikap dengan ciri-ciri umum tersebut yang objeknya adalah bahasa.

Sikap merupakan fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Sikap tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mengamati sikap dapat dilihat melalui perilaku, tetapi berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang nampak dalam perilaku tidak selalu menunjukkan sikap. Begitu juga sebaliknya, sikap seseorang tidak selamanya tercermin dalam perilakunya karena secara psikologis, sikap dipengaruhi oleh unsur-unsur kognitif, afektif, dan perilaku. Pemahaman, atau keyakinan seseorang berpengaruh terhadap reaksi emosional yang secara logis mendasari tindakan-tindakan tertentu (Edwards, 2009:257).

Attitude is a psychological posture that has cognitive, affective and behavioural components. One’s knowledge of, or belief in, something-coupled with an emotional reaction to it-should logically underlie particular courses of action.

Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap, maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur. Namun, dalam hal ini juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur (behavioral speech) mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur.

60

Dibedakannya antara bahasa dan tutur (Saussure, 1976), maka ketidaklangsungan hubungan antara sikap bahasa dan perilaku tutur makin menjadi lebih jelas lagi. Sikap bahasa cenderung mengacu pada bahasa sebagai sistem (langue), sedangkan perilaku tutur lebih cenderung merujuk kepada pemakaian bahasa secara konkret (parole).

Triandis (1971) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”. Menurut Triandis (1974), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Penjelasan ketiga komponen tersebut sebagai berikut.

(1) Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.

(2) Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif.

(3) Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.

61

Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’ atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Akan tetapi, kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap.

Banyak pakar mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap. Edward (1985) mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan dalam menentukan perilaku. Sugar (1967) menyatakan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku. Kebiasaan sangat menentukan perilaku seseorang.

Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politis, sikap keagamaan, dan lain-lain. Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya, sikap suka atau sebaliknya. Sikap yang ditunjukkan

62

penutur atas dasar perasaan suka atau senang akan menimbulkan reaksi sikap positif. Sebaliknya, sikap yang didasari perasaan tidak suka atau tidak senang akan menimbulkan reaksi sikap negatif. Peristiwa tersebut juga terjadi pada sikap bahasa yang ditunjukkan guyub tutur terhadap bahasanya. Sikap bahasa positif atau negatif guyub tutur terhadap bahasanya itu sangat dipengaruhi persepsi penutur berdasarkan peran dan fungsi bahasa yang berorientasi pada penggunaanya secara lebih luas dan pengaruh modernitas.

Lambert (1976) menyatakan bahwa seseorang mempelajari, menguasai, dan menggunakan bahasa-bahasa berorientasi pada dua hal, yaitu orientasi instrumental dan orientasi integratif. Orientasi instrumental adalah orientasi yang mengacu pada penggunaan bahasa yang jangkauannya lebih luas dan memiliki nilai tinggi secara ekonomis yang dapat memberikan kehidupan lebih baik bagi penuturnya, seperti penggunaan bahasa bahasa Indonesia dalam lingkup nasional dan BA dalam sekala internasional. Orientasi integratif adalah orientasi yang mengacu pada pengembangan diri secara integratif, seperti keingintahuan terhadap perkembangan ilmu dan teknologi melalui bahasa tertentu, memahami kebudayaan masyarakat lain melalui bahasanya, dan menggunakan bahasa tertentu sebagai media berkomunikasi di manapun penutur berada. Kedua orientasi tersebut dapat memengaruhi sikap bahasa seseorang yang mengarah pada situasi dan keberadaan bahasa daerahnya. Kondisi kebahasaan seperti itu, yang menunjukkan tanda-tanda pergeseran bahasa sering terjadi di kalangan generasi muda sulit dihindari di jaman modern ini menjadi perhatian serius bagi semua pihak untuk menjaga dan melestarikan bahasa-bahasa daerah.

63 2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis teori dan permasalahan penelitian ini yang meliputi (1) konteks, (2) fokus kajian, (3) tujuan penelitian, (4) ruang lingkup, (5) perspektif teoretik, dan (6) metode yang dipakai (Carolyn, 2008:2-10). Sukardi (2004:183-184) menjelaskan bahwa model penelitian merupakan penggambaran secara jelas tentang hubungan variabel, pengumpulan data, dan analisis data, sehingga peneliti dan orang lain yang berkepentingan mempunyai gambaran keterkaitan antarvariabel dan cara mengukurnya. Sesuai dengan latar belakang permasalahan, penelitian ini mendeskripsikan fenomena fakta sosial yang menempatkan bahasa sebagai sistem lambang, sistem tingkah laku budaya, dan sistem pragmatik dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Konteks penelitian dalam sebuah rancangan penelitian pada akhirnya menjadi dasar untuk merumuskan secara tepat dan tajam fokus kajian penelitian (Bungin, 2012:40). Fokus penelitian ini diarahkan pada fenomena kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan, penggunaan bahasa, dan faktor-faktor yang memengaruhi pilihan bahasa pada guyub tutur Tetun dan Dawan. Untuk mencapai tujuan, penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik, yakni kedwibahasaan, diglosia, poliglosia, alih kode, campur kode, silang kode, interferensi bahasa, pilihan bahasa, dan sikap bahasa. Di samping itu, penelitian ini membatasi ruang lingkupnya pada fenomena kebahasaan dalam guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Desa/Kelurahan Lotas, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka

64

dan Timor Tengah Selatan, serta Desa/Kelurahan Teun dan Rafae, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menerapkan kajian teori atau perspektif teoretik yang relevan untuk menjelaskan fenomena kebahasaan pada guyub tutur Tetun-Dawan. Perspektif teoretik didukung kajian pustaka untuk menelaah atau menelusuri penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya.

Analisis penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Scott (2009) menyatakan bahwa walaupun ada perbedaan karakteristik kedua pendekatan tersebut, tetapi kajian penelitian dapat memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam suatu penelitian. Penelitian kuantitatif adalah sustu proses menemukan pengetahuan melalui data berupa angka sebagai alat untuk menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui dengan asumsi: (1) bahwa realitas yang menjadi sasaran penelitian berdimensi tunggal, fragmental, dan cenderung bersifat tetap sehingga dapat diprediksi, (2) variabel dapat diidentifikasi dan diukur dengan alat-alat yang objektif dan baku (Kasiram, 2008:149). Dengan demikian, penelitian kuantitatif menekankan pada penilaian numerik atas fenomena yang ditemukan, sedangkan penelitian kualitatif menekankan pada bangun naratif atau deskripsi tekstual atas fenomena yang diteliti.

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bertujuan memahami situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

65

bertujuan memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian yang berkaitan dengan perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, sikap secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2002:6). Secara jelas perbedaan kedua jenis penilitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1

Perbedaan Karakteristik Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Karakteristik Penelitian Kuantitatif Penelitian Kualitatif Jenis Data Fenomena digambarkan

secara numerik dengan tabel.

Fenomena digambarkan secara naratif atau tekstual (dengan kata-kata/bahasa). Analisis Statistik deskriptif dan

inferensial.

Identifikasi terhadap Cakupan Penelitian Hipotesis bersifat spesifik. Hipotesis bersifat luas. Keunggulan Jumlah sampel dan validitas

statistik bersifat akurat merefleksikan populasi.

Penggambaran sampel secara naratif.

Kelemahan Pemahaman bersifat dangkal (superficial) atas pikiran dan perasaan partisipan.

Sampel kecil tidak bisa digeneralisasikan pada populasi.

Secara lebih spesifik, Carolyn dan Isadore (2008:7) menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif umumnya digunakan dalam kajian bidang etnografi, studi kasus, kajian sejarah, studi lapangan, teori grounded, studi dokumentasi, studi naturalistik, studi observasi, studi wawancara, dan studi deskriptif. Metode penelitian kualitatif umumnya digunakan dalam kajian ilmu sosial di bidang antropologi dan sosiologi yang secara filosofis menekankan dasar fenomenologi suatu kajian, mendeskripsikan "makna" dari fenomena berdasarkan perspektif masyarakat atau budaya yang dikaji.

66

Desain kualitatif seringkali melibatkan satu partisan, satu kasus, atau satu objek yang menjadi fokus penelitian jangka waktu tertentu. Di samping itu, penelitian kuantitatif dikategorikan sebagai kajian empiris atau statistik. Kajian tersebut lebih lazim digunakan (dalam budaya Barat) melalui pendekatan psikologis dan perilaku sosial. Metode kuantitatif telah menjadi metode yang dominan dalam penelitian ilmu sosial. Desain kuantitatif termasuk studi eksperimental, studi kuasi-eksperimental, desain pretest-posttest, dan lain-lain (lih. Campbell & Stanley, 1963; Shadish, Cook, & Campbell, 2002), berdasarkan variabel, pengacakan, dan data-data valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dari sampel populasi. Data dalam studi kuantitatif dikodekan menurut definisi teori dan standarisasi.

Penelitian situasi kebahasaan dalam konteks kedwibahasaan ini merupakan suatu penelitian sosiolinguistik yang membahas penggunaan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini mengkaji tiga hal, yakni (1) Bagaimanakah fenomena kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur?; (2) Bagaimanakah pilihan bahasa-bahasa oleh guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur?; dan (3) Faktor-faktor apa yang memengaruhi pilihan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur?

67

Sesuai dengan konsep dan landasan teori yang digunakan sebagai payung penelitian ini, maka model penelitian perlu disajikan sebagai kerangka acuan. Rancangan model penelitian ini bearas pada variabel-variabel yang menjadi bahan kajian yang mengacu pada fenomena kedwibahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara spesifik, model penelitian ini digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Keterangan gambar

; anak panah satu arah menunjukkan hubungan berkelanjutan atau terusan ; garis penghubung bagian yang satu dengan bagian lainnya

----; menunjukkan lingkup variabel kajian Situasi kebahasaan Metode Teori Kuantitatif Fakta kebahasaan Pilihan bahasa Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa Sosiolinguistik 1. Kedwibahasaan 2. Diglosia 3. Poliglosia 4. Alih kode 5. Campur kode 6. Silang kode 7. Interferensi bahasa 8. Pilihan bahasa 9. Sikap bahasa Kualitatif Analisis Temuan

68

Gambar 2.1 menunjukkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk (1) memaparkan situasi kebahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur; (2) menjelaskan pilihan bahasa-bahasa oleh guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur; dan (3) menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pilihan bahasa pada guyub tutur di kawasan perbatasan Tetun-Dawan di Kabupaten Malaka dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, penelitian ini menerapkan teori sosiolinguistik yang mengacu pada pola kedwibahasaan yang meliputi diglosia, poliglosia, alih kode, dan campur kode yang dipadukan dengan teori interferensi bahasa, sikap bahasa, dan pilihan bahasa. Seluruh tahapan kajian yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini mengisyaratkan bahwa penelitian ini termasuk kajian sosiolinguistik. Penelitian ini dikategorikan kajian sosiolinguistik karena kajiannya membahas hubungan bahasa dan masyarakat, menjelaskan mengapa masyarakat menguasai dan menggunakan bahasa yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda, dan mengidentifikasi fungsi dan penggunaan bahasa untuk menyampaikan makna sosial.

Data penelitian yang diperoleh dari variabel-variabel bahasa dan penggunaannya, bahasa dan ranah penggunaannya, dan sikap bahasa pada guyub tutur dikumpulkan dan dianalisis dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk memunculkan angka dan persentase yang selanjutnya

69

dianalisis secara deskriptif kualitatif yang merujuk pada variabel pola kedwibahasaan, yakni diglosia, poliglosia, campur kode, silang kode, alih kode, interferensi bahasa, sikap bahasa, dan pilihan bahasa.

Berdasarkan latar belakang permasalahan, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif-kualitatif dengan menggunakan kerangka fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Artinya, penelitian ini beraras pada data faktual yang dikaji dan disajikan sebagaimana dan apa adanya (naturalistic) sesuai dengan realitas yang ditemukan pada saat penelitian ini dilakukan (Muhadjir, 1995). Seiring dengan itu, beberapa alasan lain adalah sebagai berikut: (1) penelitian ini berupaya menjawab permasalahan berdasarkan situasi kebahasaan pada guyub tutur di kawasan perbatasan BT-BD di Kabupaten Malaka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam konteks kedwibahasaan; (2) menemukan penggunaan bahasa oleh guyub tutur di kawasan perbatasan BT-BD di Kabupaten Malaka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur; dan (3) menemukan faktor-faktor yang memengaruhi pilihan bahasa pada penutur BD dan BT di kawasan perbatasan penutur BT-BD di Kabupaten Malaka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bahasa sebagai suatu fenomena sosial berkaitan erat dengan struktur dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat (Trudgill, 1974:34-35). Pilihan bahasa pada masyarakat dwibahasa berhubungan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik sebagai panduan dalam melakukan penelitian lapangan. Pendekatan

70

sosiolinguistik memandang fenomena pilihan kode bahasa sebagai fakta sosial yang menempatkan bahasa sebagai sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, dan sistem pragmatik yang berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam konteks yang sebenarnya (Rokhman, 2003). Dengan demikian, kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena penggunaan bahasa sebagai peristiwa tutur dalam kaitannya dengan faktor-faktor sosial dan budaya penutur.

Dokumen terkait